WELCOME FRIENDS

Selamat datang di blog ini, blog ini di tujukan sebagai kumpulan berita, artikel, pesan dan mungkin hasil pemikiran penulis dengan mengangkat tema sentral Hukum Bisnis, akan tetapi para pembaca juga akan di bawa membaca banyak tulisan-tulisan yang muatan secara materinya tidak berhubungan secara langsung dengan Hukum Bisnis saja, seperti contohnya dimasukannya tulisan mengenai Hukum Pidana, Hukum Tata Negara dan sebagainya, walau begitu adalah Hukum Bisnis yang tetap menjadi sentral utama dari materi muatan blog ini.

Selamat membaca dan di tunggu masukan, pendapat dan mungkin kritikan dari kawan-kawan semua.

28 June 2010

PENGUASAAN HAK ATAS TANAH OLEH NEGARA
DITINJAU DARI UUPA TAHUN 1960



BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Tanah merupakan tempat manusia menjalankan aktivitas dan menjalani kehidupan keseharian. Semenjak jaman dahulu tanah, kerap menjadi objek yang menarik untuk dikaji dari waktu-kewaktu. Tidak dipungkiri, tanah memiliki posisi strategis, baik bagi perorangan (individu), badan, maupun negara, sehingga pada saat tertentu, terkadang memuncukan konflik kepentingan antara satu individu, dengan individu lainnya. Sehubungan dengan hal ini, maka perlu untuk ditetapkan aturan yang jelas mengenai status penguasaan dan pemanfaatannya.
Penguasaan dan pemanfaatan tanah, memasuki babak baru pada era globalisasi dan perdagangan bebas. Setiap negara berupaya menawarkan berbagai kemudahan untuk menarik investasi dari luar negeri, termasuk salah satunya, paket tawaran penguasaan hak atas tanah. Perang kebijakan hak atas tanah antara satu negara dengan negara lainnya, ditujukan agar investor tertarik untuk menanamkan investasi dan menjalankan usahanya di negara tersebut. Tercatat, negara-negara seperti Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, China, Korea, dan beberapa negara asia lainnya, berhasil menarik investor dengan memanfaatkan kebijakan ini. Banyak perusahaan-perusahaan multinasional, pada akhirnya berhasil ditarik untuk berinvestasi negara-negara tersebut. Seiring dengan desakan persaingan bisnis antar negara yang terjadi, pemerintah Indonesia, juga mengeluarkan paket-paket kebijakan penguasaan hak atas tanah dengan tujuan yang kurang lebih sama dengan negara lain pada umumnya.
Paket kebijakan pemerintah yang menyertakan kebijakan pertanahan untuk kepentingan investor di satu sisi dapat berdampak positif bagi perkembangan perekonomian Indonesia, tetapi di sisi lain, tidak kurang ekses negatif yang muncul yang perlu untuk diperhatikan. Beberapa kasus yang mengemuka seperti perselisihan antara masyarakat dengan perusahaan-perusahaan PMA, atas kehadiran perusahaan tersebut di lingkungan mereka. Kasus-kasus seperti Lumpur Lapindo, perusahaan penambangan minyak China di Sidoardjo yang menebarkan pencemaran gas, atau pertikaian perusahaan penambangan emas di Sulawesi Utara dengan masyarakat atas dampak pembuangan limbah mercury, dll.
UUPA tahun 1960 yang menganut paham negara selaku penguasa hak atas tanah, mengisyaratkan bahwa penguasaan hak atas tanah perlu untuk mengedepankan kepentingan masyarakat luas. Di dalam UUPA terkandung adanya unsur kebinekaan , yang perlu dicermati oleh pemerintah selaku pengambil kebijakan. Disamping itu, UUPA menghormati keberadaan hukum adat , oleh karenanya, terdapat ‘bhineka tunggal ika’ di dalam hukum agraria nasional , hal mana ditandai dengan adanya pluralisma hukum di dalam hukum agraria Indonesia.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, penulisan makalah ini ditujukan untuk membahas permasalahan seputar Penguasaan Hak Atas Tanah Untuk Kepentingan Penanaman Modal Ditinjau dari UUPA Tahun 1960.



BAB II
PENGUASAAN HAK ATAS TANAH

Mengangkat permasalahan seputar pertanahan di tinjau dari dimensi hukum, maka tidak akan terlepas dari konsep land tenure. Land Tenure, yang secara harfiah dapat ditafsirkan sebagai hak penguasaan atas tanah. Menurut Gunawan Wiradi , kata land memang merujuk pada kata tanah. Sedangkan kata tenure berasal dari kata dalam bahasa Latin tenere yang mencakup arti: memelihara, memegang, memiliki. Karena itu, land tenure biasanya dipakai dalam uraian-uraian yang membahas masalah yang pokok-pokok umumnya adalah mengenai status hukum dari penguasaan tanah seperti: hak milik, erfpacht, gadai, bagi hasil, sewa-menyewa, dan juga kedudukan buruh tani. Uraian mengenai status hukum itu menunjuk kepada pendekatan juridis, sehingga penelaahannya biasanya bertolak dari sistem yang berlaku, yang mengatur kemungkinan penggunaan, mengatur syarat-syarat untuk dapat menggarap tanah bagi penggarapnya, dan berapa lama penggarapan itu dapat berlangsung.
Secara leksikal, masih terjadi perdebatan tentang padanan istilah land tenure di dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Inggris, istilah land tenure dijelaskan dalam konteks legal sebagai system pemanfaatan dan/atau kepemilikan tanah. Istilah land tenure bisa juga menjelaskan bagaimana seseorang atau pihak tertentu memangku dan/atau memiliki tanah. Sistem penguasaan tanah menjelaskan hak-hak yang dimiliki atas tanah. Hak atas tanah, jarang dipegang oleh satu pihak saja. Pada saat yang sama di bidang tanah yang sama, bisa saja terdapat sejumlah pihak yang memiliki hak penguasaan atas tanah tersebut secara bersamaan tetapi dengan sifat hak yang berbeda-beda.

2.1 Land Tenure
James C. Ridell dari Land Tenure Center merumuskan land tenure sebagai “a bundle of rights” , dimana masing-masing hak dapat dilekatkan pada individu, kelompok atau entitas ekonomi, politik, bahkan agama. Dengan pengertian sebundel atau serangkai berarti, masing-masing hak dapat dipisahkan dari ikatannya lalu diletakkan tidak lagi dalam ikatan asalnya atau diletakkan dalam konteks yang berbeda. Ikatan nya itu sendiri menunjukkannya sebagai suatu sistem.
Pada setiap land tenure system, masing-masing hak termaksud setidaknya mengandung tiga komponen, yakni:
(i) subjek hak, yang berarti pemangku hak atau pada siapa hak tertentu dilekatkan. Subjek hak bervariasi bisa dari individu, rumah tangga, kelompok, suatu komunitas, kelembagaan sosial-ekonomi bahkan lembaga politik setingkat negara.
(ii) objek hak, yang berupa persil tanah atau juga benda-benda yang tumbuh di atas tanah. Objek hak termaksud harus bisa dibedakan dengan alat tertentu, dengan objek lainnya. Untuk objek hak berupa suatu persil tanah, batas-batasnya biasanya diberi suatu simbol. Objek hak bisa bersifat total bisa juga parsial. Misalnya, seseorang yang mempunyai hak atas pohon sagu tertentu, tidak dengan sendirinya mempunyai hak atas tanah dimana pohon sagu itu berdiri.
(iii) Jenis haknya, setiap hak selalu dapat dijelaskan batasan dari hak tersebut, yang membedakannya dengan hak lainnya. Untuk jenis-jenis hak merentang dari hak milik, hak pakai, hak sewa, dll. Setiap jenis hak ini memiliki hubungan khusus dengan kewajiban tertentu yang dilekatkan oleh pihak lain (mulai dari individu lain hingga negara) dan keberlakuannya dalam suatu kurun waktu tertentu.
Dengan cara penyebutan yang berbeda, James C. Ridell menyebutkan bahwa setiap hak senantiasa setidaknya mengandung 3 (tiga) dimensi, yakni dimensi manusia, ruang dan waktu.
Selain ada land tenure, ada juga tree tenure yang terdiri dari sebundel hak terhadap “hasil hutan yang berkait dengan tumbuh-tumbuhan di atas tanah” yang dapat melekat pada berbagai subjek pada berbagai waktu yang berbeda. Dalam konteks ini, Louise Fortman membagi setidaknya 4 kategori utama , yakni
(i) Hak untuk memiliki atau mewarisi (right to own or inherit)
Umumnya jenis hak ini dipegang oleh komunitas, namun Fortmann (dalam Raintree, 1987) mencatat bahwa sejumlah temuan menunjukkan bahwa pada sejumlah komunitas hak ini dipegang oleh rumah tangga, meskipun tanahnya tetap dipegang oleh komunitas.
(ii) Hak untuk menanam (right to plant),
Suatu klaim (anggota) komunitas atas suatu persil tanah, pertama-tama akan menanam pohon sebagai petanda klaim simbolik, maupun batas-batas. Walaupun pada umumnya, hukum negara (ekternal) tidak mengakui hal ini, namun hal ini sangat efektif bagi hubungan internal antar maupun di dalam komunitas.
(iii) Hak untuk memanfaatkan (right to use) pepohonan dan hasil dari pepohonan.
Hak ini mencakup hak-hak untuk (a) mengumpulkan buah-batang-bunga, jamur atau benalu yang tumbuh, maupun binatang-binatang serangga, maupun burung; (b) memanfaatkan hasil dari pohon-pohon besar seperti madu; (c) memotong batang kayu untuk kayu bakar; (d) memanen hasil hutan seperti buah, biji-bijian, dll; (e) mengambil segala yang dihasilkan pepohonan yang sudah berada di tanah seperti ranting maupun buah-buahan.
(iv) Hak untuk melepaskan haknya atas pohon (right of dispose).
Hak ini mencakup (i) menebang dan atau mencabut pohon yang dimiliki haknya; (ii) menjual-menyewakannya pada pihak lain, baik bersatu atau terpisah dengan tanah tempat pohon itu tumbuh.

2.2 Customary Tenure Systems
Customary Tenure Systems pada umumnya merupakan topik yang jarang kalangan diketahui oleh masyarakat luas. Costumary Tenurial systems merupakan kajian mengenai kepemilikan hak atas tanah yang memiliki keterkaitan dengan masyarakat adat. Masyarakat adat sendiri di Indonesia memiliki karakteristik yang sangat beragam. Oleh karenanya, Ebenezer Acquaye, mengingatkan bahwa
Customary tenure does not lend itself easily to precise definition and it can never be of universal application because it varies between communities. Moreover, it is constantly undergoing natural evolution, and being modified or even completely changed by the grafting on of foreign legal concepts.
Ebenezer Acquaye mengingatkan bahwa, dalam mengkaji masalah kepemilikan hak tanah adat akan didapatkan perbedaan pemahaman, mengingat setiap kelompok masyarakat adat sendiri memiliki penafsiran yang berbeda berkenaan dengan sistem kepemilikan tanah ini. Meskipun demikian, secara konseptual teoritik, beberapa atribut yang biasanya dijumpai dalam customary tenurial systems berikut ini bisa dijadikan panduan untuk mulai memahaminya.
1. Hak kepemilikan tanah masyarakat adat pada kenyataannya merupakan kepemilikan dalam hukum yang tidak tertulis yang diketahui dan dilegitimasi oleh kelompok mereka, tidak ada jaminan mutlak dari pemerintah.
2. Dalam kepemilikan tanah adat, sering ditemukan adanya unsur-unsur kepercayaan, mistis, dan kepercayaan keagamaan,
3. Dibawah ketentuan tanah adat, hak tertinggi penguasaan tanah biasanya dikuasai oleh kelompok sosial, seperti suku, desa, klan, kerabat, atau keluarga.
4. Dalam prakteknya penguasaan hak atas tanah dikuasakan kepada pemimpin kelompok yang dituakan dan bertindak atas nama kelompok masyarakat adat yang lebih rendah posisinya.
5. Terdapatnya hak-hak khusus yang ada di dalam ketentuan hukum adat bagi anggota kelompoknya, seperti hak khusus untuk pemimpin kelompok, dan anggota kelompok tertentu.
6. Hak-hak individual dapat diturunkan berdasarkan dua hal, yaitu (a) individu tersebut merupakan anggota kelompok masyarakat adat, (b) akuisisi yang diperoleh dari kelompok masyarakat adat dari kelompok masyarakat adat lainnya.
7. Hak individual untuk memanfaatkan tanah bisa dikembalikan kepada kelompok yang lebih besar jika terjadi penolakkan oleh anggota kelompok/masyarakat adat lainnya, atau sehubungan dengan habisnya waktu hak penguasaan yang diberikan kepada seseorang dari anggota kelompok, atau berdasarkan adanya keputusan masyarakat adat yang baru.
8. Penegasan atas hak absolut hak atas tanah di bawah ketentuan hukum adat tidak dapat dialihkan, dan atau perlu adanya klarifikasi sejauh adanya bukti historis atas penguasaan tanah oleh kelompok masyarakat adat tersebut, atau secara tegas ditentukan berdasarkan ketentuan hukum yang dikodifikasikan.



BAB III
SEJARAH PENGUASAAN TANAH DAN KEAGRARIAAN DI INDONESIA

3.1 Masa Feodalisme
Indonesia sebelum kedatangan bangsa Barat sering disebut dengan masa pra-kapitalis, pra-kolonial, atau zaman feodal. Keterangan dalam bagian ini, akan mencakup kondisi sebelum era kalonial tersebut, termasuk juga pada awal kolonial ketika keterlibatan pemerintah kolonial terhadap masalah pertanahan belum terasa, karena saat itu mereka lebih berkosentrasi sebagai pedagang rempah-rempah. Intervensi pemerintah kolonial dalam masalah pertanahan secara praktis baru mulai dirasakan di zaman Raffles yaitu mulai tahun 1811.
Dalam Schrieke (1955) dijelaskan, ketika kedatangan Barat ke Indonesia pertama kali, wilayah Indonesia didominasi pertanian dengan adanya variasi performa antar daerah. Ada dua bentuk utama pertanian pada saat itu, yaitu sawah dan ladang, yang secara kasar sering merepresentasikan perbedaan ekologi Jawa dan luar Jawa (lihat juga Geertz, 1976).
Areal sawah beririgasi menjadi sumber konsentrtasi penduduk, dimana usaha pertanian dilakukan secara intensif. Namun ini tidak berarti bahwa kehidupan saat itu dapat dikatakan harmonis. Schrieke (1955) menyatkan bahwa insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi tidak ada, karena surplus produksi hanyalah untuk keluarga raja dan birokrasi di keraton. Hal ini karena wilayah sawah beririgasi dibantu kerajaan untuk konstruksi dan pemeliharaan saluran irigasi dan jalannya, menjamin keamanan, serta penyediaan bangunan lumbung padi. Artinya, kehidupan petani berada di dalam tekanan pihak kerajaan, karena investasi pihak kerajaan yang besar dalam produksi pertanian sawah tersebut. Menurut Wertheim (1956), sampai dengan tahun 1800, belum ada perubahan yang mendasar dalam pertanian di Indonesia, karena pengaruh Barat juga tidak progresif.
Sebagian besar ahli berpendapat bahwa struktur masyarakat saat itu lebih egaliter, baik secara ekonomi maupun sosial. Pendapat ini tidak disetujui oleh Husken dan White (1989), karena menurutnya masyarakat Jawa sudah sejak lama secara historis terbagi dalam kelas-kelas agraris yang dibedakan atas perbedaan penguasaan tanah, dan komersialisasipun telah lama ada dalam masyarakat Jawa. Artinya, kondisi masyarakat desa era pra-kolonial yang sangat egaliter dan penuh dengan keintiman sosial tersebut adalah tidak benar.
Husken dan White (1989) menolak anggapan Jawa yang tak terdiferensiasi, egaliter, dan stagnan yang mendominasi pikiran peneliti dan pemerintah kolonial. Misalnya Raffles yang menganggap tak adanya nilai-nilai komersial pada masyarakat desa, lemahnya rangsangan untuk investasi dipertanian, dan ekonomi yang merata. Pemilikan tanah komunal dianggap tidak kondusif untuk pertumbuhan, sehingga mereka pesimis terhadap pemilikan yang sempit-sempit dan relatif seragam. Perlu kehati-hatian dalam mengapresiasi pandangan ahli-ahli Belanda, karena objektivitasnya sebagai ilmuwan bercampur aduk dengan motivasi politiknya.
Pada masa abad 18 dan awal 19, secara umum di Jawa dikenal 3 kelas penguasaan tanah , yaitu:
1) Kelompok besar petani tuna-kisma yang kadangkala berlindung pada keluarga-keluarga petani yang memiliki tanah, namun juga sering merupakan kelompok tenaga kerja musiman yang tidak terikat dan cukup mobil. Secara kuantitas jumlah petani tuna-kisma ini cukup besar dan menjadi kelompok inti kegiatan pertanian.
2) Kelompok mayoritas petani (sikep atau kuli) yang memiliki hak atas tanah, dan untuk hak tersebut berkewajiban membayar pajak dan upeti yang besar jumlahnya kepada pihak kerajaan.
3) Kelas pamong desa yang selain menguasai tanah pribadi, juga berhak menguasai sejumlah besar tanah desa sebagai upah mereka dalam mengatur pemerintahan (lungguh dan tanah bengkok), ditambah lagi hak memperkejakan sikep atau kuli untuk mengarap tanah mereka tersebut tanpa membayar upah.
Dengan komposisi seperti ini, artinya pada masa itu pola hubungan majikan-buruh dan tenaga kerja upahan sudah dijumpai, sebagaimana dikatakan Husken dan White di atas. Selain itu, penelitian Breman (1986) di wilayah Cirebon juga menemukan struktur yang hampir serupa, yang semakin memperkuat tesis stratifikasi sosial. Menurut Breman, ada empat lapisan dalam masyarakat desa, yaitu:
(1) Penguasa desa dan orang-orang penting lokal yang tidak pernah menggarap tanah secara langsung namun mendapat hak apanage atau lungguh dari raja. Mereka berada pada lapisan paling atas dan dihormati oleh warga lain. Biasanya mereka adalah dari keluarga pembuka wilayah tersebut pertama kali, atau dari keluarga kerajaan.
(2) Masyarakat tani (sikep) sebagai bagian inti masyarakat. Secara kuantitas jumlah mereka paling besar dibanding yang lain.
(3) Para wuwungan (=penumpang) yang hidup sebagai buruh tani, dan membangun rumah di pekarangan sikep karena tidak punya tanah sendiri. Mereka adalah petani tuna-kisma.
(4) Para bujang, yaitu mereka yang belum keluarga. Di bawah sistem feodalisme, alat produksi seperti tanah adalah milik raja dan bangsawan, bahkan rakyatpun menjadi milik raja yang dapat dikerahkan tenaganya untuk kepentingan penguasa (Fauzi, 1999). Rakyat yang menggarap hanya punya hak menggunakan. Petani diharuskan menyerahkan separoh hasil buminya sebagai upeti, berupa buah-buahan, padi, barang-barang mentah atau sudah jadi, serta kayu-kayu gelondongan.

Dengan posisinya sebagai penggarap, maka kehidupan petani hanya mampu memenuhi kebutuhan dasarnya saja. Akibat dari sistem ini, maka ketimpangan antara kehidupan petani dan raja beserta kaum bangsawan sangat besar.
Tentang hal ini, Wiradi (2000) berendapat bahwa pada masa itu konsep kepemilikan menurut konsep Barat (property, atau eigendom) memang tidak dikenal, bahkan juga bagi penguasa. Karena itu tanah-tanah tersebut bukannya dimiliki pejabat-pejabat atau penguasa, melainkan bahwa para penguasa itu dalam artian politik mempunyai hak jurisdiksi atas tanah-tanah dalam wilayahnya yang dengan kekuasaan dan pengaruhnya dapat mereka pertahankan, dan secara teroitis punya hak untuk menguasai, menggunakan, ataupun menjual hasil-hasil buminya sesuai dengan adat yang berlaku.
Tentang pola penguasaan tanah pada saat ini, ada perdebatan, apakah pemilikan tanah berbentuk hak komunal atau individual. Namun menurut van de Kroef (1984), terdapat beragam bentuk penguasaan antar daerah di Jawa, dan penguasan individual dan juga kolektif ada pada satu daerah secara bersamaan. Pola penguasaan tanah cenderung berada di antara dua kutub yang berlawanan, yaitu pemilikan komunal yang kuat atau hak ulayat, dan pemilikan perorangan dengan beberapa hak istimewa komunal. Bentuk tradisional yang paling umum adalah hak penguasaan secara komunal semua tanah, baik yang dapat ditanami maupun sebagai cadangan, yang seluruhnya berada di bawah pengawasan desa, dimana petani penggarap menerima tanah desa atas kesepakatan bersama para anggota masyarakat desa. Hal ini sama kondisinya dengan pengaturan penggunaan pemakaian tanah adat oleh dewan “doumtuatua” di Bima (dalam Brewer, 1985).
Disamping itu, juga ada tanah “individual”, yaitu sebidang tanah yang dapat dikuasai selama-lamanya oleh satu keluarga, dapat melimpahkan ke ahli warisnya, walau pengalihan ke luar desa tidak diperbolehkan. Pola penguasaan tanah di Jawa sangat beragam antar daerah, bahkan ada daerah yang hampir tidak mengenal prinsip penguasaan komunal kecuali untuk sedikit tanah khusus, misal di Probolinggo, Pasuruan, dan Besuki di Jawa Timur (van de Kroef, 1984). Secara umum dikenal, bahwa tanah komunal banyak di pesisir Utara Jawa, sedangkan tanah private banyak di wilayah Jawa Barat pedalaman, Jawa Tengah Selatan, dan Jawa Timur.
Perdebatan tentang apakah pemilikan komunal atau individual tersebut, sebagiannya disebabkan karena perbedaan persepsi di antara pengamat saja, karena ada tanah-tanah komunal yang dapat diwariskan sehingga terlihat sebagai tanah individual. Ada tanah komunal yang diredistribusikan berkala, namun juga ada yang non-redistribusi. Namun yang pasti, di luar masalah perdebatan penguasaan tersebut, sudah ada stratifikasi luas dan hak penguasaan tanah di antara warga desa.
Dari uraian di atas terlihat, karena hak penguasaan tanah ada pada kerajaan, sehingga petani hanyalah berstatus sebagai penggarap, maka perolehan bagi petani sangat terbatas. Akibatnya, seperti yang dilihat banyak ahli, komersialisasi pedesaan tidak berjalan, dan investasi pertanian mandeg. Penguasaan tanah oleh kerajaan, menjadi alat politik pihak kerajaan, agar dapat mengontrol seluruh warga dan terutama pembantu-pembantunya di level desa. Kepatuhan dari pembantu di tingkat desa terbentuk melalui pemberian tanah lungguh kepada mereka yang sewaktu-waktu dapat dicabut oleh pihak kerajaan.

3.2. Masa Pemerintahan Kolonial
Secara umum, meskipun pemerintahan kolonial menerapkan politik agraria yang berbeda, namun pengaruhnya bagi masyarakat tani secara prinsip relatif sama. Dalam kenyataannya, pemerintah kolonial bekerjasama dengan golongan elit feodal sebelumnya. Dengan demikian, meskipun struktur penguasa di tingkat atas berubah, namun masyarakat pedesaan lebih banyak berhadapan langsung dengan golongan feodal yang sebelumnya juga, yaitu para bupati dan pembantu-pembantunya, dengan pola kerja yang sama. Hal ini karena pemerintah kolonial Belanda menggunakan para bupati dalam jalur pemerintahannya.
Bagi yang berpendapat bahwa sebelumnya tidak ada tanah komunal di Jawa, maka Belandalah yang dianggap mengkomunalkan tanah pedesaan untuk memudahkan pajak dan wajib kerja. Hal ini dimulai dengan usaha Raffles untuk memudahkan penarikan pajak tanah, dimana lembaga desa dijadikan alat penarikan pajak. Dengan yuridikasi tersebut, dimana seluruh tanah dianggap sebagai tanah desa, maka pihak kolonial cukup berhubungan dengan penguasa desa, sebagai penanggung jawab wilayah.
Mulai dari tahap ini terlihat bagaimana “penguasaan” atau aspek hukum tanah menjadi mekanisme yang utama dalam menjalankan programprogram pemerintahan kolonial. Dengan “mengkomunalkan” tanah maka pemerintah dapat secara efisien dalam menarik pajak tanah berupa natura dari penduduk.
Selanjutnya, pada era sistem tanam paksa gubernur Van den Bosch yang terjadi sepanjang 1830-1870, petani diwajibkan menanam tanaman ekspor yang dijual dengan harga yang telah ditetapkan atau menurut remisi pajak penyewaan tanah kepada pemerintah kolonial. Tanam paksa ini pada dasarnya merupakan penyatuan antara sistem penyerahan wajib dan system pajak tanah, dimana pajak dibayar dalam bentuk natura bukan uang. Sistem tanam paksa ini ternyata mampu memberi keuntungan kepada negara jajahan. Produksi tanaman ekspor meningkat, terutama kopi dan gula.
Namun, program tanam paksa telah menjadi faktor penting yang bertanggungjawab terhadap keterbelakangan dan kemiskinan di Indonesia. Dengan tanam paksa terjadi pengalihan surplus ekonomi dari Indonesia ke Belanda serta memperbanyak kaum “proletariat desa” (Sritua Arief dan Adi Sasono dalam Suwarsono dan So, 1991). Apa yang terjadi selama masa penjajahan adalah dominasi dan eksploitasi sumber kekayaan tanah jajahan untuk kepentingan penjajah (Fauzi, 1999). Pemerasan tersebut berupa tenaga dan hasil produksinya. Sesungguhnya ini hanyalah meneruskan pola zaman kerajaan, dimana penjajah bekerjasama dengan kaum bangsawan. Para bupati dan raja berhak memungut hasil-hasil pertanian untuk diserahkan kepada kolonial, sehingga akibatnya, eksploitasi kepada petani semakin intensif.
Bersamaan dengan munculnya iklim politik yang bercorak liberalisme di Belanda, pihak swasta di sana menuntut diberi kesempatan untuk membuka perkebunan di Indonesia. Untuk itu pemerintah Belanda merasa perlu mengeluarkan Undang-Undang Agararia tahun 1870 (Agrarische Wet). Undang– undang ini memberi kesempatan kepada penyewaan jangka panjang tanahtanah untuk perkebunan. Peraturan ini menjadi dasar peraturan agraria di Indonesia, namun bersifat dualistis, karena bagi orang asing berlaku hukum Barat, dan bagi rakyat Indonesia berlaku hukum adat. Disini dimungkinkan untuk memiliki mutlak (hak eigendom) termasuk hak untuk menyewakannya ke pihak lain.
Tujuan UU ini adalah untuk memberikan kesempatan luas bagi modal swasta asing yang memang berhasil secara gemilang. Tetapi tujuan lainnya, yaitu melindungi dan memperkuat hak atas tanah bagi bangsa Indonesia asli ternyata jauh dari harapan (Wiradi, 2000). Apalagi ditambah sikap para raja dan sultan baik di Jawa maupun di Luar Jawa yang tergiur untuk memberikan konsesi kepada para penguasa swasta asing. Pemerintah juga melakukan kebijakan sistem sewa tanah kepada petani, meskipun kurang berhasil (Fauzi, 1999: 28). Kebijakan ini dilandasi asumsi, bahwa tanah adalah milik Belanda. Sistem sewa ini diterapkan dengan harapan akan dapat memberikan kebebasan dan kepastian hukum serta merangsang untuk menanam tanaman dagang kepada petani. Selain itu juga diharapkan kebijakan ini dapat menjaga kelestarian pendapatan pemerintah.
Pada tahap selanjutnya, sistem sewa ini diarahkan untuk tujuan ekspor dengan mengundang swasta-swasta besar dari Belanda. Uraian ini menunjukkan bagaimana pemerintah kolonial telah memilih pola penguasaan atas tanah, disewa atau dengan pajak, sebagai instrumen yang penting dalam memajukan pertanian, meskipun ini bersifat sepihak yaitu untuk kepentingan dirinya saja. Politik agraria Belanda memberikan dampak yang hampir serupa bagi petani dibandingkan dengan politik agraria kerajaan, karena meskipun pada tingkat atas kerajaan digantikan oleh Belanda, namun struktur masyarakat pada tingkat bawah (desa) masih tetap sama. Petani tetaplah seorang penggarap dengan kewajiban menyerahkan sebagian hasilnya kepada pihak penguasa.
Secara ringkas dapat diutarakan, sebagaimana dikatakan Husken (1998), dalam penelitian di Jawa Tengah, bahwa struktur yang terjadi adalah “Kerbau besar selalu menang” (kebo gedhe menang berike). Pemilik tanah yang jumlahnya sedikit namun menguasai tanah sangat luas dan berkuasa mengatur proses produksi. Mereka memiliki akses kuat ke dunia politik, dan di antara mereka semua saling berhubungan keluarga. Mereka praktis menguasai tanah sawah dan pengatur tenaga kerja, sementara para petani sesungguhnya, yang mengolah tanah, memelihara tanaman, mengatur air, dan memanennya; hanyalah pengikut yang powerless. Sebagai pengikut (termasuk urusan perpolitikan) mereka harus ikut, sebab jika melawan maka pengikutnya ini juga yang akan menderita.

3.3 Masa Kemerdekaan (Orde Lama dan Orde Baru)
Masa Orde Lama ditandai dengan kelahiran Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960. Dalam proses pembuatan produk hukum ini terlihat bahwa pemerintah memberi perhatian serius terhadap pentingnya permasalahan agraria sebagai landasan pokok dalam pembangunan pertanian dan pedesaan (Wiradi, 2000). Namun sebagai aturan pokok, secara yuridis peraturan ini masih lemah secara hukum. Meskipun di dalamnya sudah terjadi proses pemodernan, dengan menggabungkan dualisme hukum sebelumnya, yaitu hokum Belanda dan hukum adat, namun masih banyak ketentuanketentuannya yang belum aplikatif.
Meskipun demikian, kegiatan landreform yang ideal pernah berjalan setelah kelahiran UUPA ini, namun kemudian gagal karena ditunggangi oleh muatan politik. Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai partai yang menggunakan politik populis telah berhasil mendapat sambutan yang tinggi dari masyarakat pedesaan. Tanah telah dijadikan alat politik sehingga dukungan kepada partai ini menjadi besar.
Menurut Fauzi (1999), kebijakan hukum dalam UUPA ini sesungguhnya menentang kapitalisme yang melahirkan kolonialisme yang menyebabkan penghisapan manusia atas manusia. Selain itu, dengan UUPA sekaligus juga menentang sosialisme yang dianggap meniadakan hak-hak individu atas tanah.
Politik agraria yang terkandung dalam UUPA 1960 adalah politik populisme, yang mengakui hak individu atas tanah, namun hak tersebut memiliki “fungsi sosial”. Melalui prinsip Hak Menguasai dari negara, pemerintah mengatur agar tanah-tanah dapat dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sebagaimana termaktub dalam pasal 33 UUD 1945.
Selanjutnya, sepanjang pemerintahan Orde Baru selama tiga dasawarsa, dapat dikatakan landreform tidak dilaksanakan sama sekali. Kegiatan landreform selalu diberi cap negatif sebagai kegiatan partai terlarang PKI. Hal ini karena memang PKI dulu menjadikan program landreform sebagai alat perjuangannya. Karena segala yang berkaitan dengan PKI dilarang, maka usaha perbaikan hak penguasaan tanah pun (program landreform) menjadi negatif di mata pemerintah dan masyarakat. Meskipun demikian, usaha privatisasi tanah tetap diusahakan pemerintah Orde Baru melalui program sertifikasi tanah meskipun kurang memuaskan.
Pemerintah Orde Baru yang sangat terinpirasi dengan kemajuan ekonomi, menjadikan tanah sebagai alat pembangunan yang sentralistis, sehingga menimbulkan berbagai konflik dengan masyarakat. Hal ini misalnya, karena pemerintah hanya mengejar industrialisasi pertanian, tidak memperhatikan sama sekali aspek struktur penguasaan tanah. Pemerintah meneruskan program pembangunan perkebunan-perkebunan berskala besar dengan tanah-tanah yang luas, namun kurang memperdulikan semakin banyaknya jumlah petani yang tidak bertanah dan sangat membutuhkannya.
Pembangunan pertanian dengan mengintroduksikan tekonologi maju dan efisien tanpa sadar telah meminggirkan petani. Program revolusi hijau dipercaya telah menimbulkan polarisasi sosial ekonomi, atau setidak-tidaknya penegasan stratifikasi, dan terusirya kelompok petani landless dari pedesaan (Tjondronegoro, 1999). Revolusi hijau ternyata bersifat mempolarisasikan masyarakat desa, karena hanya petani berlahan luas yang lebih mampu menarik manfaatnya. Meskipun teknologi yang diintroduksikan bersifat bebas skala, namun para petani yang berlahan luas berproduksi lebih banyak.
Produksi yang lebih tinggi menyebabkan terakumulasinya keuntungan, yang pada gilirannya menyebabkan mereka lebih mampu mengembangkan usaha non pertanian, menyekolahkan anak lebih tinggi, serta membuka akses politiknya. Dengan demikian, faktor kepemilikan tanah berperan terhadap mobilitas sosial.


BAB IV
PENGUASAAN HAK ATAS TANAH BAGI PERUSAHAAN UNTUK KEPENTINGAN PENANAMAN MODAL DITINJAU DARI UUPA TAHUN 1960

4.1 Sistem Penguasaan Hak Atas Di Indonesia
Menurut pasal 16 Undang Undang Pokok Agraria (UUPA), system penguasaan tanah di Indonesia mengakui adanya berbagai hak berikut:
1. Hak milik - Hak milik digambarkan sebagai “hak yang paling penuh dan paling kuat yang bisa dimiliki atas tanah dan yang dapat diwariskan turun temurun”. Suatu hak milik dapat dipindahkan kepada pihak lain. Hanya warga negara Indonesia (individu) yang bisa mendapatkan hak milik, sedangkan jika menyangkut korporasi maka pemerintah akan menentukan korporasi mana yang berhak mendapatkan hak milik atas tanah dan syarat syarat apa yang harus dipenuhi oleh korporasi untuk mendapatkan hak ini.
2. Hak guna usaha - Suatu hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikontrol secara langsung oleh negara untuk waktu tertentu, yang dapat diberikan kepada perusahaan yang berusaha dibidang pertanian, perikanan atau peternakan. Suatu hak guna usaha hanya dapat diberikan atas tanah seluas minimum 5 ha, dengan catatan bahwa jika tanah yang bersangkutan lebih luas dari 25 hektar, investasi yang cukup akan dilakukan dan pengelolaan usaha secara baik akan diberlakukan. Hak guna usaha bisa dipindahkan ketangan pihak lain. Jangka waktu pemberian hak guna usaha diberlakukan dengan ketat (maksimum 25 tahun). Hanya warga negara Indonesia dan badan usaha yang dibentuk berdasar undang undang Indonesia dan berdomisili di Indonesia dapat memperoleh hak guna usaha. Hak guna usaha dapat digunakan sebagai kolateral pinjaman dengan menambahkan hak tanggungan (security title).
3. Hak guna bangunan - Hak guna bangunan digambarkan sebagai hak untuk mendirikan dan memiliki bangunan diatas tanah yang dimiliki oleh pihak lain untuk jangka waktu maksimum 30 tahun. Suatu hak guna bangunan dapat dipindahkan kepada pihak lain. Kepemilikan hak guna bangunan juga hanya bisa didapatkan oleh warga negara Indonesia dan perusahaan yang didirikan dibawah hukum Indonesia yang berdomisili di Indonesia.
4. Hak pakai - Hak pakai adalah hak untuk memanfaatkan, dan/atau mengumpulkan hasil dari tanah yang secara langsung dikontrol oleh negara atau tanah yang dimiliki oleh individu lain yang memberi pemangku hak dengan wewenang dan kewajiban sebagaimana dijabarkan didalam perjanjian pemberian hak. Suatu hak pakai dapat diberikan untuk jangka waktu tertentu, atau selama tanah dipakai untuk suatu tujuan tertentu, dengan gratis, atau untuk bayaran tertentu, atau dengan imbalan pelayanan tertentu. Selain diberikan kepada warga negara Indonesia, hak pakai juga dapat diberikan kepada warga negara asing yang tinggal di Indonesia. Dalam kaitannya dengan tanah yang langsung dikontrol oleh negara, suatu hak pakai hanya dapat dipindahkan kepada pihak lain jika mendapatkan ijin dari pejabat yang berwenang.
5. Hak sewa - Suatu badan usaha atau individu memiliki hak sewa atas tanah berhak memanfaatkan tanah yang dimiliki oleh pihak lain untuk pemanfaatan bangunan dengan membayar sejumlah uang sewa kepada pemiliknya. Pembayaran uang sewa ini dapat dilakukan sekaligus atau secara bertahap, baik sebelum maupun setelah pemanfaat lahan tersebut. Hak sewa atas tanah dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia, warga negara asing, badan usaha – termasuk badan usaha asing. Hak sewa tidak berlaku diatas tanah negara.
6. Hak untuk membuka tanah dan hak untuk memungut hasil hutan - Hak membuka tanah dan hak memungut -hasil-hutan hanya bisa didapatkan oleh warga negara Indonesia dan diatur oleh Peraturan Pemerintah. Menggunakan suatu hak memungut hasil hutan secara hokum tidaklah serta merta berarti mendapatkan hak milik (right of ownership) atas tanah yang bersangkutan. Hak untuk membuka lahan dan memungut hasil hutan merupakan hak atas tanah yang diatur didalam hukum adat.
7. Hak tanggungan – hak tanggungan tercantum dalam Undang Undang No. 4 1996 sehubungan dengan kepastian hak atas tanah dan obyek yang berkaitan dengan tanah (Security Title on Land and Land-Related Objects) dalam kasus hipotek UUPA 1960 juga seringkali menyebutkan Hak ulayat, meski definisi hak ini tidak terjabarkan secara jelas. Yang mempunyai hak ulayat adalah masyarakat hukum adat sebagai penjelmaan dari seluruh anggotanya, bukan orang seorang. Jenis hak ini berkaitan dengan hukum perdata, yaitu yang berhubungan dengan hak bersama kepunyaan atas tanah tersebut, dan hukum publik, berupa tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur dan memimpin peruntukkan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharannya.

4.2 Penguasaan Hak Atas Tanah Bagi Keperluan Investasi
Kepentingan nasional seringkali menjadi istilah ampuh bagi pemerintah atas nama negara untuk dapat menguasai tanah dan sumberdaya secara langsung. Apalagi melalui pencanangan program pembangunan nasional, khususnya pembangunan ekonomi, kepentingan nasional seringkali digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah agraria dan sumberdaya alam.
Dalam UUPA pasal 14 memang ditegaskan bahwa kewenangan negara dalam membuat rencana persediaan, peruntukan dan penggunaan agraria dan sumberdaya alam untuk keperluan ; (a) negara, (b) peribadatan, (c) pusat-pusat kehidupan masyarakat sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan, (d) memperkembangankan produksi pertanian, peternakan, perikanan, industri, transmigrasi dan pertambangan.
Begitu juga dalam pasal 6 dan penjelasan UUPK dinyatakan bahwa hutan mempunyai fungsi yang menguasai hajat hidup orang banyak, dan karenanya pemerintah membuat suatu rencana umum mengenai peruntukan, penyediaan, pengadaan, dan penggunaan hutan secara serba-guna dan lestari untuk berbagai kepentingan.
Mengacu pada kata-kata kepentingan nasional, khususnya program pembangunan ekonomi nasional yang sangat gencar digalakkan dengan sejumlah target-target yang harus dicapai, maka pemerintahan seringkali menyederhanakan sejumlah persoalan yang mendasar yang menjadi prasyarat atau prakondisi pelaksanaan Hak Menguasa Negara (HMN). Sehingga pembuatan kebijakan selanjutnya dan implementasi pelaksanaan di lapangan seringkali melanggar atau bertentangan baik dengan filosofi perundangan di atasnya maupun kondisi riil masyarakat dan permasalahannya di lapangan. Hal tersebut sangat jelas terjadi dengan PP No. 21 Tahun 1970 tentang HPH dan HPHH.
Walaupun sudah secara tegas dinyatakan bahwa dalam pelaksanaan HMN, negara dapat menguasakan kewenangan tersebut kepada daerah-daerah swatantra (pemerintah daerah) dan masyarakat hukum adat pada praktiknya tidak pernah dilaksanakan pada waktu sebelumnya. Sistem pemerintahan yang sentralistik, memarjinalkan peran pemerintah daerah dan hanya menjadi kaki tangan dari pemerintah pusat, kini mulai berganti dengan diberikannya porsi pemerintah daerah untuk memagang posisi penting dalam pemanfaatan tanah & hutan di daerahnya.


Eksistensi masyarakat hukum adat atas tanah dan sumberdaya alam dalam pengambilan keputusan paket investasi yang menyertakan aspek kepemilikan hak atas tanah, perlu di perhatikan dengan seksama. Mengingat, penyerahan hak penggunaan tanah untuk keperluan industri atau usaha lainnya, tidak harus mematikan potensi perekonomian masyarakat lokal.
Praktek pendesakan hak-hak keagrariaan adat atau hak-hak asli masyarakat (indigenous rights) demi kepentingan ekonomi memang banyak terjadi di negara-negara berkembang yang lambat laun akan menghilangkan akses publik atas hak-hak tersebut dan dalam kepustakaan dikenal dengan Tragedy of the Commons yang dikemukakan oleh Garrett Hardin . Beberapa contoh dapat dilihat sebagai berikut: Di Filipina pemerintah jajahan Spanyol melakukan beberapa usaha untuk mensistematisasikan hak milik di antaranya dengan menerbitkan hak-hak baru atas tanah dengan kesombongan hukum baratnya yang memandang rendah hukum rakyat setempat sehingga menyebabkan rakyat bersikap acuh tak acuh. Keadaan diperburuk dengan adanya principalia (tuan tanah) yang menghaki tanah bersebelahan dengan tanahnya ketika melakukan klaimnya. Hal ini lebih meningkat pada waktu pemerintah jajahan Amerika menerapkan prosedur pendaftaran tanah formal yang serupa dengan yang dilakukan di Amerika sendiri tanpa menghiraukan ketidakmengertian rakyat yang tidak mengenal prosedur sedemikian dalam hukum adatnya. Akibatnya banyak tanah rakyat yang diambil oleh para tuan tanah yang melakukan prosedur formal yang benar dengan mengambil tanah rakyat yang bersebelahan. Pengambil-alihan penguasaan sumber-sumber keagrariaan secara besar-besaran terjadi pada kebijakan perikanan pemerintah di Papua Nugini. Hal serupa juga terjadi di Malaysia Barat.
Perkembangan politik hukum agraria Indonesia dan dibeberapa negara di atas menjelaskan bahwa hukum itu tidak berdiri sendiri, terlepas dari masyarakat karena hukum adalah salah satu dari subsistem sosial menurut teori fungsional-strukturalnya Talcott Parson, sistem sosial terdiri atas:
1. Tingkah laku organisasi dengan fungsi adaptasi melalui penyesuaian dan transformasi seperti ekonomi;
2. Sistem kepribadian dengan fungsi pencapaian tujuan melalui tujuan sistem dan mobilisasi misalnya politik;
3. Sistem sosial dengan fungsi integrasi melalui kendali komponen masyarakat termasuk hukum;
4. Sistem budaya dengan fungsi laten. Pemeliharaan pola melalui norma dan nilai misalnya kepercayaan.
Dengan menyimak perubahan politik hukum agraria tersebut yang terjadi karena sudut pandang dan kepentingan penguasa yang berbeda dapat dikatakan bahwa hal ini sesuai dengan pendapat Sampford bahwa terjadi perubahan set interaksi dalam perjuangan kompleks antara sejumlah besar kelompok dan lembaga. Anggotanya akan mempunyai kepentingan subjektif yang bertentangan dan nilai-nilai lain yang mereka dapat dan pertahankan, kadang secara pribadi namun biasanya lewat lembaga. Dengan demikian hukum itu meleleh di tangan penggunanya sehingga tergantung kepada pandangan dan kepentingan para fihak dalam hal politik hukum adalah para pembuat kebijakan negara atau penguasa.
Sebagai suatu sistem, selayaknya pola politik hukum agraria Indonesia lebih mengacu kepada tatanan hukum responsif yang berfungsi sebagai fasilitator tanggap terhadap kepentingan dan aspirasi sosial karena itu harus fungsional, pragmatis, bertujuan dan rasional. Dengan demikian, pemikirannya purposif yang bertujuan atau berorientasi kebijakan dengan keadilan yang prosedural dan substantif . Mengacu kepada cita negara hukum Indonesia fungsi primer hukum yang ada dalam Pembukaan UUD 1945 harus terwujud:
1. Perlindungan masyarakat baik dari pemerintah, sesama maupun dari luar
2. Keadilan dengan menjaga dan melindungi nilai-nilai keyakinan masyarakat;
3. Pembangunan dengan sarana penentuan arah, tujuan, pelaksananan serta pengendaliannya.
Ditegaskan oleh Sugangga bahwa perubahan nilai dan kesadaran sebagai akibat informasi dan teknologi akan mempengaruhi isi dan corak sistem hukum nasional termasuk hukum adat. Hukum adat harus disesuaikan dengan keadaan namun azas-azasnya harus tetap dipertahankan. Kita harus terbuka dalam menerima peraturan hukum asing atau yang bersifat internasional. Hukum adat adalah hukum yang dinamis yang mudah menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, mempunyai nilai-nilai yang universal, dan lembaga-lembaga hukum yang yang kita ketemukan dalam hukum internasional. Dengan meminjam pendapat Notonagoro
Politik Hukum Agraria Indonesia itu hendaklah realistis, etis, religius dalam arti bahwa politik hukum agraria Indonesia itu memperhatikan realita yang ada, terdapat dasar etika di dalamnya serta memperhatikan kaidah religi yang ada.
Berdasarkan UUPA melalui Hak Menguasai Negara sesuai dengan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 pemerintah wajib berusaha agar bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sesuai pula dengan pasal 2 ayat 4 UUPA yang menekankan desentralisasi dalam hukum agraria maka politik hukum agraria Indonesia selayaknya bercorak neo-populis yang menempatkan satuan usaha pada keluarga dengan pertanggungjawaban yang diatur oleh negara . Kenyataannya banyak sengketa agraria yang terjadi biasanya dimulai dengan pemberian hak-hak keagrariaan oleh pemerintah kepada perusahaan modal besar atau bagi proyek pemerintah sendiri. Hal ini telah menjadi sisi lain dari pengadaan tanah berskala besar bagi proyek pembangunan pemerintah maupun perusahaan bermodal besar. Sengketa ini bersifat struktural dalam arti bahwa sengketa atas sebidang tanah beserta segala sesuatu yang tumbuh di atasnya dan terkandung di dalamnya dimulai dengan pemberian hak atas tanah termaksud untuk proyek pembangunan dan telah terjadi ikatan kuat antara penduduk dengan tanah tersebut.
UUPA sebagai peraturan dasar dan pokok dalam hal keagrariaan seharusnya dapat menjawab permasalahan yang timbul. Namun kenyataannya masih terjadi sengketa yang berkepanjangan. Bagaimana seharusnya dengan UUPA sendiri ? Sanggupkah menjawab tantangan zaman ? Dan bagaimana kita harus bersikap terhadap UUPA ? Terdapat 4 (empat) golongan sikap terhadap UUPA saat ini:
1. Mereka yang percaya bahwa semua peraturan termasuk UUPA dibentuk dengan niat baik untuk jaminan kewajiban dan hak masyarakat sehingga terandalkan sebagai sarana perlindungan hak masyarakat. Sengketa terjadi karena penyimpangan yang dilakukan oleh oknum dalam mempergunakan kewenangannya.
2. Mereka yang percaya bahwa UUPA memuat jaminan terhadap hak-hak masyarakat namun peraturan pelaksananya banyak yang menyimpang darinya. UUPA adalah produk Orde Lama yang bersifat populis namun banyak peraturan pelaksanaannya sebagai hasil produksi Orde Baru bersifat kapitalis sesuai dengan pembangunan pada waktu itu. Sengketa yang terjadi karena orientasi pembangunan Orde Baru yang lebih mendahulukan pertumbuhan industri dan proyek pemerintah daripada kepentingan rakyat banyak. Peraturan agraria yang ada waktu itu adalah subsistem dari pertumbuhan ekonomi, sehingga bercorak ke arah lebih mendukung pemerintah.
3. Mereka yang berpendapat bahwa sengketa agraria akan menciptakan high-cost economic dan merugikan pasar bebas karena itu harus dikurangi seminimal mungkin. Reformasi agraria perlu dilakukan untuk kenyamanan bisnis. Dengan land-efficient market tanah harus menguntungkan karena itu diperlukan kepastian hukum atas tanah dengan pendaftaran tanah. Dan bisnis lancar tanpa hambatan pertanahan.
4. Mereka yang mengkritisi UUPA. Di samping dalam ketiga hal lainnya UUPA juga pemberi saham terbesar dalam sengketa yang terjadi. UUPA adalah master-piece pada jamannya namun sudah tidak sesuai lagi dengan masa sekarang dan perlu diganti oleh Undang Undang baru. Revisi UUPA harus merupakan implementasi hak asasi manusia sebagaimana semboyan the right to development dan the right of self determination.
Dikaitkan dengan realita, seiring dengan berjalannya waktu, paling tidak terdapat tiga kelompok masyarakat yang mengharapkan bahwa UUPA sebagai peraturan dasar dan pokok yang menjadi sandaran politik hukum agraria:
1. Tetap dipertahankan sebagaimana adanya;
2. Dicabut, atau diganti dengan yang baru, atau;
3. Disempurnakan.
Dilihat dari substansinya sebenarnya UUPA sendiri sesuai dengan cita keadilan bangsa Indonesia yang tidak menghendaki adanya exploitation de l’homme par l’homme dan menghindarkan unsur-unsur pemerasan seperti yang tercantum dalam pasal 10 ayat 1.



BAB V
SIMPULAN

Penguasaan atas tanah tidak terlepas dari perlu adanya Tenurial Security yang diartikan sebagai kepastian penguasaan dan pemanfaatan tanah dan segala hasil olahan di atas tanah. Ketika suatu hak baru diberikan oleh pemerintah pada kelembagaan ekonomi dan politik modern untuk menguasai tanah, mengekploitasi hasilnya dan/atau membangun segala sesuatu yang baru di atas teritori maka diperlukan pertimbangan yang sangat matang, karena pemberian hak baru ini, misalnya Hak Guna Usaha (HGU), akan dengan sendirinya mengubah susunan dari tata guna tanah (land use) dari kawasan tersebut.
Dalam penataan guna tanah (land use), dapat dibedakan dari dua pelaku yang berbeda, yaitu: (i) penataan guna tanah yang berasal dari dan dimiliki oleh masyarakat secara langsung yang dibuat berdasarkan pengetahuan-pengetahuan setempat (local knowledge) dan digunakan oleh mereka dalam kehidupan sehari-hari, dan (ii) penataan guna tanah yang berasal dari pemerintah atau Negara yang dibuat berdasarkan kepentingan-kepentingan ekonomi, politik, dan sosial yang bersifat makro dan dibuat lebih banyak berdasarkan pada perhitungan-perhitungan teknis ekonomi, geo- dan demografi, serta ilmu perencanaan wilayah.
Penatagunaan tanah oleh perusahaan bisnis, merupakan turunan dari penatagunaan oleh pemerintahan. Dalam penataan Penataan guna tanah oleh pihak kedua ini (pemerintah dan bisnis), umumnya datang belakangan setelah penataan guna tanah oleh masyarakat.. Tetapi penataan guna tanah oleh pihak yang kedua lah yang lebih memiliki kekuatan politik maupun hukum. Sehingga kedua penataan ini dalam kenyataannya seringkali berbenturan secara negatif di lapangan, seperti dalam banyak kasus kawasan perkebunan, konsesi Hak Pengusahaan Hutan, Kawasan Transmigrasi, Konsesi Pertambangan, dll yang bertumbukan dengan kepentingan masyarakat setempat, atau bahkan dengan kawasanpkawasan tenurial masyarakat adat, dimana kedua belah pihak sama-sama memiliki kepentingan atas kawasan tersebut.
Penataan guna tanah (dan termasuk hutan) yang datang dari pemerintah dan bisnis, tidak boleh bertumbukan dengan tenurial masyarakat adat dan/atau mengganggu sistem tenurial adat (customary tenure system) tersebut, karena sistem ini sudah ada (existed) terlebih dahulu dan memiliki akar dalam sejarah, budaya lokal dan hukum adat. Pengabaian terhadap sistem tenurial adat (customary tenure system) hanya akan menimbukan konflik yang berkepanjangan, yang pada gilirannya akan menghasilkan disintegrasi sosial bagi masyarakat adat yang bersangkutan maupun antara masyarakat adat dengan pihak luar yang datang.

No comments: