WELCOME FRIENDS

Selamat datang di blog ini, blog ini di tujukan sebagai kumpulan berita, artikel, pesan dan mungkin hasil pemikiran penulis dengan mengangkat tema sentral Hukum Bisnis, akan tetapi para pembaca juga akan di bawa membaca banyak tulisan-tulisan yang muatan secara materinya tidak berhubungan secara langsung dengan Hukum Bisnis saja, seperti contohnya dimasukannya tulisan mengenai Hukum Pidana, Hukum Tata Negara dan sebagainya, walau begitu adalah Hukum Bisnis yang tetap menjadi sentral utama dari materi muatan blog ini.

Selamat membaca dan di tunggu masukan, pendapat dan mungkin kritikan dari kawan-kawan semua.

28 June 2010

KETERKAITAN ANTARA KEJAHATAN BISNIS DAN KEJAHATAN KORPORASI,
SERTA TINJAUANNYA DALAM KUHP

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Aktivitas perekonomian ditandai dengan aktivitas perdagangan, industri, dan jasa di satu negara, tidak akan terlepas dari pola-pola transaksi bisnis yang dijalankan oleh para pelaku bisnis di dalamnya, Di dalam lingkungan bisnis, aspek kepercayaan dan kejujuran menjadi unsur penentu kegiatan bisnis dapat berjalan dengan lancar. Imbasnya, akan memberikan dampak positif bagi kegiatan perekonomian itu sendiri. Suatu lingkungan bisnis yang dalam praktek-prakteknya jauh dari adanya kehidupan usaha yang jujur dan dapat dipercaya, dengan sendirinya akan mematikan kegiatan bisnis itu sendiri.
Kejahatan dalam lingkup kegiatan bisnis pada saat ini telah berkembang dan kompleks yang melibatkan berbagai kalangan, mulai dari pihak perusahaan sebagai suatu institusi, perorangan, birokrat, dan kalangan professional seperti akuntan public, fund manager, dll. Beberapa kejadian penting yang ditengarai, dan menjadi sorotan banyak pihak sebagai adanya bentuk kejahatan bisnis pada sepuluh tahun terakhir ini, mengindikasikan perlunya pemerintah untuk mempersiapkan perangkat hukum yang memadai untuk mencegah praktek-praktek yang tidak jujur dalam kegiatan bisnis.
Di Amerika Serikat, kasus perusahaan Enron Corporation, WorldCom Inc, menjadi petunjuk akan adanya aktivitas untuk mengelabui masyarakat dari gambaran yang sebenarnya mengenai kondisi real dari perusahaan-perusahaan tersebut. Sementara itu, di Belanda Kasus Supermarket Royal Ahold, perusahaan retail and chain ketiga terbesar didunia melakukan praktek-praktek pengelabuan masyarakat dengan menyajikan laporan palsu atas prospek perusahaan, khususnya bagi para investor di pasar modal. Di Indonesia, kasus PT. Yang memanipulasi data teknis tentang potensi kandungan emas di Busang Kalimantan Timur yang sebenarnya merupakan kebohongan besar.
Di Indonesia sendiri, dalam beberapa waktu kebelakang, masyarakat sempat digegerkan oleh kasus penipuan perusahaan penanaman modal terhadap para nasabahnya, yaitu PT. Ibist Consulting Group. Perusahaan yang bergerak dalam bidang konsultasi permodalan, yang menjanjikan keuntungan sebesar 4% bagi para investornya, belakangan, dituntut oleh para nasabahnya, karena perusahaan tidak mampu memenuhi janji yang diberikan sebelumnya. Penelitian lebih jauh oleh pihak kepolisian, menemukan adanya praktek-praktek mengandung adanya unsur penipuan.




BAB II
KORPORASI

A. Pengertian Korporasi
Menurut Loebby Loqman yang dimaksud dengan korporasi adalah suatu kumpulan dagang yang sudah berbadan hukum , sedangkan Gillies beranggapan korporasi atau perusahaan yakni orang atau manusia di mata hukum yang mampu melakukan sesuatu sebagaimana yang dilakukan oleh manusia, maka diakui oleh hukum seperti memiliki kekayaan, melakukan kontrak, dan dapat dipertanggung jawabkan atas kejahatan yang dilakukan . Dilain pihak Subekti memandang bahwa badan hukum atau korporasi itu misalnya, suatu perkumpulan dagang yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan orang atau yayasan, atau bentuk-bentuk korporasi lainnya.
Di jaman modern, korporasi merupakan bentuk organisasi bisnis yang paling penting. Ia berkembang menjadi institusi yang sangat penting bukan saja dalam dunia bisnis yang mencari keuntungan, tetapi juga sebagai bentuk organisasi public dan swasta yang tujuannya tidak mencari keuntungan. Korporasi telah tumbuh menjadi konsep yang canggih dalam bekerja sama dan mengumpul modal. Perdagangan pada masyarakat primitive dilakukan secara individual, dan paling jauh dalam kelompok keluarga. Menurut Sulaiman tentang korporasi, Korporasi terbentuk ketika orang-orang mulai berhimpun (mengorganisasikan diri) untuk keperluan mengumpulkan capital (modal) .

B. Kejahatan Korporasi
Black’s Law Dictionary menyebutkan kejahatan korporasi atau corporate crime adalah any criminal offense committed by and hence chargeable to a corporation because of activities of its officers or employees (e.g., price fixing, toxic waste dumping), often referred to as “white collar crime .
Kejahatan korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh dan oleh karena itu dapat dibebankan pada suatu korporasi karena aktivitas-aktivitas pegawai atau karyawannya (seperti penetapan harga, pembuangan limbah), sering juga disebut sebagai “kejahatan kerah putih”. Sally. A. Simpson yang mengutip pendapat John Braithwaite menyatakan kejahatan korporasi adalah "conduct of a corporation, or employees acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable by law" .
Simpson menyatakan bahwa ada tiga ide pokok dari definisi Braithwaite mengenai kejahatan korporasi. Pertama, tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas sosioekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi. Kedua, baik korporasi (sebagai "subyek hukum perorangan "legal persons") dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors), dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan. Ketiga, motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional.
Kejahatan korporasi mungkin tidak terlalu sering kita sering dalam pemberitaan-pemberitaan kriminil di media. Aparat penegak hukum, seperti kepolisian juga pada umumnya lebih sering menindak aksi-aksi kejahatan konvensional yang secara nyata dan faktual terdapat dalam aktivitas sehari-hari masyarakat. Ada beberapa beberapa faktor yang mempengaruhi hal ini. Pertama, kejahatan-kejahatan yang dilaporkan oleh masyarakat hanyalah kejahatan-kejahatan konvensional. Penelitian juga menunjukkan bahwa aktivitas aparat kepolisian sebagian besar didasarkan atas laporan anggota masyarakat, sehingga kejahatan yang ditangani oleh kepolisian juga turut bersifat konvensional. Kedua, pandangan masyarakat cenderung melihat kejahatan korporasi atau kejahatan kerah putih bukan sebagai hal-hal yang sangat berbahaya,dan juga turut dipengaruhi. Ketiga, pandangan serta landasan hukum menyangkut siapa yang diakui sebagai subjek hukum pidana dalam hukum pidana Indonesia. Keempat, tujuan dari pemidanaan kejahatan korporasi adalah lebih kepada agar adanya perbaikan dan ganti rugi, berbeda dengan pemidanaan kejahatan lain yang konvensional yang bertujuan untuk menangkap dan menghukum. Kelima, pengetahuan aparat penegak hukum menyangkut kejahatan korporasi masih dinilai sangat minim, sehingga terkadang terkesan enggan untuk menindaklanjutinya secara hukum. Kelima, kejahatan korporasi sering melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dengan status sosial yang tinggi. Hal ini dinilai dapat mempengaruhi proses penegakan hukum.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia memang hanya menetapkan bahwa yang menjadi subjek tindak pidana adalah orang persorangan (legal persoon). Pembuat undang-undang dalam merumuskan delik harus memperhitungkan bahwa manusia melakukan tindakan di dalam atau melalui organisasi yang, dalam hukum keperdataan maupun di luarnya (misalnya dalam hukum administrasi), muncul sebagai satu kesatuan dan karena itu diakui serta mendapat perlakuan sebagai badan hukum atau korporasi. Berdasarkan KUHP, pembuat undang-undang akan merujuk pada pengurus atau komisaris korporasi jika mereka berhadapan dengan situasi seperti itu. Sehingga, jika KUHP Indonesia saat ini tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk pertanggungjawaban pidana oleh korporasi, namun hanya dimungkinkan pertanggungjawaban oleh pengurus korporasi. Hal ini bisa kita lihat dalam pasal 398 KUHP yang menyatakan bahwa jika seorang engurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai andil Indonesia atau perkumpulan korporasi yang inyatakan dalam keadaan pailit atau yang diperintahkan penyelesaian oleh pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun 4 bulan: 1. jika yang bersangkutan turut membantu atau mengizinkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan anggaran dasar, sehingga oleh karena itu seluruh atau sebagian besar dari kerugian diderita oleh perseroan, maskapai, atau perkumpulan...(dan seterusnya).
Di Belanda sendiri, sebagai tempat asal KUHP Indonesia, pada tanggal 23 Juni 1976, korporasi diresmikan sebagai subjek hukum pidana dan ketentuan ini dimasukkan kedalam pasal 51 KUHP Belanda (Sr.), yang isinya menyatakan antara lain:
1. Tindak pidana dapat dilakukan baik oleh perorangan maupun korporasi;
2. Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh korporasi, penuntutan pidana dapat dijalankan dan sanksi pidana maupun tindakan yang disediakan dalam perundang-undangan—sepanjang berkenaan dengan korporasi—dapat dijatuhkan. Dalam hal ini, pengenaan sanksi dapat dilakukan terhadap
2.1. korporasi sendiri, atau
2.2. mereka yang secara faktual memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana yang dimaksud, termasuk mereka yang secara faktual memimpin pelaksanaan tindak pidana dimaksud, atau
2.3. korporasi atau mereka yang dimaksud di atas bersama-sama secara tanggung renteng.
3. Berkenaan dengan penerapan butir-butir sebelumnya, yang disamakan dengan korporasi: persekutuan bukan badan hukum, maatschap (persekutuan perdatan), rederij (persekutuan perkapalan) dan doelvermogen (harta kekayaan yang dipisahkan demi pencapaian tujuan tertentu; social fund atau yayasan).
Meskipun KUHP Indonesia saat ini tidak mengikutsertakan korporasi sebagai subyek hukum yang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, namun korporasi mulai diposisikan sebagai subyek hukum pidana dengan ditetapkannya UU No.7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
Kemudian kejahatan korporasi juga diatur dan tersebar dalam berbagai undang-undang khusus lainnya dengan rumusan yang berbeda-beda mengenai “korporasi”, antara lain termasuk pengertian badan usaha, perseroan, perusahaan, perkumpulan, yayasan, perserikatan, organisasi, dan lain-lain, seperti :
- UU No.11/PNPS/1964 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi
- UU No.38/2004 tentang Jalan
- UU No.31/1999 jo. UU No.21 tahunn 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- dan lain-lain

Dalam literatur Indonesia juga ditemukan pandangan yang turut untuk mewacanakan menempatkan korporasi sebagai subyek hukum pidana. Seperti misalnya Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH, dalam bukunya “Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia”, menyatakan : Dengan adanya perkumpulan-perkumpulan dari orang-orang, yang sebagai badan hukum turut serta dalam pergaulan hidup kemasyarakatan, timbul gejala-gejala dari perkumpulan itu, yang apabila dilakukan oleh oknum, terang masuk perumusan pelbagai tindak pidana. Dalam hal ini, sebagai perwakilan, yang kena hukuman pidana adalah oknum lagi, yaitu orang-orang yang berfungsi sebagai pengurus dari badan hukum, seperti misalnya seorang direktur dari suatu perseroan terbatas, yang dipertanggungjawabkan. Sedangkan mungkin sekali seorang direktur itu hanya melakukan saja putusan dari dewan direksi. Maka timbul dan kemudian merata gagasan, bahwa juga suatu perkumpulan sebagai badan tersendiri dapat dikenakan hukuman pidana sebagai subyek suatu tindak pidana.



BAB III
KEJAHATAN BISNIS

Menurut Romli Atmasasmita, istilah "kejahatan bisnis" mengandung makna filosofis, yuridis, dan sosiologis yang patut dicermati sebelum melangkah lebih jauh kepada pembahasan sisi substansi dan implikasinya ke dalam kehidupan transaksi bisnis baik nasional, regional, maupun internasional .
Secara filosofis, pengertian istilah tersebut mengandung makna bahwa telah terjadi perubahan nilai-nilai (values) dalam masyarakat ketika suatu aktivitas bisnis dioperasikan sedemikian rupa sehingga sangat merugikan kepentingan masyarakat luas, seperti kegiatan penanaman modal dalam sektor-sektor swasta yang padat karya atau kegiatan pasar modal yang pemegang sahamnya adalah masyarakat luas termasuk golongan menengah ke bawah. Perubahan nilai tersebut ialah bahwa, kalangan pe¬bisnis sudah kurang atau tidak menghargai lagi kejujuran (honesty) dalam kegiatan bisnis nasional dan internasional demi untuk mencapai tujuan memperoleh keuntungan sebesar-besar¬nya. Bahkan sering etika berbisnis yang sehat dikesampingkan dan tindakan merugikan sesama rekan pelaku bisnis merupakan hal yang biasa sebagai alat untuk mencapai tujuan (unusual business practices).
Dalam konteks tersebut maka pelanggaran-pelanggaran dalam kegiatan bisnis sudah mencapai tingkat yang sangat meng¬khawatirkan jika tidak dapat dikatakan sudah mencapai titik nadir sementara perangkat hukum untuk menemukan pelakunya dan menghukumnya sudah tidak memadai lagi.
Secara singkat dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam kegiatan bisnis sudah tidak dapat ditemukan ketertiban dan kepastian hukum dan karenanya tidak mungkin menemukan keadilan bagi para pelaku bisnis yang beriktikad baik. Konsekuensi logis dari keadaan dan masalah hukum tersebut ialah diperlukan perangkat hukum lain yaitu hukum pidana untuk membantu menciptakan ketertiban dan kepastian hukum serta untuk menemukan keadilan bagi para pelaku yang beriktikad baik dan telah dirugikan.

Faktor-Faktor Pemicu Kejahatan Bisnis
Beberapa factor pemicu terjadinya kejahatan bisnis diidentifikasikan oleh Di dalam menjabarkan pandangan teoritis yang disebutkan di muka ke dalam tolok-ukur operasional yang mencerminkan keadaan dunia ekonomi, kita mem¬pertimbangkan 6 jenis tolok-ukur, yaitu:
1. Siklus resesi dan pemulihan ekonomi pada umum¬nya;
2. Ketidakstabilan ekonomi, atau penyimpangan dari pertumbuhan ekonomi yang lancar pada umum¬nya;
3. Perubahan di dalam struktur ketimpangan ekono¬mi;
4. Seberapa luas subkelompok penduduk tertentu (sosio¬ekonomik atau demografik) cenderung untuk mem¬peroleh atau kehilangan pekerjaan dan pendapatan selama pasang-naik ekonomi dan resesi, dibanding¬kan dengan penduduk pada umumnya;
5. Perubahan jangka panjang di dalam distribusi pendapatan di antara sub-sub kelompok penduduk;
6. Perubahan jangka panjang di dalam tingkat penda¬patan di antara sub-subkelompok penduduk.
Mekanisme dasar yang disinggung oleh seperangkat tolok-ukur ini mencakup:
a) Perubahan di dalam tingkat kesejahteraan eko¬nomi;
b) Perubahan di dalam kedudukan sosio-ekonomi suatu subkelompok penduduk dibandingkan dengan pendu¬duk secara keseluruhan (rata-rata umum) atau terha¬dap subkelompok penduduk tertentu lainnya (ke¬lompok acuan, seperti dalam Merton);
c) Luasnya ketidakmerataan di dalam suatu populasi; tolok-ukur ini akan mendekati deviasi standar (di antara subkelompok) dari pendapatan keseluruhan penduduk;
d) Bentuk yang tepat (struktur piramidal) dari distribu¬si pendapatan. Soal ini menyangkut proporsi relatif pendapatan yang didistribusikan di antara berbagai jenis subpenduduk yang mungkin mengandung sifat patologis atau menguntungkan;
e) Ketidakstabilan ekonomi, atau derajat tingkat penda¬patan dan lapangan kerja, di kalangan penduduk pada umumnya atau pada suatu kelompok penduduk ada¬lah tunduk pada fluktuasi. Dari sudut pandangan psiko¬logi, hal ini merupakan soal pemecahan atau penyesuai¬an diri dengan situasi perubahan itu sendiri. Ketidaksta¬bilan ekonomi ini diukur dengan perbedaan absolut antara trend ekonomi yang mulus dengan data awal ekonomi yang dianggap mewakilinya;
f) Urbanisasi, yang diukur dengan penduduk, kepadatan dan kebhinekaan;
g) Pengukuran dampak negatif perubahan ekonomi:



BAB IV
KETERKAITAN KEJAHATAN BISNIS DAN KEJAHATAN KORPORASI, DAN TINJAUANNYA DALAM KUHP

A. Keterkaitan Kejahatan Korporasi dan Kejahatan Bisnis
Dengan mendasari dari pemikiran para ahli hukum tentang korporasi serta melihat konsep kejahatan korporasi sebagai akar kejahatan white collar crime oleh Clinard dan Yeager bahwa : Kejahatan korporasi merupakan kejahatan white collar, tetapi dengan tipe khusus. Kejahatan korporasi sebenarnya adalah kejahatan organisasi yang terjadi dalam konteks hubungan yang kompleks dan harap-harapan di antara dewan direktur, eksekutif, dan manager disuatu pihak dan diantara perusahaan induk, perusahaan cabang, dan anak perusahaan, dilain pihak .
Konsep kejahatan korporasi merupakan hasil pengembangan yang dilakukan tahap demi tahap, dan itu hanya merupakan upaya untuk menyederhanakan dari kebingungan sehubungan dengan luasnya wilayah kejahatan yang disebut white collar occupations. Juga dengan adanya batasan white collar crime oleh Edelhertz bahwa sebagai tindakan illegal atau serangkaian tindakan illegal yang dilakukan dengan cara-cara non fisik dan dengan penyembunyian atau tipu muslihat, untuk memperoleh uang ataupun harta benda dan untuk memperoleh manfaat perorangan dalam dunia usaha. Maka kejahatan korporasi dapat diartikan sebagai kejahatan terorganisasi (organized crimes) dengan konsep, bentuk dan cara melakukan kejahatan, oleh perorangan atau korporasi, yang dilakukan dengan cara-cara nonfisik dan tipu muslihat guna memperoleh keuntungan materil secara illegal.
Berdasarkan kenyataan yang dikemukakan diatas tentang kejahatan korporasi, dan keterkaitannya dengan kejahatan bisnis bisa dilihat dari prakteknya, yang dimaksud dengan kejahatan bisnis merupakan suatu bentuk terminology hukum secara factual diatur dalam peraturan perundang-undangan yang tersebar, karena kejahatan bisnis sebagai suatu tindak pidana tidak dalam konsep analog. Kejahatan bisnis secara konsepsi dititik beratkan atau diorientasikan kepada metode dan seluruh kegiatan yang menyangkut bisnis atau kegiatan di bidang bisnis, yang dilakukan oleh seseorang untuk kepentingan ekonomi (bisnis) dan biasanya dilakukan oleh korporasi atau secara teroganisir, sehingga ketika membicarakan kejahatan bisnis tidak bisa dilepaskan dari konsep-konsep yang sudah ada dalam konsep kejahatan teroganisir.
Selain itu keberadaan kejahatan korporasi dalam kejahatan bisnis menurut Sulaiman bahwa: Dalam substansinya kejahatan bisnis mengandung anasir: sifatnya korporasi artinya dilakukan secara berkelompok yang masing-masing berperan dengan keahlian masing-masing membentuk suatu sinergi dan aliansi strategis menjadi sesuatu kekuatan yang mandiri dan sangat sulit diterobos oleh tangan hukum. Sehingga kejahatan bisnis merupakan kejahatan teroganisir (organized crimes) .

B. SubJek Hukum Dalam Kejahatan Korporasi
Adanya pemikiran, bahwa perlunya dilakukan perubahan penerapan subyek hukum terhadap kejahatan korporasi, diawali dengan semakin sadarnya masyarakat dunia akan bahaya yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi, dimana korban dari kejahatan korporasi tidak seperti korban kejahatan konvensional. Korban kejahatan konvensional selain terlihat dan dirasakan langsung oleh korban, dapat lebih mudah diwaspadai oleh masyarakat untuk hindari bahaya dari kejahatan konvensional yang dimaksud, sedangkan korban dari kejahatan korporasi selain tidak langsung dirasakan oleh korban secara fisik, kejahatan korporasi lebih banyak memakan korban walau tidak langsung terlihat maupun terasa dampaknya.
Banyaknya korban yang ditimbulkan akibat kejahatan korporasi tetapi tidak terlihat langsung maupun seketika itu dirasakan oleh korban, karena kejahatan tersebut diantaranya menyerang psikis, kesehatan, lingkungan hidup, merusak perekonomian baik terhadap konsumen maupun negara, bahkan mampu mempengaruhi politik suatu negara, dan masih banyak kerugian maupun bahaya lainnya yang dapat terjadi karena kejahatan korporasi.Bersamaan dengan sadarnya masyarakat akan bahaya yang diakibatkan kejahatan korporasi, perkembangan industrialisasi dan kemajuan yang terjadi dalam bidang ekonomi dan perdagangan, memicu berubahnya penerapan subyek hukum dalam kejahatan korporasi.
Selama ini dalam hukum positif yang diatur dalam KUH Pidana hanya manusia yang dapat dijadikan subyek hukum. Kini selain manusia, korporasipun dapat dijadikan sebagai subyek hukum, walaupun saat ini, di Indonesia, kejahatan korporasi baru diajukan dalam RUU KUHP, tetapi untuk menangani kejahatan korporasi, baik yang terlibat dalam kejahatan korporasi maupun penerapan subyek hukum pada manusia dan korporasi, telah diatur dan dinyatakan dalam beberapa perundangan pidana khusus yang ada, Amrullah menjelaskan beberapa diantaranya :
1. Undang-Undang No. 7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, yang disingkat UUTPE. Dalam UUTPE dijelaskan bahwa subyek hukum pada tindak pidana ekonomi adalah disamping perorangan, badan hukum atau korporasi juga dapat dikenakan hukum. Dengan demikian subyek hukum dalam kejahatan korporasi tidak hanya manusia saja namun bisa manusianya, korporasinya atau manusia dengan korporasinya.
2. Undang-Undang No. 25 tahun 2003 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Pada tindak pidana pencucian uang ditentukan bahwa korporasi merupakan subyek hukum pidana, yang dapat dilihat dalam pasal 1 angka 2 yang berbunyi: setiap perseorangan atau korporasi. Penjelasan tentang korporasi diatur dalam pasal 1 angka 3 bahwa korporasi adalah kumpulan orang dan / atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Dengan diakuinya korporasi sebagai subyek hukum pidana dalam tindak pidana pencucian uang, akibatnya apabila tindak pidana dilakukan oleh pengurus dan / atau kuasa pengurus atas nama korporasi, maka penjatuhan pidana dilakukan terhadap pengurus dan / atau kuasa pengurus dan terhadap korporasi (pasal 4 ayat 1).
3. Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, dan beberapa undang-undang lainnya yang didalamnya mengatur tentang korporasi.Dalam undang-undang perbankan, korporasi bukan merupakan subyek hukum pidana yang dapat diancam dengan pidana berdasarkan undang-undang tentang perbankan. Adanya penjelasan hubungan kejahatan korporasi dengan kejahatan bisnis, dengan kata lain adalah kejahatan korporasi di bidang bisnis, dapat diperhatikan bahwa dalam penegakan hukumnya, dapat dijerat dengan Undang-undang Pidana Umum (lex generalis) yang dapat digabungkan dengan pidana khusus (lex spesialis). Dalam kejahatan bisnis bisa dimintakan pertanggung jawaban melalui mekanisme perdata maupun pidana sebab berbicara mengenai korporasi, tidak dapat dilepaskan dari sudut pandang hukum perdata, karena pada awalnya memang hukum perdata yang banyak berhubungan dengan masalah korporasi sebagai subyek hukum, disamping itu orang atau manusia bukanlah satu-satunya subyek hukum, karena masih ada subyek hukum lain yang menurut hukum dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti seorang manusia, mempunyai kekayaan sendiri dan dengan perantaraan pengurusnya dapat digugat dan menggugat dimuka sidang pengadilan.

C. Kejahatan Korporasi Dalam KUH Pidana
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia memang hanya menetapkan bahwa yang menjadi subjek tindak pidana adalah orang persorangan (legal persoon). Pembuat undang-undang dalam merumuskan delik harus memperhitungkan bahwa manusia melakukan tindakan di dalam atau melalui organisasi yang, dalam hukum keperdataan maupun di luarnya (misalnya dalam hukum administrasi), muncul sebagai satu kesatuan dan karena itu diakui serta mendapat perlakuan sebagai badan hukum atau korporasi. Berdasarkan KUHP, pembuat undang-undang akan merujuk pada pengurus atau komisaris korporasi jika mereka berhadapan dengan situasi seperti itu. Sehingga, jika KUHP Indonesia saat ini tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk pertanggungjawaban pidana oleh korporasi, namun hanya dimungkinkan pertanggungjawaban oleh pengurus korporasi.
Hal ini bisa kita lihat dalam pasal 398 KUHP yang menyatakan bahwa jika seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai andil Indonesia atau perkumpulan korporasi yang inyatakan dalam keadaan pailit atau yang diperintahkan penyelesaian oleh pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun 4 bulan: 1. jika yang bersangkutan turut membantu atau mengizinkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan anggaran dasar, sehingga oleh karena itu seluruh atau sebagian besar dari kerugian diderita oleh perseroan, maskapai, atau perkumpulan...(dan seterusnya).
Di Belanda sendiri, sebagai tempat asal KUHP Indonesia, pada tanggal 23 Juni 1976, korporasi diresmikan sebagai subjek hukum pidana dan ketentuan ini dimasukkan kedalam pasal 51 KUHP Belanda (Sr.), yang isinya menyatakan antara lain:
1. Tindak pidana dapat dilakukan baik oleh perorangan maupun korporasi;
2. Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh korporasi, penuntutan pidana dapat dijalankan dan sanksi pidana maupun tindakan yang disediakan dalam perundang-undangan—sepanjang berkenaan dengan korporasi—dapat dijatuhkan. Dalam hal ini, pengenaan sanksi dapat dilakukan terhadap:

a. korporasi sendiri, atau
b. mereka yang secara faktual memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana yang dimaksud, termasuk mereka yang secara faktual memimpin pelaksanaan tindak pidana dimaksud, atau
c. korporasi atau mereka yang dimaksud di atas bersama-sama secara tanggung renteng.
3. Berkenaan dengan penerapan butir-butir sebelumnya, yang disamakan dengan korporasi: persekutuan bukan badan hukum, maatschap (persekutuan perdatan), rederij (persekutuan perkapalan) dan doelvermogen (harta kekayaan yang dipisahkan demi pencapaian tujuan tertentu; social fund atau yayasan).
Meskipun KUHP Indonesia saat ini tidak mengikutsertakan korporasi sebagai subyek hukum yang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, namun korporasi mulai diposisikan sebagai subyek hukum pidana dengan ditetapkannya UU No.7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
Kemudian kejahatan korporasi juga diatur dan tersebar dalam berbagai undang-undang khusus lainnya dengan rumusan yang berbeda-beda mengenai “korporasi”, antara lain termasuk pengertian badan usaha, perseroan, perusahaan, perkumpulan, yayasan, perserikatan, organisasi, dan lain-lain, seperti:


- UU No.11/PNPS/1964 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi
- UU No. 38/2004 tentang Jalan
- UU No. 31/1999 jo. UU No. 21 tahunn 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Dalam literatur Indonesia juga ditemukan pandangan yang turut untuk mewacanakan menempatkan korporasi sebagai subyek hukum pidana. Seperti misalnya Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH, dalam bukunya “Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia”, menyatakan: Dengan adanya perkumpulan-perkumpulan dari orang-orang, yang sebagai badan hukum turut serta dalam pergaulan hidup kemasyarakatan, timbul gejala-gejala dari perkumpulan itu, yang apabila dilakukan oleh oknum, terang masuk perumusan pelbagai tindak pidana.
Dalam hal ini, sebagai perwakilan, yang kena hukuman pidana adalah oknum lagi, yaitu orang-orang yang berfungsi sebagai pengurus dari badan hukum, seperti misalnya seorang direktur dari suatu perseroan terbatas, yang dipertanggungjawabkan. Sedangkan mungkin sekali seorang direktur itu hanya melakukan saja putusan dari dewan direksi. Maka timbul dan kemudian merata gagasan, bahwa juga suatu perkumpulan sebagai badan tersendiri dapat dikenakan hukuman pidana sebagai subyek suatu tindak pidana.
Berbeda dengan aktivitas ekonomi masyarakat primitive yang hanya dilakukan secara individual, atau paling jauh antar kelompok keluarga,maka dalam korporasi modal dihimpun dengan mengikutsertakan pihak-pihak luar (yang bahkan melampaui batas-batas negara). Sedangkan kejahatan, menurut pandangan Kimball (Amrullah, 2006: 5) bukan merupakan fenomena alamiah, tetapi apa yang telah dinyatakan dalam undang-undang sehingga apa yang ditetapkan oleh pembuat undang-undang sebagai kejahatan adalah kejahatan. Kendati masih adanya perbedaan mengenai apa yang disebut dengan kejahatan, namun bila dikaitkan dengan pemikiran Kimball mengenai kejahatan, berarti yang dimaksud dengan kejahatan sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah semua perbuatan manusia yang memenuhi perumusan ketentuan-ketentuan yang disebutkan dalam KUHP.Bisa diasumsikan pengertian tentang kejahatan korporasi didasari adanya pemahaman mengenai korporasi dan kejahatan, secara umum dapat digambarkan bahwa kejahatan korporasi adalah segala jenis kejahatan yang berhubungan dengan korporasi, baik oleh perorangan maupun secara kelompok yang terorganisir, baik adanya korban yang ditimbulkan maupun tidak.


BAB V
SIMPULAN

Pandangan masyarakat cenderung melihat kejahatan korporasi atau kejahatan kerah putih bukan sebagai hal-hal yang sangat berbahaya. Tujuan dari pemidanaan kejahatan korporasi lebih kepada agar adanya perbaikan dan ganti rugi, berbeda dengan pemidanaan kejahatan lain yang konvensional yang bertujuan untuk menangkap dan menghukum. Pengetahuan aparat penegak hukum menyangkut kejahatan korporasi masih dinilai sangat minim, sehingga terkadang terkesan memiliki kendala dalam menindaklanjutinya secara hukum. Kejahatan korporasi sering melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dengan status sosial yang tinggi. Hal ini dinilai dapat mempengaruhi proses penegakan hukum.

No comments: