WELCOME FRIENDS

Selamat datang di blog ini, blog ini di tujukan sebagai kumpulan berita, artikel, pesan dan mungkin hasil pemikiran penulis dengan mengangkat tema sentral Hukum Bisnis, akan tetapi para pembaca juga akan di bawa membaca banyak tulisan-tulisan yang muatan secara materinya tidak berhubungan secara langsung dengan Hukum Bisnis saja, seperti contohnya dimasukannya tulisan mengenai Hukum Pidana, Hukum Tata Negara dan sebagainya, walau begitu adalah Hukum Bisnis yang tetap menjadi sentral utama dari materi muatan blog ini.

Selamat membaca dan di tunggu masukan, pendapat dan mungkin kritikan dari kawan-kawan semua.

28 June 2010

PERANAN LEMBAGA ARBITRASE DALAM MENYELESAIKAN MASALAH KERJASAMA
PENANAMAN MODAL ASING


BAB I
PENDAHULUAN

Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dituangkan dalam suatu Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam GBHN tahun 1999-2004 yang ditetapkan MPR memuat arah kebijakan penyelenggaraan negara, termasuk lembaga tinggi negara dan seluruh rakyat Indonesia, dalam melaksanakan penyelenggaraan negara dan melakukan langkah-langkah penyelamatan, pemulihan, pemantapan, dan pengembangan pembangunan dalam kurun waktu tersebut.
Banyak anggapan bahwa krisis moneter yang terjadi hanya berpengaruh pada sektor pembangunan ekonomi saja, namun nyatanya hal tersebut membawa dampak yang sangat luas bagi pembangunan di berbagai sekotor kehidupan di negara kita. Pembangunan dalam arti seluas-luasnya meliputi segala segi kehidupan masyarakat dan tidak hanya segi kehidupan ekonomi belaka, karena istilah itu pembangunan ekonomi sebenarnya kurang tepat, karena tidak dapat membangun “ekonomi” suatu masyarakat tanpa menyangkutkan pembangunan segi-segi kehidupan masyarakat lainnya.
Pembangunan yang dilakukan pemerintah dalam melakukan eksplorasi sumber daya alam Indonesia, salah satunya dengan mengundang partisipasi pihak asing untuk menggairahkan kegiatan investasi asing di Indonesia, terutama untuk berinvestasi dalam bidang-bidang usaha yang tidak tertutup bagi pihak asing. Mengalirnya penanaman modal asing tersebut tentunya menggairahkan bisnis internasional yang dilakukan di Indonesia. Ketentuan mengenai penanaman modal asing tersebut dimuat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tanggal 10 Januari 1967 tentang Penanaman Modal Asing juncto Undang-Undang No. 11 Tahun 1970 tanggal 7 Agustus 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
Sejak diberikannya keleluasaan penanaman modal, khususnya penanaman modal asing oleh pemerintah Indonesia untuk melaksanakan usahanya di Indonesia melalui UU Nomor 2 Tahun 1967 tentang PMA dan UU Nomor 6 Tahun 1968 tentang PMDN hingga sekarang ini sudah berjalan sekira 37 tahun. Dalam jangka waktu itu, sudah banyak proyek yang dikerjakan, baik dengan modal asing maupun modal dalam negeri, dan sudah banyak pula menghasilkan berbagai macam produk, mulai dari industri jasa, hingga industri pertambangan. Tidak dapat dipungkiri, hasil produksi dari usaha-usaha penanaman modal tersebut sudah banyak dinikmati oleh masyarakat Indonesia.
Mengalirnya penanaman modal asing tentunya menggairahkan bisnis internasional yang dilakukan di Indonesia. Hadirnya penanaman modal, khususnya penanaman modal asing ke Indonesia tentunya akan memberikan atau membawa akibat terhadap negara Indonesia, sehingga dibutuhkan adanya suatu pengaturan yang seimbang agar penanaman modal, khususnya penanaman modal asing di satu pihak, dan pemerintah di lain pihak dapat memetik manfaatnya. Sebagaimana disinyalir oleh banyak pakar bahwa penanaman modal khususnya penanaman modal asing tidak begitu saja menanamkan modalnya di suatu negara, akan tetapi melalui suatu penelitian yang cukup rumit dengan suatu studi kelayakan (feasibility study).
Studi kelayakan itu akan menjadi pedoman bagi setiap penanaman modal apakah dengan modal yang akan ditanamkan itu dapat memberikan keuntungan, rasa aman, ataukah sebaliknya. Hal tersebut menjadi pertimbangan bagi setiap penanam modal dalam menanamkan modalnya di suatu negara disebabkan adanya rasa kekhawatiran yakni terjadinya nasionalisasi terhadap perusahaan yang menggunakan modal asing tanpa melalui prosedur dan ganti rugi yang layak dan sesuai, tidak dipatuhinya perjanjian lisensi penanaman modal asing, tidak terlindunginya hak-hak milik intelektual (intellectual property right) serta adanya kemungkinan perselisihan antara penanaman modal asing dengan pemerintah Indonesia, maupun dengan partner lokal di kemudian hari.
Mengantisipasi hal tersebut, pemerintah Indonesia secara strategis telah meratifikasi konvensi ICSID tahun 1958 dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 LN. 1968 Nomor 32 sebagai salah satu upaya untuk menyelesaikan kemungkinan timbulnya sengketa atau perselisihan antara penanaman modal asing dengan pihak Indonesia, baik oleh pemerintah sendiri, maupun swasta. Kebijaksanaan Indonesia untuk meratifikasi konvensi ICSID didasarkan pada pertimbangan agar dapat menarik penanaman modal asing sebanyak mungkin ke Indonesia, memberikan rasa aman, serta mengupayakan terjadinya penyelesaian perselisihan lewat jasa perwasitan atau lebih dikenal dengan nama arbitrase.



BAB II
PERANAN LEMBAGA ARBITRASE

Kata arbitrase berasal dari kata “arbitrase” (latin), “arbitrage” (Belanda), “arbitration” (Inggris), “schiedspruch” (Jerman), dan “arbitrage” (Prancis) yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh arbiter atau wasit. Pada dasarnya, forum arbitrase telah lama dipraktekkan. Menurut M. Domke, bangsa-bangsa telah menggunakan cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase sejak zaman Yunani Kuno. Praktek ini berlangsung pula pada zaman keemasan Romawi dan Yahudi serta terus berkembang terutama di negara-negara dagang di Eropa seperti Inggris dan Belanda. Kemudian cara cara penyelesaian sengketa ini menyebar ke negara-negara Eropa lainnya. Penyebaran di Prancis berlangsung pada tahun 1250, Skotlandia 1695, Irlandia 1700, dan Denmark 1795. Penyebaran arbitrase sampai pula di Amerika Serikat sebagai akibat berlangsungnya imigrasi besar-besaran dari Eropa.
Perkembangan Arbitrase di Eropa pada saat itu masih dalam bentuknya yang sederhana. Arbitrase pada masa itu memiliki 3 ciri, antara lain:
1. Pada masa tersebut orang menggunakan arbitrase setelah terjadi sengketa, tanpa memperjanjikannya terlebih dahulu sebelum terjadi sengketa.
2. Arbitase dipergunakan untuk menyelesaikan sengketa diantara kerabat, tetangga atau mereka yang hidupnya bersama-sama dan yang berkepentingan agar hubungan mereka terjaga baik.
3. Arbitrator yang dipilihnya adalah mereka yang telah dikenal baik oleh para pihak dan tidak terikat pada adanya ikatan-ikatan tertentu.
Apabila dibandingkan dengan ciri-ciri arbitrase pada masa lampau, saat ini arbitrase telah sangat berkembang. Arbitrase bukan hanya dipergunakan untuk menyelesaikan sengketa antara orang-orang dekat tetapi bahkan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa bisnis bernilai besar. Dewasa ini arbitrase berfungsi tidak hanya sebagai badan penyelesai sengketa, tetapi juga menafsirkan suatu kontrak, memutuskan apakah suatu kontrak telah dilaksanakan, menentukan konsekwensi suatu pelanggaran, dan juga dapat diminta untuk menyempurnakan suatu kontrak yang tidak lengkap. Arbitrase tidak hanya dipergunakan dalam penyelesaian sengketa-sengketa dalam lapangan hukum privat, tetapi juga dalam lapangan hukum publik, bahkan dalam hubungan antar negara (arbitrase internasional publik).



BAB III
MASALAH KERJASAMA PENANAMAN MODAL ASING

Konflik, sengketa, pelanggaran atau pertikaian antara atau terkait dua individu atau lebih dewasa ini telah dan akan terus menjadi fenomena biasa dalam masyarakat. Situasi itu akan semakin merepotkan dunia hukum dan peradilan apabila semua konflik, sengketa atau pertikaian itu diproses secara hukum oleh peradilan.
Perkembangan dunia bisnis atau perdagangan, baik dalam skala nasional, maupun internasional dewasa ini, secara potensial menyebabkan meningkatnya kemungkinan terjadinya sengketa antara pihak terkait. Secara konvensional, suatu penyelesaian sengketa biasa dilakukan melalui mekanisme jalur yudikasi, yaitu melalui proses litigasi di pengadilan atau proses non litigasi di hadapan lembaga arbitrase.
Seiring dengan pesatnya perkembangan transaksi bisnis dalam masyarakat saat ini, akan timbul permasalahan yang lebih kompleks dan tentunya memerlukan suatu perangkat hukum yang dapat menjawab dan memberikan solusi permasalahan yang terjadi. Berkembangnya kerja sama ekonomi internasional dewasa ini mengakibatkan meningkatnya kegiatan atau transaksi bisnis internasional dan tentunya banyak masalah hukum dalam transaksi bisnis internasional tidak jauh berbeda dengan yang dihadapi para pihak dalam transaksi bisnis domestik.
Berbagai masalah atau kendala yang dihadapi oleh para pihak, khususnya pihak pemodal dalam negeri dalam rangka kerja sama (joint venture) dengan penanaman modal asing menimbulkan banyak ketidakpuasan antara kedua belah pihak. Untuk itu, peran pemerintah sangat diperlukan melalui suatu kebijaksanaan yang terarah dan dapat memberikan kepastian hukum serta rasa keadilan di antara kedua belah pihak. Tidak bisa disangkal bahwa dengan adanya suatu usaha kerja sama antara penanaman modal asing dengan modal nasional tentu saja akan melahirkan berbagai implikasi dan salah satunya adalah terjadinya sengketa yang tentunya memerlukan penyelesaian secara tuntas agar tidak menimbulkan imej yang buruk dari penanam modal asing.
Secara umum diketahui bahwa penanaman modal asing, khususnya yang berlokasi di negara-negara berkembang atau sedang berkembang, sangat merasa khawatir dan selalu merasa was-was memikirkan begitu banyak risiko. Hal itu disebabkan karena keadaan politik, sosial, dan ekonomi dari negara-negara berkembang atau sedang berkembang belum stabil, padahal penanaman modal asing membutuhkan suatu keadaan yang bersifat kondusif seperti rasa aman, tertib, serta adanya suatu kepastian atau jaminan hukum dari negara-negara penerima modal. Peran yang sangat menonjol untuk dapat menarik penanaman modal khususnya penanaman modal asing (PMA) dalam melakukan usahanya di suatu negara adalah adanya perangkat peraturan perundang-undangan yang mendukung stabilitas, politik dalam negeri pangsa pasar yang besar.
Adanya berbagai faktor yang dikemukakan oleh beberapa pakar ekonomi yang mendorong penanam modal asing untuk menanamkan modalnya pada suatu negara, khususnya di negara berkembang bukanlah semata-mata disebabkan penanaman modal asing pasti akan dapat mengeruk keuntungan sebanyak mungkin dari penanaman modal yang mereka laksanakan, akan tetapi sebaliknya banyak faktor yang mendasarinya baik ditinjau dari segi ekonomi, politik, maupun dari segi hukum. Sunaryati Hartono menilai bahwa perusahaan asing yang telah mempunyai nama baik sering tidak begitu bergairah untuk menanamkan modalnya di negara-negara berkembang, sebab bukan hanya pasarannya kecil dengan tingkat daya beli masyarakat rendah, akan tetapi administrasi pemerintahan dan struktur masyarakat yang belum bisa dengan cara atau tata kerja seperti yang dilakukan oleh penanaman modal asing. Ditambah lagi dengan adanya tingkat stabilisasi politik yang masih kurang stabil, sehingga mengancam bahaya nasionalisasi.
Berbagai permasalahan yang timbul berkaitan dengan kerja sama (joint venture) yang dilakukan antara modal asing dengan modal nasional, dimulai sejak permulaan suatu usaha kerja sama sampai pada pengelolaan perusahaan. Perlu dipahami oleh para pihak khususnya pemodal nasional bahwa kerja sama merupakan suatu organisasi usaha yang pada prinsipnya bertujuan untuk mendapatkan keuntungan maksimal dengan pengeluaran yang minimal sesuai dengan teori ekonomi.
Adanya kerja sama yang dilakukan antara modal asing dengan modal nasional membawa pula berbagai implikasi baik politik, hukum, maupun ekonomi. Dari segi politik kehadiran penanaman modal asing tentunya membawa segi-segi positif maupun negatif. Segi positifnya adalah membantu untuk meningkatkan tingkat pertumbuhan ekonomi melalui pengelolaan sumber daya ekonomi, memberikan alih teknologi, kemampuan manajemen, skill atau kemampuan untuk dapat mengelola dengan peralatan yang modern serta membuka lapangan kerja baru. Dari sisi negatifnya dapat mengeruk keuntungan melalui praktik-praktik yang tidak wajar, seperti transfer pricing, penyelundupan pajak, penguasaan pasar dengan monopoli, dan sebagainya.
Dari segi hukum perlunya dipahami oleh kedua belah pihak bahwa adanya pertemuan dua sistem hukum yang berbeda baik masalah sifat, karakter, maupun prinsip-prinsipnya. Masih beruntung jika penanaman modal asing itu satu rumpun sistem hukum dengan Indonesia, misalnya dari negara-negara Eropa Kontinental. Hal yang menjadi ganjalan dalam praktik bilama penanaman modal asing itu bersal dari Amerika Serikat, Inggris, ataupun Kanada yang mempunyai sistem hukum yang berbeda dengan Indonesia, yakni dengan “Common Law System” atau “Hukum Anglo-Saxon”. Pada sistem hukum ini perumusan perjanjian yang mendasari suatu kerja sama sangat rumit dan terinci dibandingkan dengan sistem Eropa Kontinental yang tidak terlalu rumit dan rinci. Hal ini harus benar-benar dipahami oleh para penanam modal dalam negeri untuk dapat bekerja sama dengan penanam modal asing. Masalah lainnya adalah “choice of law” atau “pilihan hukum”. Hukum mana yang digunakan untuk mendasari perjanjian kerja sama tersebut agar dalam sengketa nantinya dapat ditentukan posisi hukum kedua belah pihak.
Dari segi ekonomi adalah perimbangan modal kedua belah pihak, pembagian keuntungan, pembagian kerja (manajemen), masalah alih teknologi, serta masalah Indonesianisasi. Ketiga aspek atau segi mendasar tersebut harus diperhatikan oleh kedua belah pihak bilamana akan melaksanakan suatu usaha kerja sama dalam bentuk usaha patungan. Sebab, ketiga aspek tersebut selalu mendapat prioritas utama para penanam modal asing sebelum melakukan suatu kerja sama dengan pihak modal dalam negeri.
Sumantoro membagi dua aspek kerja sama antara penanaman modal asing dengan modal dalam negeri, yakni:
(1) Adanya conflict of interest antara penanaman modal asing negara penerima modal.
(2) Baik buruknya suatu penanaman modal asing bagi negara sedang berkembang.
Menurutnya, conflict of interest pada dasarnya terletak pada motif penanam modal asing untuk meng-generate penghasilan yang diperolehnya, memperkuat posisinya guna mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin atas modal, keahlian, dan teknologi mereka, sedangkan negara penerima modal mempunyai minat untuk memanfaatkan modal asing, teknologi, dan keahlian untuk kepentingan pembangunan negaranya. Aspek kedua adalah penanaman modal asing menambah pendapatan devisa negara melalui penanaman modal di bidang produksi ekspor, di sektor industri penanaman modal asing mengurangi kebutuhan devisa untuk impor, menambah pajak-pajak dan royalti, menambah kesempatan kerja, membuka lapangan kerja baru, menaikkan keterampilan kerja, serta memberikan pengarh modernisasi. Di lain pihak, penanaman modal asing juga mencari keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memperhatikan kondisi negara penerima modal, sewaktu-waktu dapat menarik modalnya (repatriasi modal) serta praktik-praktik yang tidak wajar lainnya.
Permasalahan lain yang sering dijumpai adalah adanya keluhan partner lokal terhadap penanaman modal asing. Sudah lazim terdengar bahwa penanaman modal asing hanya mencari keuntungan saja tanpa memperhatikan partner lokalnya, adanya pelanggaran perjanjian kerja sama yang bersifat teknis operasional seperti alih teknologi tidak jalan, peningkatan kemampuan tenaga kerja lokal tidak berkembang, manajemen yang diterapkan terlalu individualistis, pembagian kerja yang tidak seimbang, dan sebagainya.
Adanya keluhan dari partner lokal terhadap penanaman modal asing dalam kenyataannya tidak seluruhnya benar. Apa yang sering dungkapkan oleh para partner lokal hanyalah merupakan kompensasi saja dalam hal ketidakmampuan lokal untuk dapat bekerja sama dengan pihak asing. Hal tersebut dimungkinkan karena pada kenyataannya, komposisi pemilikan saham atas suatu perusahaan tidak sepenuhnya seimbang antara modal yang ditanamkan oleh pihak asing dan partner lokal. Kadangkala dalam praktik perjanjian kerja sama kurang ditemukan adanya perimbanagn modal antara modal asing dengan modal nasional yang menurut persyaratan pemerintah modal dalam negeri adalah 51% dan modal asing adalah 49%. Komposisi ini diterapkan oleh pemerintah dan merupakan kebijaksanaan untuk meningkatkan perimbanagn modal antara modal asing dengan modal nasional.
Namun apa yang tejadi dalam praktik, tidaklah demikian adanya. Perimbangan modal yang diisyaratkan kadangkala sulit dipenuhi oleh modal nasional, sehingga pihak asing lebih memonopoli kerja sama tersebut. Malah, dijumpai adanya kerja sama usaha patungan antara modal asing dengan modal nasional hanya berlandaskan kepada saling pengertian saja antara pihak asing dengan modal nasional. Lebih tragis lagi, hanya mengatasnamakan adanya kerja sama namun dalam kenyataannya modal nasional tidak pernah ada. Wajar bila penguasaan penuh oleh penanam modal asing atas nama manajemen perusahaan yang mulai dari pengolahan sampai dengan pemasaran meskipun dilakukan dalam benruk kerja sama dengan modal nasional tetap berada dalam kontrol penanaman modal asing.
Harapan pemerintah dan penanam modal dalam negeri untuk memanfaatkan joint venture ini dengan penanaman modal asing sedikit banyaknya belum memperoleh hasil yang memuaskan. Kenyataan yang dijumpai bahwa anggapan pemodal nasional dalam melakukan kerja sama dengan pihak asing akan membawa atau menarik manfaat yang lebih besar dan tentunya akan mendapatkan keuntungan yang besar pula belum tentu memberikan hasil yang maksimal. Sebab, harapan partner lokal terhadap penanaman modal asing adalah tentunya terdapat cara produksi yang modern, ternyata meleset dari perkiraan sebelumnya. Sebab, penanam modal nasional kadang tidak mampu atau jeli melihat suatu teknologi yang diinginkan itu termasuk dalam kategori teknologi yang padat karya ataukah dengan teknologi yang padat modal. Padahal, teknologi yang lebih modern adalah teknologi yang padat modal (capital intensive), sedangkan teknologi yang lebih sederhana adalah teknologi yang padat karya. Dengan penggunaan teknologi yang padat modal oleh penanaman modal asing dilihat dari satu sisi sangat merugikan bila dikaitkan dengan pembukaan lapangan kerja baru. Dari sisi yang lainnya menguntungkan penanam modal oleh karena dengan penggunaan tenaga kerna yang sedikit menghasilkan produksi yang sangat besar. Pilihan ini sangat dilematis bagi pihak penanam modal nasional maupun pemerintah dalam menetapkan kebijaksanaan penerimaan penanaman modal asing.
Permasalahan tentang peningkatan know-how dan penyerapan tenaga kerja dalam kerja sama ini belum memberikan hasil yang maksimal, sehingga harapan yang digantungkan kepada kerja sama ini belum terpenuhi baik dalam perolehan know-how, alih teknologi, peningkatan keterampilan yang disebabkan oleh hal-hal, sebagai berikut:
(1) Pengusaha nasional (modal nasional) yang terlalu status oriented dan lebih senang dengan kedudukan sebagai presiden direktur yang tidak perlu mengerjakan atau memikirkan apa-apa, kecuali dengan membubuhi tanda tangan di bawah kertas-kertas yang disodorkan kepadanya daripada menjadi seorang managing director yang mempuyai tugas cukup berat.
(2) Pihak asing juga tidak rela melepaskan segala rahasia perusahaan apalagi mengadakan alih teknologi, sehingga di samping posisinya sebagai managing director juga prosedur-prosedur yang terjadi di dalam perusahaan joint venture berlangsung di luar pengetahuan partner lokalnya.
Tidak mengherankan bila dari asal mulanya di dalam suatu perjanjian usaha kerja sama kedudukan pihak asing jauh lebih kuat dibandingkan dengan pihak pemodal nasional, oleh karena itu, tidak dipunyainya bargaining position yang memadai. Di samping itu, terdengar keluhan bahwa barang modal yang berupa mesin-mesin (capital equipment) yang dibawa oleh penanam modal asing sebenarnya bukan barang baru (merupakan relokasi industri), akan tetapi merupakan barang-barang bekas yang tidak hanya perlu diperbaiki dulu di Indonesia sebelum digunakan dan pasti akan menjadi besi tua pada saat kontrak kerja sama akan berakhir.
Masalah lain dari penanam modal asing adalah sulit diperoleh counter-part nasional yang cukup banyak memiliki modal dan mampu menjalankan kerja sama dengan pihak asing. Kendala lainnya adalah kurang pekanya pengusaha nasional dalam mengantisipasi partner asingnya dalam hal peningkatan produksinya, sehingga sering produksi berlebihan tidak lagi mendapat perhatian dan menyebabkan lonjakan produksi yang pada akhirnya membawa akibat harga di pasaran menjadi menurun. Jika hal itu terjadi, biasanya kesalahan tersebut ditimpakan kepada partner lokalnya.
Kelemahan lain yang sangat mendasar dijumpai dalam praktik kerja sama antara penanam modal asing dengan modal nasional terletak pada corak, sifat, dan karakter perjanjian kerja sama yang tidak begitu terinci dan pasti. Akibatnya, di dalam menghadapi pelaksanaan perusahaan semua mengenai hal-hal yang sekecil-kecilnya harus dirundingkan kembali, hal mana memakan waktu yang lama dan kesabaran yang besar dari kedua belah pihak. Sebab, kendala yang sering ditemui adalah perbedaan persepsi antara pihak asing dengan modal nasional. Pihak asing menginginkan segala sesuatu yang menyangkut kerja sama itu harus diatur sedemikian rupa agar tidak menimbulkan penafsran. Sebaliknya, pihak modal nasional merasa pihak asing terlalu mempersoalkan hal yang sebetulnya tidak perlu dipersoalkan atau diatur cukup dengan konsesus saja antara kedua belah pihak dan penerapan penafsiran diperlukan bilama terjadi kemacetan dalam hal pelaksanaan perjanjian kerja sama. Perbedaan sikap inilah yang hampir selalu dihadapi oleh penanam modal asing dan pihak negara penerima modal.
Sepanjang menyangkut pengamanan modal, tentunya penanaman modal asing dapat dibenarkan sebab faktor risiko selalu diperhitungkan, baik sebelum dilaksanakannya, maupun sesudah dilaksanakannya perjanjian penanaman modal pada suatu negara agar dapat memperkirakan keuntungan yang bisa mereka dapatkan atau minimal modal mereka tidak diganggu gugat, sebab trauma nasionalisasi tetap membayangi setiap langkah mereka.
Pengalaman negara kita sendiri telah menunjukkan pasang surutnya sikap pemerintah terhadap penanaman modal, khususnya penanaman modal asing (PMA). Dari zaman penjajahan, orde lama, orde baru, hingga zaman reformasi, memiliki ciri tersendiri dalam sikap menghadapi penanaman modal asing. Bahkan, pada zaman reformasi ini kebijaksanaan pemerintah terhadap penanaman modal mengalami pula pasang surut. Kadang, mengadakan pembatasan melalui kebijaksanaan persyaratan yang sangat ketat seperti halnya kebijaksanaan persyaratan pada tahun 1974 tepatnya 22 Januari 1974 serta peninjauan berbagai macam kerja sama khususnya peninjauan kontrak karya minyak yang dilakukan oleh PT Pertamina dengan penanaman modal asing sebagai suatu kasus.
Dengan demikian, pelaksanaan suatu usaha kerja sama antara penanaman modal asing dengan modal nasional memerlukan penanganan yang sangat serius serta membutuhkan adanya sikap profesionalisme dari kedua belah pihak guna menghindari hal-hal yang timbul dari pelaksanaan perjanjian joint venture. Pihak modal nasional juga harus menyadari bahwa suatu usaha kerja sama joint venture dengan modal asing memerlukan pengaturan yang sangat rinci agar nantinya setiap sengketa yang timbul dapat diselesaikan sesuai dengan perjanjian kerja sama yang telah dibuat oleh kedua belah pihak.


BAB IV
PERANAN LEMBAGA ARBITRASE DALAM MENYELESAIKAN MASALAH KERJASAMA PENANAMAN MODAL ASING

Dalam kehidupan bermasyarakat, supaya hubungan itu berjalan dengan baik dobutuhkan aturan berdasarkan mana orang melindungi kepentingannya dari menghormati kepentingan dan hak orang lain sesuai dengan hak dan kewajiban yang ditentukan aturan (hukum) itu. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan daripada nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu.
Dalam kegiatan pembangunan saat ini, di mana hal itu dilakukan dengan suatu proses perubahan yang cepat, namun dengan tetap memperhatikan pelaksanaan secara teratur dan tertib, tentunya hukum sangat diperlukan. Dengan demikian, hukum harus tampil ke depan, menunjukkan arah dan memberi jalan bagi pembaruan.
Adanya keinginan untuk menyelesaikan setiap sengketa penanaman modal asing lewat jasa perwasitan atau arbitrase merupakan konsekuensi logis dari setiap pelaksanaan perjanjian kontrak yang dilakukan oleh pihak penanam modal asing dengan pihak pemerintah Indonesia lewat perjanjian jaminan investasi (investment guarantee) yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dengan beberapa negara penanam modal asing. Dalam hal pelaksanaan penanaman modal asing itu memakai bentuk kerja sama joint venture dengan partner lokal, maka hal itu berasal dari klausul perjanjian yang dibuat antara penanam modal asing dengan modal nasional di mana dicantumkan penyelesaiannya dilakukan oleh suatu badan perwasitan atau arbitrase. Syarat perwasitan tersebut sering dipilih oleh para pihak yang bersengketa disebabkan prosedurnya dapat dipermudah dan putusan perwasitan adalah mengikat para pihak dan tidak dapat dibanding pada instansi peradilan yang lebih tinggi. Lagipula persoalannya sangat teknis operasional, sehingga sukar untuk dimengerti oleh hakim dari badan peradilan.
Pada umumnya, lembaga arbitrase ini mempunyai kelebihan dari cara-cara penyelesaian sengketa lainnya, antara lain:
1. Terhindar dari kelambatan-kelambatan yang diakibatkan oleh hal-hal prosedural dan administratif.
2. Pihak-pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya paling dapat mengerti kepentingan pihaknya serta mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan.
3. Phak-pihak yang dapat memilih hukum apa yang akan diterapkan untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase ini.
4. Ptusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat pihak-pihak dan dengan melalui prosedur sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Adanya arbitrase dalam International Bank of Reconstruction and Development (IBRD) yang menyelenggarakan suatu konvensi untuk memberikan perlindungan yang memadai bagi para penanam modal asing dengan suatu “multilateral agreement” khususnya penanaman modal asing yang berada dalam negara-negara sedang berkembang. Namun demikian, usaha-usaha untuk melindungi penanaman modal, khususnya penanaman modal asing tidak banyak memberikan hasil. Oleh karena itu, usaha tersebut kemudian dialihkan ke arah yang lebih praktis, yakni mencari suatu prosedur bagi suatu lembaga yang efektif yang dapat menyelesaikan sengketa-sengketa yang disebabkan penanaman modal asing.
Usaha itu kemudian terwujud pada tahun 1965 dengan diselenggarakannya “Convention on the Settlement of Investment Dispute Between States and Nationals of Other States” dan diratifikasi oleh 64 negara sebagai penanda tangan konvensi. Indonesia menandatangani konvensi ini pada 16 Februari 1968, kemudian mencatat ratifikasinya pada 28 September 1968. Konvensi ini diratifikasi melalui UU Nomor 5 Tahun 1968 dan mengikat sejak 28 Oktober 1968.
Konvensi ini juga menetapkan secara tegas bahwa sengketa antara negara dengan warga negara asing mengenai penanaman modal asing yurisdiksinya meliputi setiap legal dispute yang timbul sebagai akibat langsung dari penanaman modal asing. Pengertian legal dispute sebagai conflict of rights yang dipertentangkan dengan conflict of interest yang berada di luar kewenangan dari center ini. Sengketa harus menyangkut adanya atau luasnya suatu hak atau kewajiban berdasar hukum atau sifat dan besarnya ganti rugi yang harus diberikan karena pelanggaran suatu kewajiban hukum.
Arbitrase dapat diartikan sebagai suatu proses yang sederhana yang dipilih para pihak untuk menyelesaikan suatu perselisihan atau sengketa dengan suatu keputusan final. Persyaratan perwasitan dalam rangka penanaman modal asing paling banyak dicantumkan adalah penyelesaian perwasitan menurut konvensi Bank Dunia (World Bank) yang lebih dikenal dengan “International Center for The Settlement of Dispute” (ICSID). Dengan adanya lembaga ICSID ini, membuka kemungkinan bagi penanaman modal asing yang menanamkan modalnya di Indonesia bilamana mereka menganggap telah diperlakukan kurang wajar oleh pihak pemerintah Indonesia dapat mengajukan gugatan atau klaim sengketa tentang penanaman modal asing yang merupakan sengketa hukum (legal dispute) kepada dewan arbitrase ICSID yang berkedudukan di Washington DC yang akan diselenggarakan menurut “The convention of the settlement of investment dispute between states and national of other states”.
Pembentukan lembaga ICSID ini merupakan prakarsa dari direktur eksekutif Bank Dunia (World Bank) yang berkedudukan di Washington DC., Amerika Serikat yang mengusulkan kepada negara-negara anggotanya dengan tujuan untuk merangsang masuknya modal asing kepada negara-negara yang sedang berkembang. Menurut pertimbangannya bahwa setiap perselisihan mengenai penanaman modal asing di suatu negara diselesaikan menurur ketentuan dan tata cara setempat apakah lewat peradilan atau perwasitan (arbitrase). Pengalaman menunjukkan, sering untuk kepentingan penanam modal asing menginginkan adanya suatu penyelesaian sengketa lewat pihak yang dianggap netral dan menurut cara penyelesaian yang bersifat internasional.
Bank Dunia secepatnya mencari jalan keluar dari setiap permasalahan yang timbul terhadap penanaman modal asing dengan memprakarsai suatu konvensi pada tahun 1958 yang diselenggarakan guna mencari penyelesaian perselisihan tentang penanaman modal asing yang sering timbul antara pihak penanam modal asing dengan negara penerima modal asing. Konvensi Bank Dunia itu secara resmi mulai berlaku pada 4 Oktober 1968 setelah mendapat ratifikasi dari duapuluh negara sesuai dengan Pasal 68 ayat (2) dari konvensi tersebut.
Penyelesaian perselisihan yang diberikan oleh konvensi Bank Dunia itu diupayakan dengan jalan konsiliasi, yaitu berupa usul yang tidak mengikat dari arbitrase atau perwasitan yang putusannya mengikat bagi para pihak kalau dianggap perlu setelah konsiliasi dapat dilanjutkan dengan perwasitan. Sebagai badan pelaksana dari konvensi tersebut kemudian dibentuk lembaga ICSID yang merupakan suatu lembaga internasional yang berdiri sendiri.
Sudarto Gautama menyatakan bahwa penyelesaian sengketa terhadap penanaman modal asing tidak semudah yang kita duga, karena menyangkut perselisihan penanaman modal yang melibatkan dua sistem hukum atau lebih, sehingga penyelesaiannya bukan ditentukan oleh hukum yang berlaku dalam wilayah Indonesia saja, tetapi dengan melalui suatu prosedur konsiliasi atau arbitrase.
Perkembangan dunia bisnis atau perdagangan, baik dalam skala nasional, maupun internasional dewasa ini, secara potensial menyebabkan meningkatnya kemungkinan terjadinya sengketa antara pihak terkait. Secara konvensional, suatu penyelesaian sengketa biasa dilakukan melalui mekanisme jalur ajudikasi, yaitu melalui proses litigasi di pengadilan atau proses non litigasi di hadapan lembaga arbitrase.
Dalam hal terjadinya suatu masalah dalam pemenuhan prestasi suatu kontrak, maka akan terjadi suatu sengketa antara para pihak. Penyelesaian sengketa yang bersifat efektif merupakan keinginan setiap pihak yang terlibat dalam transaksi bisnis. Salah satu alasan yang menjadi dasar pertimbangannya adalah terjadinya suatu sengketa akan hampir mutlak menjadi hambatan dalam perwujudan prediksi-prediksi bisnis. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dicari sistem penyelesaian sengketa yang kondusif bagi dunia bisnis, sesuai dengan perkembangan dunia perekonomian dan perdagangan, yaitu sistem penyelesaian sengketa yang cepat dan murah (quick and lower in time and money to parties).

Sistem penyelesaian sengketa yang cepat dan murah serta telah lama dikenal adalah arbitrase. Peran badan arbitrase dalam menyelesaikan sengketa-sengketa bisnis di bidang perdagangan nasional dan internasional dewasa ini menjadi semakin penting. Banyak kontrak nasional dan internasional menyelipkan klausula arbitrase. Bagi kalangan bisnis, cara penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase yang memberi keuntungan sendiri keuntungan sendiri daripada melalui badan peradilan nasional. Arbitration Clause merupakan sumber filsafah, sumber hukum, dan sumber yurisdiksi bagi semua pihak yang terkait dalam suatu sengketa yang diselesaikan melalui lembaga arbitrase maupun (ADR).
Pada dasarnya, prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang dengan tegas diakui dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia tidak saja memberikan kebebasan kepada para pihak yang berkontrak untuk mengajukan poin-poin perikatan yang akan disepakati dan dilaksanakan bersama dalam kontrak, akan tetapi memberikan juga kebebasan kepada para pihak tersebut untuk memilih atau menyepakati langkah penyelesaian sengketa di luar proses pengadilan sebagai alternatif penyelesaian sengketa, bila di kemudian hari terdapat permasalahan yang tidak dapat diselesaikan secara musyawarah oleh para pihak dalam menjalankan kesepakatan-kesepakatan dalam kontrak tersebut.
Adanya kebebasan para pihak dalam suatu penentuan pilihan hukum bukanlah tanpa batas. Terdapat beberapa batasan terhadap pilihan hukum para pihak dalam kontrak adalah:
1. Tidak melanggar ketertiban umum
2. Meliputi hanya bidang hukum kontrak
3. Tidak boleh mengenai hukum kontrak kerja
4. Tidak boleh mengenai ketentuan perdata yang bersifat publik.

Pengajuan gugatan oleh para pihak kepada lembaga International on the Settlement of Dispute (ICSID) di Washington DC sebagai akibat adanya sengketa atau perselisihan penanaman modal asing antara pemerintah dan swasta nasional. Mengingat bahwa lembaga ICSID merupakan suatu lembaga arbitrase yang bersifat privat, berkenaan dengan itu syarat terpenting untuk dapat memajukan gugatan atau tuntutan atau klaim terhadap pemerintah atau partner lokal penerima modal asing adalah adanya persetujuan untuk dapat diajukan melalui dewan arbitrase ICSID.
Dalam ketentuan konvensi ICSID ditetapkan bahwa syarat yang terpenting suatu negara dapat digugat di hadapan arbitrase ICSID ialah harus ada legal dispute yang timbul secara langsung terhadap penanaman modal asing di mana sengketa tersebut antara suatu negara peserta dengan seorang warga negara dari para peserta konvensi. Juga merupakan syarat yang harus dipenuhi adalah para pihak harus memberikan persetujuannya secara tertulis, di mana para pihak menyetujui untuk memilih jalan arbitrase guna menyelesaikan sengketa mereka.
Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Konvensi ICSID ditetapkan bahwa “para pihak tidak dapat menarik secara sepihak bilamana telah mengadakan perjanjian sebelumnya”. Selain itu, dalam Pasal 25 ayat (3) ditetapkan pula persyaratan bahwa “dalam suatu persoalan yang diajukan kepada arbitrase masih diperlukan persetujuan dari pemerintah negara yang digugat dalam hal ini negara penerima modal”. Hal ini berkaitan juga dengan Pasal 25 ayat (1) dari konvensi yang menyatakan bahwa “Center baru mempunyai yuridikasi apabila kedua belah pihak yaitu si penanam modal asing dan pemerintah suatu negara menyetujuinya”. Dengan adanya persyaratan ini, menimbulkan pertanyaan apakah pemerintah sudah merasa terikat atau telah menyetujui untuk dibawa ke depan arbitrase sesuai dengan ratifikasi dari UU Nomor 5 Tahun 1968. Dalam penjelasan undang-undang tersebut dikemukakan bahwa walaupun konvensi tersebut tidak berlaku untuk suatu negara, namun tidaklah ada suatu kewajiban untuk menyelesaikan setiap perselisihan menurut konvensi.
Dalam praktiknya, hal itu dilakukan dengan persetujuan secara tertulis, dan persetujuan itu bersifat mengikat dan tidak dapat ditarik kembali. Persetujuan tertulis tersebut dapat diwujudkan dalam suatu perundang-undangan dari negara peserta dengan warga negara dari peserta lain. Juga persetujuan dapat diberikan secara ad hoc kompromis untuk menyelesaikan suatu prsengketaan penanaman modal asing tertentu.
Melalui ketentuan dan persyaratan yang ditetapkan oleh ICSID merupakan lembaga terakhir dalam penyelesaian sengketa penanaman modal asing sekaligus merupakan upaya terakhir dari para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka. Dengan demikian, putusannya tidak bisa diadakan banding atau kasasi tetapi masih dimungkinkan dengan jalan meminta atau memohon pembatalan putusan (annulment).
Pengajuan alasan untuk memajukan gugatan kepada lembaga ICSID harus dinyatakan secara tegas dalam gugatan yang diajukan. Bilamana alasan diajukan dalam gugatan tersebut tidak jelas dan menjadi kabur, maka gugatan itu akan ditolak dan dinyatakan kabur (obscribe libel) sehingga gugatan dapat dimajukan ulang. Oleh karena itu, para pihak yang bersengketa baik dari pihak penanaman modal asing maupun pemerintah atau swasta perlu memperhatikan secara saksama, teliti, dan berhati-hati dalam mengajukan gugatan agar tidak mengalami kegagalan dan mengakibatkan kerugian dari para pihak itu sendiri.
Selanjutnya, yang menjadi dasar bagi dewan arbitrase untuk dapat menangani perselisihan atau sengketa yang diajukan kepadanya yakni apakah telah dicapainya pemufakatan oleh para pihak yang diwujudkan dalam suatu “arbitrator clause”, di mana dalam perjanjian kedua belah pihak telah dinyatakan bahwa bilamana terjadi sengketa atau perselisihan di antara mereka akan diajukan ke depan dewan arbitrase ICSID untuk dapat diselesaikan dengan ketentuan bahwa putusan dewan adalah “final and binding” yang menutup kemungkinan untuk mengajukan banding atau kasasi terhadap putusan yang telah ditetapkan terkecuali dengan jalan memohon untuk meminta “pembatalan keputusan” (annulment) oleh para pihak.
Menurut Pasal III konvensi setiap negara peserta konvensi harus mengakui putusan arbitrase sebagai putusan yang mengikat atau binding atau final, serta harus melaksanakan eksekusi menurut aturan hukum acara yang berlaku dalam wilayah negara di mana putusan arbitrase yang bersangkutan dimohon eksekusi. Pasal ini mengatur bahwa setiap putusan arbitrase bersifat mengikat (binding) para pihak sebagai putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Putusan arbitrase bersifat final, dalam arti merupakan putusan tingkat akhir dan tidak ada upaya banding atau kasasi terhadapnya, serta negara yang diminta untuk melaksanakan harus menjalankan eksekusi putusan.
Putusan arbitrase itu bersifat “final”, yakni putusan pertama dan terakhir, dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta secara langsung mengikat (binding) bagi para pihak. Sebagai suatu putusan yang bersifat final, maka dengan demikian, terhadap putusan arbitrase tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum seperti perlawanan, banding, kasasi, atau peninjauan kembali.
Sering ditemui adanya kontrak yang dilakukan oleh para pihak dalam rangka penanaman modal asing tidak ditemukan adanya pilihan hukum (choice of law) sehingga menimbulkan kesulitan oleh para arbitrator dalam menerapkan hukum yang mana akan digunakan dalam menyelesaikan sengketa yang diajukan kepadanya. Namun sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 24 ayat (1) konvensi ditetapkan bahwa hukum yang harus digunakan sebagai dasar memutus sengketa adalah hukum dari negara peserta yang menjadi pihak dalam sengketa tersebut (hot state). Hal ini sesuai pula dengan kenyataan pada umumnya penanaman modal asing dilakukan di negara peserta yang sedang diperkarakan. Oleh sebab itu, hukum yang digunakan haruslah hukum dari negara tersebut (the law of the host state of country). Alasannya, adalah pada negara di mana dilaksanakan penanaman modal asing yang selalu menghadapi masalah-masalah berkenaan dengan penanaman modal asing, sehingga mempunyai titik taut terbanyak dalam pelaksanaan penanaman modalnya.
Pengaturan terhadap penyelesaian sengketa penanaman modal asing di Indonesia dijabarkan ke dalam UU Nomor 5 Tahun 1968 dan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 1990. Dalam Pasal 3 UU Nomor 3 Tahun 1968 dikemukakan bahwa:
1) Untuk melaksanakan putusan arbitrase sebagaimana dimaksud tersebut mengenai perselisihan antara Republik Indonesia dengan warga negara asing di wilayah Indonesia, diperlukan surat pernyataan Mahkamah Agung bahwa putusan tersebut harus dilaksanakan.
2) Mahkamah Agung mengirimkan surat pernyataan termaksud dalam sub 1 di atas kepada pengadilan negeri dalam daerah hukum mana putusan itu harus dijalankan dan memerintahkan untuk melaksanakannya.
3) Surat pernyataan dan perintah yang dimaksud dalam sub 2 di atas disampaikan kepada pengadilan negeri yang bersangkutan melalui pengadilan tinggi yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan.


BAB V
KESIMPULAN

1. Pelaksanaan suatu usaha kerja sama antara penanaman modal asing dengan modal nasional memerlukan penanganan yang sangat serius serta membutuhkan profesionalisme dari kedua belah pihak guna menghindari hal-hal yang timbul dari pelaksanaan perjanjian joint venture. Pihak modal nasional juga harus menyadari bahwa suatu usaha kerja sama joint venture dengan modal asing memerlukan pengaturan yang sangat rinci agar nantinya setiap sengketa yang timbul dapat diselesaikan dengan baik.
2. Keinginan untuk menyelesaikan setiap sengketa penanaman modal asing lewat lembaga arbitrase merupakan konsekuensi logis dari setiap pelaksanaan perjanjian kontrak yang dilakukan oleh pihak penanam modal asing dengan pihak pemerintah Indonesia lewat perjanjian jaminan investasi (investment guarantee) yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dengan beberapa negara penanam modal asing.
3. Pelaksanaan keputusan arbitrase dalam wilayah Indonesia dibatasi hanya untuk perselisihan antara warga negara asing dengan pemerintah Indonesia mengenai penanaman modal asing di Indonesia, dan tidak dimungkinkan keluar dari ketentuan yang dimaksud. Bahkan Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat menolak atau berwenang untuk menyatakan putusan dari dewan arbitrase tidak dapat dilaksanakan karena putusan tersebut dirasakan bertentangan dengan ketertiban umum (public policy) dari negara Indonesia.

No comments: