WELCOME FRIENDS

Selamat datang di blog ini, blog ini di tujukan sebagai kumpulan berita, artikel, pesan dan mungkin hasil pemikiran penulis dengan mengangkat tema sentral Hukum Bisnis, akan tetapi para pembaca juga akan di bawa membaca banyak tulisan-tulisan yang muatan secara materinya tidak berhubungan secara langsung dengan Hukum Bisnis saja, seperti contohnya dimasukannya tulisan mengenai Hukum Pidana, Hukum Tata Negara dan sebagainya, walau begitu adalah Hukum Bisnis yang tetap menjadi sentral utama dari materi muatan blog ini.

Selamat membaca dan di tunggu masukan, pendapat dan mungkin kritikan dari kawan-kawan semua.

03 July 2007

Asas Legalitas Dalam Kejahatan Bisnis Ditinjau Dalam Perspektif Teori Hukum

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam kehidupan sehari-hari, setiap anggota masyarakat secara langsung dan tidak langsung selalu diperhadapkan dengan norma-norma hukum, baik secara yuridis formil di atur dalam bentuk peraturan perundang-undangan, adanya hukum kebiasaan dan adanya hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law) atau dikenal dengan sebutan hukum adat.

Berbagai macam kebiasaan, hukum adat dalam suatu masyarakat maupun setiap peraturan perundang-undangan yang ada tidak pernah lepas dengan adanya suatu latar belakang munculnya semua peraturan perundang-undangan tersebut.


 Dalam ilmu hukum, semua peraturan perundang-undangan yang sedang diberlakukan tersebut di sebut dengan istilah hukum positif (ius constitutum), yang tentunya hukum positif tersebut memiliki bentuk yang berbeda dalam setiap negara, bahkan di antara negara-negara yang menganut sistem hukum yang sama (common law system maupun civil law system) perbedaan dan penerapan hukum positif di setiap negara pastilah tetap terjadi.


 Dalam mempelajari hukum positif suatu negara, yang dalam hal ini penulis menyoroti secara khusus pada bangsa Indonesia, maka pastilah yang di lihat dan di telaah adalah berkaitan dengan peraturan-peraturan hukum dengan segala cabang dan permasalahannya, seperti bentuk hukumnya, akibat hukumnya, penerapan pasal-pasal yang terkait, dan sebagainya.


 Tetapi jika hendak menelaah hukum hanya sebatas peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia (hukum positif), maka tentunya akan berhenti hanya sampai di sana dan berakibat terhentinya perkembangan ilmu hukum di Indonesia. Hakikat ingin terus berkembang dan mencapai hakiki hukum yang sesungguhnya membuat penelaahan yuridis tersebut kemudian berkembang mencoba mencapai hal – hal yang lebih dalam, bertanya mengenai hal-hal secara lebih terperinci, dan mencoba menyelesaikan setiap permasalahan tidak sebatas menggunakan peraturan perundang-undangan yang telah ada saja.

Inilah yang membawa keberadaan manusia sebagai makhluk yang bernalar.


Menurut Satjipto Rahardjo, "kemampuan untuk melakukan penalaran yang demikian itu tidak hanya membawa manusia kepada penjelasan yang konkrit … juga untuk "naik" sampai kepada penjelasan-penjelasan yang lebih bersifat filsafat."


 Di sinilah di kenal dalam ilmu hukum yang di sebut dengan TEORI HUKUM.

Teori hukum dapat dikatakan sebagai "kelanjutan dari usaha mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita merekonstruksikan kehadiran teori hukum dengan jelas."


 Dalam dunia ilmu pengetahuan itu sendiri, menurut Satjipto Rahardjo,

"Teori menempati kedudukan yang penting. Ia memberikan sarana kepada kita untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang kita bicarakan secara lebih baik. Hal – hal yang semula tampak tersebar dan berdiri sendiri bisa disatukan dan ditunjukan kaitannya satu sama lain secara bermakna. Teori, dengan demikian memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang dibicarakan.

Teori bisa juga mengandung subjektifitas, apalagi berhadapan dengan suatu fenomen yang cukup kompleks seperti hukum ini. Oleh karena itulah muncul berbagai aliran dalam ilmu hukum, sesuai dengan sudut pandang yang dipakai oleh orang-orang yang tergabung dalam aliran-aliran tersebut."


 Aliran – aliran dalam ilmu hukum itu kemudian terus berkembang seiring dengan perkembangan jaman dan teknologi, aliran – aliran dalam ilmu hukum ini juga yang kemudian melahirkan teori-teori hukum yang hakikatnya lebih bersifat filosofi, ketimbang berwujud yuridis formil.


 Teori hukum akan mempermasalahkan mengenai landasan dari suatu peraturan yang berlaku, mencoba menelaah mengenai keabsahan suatu perundang-undangan, mengenai keadilan dalam penerapan hukumnya, hubungan antara individu dengan penguasa di suatu negara, dan hal-hal lain yang menitikberatkan pada suatu hal yang bersifat abstrak.


 Seperti yang kemudian dipertegas oleh Radbruch, tugas teori hukum adalah membikin jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum samapai kepada landasan filisofisnya yang tertinggi.


 Dalam penulisan ini, penulis menyoroti teori hukum tersebut berkaitan dengan keberadaan asas legalitas yang di kenal dalam hukum pidana. Dalam dunia usaha (bisnis) dikenal yang di namakan kejahatan bisnis, sering juga di tafsirkan dengan kejahatan kerah putih (white collar crime) dan tidak jarang di kenal dengan kejahaan perusahaan / korporasi (corporate crime), akan tetapi menurut penulis sendiri kejahatan bisnis bukan hanya sebatas kejahatan kerah putih atau pun kejahatan korporasi, melainkan menurut penulis kejahatan bisnis adalah tindak pidana yang terjadi dalam dunia usaha, baik yang dilakukan oleh individu maupun korporasi.


 Sekalipun tindak pidana tersebut terjadi dalam dunia bisnis yang jika di lihat dari entitas hukum bisnis itu sendiri adalah hukum perdata, akan tetapi saat terjadi tindak pidana, tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan (setidaknya secara umum) dan tunduk pada keseluruhan asas – asas dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Dan salah satu asas yang menurut penulis paling di kenal dalam hukum pidana adalah asas legalitas.

Asas yang termuat dengan jelas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut berbunyi "Tiada suatu perbuatan boleh di hukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu."


 Asas legalitas ini dalam hukum pidana sangat penting, terutama berkaitan dengan kepastian hukum, hak asasi manusia, maupun rasa keadilan yang hingga saat ini masih terus di pertanyakan dalam banyak penerapan hukum di Indonesia.


 Berkaitan dengan hal tersebut, penulis tertarik untuk membahas dan menuangkannya lebih lanjut mengenai eksistensi asas legalitas ini di hubungkan dengan keberadaan teori – teori hukum yang telah ada dengan membuat judul "PENDEKATAN HUKUM TERHADAP ASAS LEGALITAS DALAM KEJAHATAN BISNIS DITINJAU DALAM PERSPEKTIF TEORI HUKUM"


 


BAB II

KEDUDUKAN ASAS LEGALITAS DALAM KEJAHATAN BISNIS DI INDONESIA


 Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi "Tiada suatu perbuatan boleh di hukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu."

Atau di kenal dalam bahasa Latin berbunyi "Nullum delictum nulla poena sine praevia lege."

Asas yang di populerkan oleh Anselm von Feurbach ini, secara umum merupakan asas yang kemudian di jadikan patokan / pedoman dalam hukum pidana, tentunya berkaitan dengan hal tersebut maka saat terjadi tindak pidana / kejahatan dalam dunia usaha (bisnis), dengan sendirinya tetap tunduk dan tidak boleh mengesampingkan asas legalitas ini.


Menurut E. Utrech konsekuensi dari asas legalitas adalah bahwa, "ada kemungkinan seorang yang melakukan suatu perbuatan yang pada hakekatnya merupakan kejahatan, tetapi tidak disebut oleh hukum sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum, tinggal tidak dihukum."


Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut, maka setidaknya ada 3 hal yang menjadi patokan / pedoman dalam hukum pidana berkaitan dengan hal tersebut, yakni :

  1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
  2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas).
  3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.


 Berdasarkan 3 hal di atas, secara singkat dapat di simak bahwa adanya keharusan aturan undang-undang yang tertulis lebih dahulu, yang dalam teks Belanda di sebutkan "settelijke strafbepaling" yakni aturan pidana dalam perundangan.


 Kemudian yang kedua adalah dalam hukum pidana tidak di kenal (tidak diperbolehkan) adanya analogi dalam pemidanaan, artinya adalah membuat sesuatu yang baru berdasarkan contoh yang sudah ada, sehingga dapat meluas terciptanya "hukum pidana" baru berdasarkan penganalogian itu. Hal ini dalam hukum pidana sangat tidak di perbolehkan, mengingat terjadinya analogi akan membuat kepastian hukum pidana menjadi di ragukan dan bahkan akan terjadi tendesius penerapan hukum pidana yang sewenang-wenang dengan dasar analogi atas suatu peristiwa.


 Hal tersebut sangat tepat jika di lihat dari latar belakang keberadaan asas legalitas tersebut, yaitu dalam sejarahnya memiliki latar belakang yang panjang dan "mengharukan", yakni

"dengan tidak di kenalnya asas legalitas tersebut membuat hingga di zaman Romawi di kenal kejahatan yang di namakan criminal extra ordinaria, artinya : kejahatan – kejahatan yang tidak di sebut dalam undang- undang. Sewaktu hukum Romawi kuno tersebut di terima (diresipieer) di Eropa Barat dalam abad pertengahan, maka pengertian tentang crimina extra ordinaria di terima juga oleh raja- raja yang berkuasa. Dan dengan adanya crimina extra ordinaria lalu di adakan kemungkinan untuk menggunakan hukum pidana itu secara sewenang-wenang, menurut kehendak dan kebutuhan raja-raja itu sendiri. Dalam memuncaknya kekuasaan mutlak (absolutisme) dari raja-raja, yang dinamakan zaman Ancien Regime inilah maka timbul pemikiran-pemikiran tentang pentingnya di tentukan dalam wet lebih dahulu perbuatan-perbuatan yang dapat di pidana, agar penduduk lebih dahulu bisa tahu dan tidak akan melakukan perbuatan tersebut. Montesquieu, J.J Rousseau secara tidak langsung telah mengemukakan pemikiran itu dalam buku mereka, yang kemudian di populerkan oleh sarjana muda Jerman bernama Anselm von Feurbach. Asas inilah yang kemudian di angkat dan mempunyai bentuk sebagai undang-undang dalam Pasal 8 "Declaration des droit de L'homme et du citoyen" di tahun 1789, bunyinya adalah "Tidak ada sesuatu yang boleh di pidana selain karena suatu wet yang ditetapkan dalam undang-undang dan diundangkan secara sah.""


 Menurut penulis, keberadaan kaedah hukum (yang berasaskan legalitas) dan mengandung tujuan mengenai kepastian hukum dan perlindungan hak tersebutlah yang membuat hukum pidana menjadi banyak mengalami perubahan hingga saat ini, terutama mengenai proses peradilan pidana atau pemidanaan terhadap seseorang.


 Sekalipun asas legalitas dalam KUHP Indonesia bertolak belakang / memiliki latar belakang dari ide / nilai dasar "kepastian hukum", namun dalam realitanya kemudian asas legalitas ini kemudian mengalami berbagai penghalusan / pergeseran / perluasan yakni antara lain sebegai berikut :

  1. Terdapat dalam KUHP itu sendiri yakni pada Pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi "Jikalau undang – undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya."
  2. Dalam praktek yurisprudensi dan perkembangan teori hukum pidana, dikenal adanya sifat melawan hukum yang materil.
  3. Dalam hukum positif dan perkembangannya di Indonesia yakni melihat pada Undang Undang Dasar Sementara 1950, Undang – Undang Darurat 1951, asas legalitas tidak semata-mata diartikan sebagai "nullum delictum sine lege", tetapi juga sebagai "nullum delictum sine ius" atau tidak semata-mata di lihat sebagai asas legalitas formal, tetapi juga legalitas material, yaitu dengan mengakui hukum pidana adat, hukum yang hidup atau hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum.


 Jika di satu sisi asas legalitas tersebut "berhasil" membuat lebih terciptanya kepastian hukum dalam hukum pidana di Indonesia, sebaliknya di satu sisi seringkali membuat hukum pidana yang harus tertulis dan membuat tindak pidana tidak akan pernah ada, jika ketentuan pidana dalam undang – undang tidak ada terlebih dahulu, membuat penerapan hukum pidana menjadi terkesan sangat terbatas (limitatif) dan "kaku" dalam penerapannya.


Hal ini dapat terlihat dalam banyak sisi kehidupan dewasa ini , yakni saat bersentuhan dengan hukum pidana dan khususnya asas legalitas ini, terlihat lemahnya penerapan hukum pidana antara lain : subjek tindak pidana hanya orang, tidak adanya sistem perumusan ancaman pidana secara kumulasi dan kumulasi alternatif, tidak adanya pidana minimal khusus, tidak adanya jenis sanksi pidana khusus dan aturan pemidanaan umum / khusus untuk korporasi, belum adanya peraturan mengenai tindak pidana mayantara (cyber crime), dan masih banyak lagi, yang menurut penulis membuat seringkali penerapan hukum pidana (secara in concreto) tidak berjalan dengan baik dan maksimal oleh karena kelemahan / kekurangan dalam perundangan pidana (secara in abstrakto) tidak dapat menyimpangi asas legalitas yang "mewajibkan" adanya suatu peraturan perundangan pidana terlebih dahulu.


Dalam hubungan antara asas legalitas tersebut dengan kejahatan bisnis (business crime), tentunya harus melihat dari mulai diperkenalkannya istilah White Collar Crime oleh seorang kriminolog yang bernama E.H Sutherland pada tahun 1939 di depan American Sosiological Society, yang kemudian oleh beliau di jabarkan lebih lanjut dalam bukunya Principles Of Criminology.


Sutherland merumuskan white collar crime sebagai kejahatan yang dilakukan oleh orang – orang yang memiliki kedudukan sosial yang tinggi dan terhormat dalam pekerjaannya (crime committed by persons of respectability and high sosial status in the course of their occupation). Sutherland juga kemudian menjelaskan bahwa istilah ini digunakan terutama untuk menunjuk kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh para pengusaha (kejahatan bisnis) dan pejabat-pejabat eksekutif yang merugikan kepentingan umum. (cetak tebal oleh penulis).


Menurut American Bar Association hal itu di sebut dengan nama kejahatan ekonomi (economic crime), yang di rumuskan sebagai kegiatan yang tidak sah, tanpa menggunakan kekerasan (non violent) yang terutama menyangkut penipuan, penyesatan, penyembunyian informasi, penggelapan dan manipulasi.

Istilah white collar crime in selain di kenal juga dengan nama economic crime, juga telah di gunakan banyak istilah seperti organizational crime, business crime, corporate crime, syndicated crime, dan masih banyak lagi.


Menurut Munir Fuadi yang di maksud dengan white collar crime adalah "suatu perbuatan (atau tidak berbuat) dalam sekelompok kejahatan yang spesifik yang bertentangan dengan hukum pidana yang dilakukan para profesional, …dengan tujuan untuk melindungi kepentingan bisnis atau kepentingan pribadi, atau untuk mendapatkan uang, harta benda, atau jasa…"


Yang pada simpulannya, selain beberapa pendapat yang telah di kemukakan sebelumnya, penulis menyetujui pendapat bahwa kejahatan bisnis adalah "…tindak pidana dalam bidang keuangan dan perbankan."


Sehingga dengan demikian menurut penulis, ruang lingkup kejahatan bisnis dapat meliputi kejahatan di bidang perbankan (banking crime), kejahatan korporasi (coorporate crime), kejahatan pencucian uang (money laundring), kejahatan di bidang perdagangan, kejahatan mayaranta (cyber crime), dan beberapa bentuk tindak pidana lain dalam bidang keuangan, perbankan dan elektronika.


Keberadaan kejahatan bisnis dalam praktiknya membuat keberadaan asas legalitas menjadi di pertanyakan keberadaannya. Hal ini dikarenakan di satu sisi asas legalitas yang tersirat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP merupakan asas umum dalam ketentuan hukum pidana yang berlaku secara umum sehingga secara mutatis mutandis juga harus di anut dan di terapkan dalam tindak pidana seperti di bidang perbankan, korporasi, perdagangan, kejahatan mayaranta, dan bahkan pencucian uang.

Tetapi kemudian di sisi lain, keberadaan asas legalitas ini justru membuat pencegahan dan penanggulangan terhadap kejahatan bisnis seakan-akan "berjalan di tempat" bahkan seringkali para pelaku tindak pidana tersebut lolos oleh karena mengingat salah satu aspek dalam rangka menghormati dan sekaligus penerapan praktis dari asas legalitas adalah adanya keharusan terlebih dahulu adanya suatu peraturan perundangan yang mengatur perbuatan (kejahatan bisnis) sebelum perbuatan tersebut di lakukan.


Hal inilah yang "mengganjal" laju penegakan hukum pidana di Indonesia, mengingat begitu banyaknya peraturan perundangan pidana yang belum ada aturannya hingga saat ini, bahkan belum ada rancangan undang-undangnya, sehingga seringkali membuat para aparat penegak hukum pidana "kebingungan" saat diperhadapkan dengan kejahatan bisnis tersebut.

Sebut saja seperti coorporate crime, kemudian cyber crime, kejahatan dalam perbankan dan pasar modal yang masih lebih banyak menekankan pada penjatuhan tindakan administratif dan bukan pidana, serta masih banyak lagi yang secara empiris membuat kejahatan bisnis tersebut seolah-olah masih menjadi "kebal hukum" mengingat di satu sisi adanya keharusan tetap di anut dan di junjungnya asas legalitas (yang mensyaratkan peraturan tertulis) dalam hukum pidana tersebut.


 


BAB III

TEORI HUKUM DALAM KAITANNYA DENGAN ASAS LEGALITAS DI INDONESIA


Seperti telah di kemukakan bahwa asas legalitas dalam hukum pidana Indonesia tersirat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi "Tiada suatu perbuatan boleh di hukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu."


Dari bunyi Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut maka dapat di buat suatu pembagian berkaitan dengan asas legalitas tersebut menjadi 3 hal penting,yakni :

  1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
  2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas).
  3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.


Menurut penulis jika dikaitkan dengan teori hukum tentunya membuat keberadaan asas legalitas ini harus di tinjau setidaknya dari 3 (tiga) aspek / sisi seperti :

  1. Dalam latar belakang sejarahnya.
  2. Dalam latar belakang aliran ilmu / falsafahnya.
  3. Dalam perkembangannya hingga di Indonesia.


Hal ini tentunya di haruskan, mengingat bahwa teori hukum adalah "kelanjutan dari usaha mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita merekonstruksikan kehadiran teori hukum dengan jelas."

Teori hukum juga dapat di artikan sebagai "ilmu yang mempelajari tentang pengertian-pengertian pokok dan sistem hukum, yang adalah inti yang sedalam-dalamnya dari hukum."


Teori hukum selalu mempermasalahkan mengenai : "landasan dari suatu peraturan yang berlaku, mencoba menelaah mengenai keabsahan suatu perundang-undangan, mengenai keadilan dalam penerapan hukumnya, hubungan antara individu dengan penguasa di suatu negara, dan hal-hal lain yang menitikberatkan pada suatu hal yang bersifat abstrak." Hal – hal tersebut sering juga di sebut sebagai gambaran identifikasi masalah dalam teori hukum.


  1. Latar Belakang Sejarahnya

    Dalam sejarahnya seperti telah di kemukakan sebelumnya, asas legalitas ini tidak di kenal sebelumnya hingga tahun 1789.

    "dengan tidak di kenalnya asas legalitas tersebut, di zaman Romawi di kenal kejahatan yang di namakan criminal extra ordinaria, artinya kejahatan – kejahatan yang tidak di sebut dalam undang- undang. Sewaktu hukum Romawi kuno tersebut di terima (diresipieer) di Eropa Barat dalam abad pertengahan, maka pengertian tentang crimina extra ordinaria di terima juga oleh raja- raja yang berkuasa. Dan dengan adanya crimina extra ordinaria lalu di adakan kemungkinan untuk menggunakan hukum pidana itu secara sewenang-wenang, menurut kehendak dan kebutuhan raja-raja itu sendiri. Dalam memuncaknya kekuasaan mutlak (absolutisme) dari raja-raja, yang dinamakan zaman Ancien Regime inilah maka timbul pemikiran-pemikiran tentang pentingnya di tentukan dalam wet lebih dahulu perbuatan-perbuatan yang dapat di pidana, agar penduduk lebih dahulu bisa tahu dan tidak akan melakukan perbuatan tersebut. Montesquieu, J.J Rousseau secara tidak langsung telah mengemukakan pemikiran itu dalam buku mereka, yang kemudian di populerkan oleh sarjana muda Jerman bernama Anselm von Feurbach. Asas inilah yang kemudian di angkat dan mempunyai bentuk sebagai undang-undang dalam Pasal 8 "Declaration des droit de L'homme et du citoyen" di tahun 1789, bunyinya adalah "Tidak ada sesuatu yang boleh di pidana selain karena suatu wet yang ditetapkan dalam undang-undang dan diundangkan secara sah."

    Jadi menurut penulis, melihat dari latar belakang sejarahnya, asas legalitas ini lahir akibat kesewenangan yang dilakukan oleh penguasa terhadap anggota masyarakat yang ada, hal ini tercipta oleh karena tidak adanya kepastian hukum yang dapat menciptakan perlindungan yang jelas (secara tertulis) terhadap hukum (pidana) yang berlaku pada saat itu, sehingga membuat setiap anggota masyarakat dapat di jatuhi pidana berdasarkan kehendak dan kebutuhan raja-raja (para penguasa) di jaman itu.


  2. Latar Belakang Ilmu dan Falsafahnya

    Setelah melihat dari latar belakang sejarah lahirnya asas legalitas, maka tentunya secara keilmuan dan filsafatinya, asas ini juga memiliki latar belakang yang sama.

    Latar belakang di masa Romawi yang menjadi titik tolak lahirnya asas legalitas, para ahli filsafat Romawi pada saat itu lebih memusatkan perhatiannya pada masalah bagaimana hendak mempertahankan ketertiban di seluruh kawasan Kekaisaran Romawi yang sangat luas tersebut.

    Sumbangan pemikiran para filsuf masa itu seperti Polybius, Cicero, Seneca, Marcus Aurelius, dan lain – lain, masih banyak pengaruhnya hingga saat ini, akan tetapi di jamannya, para filsuf tersebut lebih banyak menekankan pemikiran mereka pada bidang-bidang kontrak, kebendaan dan ajaran-ajaran tentang kesalahan.

    Pada masa itu, hukum Romawi menjadi di adopsi oleh raja-raja khususnya di Eropa Barat, hal ini menyebabkan nafsu (passion) untuk menguasai satu dengan yang lain menguat dan kepedulian terhadap anggota masyarakat menjadi cenderung menurun dan menyebabkan terciptanya hukum yang intinya menekankan pada kewenangan mutlak (absolut) dari para penguasa yang ada, yang kemudian salah satunya dalam hukum pidana di jaman tersebut di kenal dengan istilah criminal extra ordinaria dan crimina stellionatus.

    Falsafah yang berkembang di jaman tersebut berpusat pada alam semesta, dan kemudian pada manusia, sedangkan hukum yang di gunakan atau di jadikan dasar adalah hukum alam. Latar belakang falsafah ini membuat tidak adanya perhatian yang tinggi terhadap anggota masyarakat dari para penguasa, ilmu yang berkembang tidak mendukung terhadap penerapan keadilan maupun kesejahteraan masyarakat.

    Hal ini kemudian berlanjut pada jaman / masa gelap dan masa skolastik, yang secara perlahan telah semakin berkembang dan semakin memberikan perhatian pada masalah hukum (positif) yang berlaku, akan tetapi belum berhasil membangun rasa keadilan dan kesejahteraan masyarakat serta kepastian hukum yang ideal, tetapi tetap lebih menekankan pada kekuasaan.

    Thomas Aquino, William Occam dan St Agustinus mencoba menjembatani filsafat Yunani dan alam pikiran Kristen dalam usahanya menciptakan keadilan dan kesejahteraan.


  3. Perkembangan Asas Legalitas Hingga Di Indonesia

    Dalam melihat keberadaan asas legalitas ini tidak terlepas dari sistem hukum yang di terapkan dan di anut di Indonesia, yakni sistem Eropa Kontinental.

    Sistem ini sebelumnya di anut oleh negara Perancis yang di abad 19 kemudian memulai kodifikasi terhadap peraturan hukum positif yang ada, yakni salah satunya adalah code penal yang kemudian memuat asas legalitas di dalamnya. Perkembangan saling menguasai dan menaklukan antar negara kemudian membawa Negara Perancis ini masuk dan menjajah bangsa Belanda yang secara otomatis mulai mengenal dan meratifikasi peraturan-peraturan hukum dan sistem hukum eropa kontinental yang di anut Perancis sebelumnya. Setelah terlepas dari penjajahan pun kemudian Belanda masih terus menganut dna menggunakan sistem hukum dan peraturan hukum bawaan Perancis, termasuk di dalamnya tersirat asas legalitas dalam hukum pidana.

    Perkembangan dagang yang di lakukan bangsa Belanda hingga di Indonesia rupanya membawa penjajahan dan pendudukan terhadap masyarakat Indonesia (awalnya kerajaan Majapahit, Demak, dan sebagainya).

    Terjadinya penjajahan selama hampir 3,5 abad lamanya membuat terjadinya pergeseran nilai-nilai yang hidup (the living law) dan penerapan hukum bangsa Belanda mulai semakin di anggap paling tepat bahkan hingga 1945 kemerdekaan Indonesia di tandai dengan aturan peradilan Undang Undang Dasar 1945 yang dengan tegas menyatakan terus mengikuti semua peraturan hukum, baik pidana, perdata, sistem hukum yang berlaku, administrasi negara dan peraturan lainnya sehingga secara mutatis mutandis hukum pidana pun tetap menggunakan KUHP (Wetboek van Strafrecht)

    Berdasarkan ketiga hal di atas, tentunya dalam perspektif teori hukum, maka keabsahan suatu peraturan yang ada (asas legalitas) menjadi jelas keabsahan dan penerimaannya (acceptable).

Selain itu juga teori hukum yang selalu memandang mengenai keadilan dalam suatu penerapan hukum telah menemukan bahwa justru dengan keberadaaan asas legalitas tersebut telah lebih berhasil mengakomodir secara maksimal (walau tidak sempurna mengingat asas ini terkadang membuat penerapan hukum terkadang kaku) berkaitan dengan kejahatan (bisnis) di Indonesia. Kemudian juga dengan adanya asas legalitas tersebut hubungan antara individu (anggota masyarakat) dengan penguasa negara menjadi jauh lebih baik dan jelas keberadaannya, penyimpangan hukum berupa kesewenangan pemidanaan sesuai kebutuhan dan menurut kehendak penguasa telah di minimalisasi dan berhasil di batasi oleh keberadaan asas legalitas tersebut.



BAB IV

SIMPULAN


 Kejahatan bisnis dapat meliputi kejahatan di bidang perbankan (banking crime), kejahatan korporasi (coorporate crime), kejahatan pencucian uang (money laundring), kejahatan di bidang perdagangan, kejahatan mayaranta (cyber crime), dan beberapa bentuk tindak pidana lain dalam bidang keuangan, perbankan dan elektronika.

Sekalipun secara prinsipil kegiatan usaha (bisnis) di Indonesia di atur oleh bidang hukum keperdataan, akan tetapi saat kegiatan bisnis tersebut di langsungkan, kemudian terjadi tindak pidana, maka secara umum, setiap perbuatan tersebut tunduk pada hukum pidana yang berlaku yakni pada ketentuan di dalam KUHP, KUHAP, dan lain-lain.

Dalam hukum pidana itu sendiri di kenal salah satu asas penting yakni asas legalitas, yakni di atur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi "Tiada suatu perbuatan boleh di hukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu."


Berkaitan dengan kejahatan bisnis, asas ini pun secara mutatis mutandis berlaku dan di anut, serta dalam perspektif teori hukum keberadaan ini merupakan perwujudan dari banyak hal yang secara falsafati adalah memberikan perlindungan hukum bagi semua anngota masyarakat dari kesewenangan penguasa, memberikan kepastian hukum dan keadilan serta dapat selalu di jadikan pedoman utama bagi penerapan hukum pidana secara umumnya dan kejahatan bisnis pada khususnya.

Hal ini di sebabkan oleh karena dalam teori hukum selalu memandang mengenai keadilan dalam suatu penerapan hukum telah menemukan bahwa justru dengan keberadaaan asas legalitas tersebut telah lebih berhasil mengakomodir secara maksimal (walau tidak sempurna mengingat asas ini terkadang membuat penerapan hukum terkadang kaku) berkaitan dengan kejahatan (bisnis) di Indonesia. Kemudian juga dengan adanya asas legalitas tersebut hubungan antara individu (anggota masyarakat) dengan penguasa negara menjadi jauh lebih baik dan jelas keberadaannya, penyimpangan hukum berupa kesewenangan pemidanaan sesuai kebutuhan dan menurut kehendak penguasa telah di minimalisasi dan berhasil di batasi oleh keberadaan asas legalitas tersebut.


 


 


 


 

DAFTAR PUSTAKA


Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003

Dwidja Priyatno, Diktat Perkuliahan Filsafat Hukum, STHB, Bandung

Lili Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002

Moeljatno, Asas – Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1985

Muladi dan Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992

Munir Fuadi, Bisnis Kotor, PT Citra Aitya Bakti, Bandung, 2004

Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Prenada Media, Jakarta, 2003

R. Soesilo, KUHP (Komentar Dan Penjelasan), Politeia, Bogor, 1994

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000