WELCOME FRIENDS

Selamat datang di blog ini, blog ini di tujukan sebagai kumpulan berita, artikel, pesan dan mungkin hasil pemikiran penulis dengan mengangkat tema sentral Hukum Bisnis, akan tetapi para pembaca juga akan di bawa membaca banyak tulisan-tulisan yang muatan secara materinya tidak berhubungan secara langsung dengan Hukum Bisnis saja, seperti contohnya dimasukannya tulisan mengenai Hukum Pidana, Hukum Tata Negara dan sebagainya, walau begitu adalah Hukum Bisnis yang tetap menjadi sentral utama dari materi muatan blog ini.

Selamat membaca dan di tunggu masukan, pendapat dan mungkin kritikan dari kawan-kawan semua.

07 August 2007

TINJAUAN HUKUM TERHADAP SAHAM SEBAGAI BENDA DALAM PERSPEKTIF HUKUM KEBENDAAN



BAB I
PENDAHULUAN

Kodifikasi hukum perdata yang pertama kali dapat dibukukan pada abad keenam (Masehi) dengan nama Corpus Iuris Civilis, yang dikerjakan pada jaman kejayaan Romawi sekitar tahun 524-565 (Masehi).

Tentang Corpus Iuris Civilis ini, John Henry Merryman menguraikan, bahwa :
“Corpus Iuris Civilis tidak hanya berisi terbatas pada hukum perdata, tetapi mencakup pula dan berkaitan dengan kekuasaan kaisar, organisasi kekaisaran dan masalah lain yang oleh pakar hukum sekarang digolongkan sebagai hukum publik. Tetapi harus diakui bahwa Corpus Iuris Civilis adalah merupakan objek studi yang paling intensif dan telah menjadi dasar dari sistem sistem hukum perdata di dunia. Corpus Iuris Civilis menjadi tidak digunakan lagi setelah jatuhnya kerajaan Roma. Akan tetapi pengaruhnya tetap tidak hilang terutama didaratan Eropa.”

Dalam sejarahnya hukum perdata ini kemudian diterima juga di negara Perancis yang kemudian di kodifikasikan pada tahun 1804 dengan nama Code Civil Des Francais yang kemudian tahun 1807 berubah nama menjadi Code Civil Perancis.
Belanda yang merupakan jajahan Perancis pada tahun 1811-1813 kemudian menerima dan memberlakukan hukum perdata ini dan dalam kodifikasinya, Belanda menamakannya Burgerlijk Wetboek (B.W) yang berlaku sejak 1 Oktober 1838.
B.W inilah yang kemudian berdasarkan asas konkordansi (penyesuaian) melalui Stb.1847 Nomor 23, berlaku di Hindia Belanda (Indonesia) sejak tanggal 1 Mei 1848. Asas konkordansi berarti bahwa hukum yang berlaku bagi orang – orang Belanda di Indonesia harus disesuaikan atau disamakan dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda.

Pada saat Indonesia merdeka di tahun 1945, secara hakiki bangsa Indonesia berhak menentukan bentuk hukum dan peraturan hukum seperti apa yang akan di anut oleh bangsa Indonesia ini, tetapi oleh karena ketidaksiapan dan ketidakmampuan pemimpin-pemimpin bangsa di saat itu, maka berdasarkan aturan peralihan Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa semua peraturan yang telah ada, masih terus dipergunakan hingga dibuat ketentuan yang baru, maka berdasarkan hal tersebut bangsa Indonesia secara mutatis mutandis terus mempergunakan Kitab Undang Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, di singkat menjadi BW) hingga saat sekarang ini.

Secara umum berdasarkan pembagian sistem hukum yang di anut di dunia ini, maka Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental yang lebih mengutamakan hukum yang tertulis demi terciptanya kepastian hukum, Kitab Undang Undang Hukum Acara Perdata (BW) yang hingga saat ini masih di pergunakan pun merupakan wujud perundangan dari sistem Eropa Kontinental tersebut.

Kitab Undang Undang Hukum Perdata itu sendiri didalamnya terbagi menjadi 4 buku (bagian), yakni Buku Kesatu Tentang Orang, kemudian Buku Kedua Tentang Kebendaan, Buku Ketiga Tentang Perikatan, dan Buku Keempat Tentang Pembuktian Dan Daluarsa.

Berkaitan dengan pembahasan dalam karya tulis ini, maka penulis secara khususnya akan menyoroti perihal buku kedua tentang Kebendaan.
Buku kedua tentang kebendaan dalam B.W ini di bagi lagi dalam 21 bab dan terdiri dari 733 pasal yang dimulai dari Pasal 499 sampai dengan Pasal 1232.

Dalam perkembangannya banyak dari ketentuan di buku kedua tentang kebendaan ini yang telah di cabut / di hapus oleh berbagai peraturan lainnya, hal ini disebabkan oleh karena perkembangan kehidupan masyarakat, perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang menuntut di lakukannya perubahan secara yuridis formil.

Beberapa perubahan itu antara lain terdapat dalam Undang Undang Pokok Agraria yang berlaku sejak tahun 1960, undang undang ini menyatakan mencabut buku II KUH perdata sepanjang yang mengatur tentang bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan mengenai hipotek.
Kemudian selain itu ada juga beberapa pasal yang dinyatakan tidak berlaku lagi yakni oleh Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) tahun 1953, kemudian juga secara perlahan dilanjutkan oleh beberapa Yurisprudensi dari Mahkamah Agung, dan menyusul dengan munculnya Undang Undang Hak Tanggungan Tahun 1996, Undang Undang tentang Fidusia tahun 1998, beberapa Undang Undang tentang Hak Cipta, dan perundangan lainnya.

Menurut Pasal 499 KUH Perdata, yang dinamakan dengan kebendaan adalah tiap – tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik.

Kemudian dalam Pasal 503 dan 504 KUH Perdata di bedakan tentang cara-cara membeda-bedakan kebendaan, yakni adanya benda bertubuh dan tidak bertubuh dan benda bergerak dan tidak bergerak.

Pasal 505 KUH Perdata menyatakan bahwa tiap-tiap kebendaan bergerak adalah dapat dihabiskan atau tak dapat dihabiskan, kebendaan dikatakan dapt dihabiskan, bilamana karena dipakai, menjadi habis.

Dewasa ini dengan semakin banyaknya perangkat investasi, adanya pasar modal dan pasar komoditi, berbagai macam surat-surat berharga dan derivatifnya membuat dalam perspektif hukum kebendaan yang berpusat pada buku II tentang kebendaan ini kemudian menjadi dipertanyakan eksistensinya, apakah termasuk juga sebagai “benda” berdasarkan buku II KUH Perdata, yang mana saja yang bukan termasuk sebagai “benda” seperti yang di atur dalam buku II KUH Perdata, dan banyak pertanyaan lainnya yang berkaitan dengan hal tersebut. Salah satunya adalah mengenai “saham” suatu perseroan, dalam wujudnya seringkali berbentuk surat saham, ada juga sertifikat saham, tetapi kemudian dengan adanya bursa efek (pasar modal) maka dikenal saham yang tidak berwujud apapun juga, tetapi hanya merupakan transaksi jual beli saham berupa deretan angka dan nama di sebuah layar besar (big screen) di dalam bursa efek.

Berkaitan dengan hal inilah maka penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai saham dalam hukum kebendaan seperti telah dipaparkan di atas, dengan judul ”TINJAUAN HUKUM TERHADAP SAHAM SEBAGAI BENDA DALAM PERSPEKTIF HUKUM KEBENDAAN.”




BAB II
SAHAM SEBAGAI BENDA DALAM HUKUM KEBENDAAN

Menurut Pasal 499 KUH Perdata, yang dinamakan dengan kebendaan adalah tiap – tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik.
Tetapi kemudian di dalam KUH Perdata tidak ada penjelasan mengenai apa yang di maksud dengan hukum kebendaan itu sendiri.

Sehingga dengan demikian haruslah melihat dari sumber lain seperti dari beberapa pendapat pakar berikut ini :
“Hukum kebendaan adalah hukum yang mengatur benda dan hak kebendaan.”
“Hukum kebendaan adalah hukum yang berlaku di Indonesia yang mengatur hak-hak diatasnya.”

Penulis sendiri lebih menyukai memakai pendefinisian yang dilakukan oleh Djuhaendah Hasan, oleh karena dalam pendefinisian tersebut dilakukan pemisahan secara tegas mengenai benda dan hak kebendaan. Hal ini penting karena dengan begitu harus dilihat seperti apa perbedaan yang di maksud di atas.

Benda dalam teminologinya secara umum dapat di nyatakan sebagai “segala yang ada di alam yang berwujud atau berjazad.”
Menurut Djubaendah Hasan, “benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dengan hak milik (eigendom) atau segala sesuatu yang dapat menjadi objek hak milik.”
Sementara itu yang dimaksud dengan hak kebendaan (zakelijkrecht) adalah “hak mutlak atas suatu benda yang memberikan kekuasaan langsung atas benda tersebut dan dapat dipertahankan terhadap siapapun.”

Dilihat dari sifatnya, hukum benda sifatnya tertutup, yaitu tidak dapat diadakan hak-hak kebendaan baru diluar yang telah diatur dalam undang-undang, artinya menganut sistem tertutup adalah “terdiri dari hak-hak kebendaan yang disebutkan secara limitatif dan tidak enunsiatif di dalam undang-undang.”
Menurut penulis, dianutnya sistem tertutup dalam hukum kebendaan adalah demi terciptanya suatu kepastian hukum berkaitan dengan hukum benda tersebut.

Sementara itu mengenai hak kebendaan memiliki sifat absolut (right in rem), yang secara singkat memiliki pengertian bahwa hak absolut tersebut berarti hak itu mengikat setiap orang.
Arti dari mengikat setiap orang dalam hak kebendaan (zakelijke rechten) ini adalah :
1. Hak itu dapat dipertahankan terhadap siapapun juga.
2. Memiliki droit de suite yakni hak mengikuti benda ditangan siapapun berada.
3. Memiliki droit de preferance yakni hak untuk didahulukan.
4. Memiliki hak penuh untuk mengalihkan.
5. Mengandung asas spesialitas.
6. Mengandung asas publisitas
7. Memiliki hak gugat kebendaan.

Dalam KUH Perdata pembedaan terhadap benda terdiri atas :
1. Benda bergerak (roerend goed)
a. Benda berwujud
b. Benda tidak berwujud
2. Benda tidak bergerak (onroerend goed)

Sesuai dengan sifat tertutup dalam hukum kebendaan, maka pengertian benda bergerak dan benda tidak bergerak juga telah diatur secara limitatif sepanjang belum di ubah oleh peraturan perundangan lainnya.
Benda tidak bergerak menurut penulis adalah benda yang karena sifatnya tidak dapat dipindahkan atau berpindah. Dalam KUH Perdata kebendaan yang tidak bergerak ini telah diatur dalam Pasal 506 sampai dengan Pasal 508.

Kemudian yang dimaksud dengan benda bergerak adalah karena dilihat dari sifatnya yang dapat berpindah atau dipindahkan (Pasal 509 KUH Perdata).
Saham (sero) menurut Pasal 511 KUH Perdata dianggap / di masukan sebagai benda bergerak, kemudian berdasarkan doktrin saham / sero ini kemudian di kategorikan sebagai benda bergerak yang tidak berwujud.
Hal ini dapat dilihat dalam penyataan “benda bergerak, berwujud (semua benda yang dapat diraba dan dirasa oleh indra manusia) dan tidak berwujud (misalnya surat berharga, piutang).”
Kemudian secara eksplisit oleh Abdulkadir Muhammad yang menyatakan saham sebagai surat berharga yang merupakan benda bergerak tidak berwujud.

Saham (sero) itu sendiri adalah tanda penyertaan modal pada perseroan terbatas.
Saham juga diberi arti dalam kamus istilah hukum fockema andreae sebagai aandeel (bld), saham (ind) adalah hak pada sebagian modal suatu perseroan ; andil dalam perseroan atau perusahaan, bagian-bagian modal pada perusahaan yang telah dibagi-bagi pada akte pendirian.
Sementara itu dalam kamus khusus pasar uang dan modal dijelaskan saham adalah surat bukti pemilikan bagian modal perseroan terbatas yang memeberi hak atas dividen dan lain-lain menurut besar kecilnya modal yag disetor.
Kemudian lebih tegas lagi dalam surat keputusan direksi bank indonesia No. 24/32 tanggal 12 Agustus 1991 tentang kredit kepada perusahaan sekuritas dan kredit dengan agunan saham, dalam pasal 1 butir c dinyatakan bahwa saham adalah surat bukti pemilikan suatu perseoan terbatas, baik yang diperjualbelikan di pasar modal maupun yang tidak.

Dari beberapa pendapat di atas maka penulis menyimpulkan bahwa saham merupakan bagian dari modal dalam suatu perseroan yang secara langsung memiliki konsekuaensi pada pemilik saham berupa hak-hak (kebendaan) yang melekat kepada saham yang dimilikinya.

Berdasarkan Pasal 24 Undang Undang No 1 Tahun 1995 tentang perseroan Terbatas, saham di kenal sebagai saham atas nama dan saham atas tunjuk.
Saham atas nama adalah yang mencantumkan nama pemegang atau pemiliknya.
Sedang saham atas tunjuk adalah saham yang tidak mencantumkan nama pemegang atau pemiliknya.

Dalam dunia usaha klasifikasi saham tidak hanya terbagi menjadi dua bagian yakni saham atas nama dan saham atas tunjuk saja melainkan memiliki banyak varian dengan klasifikasi yang berbeda-beda.
Contohnya adalah di kenalnya saham umum (common stock) dan saham preferen (preferred stock) atau sering disebut juga saham prioritas.

Seperti telah dijabarkan di atas bahwa central hukum kebendaan adalah hak milik, maka saham dalam perseroan juga merupakan bukti kepemilikan.
Saham merupakan bukti kepemilikan dari pemodal yang menginvestasikannya dalam perseroan.

Secara eksplisit menurut Sentosa Sembiring dalam perkembangannya, kepemilikan atas saham ini didapatkan tidak harus dengan cara menyetorkan uang tunai sebagai modal saja, tetapi juga dapat berbentuk lain misalnya saja barang produksi ataupun dapat berupa hak kekayaan intelektual.

Berdasarkan pemaparan di atas maka dalam hukum kebendaan dapat di lihat bahwa saham (sero) adalah merupakan benda sehingga termasuk dalam hukum kebendaan, benda tersebut merupakan benda yang dapat dimiliki oleh seseorang dan kepemilikannya tersebut bersifat absolut, sehingga secara yuridis formil saham diakui sebagai benda bergerak tidak berwujud (Pasal 511 KUH Perdata) dan kemudian dalam doktrin juga telah diakui mengenai keberadaan saham tersebut dalam hukum kebendaan sebagai benda bergerak dan tidak berwujud, dan yang terakhir yakni dalam kebiasaan di dunia usaha (bisnis) telah lama dan dipergunakan dan di kenal adanya saham sebagai bukti kepemilikan dalam suatu perseroan.

BAB III
SAHAM SEBAGAI BENDA DALAM HUBUNGANNYA
DENGAN PARA PIHAK YANG BERKAITAN

Saham (sero) sebagai benda tidak pernah dapat dilepaskan dengan perihal kepemilikan dan akibat yang timbul dari adanya saham itu sendiri.
Seperti telah di sebutkan di atas bahwa dalam Pasal 24 Undang Undang No. 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas di kenal saham atas nama dan saham atas tunjuk.
Jadi menurut pasal tersebut setidaknya ada dua jenis kelompok pemegang saham.
Tetapi saat dihubungkan dengan perseroan terbatas yang kemudian go public / menjadi PT Terbuka, maka pihak yang berkaitan dengan saham ini pun menjadi semakin kompleks dan luas, yang menurut penulis setidaknya dapat di bagi menjadi :
1. Para pihak sebelum saham didaftarkan (listing) di bursa efek
2. Para pihak setelah saham didaftarkan (listing) di bursa efek

Sebelum masuk bursa / go public, maka para pemegang saham biasanya terdiri dari anggota keluarga yang kemudian menjadi para pemegang saham, atau juga dapat orang lain yang bersama-sama menanamkan modalnya kedalam perusahaan tersebut. Dalam pengalihan saham itu pun masih mudah dilakukan yakni langsung berhubungan antaa pemegang saham selaku pemilik saham dengan pembeli saham. Para pihak pemegang saham dalam perusahaan yang tidak go public ini masih sederhana dan di atur dengan jelas dalam Undang Undang No. 1 Tentang Perseroan Terbatas.

Setelah suatu perseroan terbatas masuk bursa / go public, maka para pihak pemegang saham bukan hanya anggota keuarga atau beberapa orang pemegang saham saja, tetapi telah dengan bebas diperjualbelikan di bursa efek oleh masyarakat luas, sehingga kepemilikan saham tidak lagi di catat dalam pembukuan perseroan terbatas, tetapi juga dalam bursa efek dan dapat mencapai ratusan bahkan ribuan nama pemegang saham.
Selain itu juga jika saham hendak dialihkan, tidak dapat lagi secara langsung melainkan harus mengikuti tata cara yang ditentukan oleh undang undang Pasar Modal, yakni harus melalui perantara pedagang efek. Jadi setidaknya ada pihak lain yakni pedagang efek atau sering juga di sebut pialang, broker, dan sebagainya selaku pihak lain dalam pengalihan saham tersebut.

Perbedaan yang mendasar dari keberadaan saham saat suatu perseroan terbatas menjadi terbuka atau masuk bursa (go public) dan yang tidak masuk bursa (tidak go public) adalah bahwa saham tersebut biasanya dalam perusahaan yang go public memiliki bentuk nilai saham yang lebih kecil tetapi lebih banyak jumlahnya ketimbang saat saham tersebut berada dalam perusahaan yang tidak go public.
Keberadaan saham ini sebagai benda bergerak dapat di lihat dari wujudnya yang dapat kapan saja dialihkan haknya, baik dengan cara di gadaikan, di jualbelikan, bahkan dapat di wariskan dan saham tersebut di anggap sebagai wujud hak kebendaan yang bersifat absolut terhadap pemiliknya.

Saham sebagai benda bergerak dalam hubunganan para pihak saat terjadi pengalihan, antara perseroan terbatas dengan perseroan terbatan yang go public pada dasarnya tidak memiliki perbedaan yang jauh maupun krusial.
Hubungan antara pemegang saham (pemilik saham) dengan penerima saham dengan cara membeli, hibah, gadai, dan sebagainya adalah hubungan penjual dan pembeli, yakni saat beralihnya kepemilikan saham itu maka seluruh hak (dividen, hak suara, dsb) dan kewajibannya (utang piutang, dsb) yang melekat pada saham itu beralih juga dari pemegang yang lama (penjual / pemberi saham) kepada pemegang saham yang baru / penerima saham.

Yang perlu diperhatikan adalah jika pengalihan saham itu tidak dilakukan sepenuhnya, artinya saham yang dialihkan adalah pecahan dari suatu nominal saham, jika hal itu sesuai dengan anggaran dasar perseroan terbatas yang bersangkutan maka hal ini tidak akan menjadi masalah, akan tetapi jika nominal pecahan saham minimal telah di tetapkan maka jiak terjadi pengalihan kepemilikan saham yang merupakan pecahan dari suatu nilai nominal saham yang telah di tentukan, maka hubungan hukum antara pemegang saham pertama (pemegang saham lama) dengan pemegang saham yang baru, sebaiknya membuat perjanjian antara 2 (dua) belah pihak berkaitan dengan bagaimana permasalahan hak (dividen, hak suara, dsb) dan kewajiban (utang piutang, dsb) yang melekat pada saham tersebut.

Penulis membuat contoh untuk hal ini sebagai berikut :
Suatu perseroan terbatas X, dalam anggaran dasarnya telah menentukan bahwa nilai saham terkecil adalah 1 saham seharga 1 juta rupiah.
A memiliki 1 saham tersebut, tetapi kemudian karena membutuhkan uang maka A menjual kepada B ½ dari saham itu seharga 500 ribu rupiah.
Hubungan hukum yang ada antara A dan B adalah jual beli, tetapi oleh karena ketentuan anggaran dasar PT X, maka tentunya akan dipermasalahkan di kemudian hari mengenai hak memperoleh dividen, hak suara, dsb sehubungan dengan kepemilikan B atas saham tersebut tidak memenuhi syarat yang telah di tentukan oleh anggaran dasar PT X, maka selanjutnya untuk mengantisipasi hal itu di buatlah perjanjian antara A dan B yang isinya adalah mengenai pembagian hak serta kewajian yang lahir dari adanya saham tersebut.

Jadi di sini ada 2 hubungan hukum para pihak berkaitan dengan saham tersebut, yakni :
Pertama antara A selaku pemegang saham dengan PT X.
Kedua adalah antara A dan B dalam perjanjian jual beli saham dan menyusul perjanjian antara A dan B yang berisi tentang pembagian dividen, hak suara, dsb yang merupakan hak serta kewajiban yang melekat dengan adanya saham kepemilikan tersebut.



BAB IV
KESIMPULAN

Berkaitan dengan hukum kebendaan di Indonesia masih menganut ajaran kebendaan dari KUH Perdata (B.W) yang di negara Belanda sendiri telah mengalami perubahan dengan adanya NBW.
Hukum kebendaan di Indonesia menganut pembagian kebendaan menjadi benda bergerak dan tidak bergerak. Benda bergerak itu sendiri terbagi lagi menjadi dua bagian yakni benda yang berwujud dan tidak berwujud.
Dalam kaitannya dengan saham (sero), maka secara yuridis formil saham tersebut di pandang sebagai benda yang bergerak dan tidak berwujud. Hal ini jelas di nyatakan dalam Pasal 511 KUH Perdata.

Keberadaan saham sebagai benda ini juga kemudian dipertegas dalam doktrin (pendapat para pakar) yang telah diakui mengenai keberadaan saham tersebut dalam hukum kebendaan sebagai benda bergerak dan tidak berwujud, dan yang terakhir yakni dalam kebiasaan di dunia usaha (bisnis) telah lama dan dipergunakan dan di kenal adanya saham sebagai bukti kepemilikan dalam suatu perseroan dan keberadaan saham tersebut sebagai benda membuat dengan sendirinya saham itu memiliki harga (value) layaknya benda lainnya dan dengan sendirinya juga layaknya benda bergerak lainnya, saham dapat di alihkan dan dengan mudah di perjual belikan dalam dunia usaha (bisnis).




DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir Muhammad, Hukum Dagang Tentang Surat-Surat Berharga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993

Djaja Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang Dan Hukum Keluarga, Nuansa Aulia, Bandung, 2006

Djuhaendah Hasan, Diktat Hukum Kebendaan, Hukum Bisnis Unpad, 2007

------------------------, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah Dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Horisontal, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996

-----------------------, Diktat Kapita Selekta Hukum Perdata, Hukum Bisnis Unpad, 2007

Sentosa Sembiring, Hukum Perusahaan Tentang Perseroan Terbatas, Nuansa Aulia, Bandung

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak Atas Benda, Intermasa, 1981



Sumber Lain :

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994

Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda – Indonesia, Diterjemahkan Oleh H Boerhanoedin St Batuah (Dkk), Binacipta, Bandung, 1983

Kamus Khusus Pasar Uang Dan Modal, Dept Keuangan Ri- Badan Pelaksana Pasar Modal, Jakarta, 1974

Kitab Undang Undang Hukum Acara Perdata








TINJAUAN HUKUM TERHADAP PENGATURAN INTERNASIONAL E-COMMERCE DIHUBUNGKAN DENGAN
HUKUM KONTRAK INTERNASIONAL



BAB I
PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi elektronik yang berlangsung pesat hingga saat ini telah mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan dan kegiatan di masyarakat luas, dalam berbagai sisi kehidupan dan termasuk juga di bidang hukum.
Munculnya penemuan internet dan kemudian berkembang pada praktek perdagangan dengan ruang lingkup yang baru yakni tanpa batasan (borderless) melalui media elektronik (e-commerce) secara umum telah menimbulkan dampak ekonomi dan hukum yang sangat luas.

Hukum nasional dan internasional, baik publik maupun privat akan mendapat pengaruh cukup besar dari perkembangan baru dibidang teknologi tersebut. Berbagai upaya pun tengah dilakukan oleh organisasi-organisasi internasional seperti PBB melalui UNCITRAL dan UNCAD, WTO dan juga perhimpunan-perhimpunan regional negara-negara seperti ASEAN untuk membuat aturan-aturan / perangkat hukum yang setidaknya dapat dijadikan acuan oleh pemerintah-pemerintah negara-negara yang berkepentingan.
Hingga saat ini juga dapat dilihat pemerintah Indonesia mulai terus berusaha mengikuti perkembangan praktik e-commerce untuk menghindari dampak yang dapat merugikan para pelaku bisnis serta masyarakat pada umumnya, hal ini dapat di lihat dengan adanya beberapa rancangan undang-undang yang berkaitan dengan e-commerce, telematika, dan sebagainya. Secara empiris e-commerce telah menjadi salah satu transaksi bisnis yang biasa dilakukan melalui internet.

Dari perspektif hukum, perkembangan e-commerce ini telah menimbulkan berbagai permasalah dan ketidakpastian yang memerlukan penanganan segera. Hal ini dapat dilihat khususnya berkaitan erat dengan hal kontrak yang termuat didalamnya. Di Indonesia perihal kontrak dan sisi yuridis materil maupun formil berkaitan dengan hal tersebut telah diatur dengan jelas dalam beberapa peraturan perundang-undangan, akan tetapi teknologi yang mendukung terciptanya e-commerce tidak mengenal atau menghiraukan batas-batas wilayah negara sehingga hukum yang pergunakan pun menjadi berada dalam suatu wacana yang komprehensif, artinya tidak hanya dari sisi hukum nasional tetapi juga hukum internasional.

Dari sisi hukum nasional, permasalahan sehubungan dengan kontrak internasional dalam e-commerce adalah perumusan aturan-aturan hukum perjanjian yang mencakup e-commerce contract, selain itu juga berkaitan dengan legatimasi / keabsahan suatu konrak / perjanjian dalam e-commerce yang secara langsung menciptakan hubungan bisnis yang dapat diimplementasikan. Kemudian juga berkaitan dengan penyelesaian sengketa jika timbul perselisihan, masalah perpajakan, perlindungan konsumen, HAKI, dan sebagainya.
Di sisi lain pada tataran internasional, berkaitan dengan permasalahan aturan-aturan / perangkat hukum di bidang yang terkait dengan persoalan pembentukan kebijakan negara khususnya dibidang ekonomi dan perdagangan yang masih seringkali kebijakan-kebijakan yang dibuat negara menimbulakn hambatan-hambatan baru terhadap sistem perdagangan dunia.

Berdasarkan hal tersebut, maka penulis pada kesempatan ini akan mencoba membahas dan menuangkannya dalam karya tulis ini dengan judul “TINJAUAN HUKUM TERHADAP PENGATURAN INTERNASIONAL E-COMMERCE DIHUBUNGKAN DENGAN HUKUM KONTRAK INTERNASIONAL”



BAB II
KONTRAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM NASIONAL

Di Indonesia, hukum kontrak telah memiliki kedudukan tersendiri, hal ini dapat dilihat dalam Buku III KUH Perdata, yang terdiri atas 18 bab dan 631 pasal. Dimulai dari Pasal 1233 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata.
Sekalipun KUH Perdata yang masih di anut oleh Indonesia berasal dari Belanda dengan nama awal Burgerjlik Wetboek (disingkat B.W), akan tetapi saat ini negara Belanda sendiri sudah tidak memakai B.W tersebut dan telah merubahnya (revisi) menjadi NBW yang juga tetap mengatur mengenai hukum kontrak, tempat pengaturan hukum kontrak dalam buku IV tentang van verbintenissen, dimulai dari Pasal 1269 NBW sampai dengan Pasal 1901 NBW.

Kontrak yang dalam bahasa Inggris disebut contracts atau overeenkomst dalam bahasa Belandanya sering juga diterjemahkan menjadi perjanjian.
Definisi perjanjian atau kontrak di atur dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang berbunyi “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”

Berikut ini adalah pendapat para ahli hukum” “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana ada seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.
“Suatu perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk melaksanakan prestasi”.
Sistem pengaturan hukum kontrak di Indonesia adalah sistem terbuka (open system), yang artinya bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan maupun yang belum di atur di dalam undang-undang. Hal ini dapat dilihat dan kemudian disimpulkan dari ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata membuat terciptanya kebebasan kepada para pihak untuk :
1. Membuat atau tidak membuat perjanjian,
2. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun,
3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan
4. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

Analisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata ini telah membuat di kenalnya asas penting dalam hukum perdata yakni asas kebebasan berkontrak.
Asas kebebasan berkontrak (beginsel der contractsvrijheid) disimpulkan dengan jalan menekankan pada perkataan “semua” yang ada dimuka perkataan “perjanjian”.
Dikatakan bahwa Pasal 1338 ayat (1) itu seolah-olah membuat suatu pernyataan (proklamasi) bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang.

Kebebasan berkontrak tersebut kemudian selalu di hubungkan (junto) dengan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai sahnya suatu kontrak / perjanjian. Hal ini dikarenakan melihat dari bunyi Pasal 1338 ayat (1) yang mensyaratkan agar kontrak / perjanjian apapun juga yang dibuat selalu “dibuat secara sah”
Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, ditentukan empat syarat sahnya perjanjian, yakni :
1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak,
2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum,
3. Adanya objek, dan
4. Adanya kausa yang halal.
Dalam penjabarannya empat syarat tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Kesepakatan kedua belah pihak, yang diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata yang artinya pernyatan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.
2. Kecakapan bertindak, yaitu kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum, salah satu ukurannya adalah seseorang yang telah berumur 18 tahun dan atau sudah kawin. Adapaun orang yang tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah:
- Anak dibawah umur
- Orang yang berada dibawah pengampuan
- Istri (Pasal 1330 KUHPerdata) walaupun dalam perkembangannya dapat melakukan perbuatan hukum (Pasal 31 UU Nomor 1974 jo SEMA No 3 Tahun 1963)
3. Objek perjanjian, yaitu prestasi.
Prestasi dapat terdiri atas :
- Memberikan sesuatu
- Berbuat sesuatu
- Tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUHPerdata)
4. Causa yang halal, dalam KUHPerdata tidak dijelaskan pengertian causa yang halal, namun hanya menyebutkan causa yang terlarang. Sejak tahun 1927 dalam Hoge Raad dijelaskan bahwa yang termasuk dalam causa yang terlarang adalah perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum, dapat diartikan causa yang halal menurut Hoge Raad ini merupakan sesuatu yang menjadi tujuan para pihak.



BAB III
ELECTRONIC COMMERCE DALAM PENGATURAN INTERNASIONAL

Electronic commerce (disingkat e-commerce) adalah kegiatan-kegiatan bisnis yang menyangkut konsumen (consumers), manufaktur (manufactures), services providers dan pedagang perantara (intermediateries) dengan menggunakan jaringan-jaringan komputer (computers network) yaitu internet.

Berbicara mengenai perdagangan di dunia maya (e-commerece) tidak pernah dapat dipisahkan dengan perjanjian / kontrak maya berskala internasional (e-contract), hal ini dikarenakan setiap perdagangan dan hubungan bisnis antara para pelaku bisnis di dunia maya, selalu memiliki kontrak atau dituangkan dalam suatu kontrak maya (e-contract), atau setidaknya ada terms and conditions yang telah dibuat salah satu pihak (klausula baku) dalam menjalankan usaha / bisnis di dunia maya tersebut.

Kontrak maya (e-contract) dalam dunia usaha internasional yang menggunakan fasilitas internet sebagai jembatan usahanya, di kategorikan sebagai kontrak internasional.
Hal ini dikarenakan di dalam kontrak tersebut adanya unsur asing.
Dengan begitu lahirlah hingga saat ini keberadaan kontrak (perjanjian) yang berskala internasional, yang adalah “suatu kontrak yang didalamnya ada atau terdapat unsur asing (foreign element).”

Hal ini juga di perkuat oleh pendapat yang mengatakan bahwa “are contract with two nations or more nation states. Such contracts may be between states, between state and a private party, or exclusive between private parties.”
Istilah kontrak internasional tersebut haruslah di bedakan dengan istilah perjanjian internasional, yakni bahwa “kontrak internasional dalam bidang komersil atau perniagaan … perjanjian internasional dalam bidang publik bukan bersifat komersial atau perniagaan.”
Penulis berpendapat dengan demikian jika berbicara mengenai perjanjian dalam bidang komersial dan perniagaan (perdagangan) maka lebih tepat menggunakan istilah kontrak internasional, sebab istilah perjanjian internasional dapat mencakup bidang yang lain, bidang kenegaraan (perjanjian bilateral antar negara, dan sebagainya), dan bidang publik.

Keberadaan kontrak internasional ini pun kemudian mengalami perkembangan sehubungan dengan adanya bentuk perdagangan baru yang di sebut electronic commerce (e-commerce), yang merupakan penemuan baru dalam bentuk perdagangan yang dinilai lebih dari perdagangan pada umumnya (konvensional).

Perkembangan e-commerce membawa banyak dampak perubahan secara umum pada sektor aktivitas bisnis yang selama ini biasa di jalankan di dunia nyata, dan secara khusus mengakibatkan juga perubahan di bidang kontrak internasional.
E-commerce tersebut merupakan transaksi perdagangan yang melibatkan individu-individu dan organisasi-organisasi atau badan, berdasarkan pada proses dan transmisi data digital, termasuk teks, suara atau jaringan tertutup seperti American On Line (AOL) yang mempunyai jaringan terbuka dan di kenal hingga saat ini.

Implikasi dari pengembangan perdagangan dan kontrak (internasional) tersebut tentunya ada yang di rasa positif dan menguntungkan, tetapi ada juga yang di rasa negatif, yakni :
Aspek positifnya adalah terciptanya kecepatan dan kemudahan serta kecanggihan dalam melakukan transaksi dan iteraksi global tanpa batasan waktu dan tempat, kemudian telah berhasil meningkatkan peranan dan fungsi perdagangan sekaligus memberikan kemudahan dan efisiensi yang lebih. Tetapi dari aspek negatifnya, masih di permasalahkan berkaitan dengan persoalan keamanan dalam bertransaksi dan secara yuridis terkait juga dengan jaminan kepastian hukumnya.
Keberadaan suatu kontrak internasional dalam perdagangan mayaranta (e-commerce) baru dapat di katakan sah menurut hukum Indonesia, saat di anggap telah memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian (Pasal 1329 KUHPerdata) yakni kesepakatan yang telah tercapai saat konsumen meng-klik suatu ilustrasi “setuju”, pengisian data diri sehingga diketahui kecakapannya, objek yang ditawarkan tertentu, perjanjian dapat di baca sehingga dapat di ketahui isi suatu sebab yang halal.

E-commerce sebagai lahan pebisnis dan para pelaku usaha telah menjadi trend yang sangat menarik perhatian publik. Penggunaan peralatan elektronika khususnya internet untuk melaksanakan atau membuat suatu transaksi (contract) komersial telah dirancang sedemikian rupa sehingga seringkali didalamnya terdapat suatu kontrak atau perjanjian yang dalam perspektif hukum masih terus menerus terjadi benturan atau perbedaan sistem hukum yang berlaku.

Ruang lingkup e-commerce atau segmentasinya setidaknya dapat meliputi tiga sisi, yakni:
1. Bisnis ke bisnis (bussiness to bussiness), yakni sistem komunikasi antara pelaku bisnis atau dengan kata lain transaksi secara elektronik antar perusahaan yang dilakukan secara rutin dan dalam kapasitas atau volume produk yang besar.
2. Bisnis ke konsumen (bussiness to customer), merupakan suatu transaksi bisnis secara elektronik yang dilakukan pelaku usaha dan pihak konsumen untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu dan pada saat tertentu.
3. Konsumen ke konsumen (customer to customer), merupakan suatu transaksi bisnis secara elektronik yang dilakukan antar konsumen untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu dan pada saat tertentu pula, sifatnya lebih khusus karena transaksi dilakukan oleh konsumen ke konsumen yang memerlukan transaksi.

Dapat dilihat, e-commerce yang selalu memuat didalmnya kontrak daganng (e-contract) bersifat global, sehingga penanganannya juga harus dilakukan dalam ruang lingkup internasional juga.
Beberapa usaha di bidang e-commerce hingga saat ini terus berlangsung di berbagai oganisasi internasional seperti, UNCTAD, UNCITRAL, OECD, WTO, dan sebagainya.
Secara lebih khusus, perkembangan hukum konrak internasional dalam bidang e-commerce yang terbaru adalah dengan adanya United Nations Convention On The Use Of Electronic Communication In International Contracts 2005.

1. UNITED NATION CONVERENCE ON TRADE AND DEVELOPMENT (UNCTAD)
Ini merupakan badan PBB yang bertugas membantu negara-negara berkembang, UNCTAD telah mendirikan jaringan bernama global trade point network dengan tujuan untuk membantu negara-negara berkembang dalam usaha mereka untuk mendapatkan manfaat dari perkembangan-perkembangan di bidang komunikasi elektronik. UNCTAD hingga saat ini merupakan salah satu sarana perdagangan internasional yang telah meningkatkan jasa mereka dan memfasilitasi jumlah transaksi kontrak / perjanjian perdagangan yang sangat luas. Bahkan hingga saat ini UNCTAD terus bergerak dari suatu jaringan pra-transaksional kearah suatu jaringan yang sepenuhnya tansaksional (contracts to contracts).

2. ORGANIZATION FOR ECONOMIC COOPERATION AND DEVELOPMENT (OECD)
OECD yang berdiri sejak tahun 1996 memfokuskan persoalan pada dua aspek yaitu : bussiness to bussiness dan rekomendasi strategis yang ditujukan kepada pemerinta dengan maksud untuk memfasilitasi perkembangan e-commerce dan memaksimalkan kontribusi kearah penciptaan bisnis dan pekerjaan-pekerjaan baru. OECD membuat studi yang dimaksudkan untuk meninjau peraturan-peraturan serta praktek yang ada di negara-negara anggota mengenai internet serta menghimpun pandangan-pandangan dari berbagai pelaku bisnis yang terlibat didalamnya.
Di bidang e-commerce OECD juga berusaha menciptakan suatu sistem pembayaran dan perbankan yang pararel diluar saluran-saluran perbankan konvensional. Hal ini tentunya masih terus diperjuangkan mengingat keberadaan OECD lebih kearah penciptaan bisnis dan pekerjaan-pekerjaan baru.

3. WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO)
Dalam hubungannya dengan e-commerce dan khususnya e-contract, WTO terus mencoba membantu negara-negara anggotanya membuat kebijakan baru sebagai respon terhadap perkembangan bisnis yang dipicu oleh pesatnya teknologi dewasa ini, transaksi komersial melalui internet dan e-contract telah menimbulkan dampak yang sangat besar di segala bidang termasuk di bidang hukum. E-commerce yang didalamnya juga secara tidak langsung terdapat atau adanya e-contract telah menciptakan sejumlah tantangan (keharusan) terhadap pemerintah berkaitan dengan keamanan dan privasi dari transaksi, perpajakan, perlindungan konsumen, penyelesaian sengketa dan kepastian hukum para pelaku yang terlibat dalam e-commerce. WTO dapat membantu memfasilitasi e-commerce dan mengintegrasikannya kedalam peraturan-peraturan perdagangannya.

4. UNITED NATION COMMISSION ON INTERNASIONAL TRADE LAW (UNCITRAL)
Sebagai tindak lanjut dari mandat untuk menciptakan harmonisasi dan unifikasi hukum perdagangan internasional yang dapat menghilangkan hambatan-hambatan terhadap perdagangan internasional sebagai akibat dari tidak memadai dan beragamnya aturan-aturan dibidang perdagangan, maka sejak tahun 1996 UNCIRAL Model Law On Electronic Commerce telah di terima olah UNCITRAL.
Model law ini dipersiapkan sebagai respon terhadap perubahan besar yang terjadi dalam cara komunikasi diantara pihak-pihak dengan menggunakan komputer dan teknik-teknik modern lainnya dalam menjalankan bisnis.
Sekalipun begitu, model law ini dimaksudkan hanya untuk mengarahkan prosedur dan memberikan prinsip-prinsip guna memfasilitasi teknik-teknik modern dalam merekam, dan mengkomunikasikan informasi, namun instrumen ini hanya sekedar framework law, artinya tidak menuangkan peraturan-peraturan lengkap yang mungkin dibutuhkan negara untuk mengimplementasikan teknik-teknik tersebut, sehingga juga tidak meliput keseluruhan aspek e-commerce.

5. UNITED NATIONS CONVENTION ON THE USE OF ELECTRONIC COMMUNICATION IN INTERNATIONAL CONTRACTS 2005
UNCITRAL telah mengeluarkan suatu instrumen penting dalam bidang hukum kontrak internasional yang secara khususnya menggunakan sarana elektronik (e-contract) dalam sebuah konvensi yang bernama “The Convention On The Use Of Electronic Communication In International Contracting.”
Konvensi ini di buka untuk negara-negara yang hendak ikut terlibat dan menandatanganinya serta terikat di dalamnya sejak tangal 16 Januari 2006 hingga 16 Januari 2008. Konvensi ini terdiri dari 4 bab dan 25 pasal.
Tujuan di adakannya pembentukan konvensi ini adalah pengadopsian penyeragaman peraturan yang sama untuk menghilangkan rintangan dalam kontrak internasional dan komunikasi elektronik, termasuk rintangan yang biasa ada dalam instrumen hukum perdagangan.
Pada prinsipnya, sesuai dengan ketentuan di dalam Pasal 3 Konvensi, di nyatakan bahwa para pihak mendapat kebebasan untuk tidak menggunakan aturan substansi konvensi, sehingga masih ada yang di kenal dengan kebebasan para pihak untuk membuat peraturan berbeda dengan peraturan nasionalnya.
Mengenai status hukumnya, berhubungan dengan komunikasi elektronik, dalam Pasal 8 Konvensi di nyatakan bahwa suatu komunikasi atau suatu kontrak tidak boleh di sangkal keabsahan dan kekuatan hukumnya dengan alasan semata-mata komunikasi dan kontrak tersebut di buat secara elektronik.



BAB IV
E-COMMERCE DARI SEGI HUKUM KONTRAK INTERNASIONAL

Seperti telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya, salah satu unsur terpenting bagi terciptanya suatu kontrak adalah adanya kesepakatan (salah satu syarat berdasar Pasal 1320 KUH Perdata) diantara para pihak yang mengadakan perjanjian atau kontrak.

Dengan demikian juga suatu perjanjian / kontrak dapat berwujud tertulis ataupun tidak tertulis. Sedangkan melihat dari istilah “perikatan” maka menurut penulis, yang lebih ditekankan adalah mengenai adanya hak dan kewajiban yang lahir dari adanya pembuatan suatu perjanjian / kontrak tersebut. Sedangkan istilah perjanjian / kontrak lebih mengacu pada faktanya, yakni apakah tertulis atau tidak tertulis.
Dari hal tersebut, maka dari sisi hukum yang terpenting adalah kapan terciptanya suatu perikatan tersebut? Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, maka salah satu unsur perikatan adalah adanya kesepakatan. Jika kesepakatan para pihak tersebut dituangkan secara tertulis, maka ada suatu kontrak / perjanjian yang tertulis pula. Sebaliknya jika kesepakatan para pihak dinyatakan secara lisan, maka yang ada hanyalah suatu kontrak lisan saja. Akan tetapi baik kontrak secara tertulis maupun kontrak lisan, dapat melahirkan perikatan, yang artinya jika salah satu pihak tidak melaksanakannya pihak yang lain dapat menuntut pemenuhannya.

Ciri yang membedakan kontrak dalam e-commerce dari kontrak-kontrak yang lain pada umumnya ialah bahwa kesepakatan tidak diberikan dalam bentuk tertulis maupun lisan, melainkan komunikasi dengan media / sarana elektronik (internet). Inilah yang seringkali menjadi salah satu permasalahan jika di tinjau dalam perspektif hukum.

Hingga saat ini di negara Indonesia khususnya belum ada pengaturan tentang e-commerce maupun e-contract atau lebih khusus lagi mengenai hal kesepakatan dalam kaitannya dengan kontrak melalui media elektronik (internet). Secara ideal tentunya memang diperlukan pengaturan hukum bagi hal itu. Akan tetapi hal ini tentunya tidak menutup kemungkina bahwa selama pengaturan hukum itu belum ada, kesepakatan dan pembuatan suatu kontrak bisnis di dunia maya tetap dimungkinkan dilaksanakan. Sebenarnya telah banyak contoh-contoh kegiatan dagang dunia maya, hanya saja saat ini teknologi menjadi lebih canggih sehingga seringkali ekspor impor tidak dapat terlaksana tanpa bantuan lembaga letter of credit dan bill of ladding.

Adanya Uncitral Model Law On Electronic Commerce 1996 dan yag terbaru adalah dengan adanya United Nations Convention On The Use Of Electronic Communication In International Contracts 2005, merupakan langkah-langkah yang dilakukan oleh PBB untuk mempercepat tercapainya harmonisasi dan mungkin unifikasi antar hukum di antara negara-negara anggota yang mengatur mengenai e-commerce, atau setidaknya dapat memberikan “guidance” dalam penyusunan / pembentukan aturan hukum mengenai e-commerce tersebut.

Secara lebih sederhana lagi adalah agar pihak-pihak yang merencanakan akan mengadakan kegiatan bisnis melalui media elektronik dapat mengikatkan dirinya secara kontraktual terlebih dahulu, yakni dengan terlebih dahulu mensepakati persyaratan-persyaratan tertentu melalui media elektronik (internet) yang akan mengikatkan mereka sebagai kesepakatan yang disyaratkan oleh Pasal 1320 KUH Perdata.

Selain itu juga perkembangan e-commercce telah didukung adanya banyak program keamanan seperti firewall, antivirus terhadap spamming maupun virus.
Kemudian dalam pembuktiannya (hukum acara perdata) telah adanya tanda tangan digital (digital signature) yang memungkinkan sebuah dokumen elektronik ditandatangani secara elektronik pula.

Demi terciptanya suatu kontrak yang baik, dalam arti kontrak itu dapat menjadi suatu kontrak yang efektif dan efisien, maka menurut penulis sebuah kontrak (e-contract) dalam e-commerce haruslah dibuat dengan memperhatikan beberapa hal penting, antara lain :
1. Pengecekan terhadap para pihak yang hendak melangsungkan perikatan.
2. Memastikan bahwa kontrak yang dibuat telah memiliki choise of forum dan choise of law yang jelas.
3. Kepastian sistem pembayaran dan cara pembayaran yang dianggap paling aman bagi para pihak.

Saat ketiga hal ini dilakukan, maka setidaknya akan dapat meminimalisasi sengketa atau ketidakpastian hukum dalam e-commerce, selain itu juga ketiga hal itu termasuk langkah-langkah yang juga diatur dalam Uncitral Model Law On Electronic Commerce 1996 dan yang terbaru adalah dengan adanya United Nations Convention On The Use Of Electronic Communication In International Contracts 2005, dengan demikian perlindungan terhadap para pihak terjaga dan disisi lain peningkatan perdagangan di dunia maya dapat semakin meningkat yang tentunya menciptakan juga peningkatan bagi pemerintah baik secara ekonomi makro ataupun mikro




BAB V
SIMPULAN

Berbicara mengenai perdagangan di dunai maya (e-commerce) tidak pernah dapat dipisahkan dengan perjanjian / kontrak maya berskala internasional (e-contract), hal ini dikarenakan setiap perdagangan dan hubungan bisnis antara para pelaku bisnis di dunia maya, selalu memiliki kontrak atau dituangkan dalam suatu kontrak maya (e-contract), atau setidaknya ada terms and conditions yang telah dibuat salah satu pihak (klausula baku) dalam menjalankan usaha / bisnis di dunia maya tersebut.

Praktik e-commerce telah dan akan menimbulkan konsekuensi serius terhadap banyak bidang, termasuk di bidang hukum baik nasional maupun internasional, publik maupun privat. Usaha-usaha yang dilakukan berbagai organisasi internasional untuk membuat pengaturan mengenai e-commerce adalah dalam rangka menertibkan dan mensinkronisasikan pengaturan hukum nasional dengan pengaturan internasional.

Dalam hukum internasional telah ada beberapa pengaturan mengenai hal ini, seperti contohnya adanya UNCITRAL Model Law On Electronic Commerce 1996 dan United Nations Convention On The Use Of Electronic Communication In International Contracts 2005. Kemudian melihat pada hukum nasional masih berupa rancangan undang-undang seperti RUU Telematika dan RUU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Semakin meluasnya pengenalan akan internet terhadap masyarakat di Indonesia, dengan sendirinya akan menciptakan kegiatan e-commerce semakin meningkat, didukung perundangan yang diharapkan segera di sahkan setidaknya dapat menjadi payung hukum demi terciptanya kepastian hukum dan peningkatan ekonomi makro dan mikro bangsa Indonesia yang lahir dari peningkatan perdagangan di dunia maya tersebut.




DAFTAR PUSTAKA


Abdul Hakim Barkatullah & Teguh Prasetyo, Bisnis E-Comerce (Studi Sistem Keamanan Dan Hukum Di Indonesia), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005

Hata, Beberapa Aspek Pengaturan Internasional E-Commerce Serta Dampaknya Bagi Hukum Nasional, Dalam Varia Peradilan, Volume VII, Maret, 2002

Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2007

M.Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perikatan, Bandung: PT.Alumni, 1982

R.Subekti, Aneka Perjanjian, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995

Salim H.S, Hukum Kontrak (Teori Dan Teknik Penyusunan Kontrak), Sinar Grafika, Jakarta, 2003







03 July 2007

Asas Legalitas Dalam Kejahatan Bisnis Ditinjau Dalam Perspektif Teori Hukum

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam kehidupan sehari-hari, setiap anggota masyarakat secara langsung dan tidak langsung selalu diperhadapkan dengan norma-norma hukum, baik secara yuridis formil di atur dalam bentuk peraturan perundang-undangan, adanya hukum kebiasaan dan adanya hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law) atau dikenal dengan sebutan hukum adat.

Berbagai macam kebiasaan, hukum adat dalam suatu masyarakat maupun setiap peraturan perundang-undangan yang ada tidak pernah lepas dengan adanya suatu latar belakang munculnya semua peraturan perundang-undangan tersebut.


 Dalam ilmu hukum, semua peraturan perundang-undangan yang sedang diberlakukan tersebut di sebut dengan istilah hukum positif (ius constitutum), yang tentunya hukum positif tersebut memiliki bentuk yang berbeda dalam setiap negara, bahkan di antara negara-negara yang menganut sistem hukum yang sama (common law system maupun civil law system) perbedaan dan penerapan hukum positif di setiap negara pastilah tetap terjadi.


 Dalam mempelajari hukum positif suatu negara, yang dalam hal ini penulis menyoroti secara khusus pada bangsa Indonesia, maka pastilah yang di lihat dan di telaah adalah berkaitan dengan peraturan-peraturan hukum dengan segala cabang dan permasalahannya, seperti bentuk hukumnya, akibat hukumnya, penerapan pasal-pasal yang terkait, dan sebagainya.


 Tetapi jika hendak menelaah hukum hanya sebatas peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia (hukum positif), maka tentunya akan berhenti hanya sampai di sana dan berakibat terhentinya perkembangan ilmu hukum di Indonesia. Hakikat ingin terus berkembang dan mencapai hakiki hukum yang sesungguhnya membuat penelaahan yuridis tersebut kemudian berkembang mencoba mencapai hal – hal yang lebih dalam, bertanya mengenai hal-hal secara lebih terperinci, dan mencoba menyelesaikan setiap permasalahan tidak sebatas menggunakan peraturan perundang-undangan yang telah ada saja.

Inilah yang membawa keberadaan manusia sebagai makhluk yang bernalar.


Menurut Satjipto Rahardjo, "kemampuan untuk melakukan penalaran yang demikian itu tidak hanya membawa manusia kepada penjelasan yang konkrit … juga untuk "naik" sampai kepada penjelasan-penjelasan yang lebih bersifat filsafat."


 Di sinilah di kenal dalam ilmu hukum yang di sebut dengan TEORI HUKUM.

Teori hukum dapat dikatakan sebagai "kelanjutan dari usaha mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita merekonstruksikan kehadiran teori hukum dengan jelas."


 Dalam dunia ilmu pengetahuan itu sendiri, menurut Satjipto Rahardjo,

"Teori menempati kedudukan yang penting. Ia memberikan sarana kepada kita untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang kita bicarakan secara lebih baik. Hal – hal yang semula tampak tersebar dan berdiri sendiri bisa disatukan dan ditunjukan kaitannya satu sama lain secara bermakna. Teori, dengan demikian memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang dibicarakan.

Teori bisa juga mengandung subjektifitas, apalagi berhadapan dengan suatu fenomen yang cukup kompleks seperti hukum ini. Oleh karena itulah muncul berbagai aliran dalam ilmu hukum, sesuai dengan sudut pandang yang dipakai oleh orang-orang yang tergabung dalam aliran-aliran tersebut."


 Aliran – aliran dalam ilmu hukum itu kemudian terus berkembang seiring dengan perkembangan jaman dan teknologi, aliran – aliran dalam ilmu hukum ini juga yang kemudian melahirkan teori-teori hukum yang hakikatnya lebih bersifat filosofi, ketimbang berwujud yuridis formil.


 Teori hukum akan mempermasalahkan mengenai landasan dari suatu peraturan yang berlaku, mencoba menelaah mengenai keabsahan suatu perundang-undangan, mengenai keadilan dalam penerapan hukumnya, hubungan antara individu dengan penguasa di suatu negara, dan hal-hal lain yang menitikberatkan pada suatu hal yang bersifat abstrak.


 Seperti yang kemudian dipertegas oleh Radbruch, tugas teori hukum adalah membikin jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum samapai kepada landasan filisofisnya yang tertinggi.


 Dalam penulisan ini, penulis menyoroti teori hukum tersebut berkaitan dengan keberadaan asas legalitas yang di kenal dalam hukum pidana. Dalam dunia usaha (bisnis) dikenal yang di namakan kejahatan bisnis, sering juga di tafsirkan dengan kejahatan kerah putih (white collar crime) dan tidak jarang di kenal dengan kejahaan perusahaan / korporasi (corporate crime), akan tetapi menurut penulis sendiri kejahatan bisnis bukan hanya sebatas kejahatan kerah putih atau pun kejahatan korporasi, melainkan menurut penulis kejahatan bisnis adalah tindak pidana yang terjadi dalam dunia usaha, baik yang dilakukan oleh individu maupun korporasi.


 Sekalipun tindak pidana tersebut terjadi dalam dunia bisnis yang jika di lihat dari entitas hukum bisnis itu sendiri adalah hukum perdata, akan tetapi saat terjadi tindak pidana, tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan (setidaknya secara umum) dan tunduk pada keseluruhan asas – asas dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Dan salah satu asas yang menurut penulis paling di kenal dalam hukum pidana adalah asas legalitas.

Asas yang termuat dengan jelas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut berbunyi "Tiada suatu perbuatan boleh di hukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu."


 Asas legalitas ini dalam hukum pidana sangat penting, terutama berkaitan dengan kepastian hukum, hak asasi manusia, maupun rasa keadilan yang hingga saat ini masih terus di pertanyakan dalam banyak penerapan hukum di Indonesia.


 Berkaitan dengan hal tersebut, penulis tertarik untuk membahas dan menuangkannya lebih lanjut mengenai eksistensi asas legalitas ini di hubungkan dengan keberadaan teori – teori hukum yang telah ada dengan membuat judul "PENDEKATAN HUKUM TERHADAP ASAS LEGALITAS DALAM KEJAHATAN BISNIS DITINJAU DALAM PERSPEKTIF TEORI HUKUM"


 


BAB II

KEDUDUKAN ASAS LEGALITAS DALAM KEJAHATAN BISNIS DI INDONESIA


 Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi "Tiada suatu perbuatan boleh di hukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu."

Atau di kenal dalam bahasa Latin berbunyi "Nullum delictum nulla poena sine praevia lege."

Asas yang di populerkan oleh Anselm von Feurbach ini, secara umum merupakan asas yang kemudian di jadikan patokan / pedoman dalam hukum pidana, tentunya berkaitan dengan hal tersebut maka saat terjadi tindak pidana / kejahatan dalam dunia usaha (bisnis), dengan sendirinya tetap tunduk dan tidak boleh mengesampingkan asas legalitas ini.


Menurut E. Utrech konsekuensi dari asas legalitas adalah bahwa, "ada kemungkinan seorang yang melakukan suatu perbuatan yang pada hakekatnya merupakan kejahatan, tetapi tidak disebut oleh hukum sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum, tinggal tidak dihukum."


Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut, maka setidaknya ada 3 hal yang menjadi patokan / pedoman dalam hukum pidana berkaitan dengan hal tersebut, yakni :

  1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
  2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas).
  3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.


 Berdasarkan 3 hal di atas, secara singkat dapat di simak bahwa adanya keharusan aturan undang-undang yang tertulis lebih dahulu, yang dalam teks Belanda di sebutkan "settelijke strafbepaling" yakni aturan pidana dalam perundangan.


 Kemudian yang kedua adalah dalam hukum pidana tidak di kenal (tidak diperbolehkan) adanya analogi dalam pemidanaan, artinya adalah membuat sesuatu yang baru berdasarkan contoh yang sudah ada, sehingga dapat meluas terciptanya "hukum pidana" baru berdasarkan penganalogian itu. Hal ini dalam hukum pidana sangat tidak di perbolehkan, mengingat terjadinya analogi akan membuat kepastian hukum pidana menjadi di ragukan dan bahkan akan terjadi tendesius penerapan hukum pidana yang sewenang-wenang dengan dasar analogi atas suatu peristiwa.


 Hal tersebut sangat tepat jika di lihat dari latar belakang keberadaan asas legalitas tersebut, yaitu dalam sejarahnya memiliki latar belakang yang panjang dan "mengharukan", yakni

"dengan tidak di kenalnya asas legalitas tersebut membuat hingga di zaman Romawi di kenal kejahatan yang di namakan criminal extra ordinaria, artinya : kejahatan – kejahatan yang tidak di sebut dalam undang- undang. Sewaktu hukum Romawi kuno tersebut di terima (diresipieer) di Eropa Barat dalam abad pertengahan, maka pengertian tentang crimina extra ordinaria di terima juga oleh raja- raja yang berkuasa. Dan dengan adanya crimina extra ordinaria lalu di adakan kemungkinan untuk menggunakan hukum pidana itu secara sewenang-wenang, menurut kehendak dan kebutuhan raja-raja itu sendiri. Dalam memuncaknya kekuasaan mutlak (absolutisme) dari raja-raja, yang dinamakan zaman Ancien Regime inilah maka timbul pemikiran-pemikiran tentang pentingnya di tentukan dalam wet lebih dahulu perbuatan-perbuatan yang dapat di pidana, agar penduduk lebih dahulu bisa tahu dan tidak akan melakukan perbuatan tersebut. Montesquieu, J.J Rousseau secara tidak langsung telah mengemukakan pemikiran itu dalam buku mereka, yang kemudian di populerkan oleh sarjana muda Jerman bernama Anselm von Feurbach. Asas inilah yang kemudian di angkat dan mempunyai bentuk sebagai undang-undang dalam Pasal 8 "Declaration des droit de L'homme et du citoyen" di tahun 1789, bunyinya adalah "Tidak ada sesuatu yang boleh di pidana selain karena suatu wet yang ditetapkan dalam undang-undang dan diundangkan secara sah.""


 Menurut penulis, keberadaan kaedah hukum (yang berasaskan legalitas) dan mengandung tujuan mengenai kepastian hukum dan perlindungan hak tersebutlah yang membuat hukum pidana menjadi banyak mengalami perubahan hingga saat ini, terutama mengenai proses peradilan pidana atau pemidanaan terhadap seseorang.


 Sekalipun asas legalitas dalam KUHP Indonesia bertolak belakang / memiliki latar belakang dari ide / nilai dasar "kepastian hukum", namun dalam realitanya kemudian asas legalitas ini kemudian mengalami berbagai penghalusan / pergeseran / perluasan yakni antara lain sebegai berikut :

  1. Terdapat dalam KUHP itu sendiri yakni pada Pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi "Jikalau undang – undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya."
  2. Dalam praktek yurisprudensi dan perkembangan teori hukum pidana, dikenal adanya sifat melawan hukum yang materil.
  3. Dalam hukum positif dan perkembangannya di Indonesia yakni melihat pada Undang Undang Dasar Sementara 1950, Undang – Undang Darurat 1951, asas legalitas tidak semata-mata diartikan sebagai "nullum delictum sine lege", tetapi juga sebagai "nullum delictum sine ius" atau tidak semata-mata di lihat sebagai asas legalitas formal, tetapi juga legalitas material, yaitu dengan mengakui hukum pidana adat, hukum yang hidup atau hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum.


 Jika di satu sisi asas legalitas tersebut "berhasil" membuat lebih terciptanya kepastian hukum dalam hukum pidana di Indonesia, sebaliknya di satu sisi seringkali membuat hukum pidana yang harus tertulis dan membuat tindak pidana tidak akan pernah ada, jika ketentuan pidana dalam undang – undang tidak ada terlebih dahulu, membuat penerapan hukum pidana menjadi terkesan sangat terbatas (limitatif) dan "kaku" dalam penerapannya.


Hal ini dapat terlihat dalam banyak sisi kehidupan dewasa ini , yakni saat bersentuhan dengan hukum pidana dan khususnya asas legalitas ini, terlihat lemahnya penerapan hukum pidana antara lain : subjek tindak pidana hanya orang, tidak adanya sistem perumusan ancaman pidana secara kumulasi dan kumulasi alternatif, tidak adanya pidana minimal khusus, tidak adanya jenis sanksi pidana khusus dan aturan pemidanaan umum / khusus untuk korporasi, belum adanya peraturan mengenai tindak pidana mayantara (cyber crime), dan masih banyak lagi, yang menurut penulis membuat seringkali penerapan hukum pidana (secara in concreto) tidak berjalan dengan baik dan maksimal oleh karena kelemahan / kekurangan dalam perundangan pidana (secara in abstrakto) tidak dapat menyimpangi asas legalitas yang "mewajibkan" adanya suatu peraturan perundangan pidana terlebih dahulu.


Dalam hubungan antara asas legalitas tersebut dengan kejahatan bisnis (business crime), tentunya harus melihat dari mulai diperkenalkannya istilah White Collar Crime oleh seorang kriminolog yang bernama E.H Sutherland pada tahun 1939 di depan American Sosiological Society, yang kemudian oleh beliau di jabarkan lebih lanjut dalam bukunya Principles Of Criminology.


Sutherland merumuskan white collar crime sebagai kejahatan yang dilakukan oleh orang – orang yang memiliki kedudukan sosial yang tinggi dan terhormat dalam pekerjaannya (crime committed by persons of respectability and high sosial status in the course of their occupation). Sutherland juga kemudian menjelaskan bahwa istilah ini digunakan terutama untuk menunjuk kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh para pengusaha (kejahatan bisnis) dan pejabat-pejabat eksekutif yang merugikan kepentingan umum. (cetak tebal oleh penulis).


Menurut American Bar Association hal itu di sebut dengan nama kejahatan ekonomi (economic crime), yang di rumuskan sebagai kegiatan yang tidak sah, tanpa menggunakan kekerasan (non violent) yang terutama menyangkut penipuan, penyesatan, penyembunyian informasi, penggelapan dan manipulasi.

Istilah white collar crime in selain di kenal juga dengan nama economic crime, juga telah di gunakan banyak istilah seperti organizational crime, business crime, corporate crime, syndicated crime, dan masih banyak lagi.


Menurut Munir Fuadi yang di maksud dengan white collar crime adalah "suatu perbuatan (atau tidak berbuat) dalam sekelompok kejahatan yang spesifik yang bertentangan dengan hukum pidana yang dilakukan para profesional, …dengan tujuan untuk melindungi kepentingan bisnis atau kepentingan pribadi, atau untuk mendapatkan uang, harta benda, atau jasa…"


Yang pada simpulannya, selain beberapa pendapat yang telah di kemukakan sebelumnya, penulis menyetujui pendapat bahwa kejahatan bisnis adalah "…tindak pidana dalam bidang keuangan dan perbankan."


Sehingga dengan demikian menurut penulis, ruang lingkup kejahatan bisnis dapat meliputi kejahatan di bidang perbankan (banking crime), kejahatan korporasi (coorporate crime), kejahatan pencucian uang (money laundring), kejahatan di bidang perdagangan, kejahatan mayaranta (cyber crime), dan beberapa bentuk tindak pidana lain dalam bidang keuangan, perbankan dan elektronika.


Keberadaan kejahatan bisnis dalam praktiknya membuat keberadaan asas legalitas menjadi di pertanyakan keberadaannya. Hal ini dikarenakan di satu sisi asas legalitas yang tersirat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP merupakan asas umum dalam ketentuan hukum pidana yang berlaku secara umum sehingga secara mutatis mutandis juga harus di anut dan di terapkan dalam tindak pidana seperti di bidang perbankan, korporasi, perdagangan, kejahatan mayaranta, dan bahkan pencucian uang.

Tetapi kemudian di sisi lain, keberadaan asas legalitas ini justru membuat pencegahan dan penanggulangan terhadap kejahatan bisnis seakan-akan "berjalan di tempat" bahkan seringkali para pelaku tindak pidana tersebut lolos oleh karena mengingat salah satu aspek dalam rangka menghormati dan sekaligus penerapan praktis dari asas legalitas adalah adanya keharusan terlebih dahulu adanya suatu peraturan perundangan yang mengatur perbuatan (kejahatan bisnis) sebelum perbuatan tersebut di lakukan.


Hal inilah yang "mengganjal" laju penegakan hukum pidana di Indonesia, mengingat begitu banyaknya peraturan perundangan pidana yang belum ada aturannya hingga saat ini, bahkan belum ada rancangan undang-undangnya, sehingga seringkali membuat para aparat penegak hukum pidana "kebingungan" saat diperhadapkan dengan kejahatan bisnis tersebut.

Sebut saja seperti coorporate crime, kemudian cyber crime, kejahatan dalam perbankan dan pasar modal yang masih lebih banyak menekankan pada penjatuhan tindakan administratif dan bukan pidana, serta masih banyak lagi yang secara empiris membuat kejahatan bisnis tersebut seolah-olah masih menjadi "kebal hukum" mengingat di satu sisi adanya keharusan tetap di anut dan di junjungnya asas legalitas (yang mensyaratkan peraturan tertulis) dalam hukum pidana tersebut.


 


BAB III

TEORI HUKUM DALAM KAITANNYA DENGAN ASAS LEGALITAS DI INDONESIA


Seperti telah di kemukakan bahwa asas legalitas dalam hukum pidana Indonesia tersirat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi "Tiada suatu perbuatan boleh di hukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu."


Dari bunyi Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut maka dapat di buat suatu pembagian berkaitan dengan asas legalitas tersebut menjadi 3 hal penting,yakni :

  1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
  2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas).
  3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.


Menurut penulis jika dikaitkan dengan teori hukum tentunya membuat keberadaan asas legalitas ini harus di tinjau setidaknya dari 3 (tiga) aspek / sisi seperti :

  1. Dalam latar belakang sejarahnya.
  2. Dalam latar belakang aliran ilmu / falsafahnya.
  3. Dalam perkembangannya hingga di Indonesia.


Hal ini tentunya di haruskan, mengingat bahwa teori hukum adalah "kelanjutan dari usaha mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita merekonstruksikan kehadiran teori hukum dengan jelas."

Teori hukum juga dapat di artikan sebagai "ilmu yang mempelajari tentang pengertian-pengertian pokok dan sistem hukum, yang adalah inti yang sedalam-dalamnya dari hukum."


Teori hukum selalu mempermasalahkan mengenai : "landasan dari suatu peraturan yang berlaku, mencoba menelaah mengenai keabsahan suatu perundang-undangan, mengenai keadilan dalam penerapan hukumnya, hubungan antara individu dengan penguasa di suatu negara, dan hal-hal lain yang menitikberatkan pada suatu hal yang bersifat abstrak." Hal – hal tersebut sering juga di sebut sebagai gambaran identifikasi masalah dalam teori hukum.


  1. Latar Belakang Sejarahnya

    Dalam sejarahnya seperti telah di kemukakan sebelumnya, asas legalitas ini tidak di kenal sebelumnya hingga tahun 1789.

    "dengan tidak di kenalnya asas legalitas tersebut, di zaman Romawi di kenal kejahatan yang di namakan criminal extra ordinaria, artinya kejahatan – kejahatan yang tidak di sebut dalam undang- undang. Sewaktu hukum Romawi kuno tersebut di terima (diresipieer) di Eropa Barat dalam abad pertengahan, maka pengertian tentang crimina extra ordinaria di terima juga oleh raja- raja yang berkuasa. Dan dengan adanya crimina extra ordinaria lalu di adakan kemungkinan untuk menggunakan hukum pidana itu secara sewenang-wenang, menurut kehendak dan kebutuhan raja-raja itu sendiri. Dalam memuncaknya kekuasaan mutlak (absolutisme) dari raja-raja, yang dinamakan zaman Ancien Regime inilah maka timbul pemikiran-pemikiran tentang pentingnya di tentukan dalam wet lebih dahulu perbuatan-perbuatan yang dapat di pidana, agar penduduk lebih dahulu bisa tahu dan tidak akan melakukan perbuatan tersebut. Montesquieu, J.J Rousseau secara tidak langsung telah mengemukakan pemikiran itu dalam buku mereka, yang kemudian di populerkan oleh sarjana muda Jerman bernama Anselm von Feurbach. Asas inilah yang kemudian di angkat dan mempunyai bentuk sebagai undang-undang dalam Pasal 8 "Declaration des droit de L'homme et du citoyen" di tahun 1789, bunyinya adalah "Tidak ada sesuatu yang boleh di pidana selain karena suatu wet yang ditetapkan dalam undang-undang dan diundangkan secara sah."

    Jadi menurut penulis, melihat dari latar belakang sejarahnya, asas legalitas ini lahir akibat kesewenangan yang dilakukan oleh penguasa terhadap anggota masyarakat yang ada, hal ini tercipta oleh karena tidak adanya kepastian hukum yang dapat menciptakan perlindungan yang jelas (secara tertulis) terhadap hukum (pidana) yang berlaku pada saat itu, sehingga membuat setiap anggota masyarakat dapat di jatuhi pidana berdasarkan kehendak dan kebutuhan raja-raja (para penguasa) di jaman itu.


  2. Latar Belakang Ilmu dan Falsafahnya

    Setelah melihat dari latar belakang sejarah lahirnya asas legalitas, maka tentunya secara keilmuan dan filsafatinya, asas ini juga memiliki latar belakang yang sama.

    Latar belakang di masa Romawi yang menjadi titik tolak lahirnya asas legalitas, para ahli filsafat Romawi pada saat itu lebih memusatkan perhatiannya pada masalah bagaimana hendak mempertahankan ketertiban di seluruh kawasan Kekaisaran Romawi yang sangat luas tersebut.

    Sumbangan pemikiran para filsuf masa itu seperti Polybius, Cicero, Seneca, Marcus Aurelius, dan lain – lain, masih banyak pengaruhnya hingga saat ini, akan tetapi di jamannya, para filsuf tersebut lebih banyak menekankan pemikiran mereka pada bidang-bidang kontrak, kebendaan dan ajaran-ajaran tentang kesalahan.

    Pada masa itu, hukum Romawi menjadi di adopsi oleh raja-raja khususnya di Eropa Barat, hal ini menyebabkan nafsu (passion) untuk menguasai satu dengan yang lain menguat dan kepedulian terhadap anggota masyarakat menjadi cenderung menurun dan menyebabkan terciptanya hukum yang intinya menekankan pada kewenangan mutlak (absolut) dari para penguasa yang ada, yang kemudian salah satunya dalam hukum pidana di jaman tersebut di kenal dengan istilah criminal extra ordinaria dan crimina stellionatus.

    Falsafah yang berkembang di jaman tersebut berpusat pada alam semesta, dan kemudian pada manusia, sedangkan hukum yang di gunakan atau di jadikan dasar adalah hukum alam. Latar belakang falsafah ini membuat tidak adanya perhatian yang tinggi terhadap anggota masyarakat dari para penguasa, ilmu yang berkembang tidak mendukung terhadap penerapan keadilan maupun kesejahteraan masyarakat.

    Hal ini kemudian berlanjut pada jaman / masa gelap dan masa skolastik, yang secara perlahan telah semakin berkembang dan semakin memberikan perhatian pada masalah hukum (positif) yang berlaku, akan tetapi belum berhasil membangun rasa keadilan dan kesejahteraan masyarakat serta kepastian hukum yang ideal, tetapi tetap lebih menekankan pada kekuasaan.

    Thomas Aquino, William Occam dan St Agustinus mencoba menjembatani filsafat Yunani dan alam pikiran Kristen dalam usahanya menciptakan keadilan dan kesejahteraan.


  3. Perkembangan Asas Legalitas Hingga Di Indonesia

    Dalam melihat keberadaan asas legalitas ini tidak terlepas dari sistem hukum yang di terapkan dan di anut di Indonesia, yakni sistem Eropa Kontinental.

    Sistem ini sebelumnya di anut oleh negara Perancis yang di abad 19 kemudian memulai kodifikasi terhadap peraturan hukum positif yang ada, yakni salah satunya adalah code penal yang kemudian memuat asas legalitas di dalamnya. Perkembangan saling menguasai dan menaklukan antar negara kemudian membawa Negara Perancis ini masuk dan menjajah bangsa Belanda yang secara otomatis mulai mengenal dan meratifikasi peraturan-peraturan hukum dan sistem hukum eropa kontinental yang di anut Perancis sebelumnya. Setelah terlepas dari penjajahan pun kemudian Belanda masih terus menganut dna menggunakan sistem hukum dan peraturan hukum bawaan Perancis, termasuk di dalamnya tersirat asas legalitas dalam hukum pidana.

    Perkembangan dagang yang di lakukan bangsa Belanda hingga di Indonesia rupanya membawa penjajahan dan pendudukan terhadap masyarakat Indonesia (awalnya kerajaan Majapahit, Demak, dan sebagainya).

    Terjadinya penjajahan selama hampir 3,5 abad lamanya membuat terjadinya pergeseran nilai-nilai yang hidup (the living law) dan penerapan hukum bangsa Belanda mulai semakin di anggap paling tepat bahkan hingga 1945 kemerdekaan Indonesia di tandai dengan aturan peradilan Undang Undang Dasar 1945 yang dengan tegas menyatakan terus mengikuti semua peraturan hukum, baik pidana, perdata, sistem hukum yang berlaku, administrasi negara dan peraturan lainnya sehingga secara mutatis mutandis hukum pidana pun tetap menggunakan KUHP (Wetboek van Strafrecht)

    Berdasarkan ketiga hal di atas, tentunya dalam perspektif teori hukum, maka keabsahan suatu peraturan yang ada (asas legalitas) menjadi jelas keabsahan dan penerimaannya (acceptable).

Selain itu juga teori hukum yang selalu memandang mengenai keadilan dalam suatu penerapan hukum telah menemukan bahwa justru dengan keberadaaan asas legalitas tersebut telah lebih berhasil mengakomodir secara maksimal (walau tidak sempurna mengingat asas ini terkadang membuat penerapan hukum terkadang kaku) berkaitan dengan kejahatan (bisnis) di Indonesia. Kemudian juga dengan adanya asas legalitas tersebut hubungan antara individu (anggota masyarakat) dengan penguasa negara menjadi jauh lebih baik dan jelas keberadaannya, penyimpangan hukum berupa kesewenangan pemidanaan sesuai kebutuhan dan menurut kehendak penguasa telah di minimalisasi dan berhasil di batasi oleh keberadaan asas legalitas tersebut.



BAB IV

SIMPULAN


 Kejahatan bisnis dapat meliputi kejahatan di bidang perbankan (banking crime), kejahatan korporasi (coorporate crime), kejahatan pencucian uang (money laundring), kejahatan di bidang perdagangan, kejahatan mayaranta (cyber crime), dan beberapa bentuk tindak pidana lain dalam bidang keuangan, perbankan dan elektronika.

Sekalipun secara prinsipil kegiatan usaha (bisnis) di Indonesia di atur oleh bidang hukum keperdataan, akan tetapi saat kegiatan bisnis tersebut di langsungkan, kemudian terjadi tindak pidana, maka secara umum, setiap perbuatan tersebut tunduk pada hukum pidana yang berlaku yakni pada ketentuan di dalam KUHP, KUHAP, dan lain-lain.

Dalam hukum pidana itu sendiri di kenal salah satu asas penting yakni asas legalitas, yakni di atur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi "Tiada suatu perbuatan boleh di hukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu."


Berkaitan dengan kejahatan bisnis, asas ini pun secara mutatis mutandis berlaku dan di anut, serta dalam perspektif teori hukum keberadaan ini merupakan perwujudan dari banyak hal yang secara falsafati adalah memberikan perlindungan hukum bagi semua anngota masyarakat dari kesewenangan penguasa, memberikan kepastian hukum dan keadilan serta dapat selalu di jadikan pedoman utama bagi penerapan hukum pidana secara umumnya dan kejahatan bisnis pada khususnya.

Hal ini di sebabkan oleh karena dalam teori hukum selalu memandang mengenai keadilan dalam suatu penerapan hukum telah menemukan bahwa justru dengan keberadaaan asas legalitas tersebut telah lebih berhasil mengakomodir secara maksimal (walau tidak sempurna mengingat asas ini terkadang membuat penerapan hukum terkadang kaku) berkaitan dengan kejahatan (bisnis) di Indonesia. Kemudian juga dengan adanya asas legalitas tersebut hubungan antara individu (anggota masyarakat) dengan penguasa negara menjadi jauh lebih baik dan jelas keberadaannya, penyimpangan hukum berupa kesewenangan pemidanaan sesuai kebutuhan dan menurut kehendak penguasa telah di minimalisasi dan berhasil di batasi oleh keberadaan asas legalitas tersebut.


 


 


 


 

DAFTAR PUSTAKA


Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003

Dwidja Priyatno, Diktat Perkuliahan Filsafat Hukum, STHB, Bandung

Lili Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002

Moeljatno, Asas – Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1985

Muladi dan Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992

Munir Fuadi, Bisnis Kotor, PT Citra Aitya Bakti, Bandung, 2004

Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Prenada Media, Jakarta, 2003

R. Soesilo, KUHP (Komentar Dan Penjelasan), Politeia, Bogor, 1994

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000


 


 

09 April 2007

Pidana Mati Di Indonesia

Pendahuluan

Berbicara mengenai pidana mati, maka tentunya terlebih dahulu kita juga harus melihat batasan, pendapat dan definisi-definisi dari para pakar hukum sebagai suatu pengertian awal, pegangan dan kerangka pemikiran mengenai pidana itu sendiri.
Dalam teori hukum pidana banyak pengertian yang beragam pendapat dalam mendefinisikan pidana (straf) itu sendiri, seperti contohnya yang dinyatakan oleh Van Hamel yakni bahwa pidana merupakan “suatu penderitaan yang khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang yang melanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakan oleh Negara.”
[1]

Pidana itu sendiri oleh Simons dikatakan sebagai “suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seorang yang bersalah.”
[2]

Dan kemudian ada juga pendapat Roeslam Saleh yang menyatakan “pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan oleh Negara pada pembuat delik itu.”
[3]

Akan tetapi penulis sendiri dalam menanggapi pidana itu sendiri lebih menyukai penjabaran G.P. Hoefnagels, dimana beliau tidak melihat pidana hanya sebatas hukuman setelah ada keputusan hakim, juga tidak hanya melihat sebatas suatu pencelaan (censure) atau juga sebatas suatu penjeraan (discouragement), atau pun sebatas penderitaan jasmani saja (suffering).
Beliau memiliki titik tolak pada pemikirannya terhadap pidana itu sendiri dengan memandang dan mencoba menarik pengertiannya secara luas, dimana “bahwa semua sanksi dalam hukum pidana adalah semua reaksi terhadap pelanggaran hukum yang telah ditentukan oleh Undang-Undang, sejak penahanan dan pengusutan terdakwa oleh polisi sampai vonis dijatuhkan.”
[4]
Dari pendapat beliau maka penulis dapat menyimpulkan bahwa memang jika kita berbicara mengenai pidana, kita haruslah melihat bagaimana pidana itu sendiri sebenarnya telah dikenakan secara tidak langsung pada mulai awal ditangkapnya seseorang, diperiksa dan mungkin ditahan sampai dengan orang / pelaku tersebut di jatuhkan suatu pidana (hukuman) tertentu seperti yang diatur dalam perundangan pidana kita.
Jika setelah adanya putusan yang bersifat tetap itu maka menurut batasan yang diberikan oleh beliau, kita tidak lagi berbicara atau menyebutnya sebagai pidana, melainkan berbicara mengenai pemidanaan, dimana memang didalam pemidanaan itu sendiri tidak mungkin dipisahkan dari arti pidana itu sendiri.

Pidana itu sendiri menurut penulis memiliki pengertian yang seharusnya dibagi menjadi 2 bagian, yakni secara sempit dan secara luas, dimana secara sempit ; pidana adalah dipandang sebagai suatu hukuman (bukan tindakan) yang membawa siksaan, penderitaan / nestapa bahkan kematian yang sifatnya khusus.
Maksud dari sifatnya khusus adalah bahwa suatu hukuman (bukan tindakan) yang membawa siksaan, penderitaan / nestapa bahkan kematiann itu harus dikenakan pada seseorang sesuai dengan perundangan yang ada, jadi jika diluar itu seperti misalnya seorang pencuri tertangkap tangan dan kemudian dipukuli warga hingga babak belur, maka sekalipun sipelaku merasa menderita, merasa jera bahkan sangat menyesal dengan perbuatannya tersebut, tetapi oleh karena tidak dijatuhkan dan diproses seperti yang diatur dalam perundangan pidana yang ada maka hal tersebut (rasa menderita dan jeranya si pelaku) tidak dapat disebut sebagai pidana.
Dalam arti khusus juga menurut penulis berarti penderitaan, nestapa dan siksaan itu baru dapat dikatakan pidana hanya pada hal-hal tertentu saja (jadi tidak umum), jadi jika ada seseorang yang menderita misalnya karena belum makan selama beberapa hari, tidak dapat penderitaannya itu disebut sebagai pidana, atau juga saat seseorang jatuh sakit, sekalipun orang tersebut merasa tersiksa dan menderita akan tetapi hal itu juga tidak dapat dikatakan sebagai pidana, sehingga jelaslah bahwa pidana dalam pengertian yang sempit adalah suatu hukuman (bukan tindakan) yang membawa siksaan, penderitaan / nestapa bahkan kematian yang sifatnya khusus.
Sedang pengertian pidana secara luas penulis mengikuti pendapat G.P. Hoefnagels, dimana pidana itu dipandang secara luas bagi si tersangka, yakni mulai dari sejak penahanan dan pengusutan terdakwa oleh polisi sampai dengan vonis dijatuhkan terhadapnya.

Mengenai pidana ini sendiri, A.Z. Abidin dalam bukunya pernah menulis bahwa “Hukum pidana itu merupakan cermin suatu masyarakat yang merefleksikan nilai-nilai yang menjadi dasar masyarakat itu. Bilamana nilai-nilai itu berubah, hukum pidana juga berubah.”
[5]
Dari pendapat beliau dapat disimpulkan bahwa pidana itu sendiri bersifat seharusnya bersifat fleksibel dan seharusnya juga terus berkembang mengikuti budaya, pola pemikiran dan kebiasaan dalam suatu masyarakat. Berubahnya pidana itu disini bukan berarti hanya ditujukan pada jenis-jenis pidana itu sendiri, melainkan juga termasuk pada ancaman pidana terhadap sipelaku tindak pidana, kemudian kemungkinan terjadinya kriminalisasi maupun dekriminalisasi.

Berkaitan dengan hal itu jugalah maka dalam makalah ini akan kami bahas mengenai salah satu jenis atau bentuk pidana yang hingga sekarang masih dianut di Indonesia, yakni mengenai pidana mati dalam sejarah dan perkembangan dan juga mengenai pro kontra pidana mati tesebut yang masih terus berlangsung hingga saat ini.



---000---





I. Pidana Mati

Dalam KUHP (Wetboek van Strafrecht) yang nota benenya masih merupakan produk lama pemerintah Belanda, pidana dibagi menjadi 2 bagian yakni pidana pokok yang dapat berupa pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tambahan yang berupa pencabutan beberapa hak yang tertentu, perampasan barang yang tertentu, pengumuman putusan oleh hakim.
Disini terlihat bahwa pidana mati masih dianut dan diancamkan tehadap tindak pidana tertentu di Indonesia.

Dalam KUHP setidaknya ada 9 macam kejahatan yang diancam pidana mati tersebut, antara lain ;
Makar dengan maksud membunuh Presiden atau Wakil Presiden (104 KUHP)
Melakukan suatu hubungan dengan negara asing sehingga berakibat terjadinya perang (111 ayat (2) KUHP)
Penghianatan memberitahukan kepada musuh saat perang (124 ayat (3) KUHP)
Menghasut dan memudahkan terjadinya huru hara (124 bis KUHP)
Pembunuhan berencana terhadap kepala Negara sahabat (140 ayat (3) KUHP)
Pembunuhan berencana (340 KUHP)
Pencurian dengan kekerasan secara bersekutu yang mengakibatkan luka berat atau mati (365 ayat (4) KUHP)
Pembajakan di laut yang mengakibatkan kematian (444 KUHP)
Kejahatan penerbangan dan sarana penerbangan (149 K ayat (2) dan 149 O ayat (2) KUHP)

Kemudian diluar KUHP juga masih banyak tindak pidana yang diancam dengan pidana ini seperti dalam Tindak Pidana Ekonomi, Tindak Pidana Narkotika & Psikotropika, Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana terhadap HAM, dsb.
Yang perlu diperhatikan dalam pengenaan pidana mati tersebut adalah bahwa selalu dicantumkannya sebuah alternatif baik berupa pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20 tahun.

Sejarah Singkat Pidana Mati Hingga Sampai di Indonesia.

Dalam sejarahnya pidana mati ini merupakan suatu jenis hukuman (pidana) yang tidak diketahui sejak kapan mulai diberlakukannya, tetapi sejarah mencatat bahwa jenis hukuman yang satu ini merupakan jenis hukuman yang terberat dan tertua yang pernah ada, bahkan menurut Codex Hammurabi yang diperkirakan telah ada sekitar 2000 tahun sebelum masehi, pidana mati ini telah digunakan pada orang yang telah melakukan kejahatan tertentu, bahkan menurut codex Hammurabi tersebut dikatakan, “kalau ada binatang pemeliharaan yang membunuh orang, maka binatang berikut pemiliknya juga akan dibunuh juga.”
[6]

Begitu juga dengan yang ada dalam Pentateuch (kitab Taurat agama Yahudi) yang ada jauh sebelum masehi, dinyatakan bahwa jenis pidana mati ini juga telah diatur, disahkan dan dipergunakan pada orang-orang tertentu yang telah melakukan kejahatan tertentu pada masa itu, seperti contohnya dengan melempari seorang anak yang durhaka hingga mati oleh orang-orang sekotanya (Deuteronomy / Ulangan 21:21).

Pada perkembangan di abad-abad selanjutnya terutama dijaman Romawi Kuno, pidana mati ini mengalami perkembangan yang luar biasa dalam bentuk pelaksanaannya, mulai dengan cara dipenggal, di salibkan, ditenggelamkan, digergaji, bahkan pada sekitar abad ke 4 masehi di semua daerah jajahan Romawi, pidana mati ini tidak lagi harus dilakukan dengan cara yang sama dengan yang telah diatur pada peraturan yang ada, sehingga ada yang sampai dengan cara digantung hidup-hidup di pinggir jalan dan kemudian dibakar sebagai penerangan jalan. Seperti dijabarkan oleh seorang ahli sejarah yang menyatakan, “Kita ketahui jalannya acara-acara peradilan itu … hukuman itu adalah dipancung kepalanya, dibuang kesalah satu pulau yang sangat jauh, dipekerjakan selaku budak, dibakar hidup-hidup ataupun diterkam binatang buas didalam gelanggang arena ditonton oleh beribu-ribu orang.”
[7]
Pada abad-abad selanjutnya, pidana mati ini kemudian telah menjadi suatu “alat” yang paling efisien dan dipandang paling kuat oleh gereja maupun raja-raja untuk menyingkirkan lawan-lawannya, ataupun untuk terus membuat rakyat tetap tunduk pada para penguasa yang ada.
Contohnya adalah hukum / peraturan yang berkembang pada abad pertengahan, yaitu “criminal extra ordinaria ini yang sangat terkenal adalah criminal stellionatus, yang letterlijk artinya : perbuatan jahat, durjana. Tetapi tidak ditentukan perbuatan berupa apa yang dimaksud disitu. Sewaktu hukum romawi kuno itu diterima (diresipieer) di Eropa barat pada abad pertengahan, maka pengertian tentang criminal extra ordinaria diterima pula oleh raja-raja yang berkuasa. Dan dengan adanya criminal extra ordinaria ini lalu diadakan kemungkinan untuk menggunakan hukum pidana itu secara sewenang-wenang, menurut kehendaknya dan kebutuhannya raja itu sendiri.”
[8]

Perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa inilah yang lalu menjadi titik tolak munculnya pemikiran-pemikiran pembaharuan hukum pidana dan munculnya asas legalitas (abad 18) oleh para pemikir hukum seperti Montesquieu, J.J.Rousseau, von Feurbach, dsb
Akan tetapi sekalipun asas legalitas tersebut kemudian diterima dan dimasukan dalam perundangan yang ada (Code penal Perancis), tidak berarti menghapuskan pidana mati itu sendiri, hanya saja membatasi penguasa dalam menerapkan pidana itu sendiri.

Penjajahan Perancis oleh Napoleon (1801) kemudian membawa bukan saja pengaruh budaya, bahasa dan guncangan terhadap perekonomian, tetapi juga sampai dengan pemahaman dan perkembangan hukum yang ada di negeri Belanda (Nederland). Seperti dinyatakan bahwa “dari sini asas itu dikenal oleh Nederland karena penjajahan Napoleon, sehingga mendapat tempat dalam Wetboek v. Strafrecht Nederland 1881…”
[9]

Yang kemudian sejarah mencatat oleh karena penjajahan Belanda di Indonesia, secara perlahan-lahan hukum pidana mulai diperkenalkan dan mulai menggeser kekuatan hukum adat yang telah ada dan kemudian berhasil mencapai puncaknya yakni pada saat Wetboek v. Strafrecht itu mulai diberlakukan secara nasional (menyeluruh) di Indonesia pada tahun 1918, baik bagi golongan Bumiputera, Timur Asing maupun golongan penduduk Eropa, yang kemudian dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Dalam KUHP inilah pidana mati (death penalty) dicantumkan dan mendapat pengaturannya yang sah (legal act) bagi pemerintah / negara Indonesia hingga saat ini dalam melakukan pemidanaan terhadap orang yang melakukan delik tertentu.


Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia

Sekalipun telah memiliki pengaturannya sendiri dalam pasal 11 KUHP yang menyatakan ; hukuman mati dijalankan oleh algojo ditempat penggantungan, dengan menggunakan sebuah jerat dileher terhukum dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri.
Tetapi dalam prakteknya setelah tahun 1918 tersebut mengalami perubahan pada saat Jepang menjajah Indonesia. “Pada waktu itu ada 2 peraturan dijalankan, yaitu peraturan pasal 11 KUHP dan satu lagi peraturan baru yang di Undangkan oleh pemerintah Jepang yang menghendaki pidana mati dilaksanakan dengan tembak mati (artikel 6 dari Ozamu Gunrei No.1 pada tanggal 2 Maret dengan artikel 5 dari Gunrei Keizirei, yaitu kode kriminil dari pemerintah pendudukan Jepang).
[10]

Kemudian setelah kesatuan RI tercapai dimulai dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, maka pidana mati dilakukan kembali dengan cara pidana gantung seperti yang ada dalam pasal 11 KUHP.
Pada tahun 1964, terjadi perubahan kembali dalam pelaksanaan pidana mati ini melalui Penetapan Presiden No.2 tahun 1964, dimana “Karena ketentuan tentang pelaksaaan pidana mati sebagaimana tersebut dalam pasal 11 ini tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan serta jiwa revolusi Indonesia, maka dengan Penpres No.2 / 1964 pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan cara ditembak mati disuatu tempat dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama.”
[11]
Penpres No.2 tahun 1964 ini juga kemudian melalui Lembaran Negara tahun 1964 nomor 38, dirubah menjadi Undang- Undang No.2 tahun 1964 .
Melalui UU No.2 tahun 1964 diatur bahwa pelaksanaan pidana ini tidak lagi dengan cara digantung oleh seorang algojo, melainkan dengan cara ditembak mati oleh suatu regu tembak, pidana mati ini juga menurut ketetapan tersebut mengharuskan agar dilaksanakan ditempat tertentu dan tidak dimuka umum kecuali ditetapkan lain oleh Presiden RI.
Disini terlihat bahwa efek penjeraan atau untuk mencoba membuat takut orang banyak agar suatu delik tidak dilakukan, yang adalah tujuan dari pidana mati dilakukan didepan umum pada masa yang lalu tidak lagi dijadikan alasan untuk mencapai tujuan pidana (mati), hal tersebut terlihat karena pidana mati itu sendiri sekarang dilakukan tidak ditempat umum untuk dilihat oleh khalayak ramai.

Sementara itu saat ini, pelaksanaan pidana mati di Indonesia juga diharapkan akan mendapat perubahan dalam pandangan para pakar, disini terlihat bagaimana dalam Rancangan KUHP yang masih dalam tahap penyusunan, dapat dilihat disana bahwa pidana mati tersebut tidak lagi dimasukan menjadi pidana pokok beriringan dengan pidana penjara dsb, melainkan telah mendapat tempat sebagai pidana yang bersifat khusus, yang dalam hal ini dijadikan suatu ancaman pidana secara alternatif. (Pasal 61 konsep KUHP 1999-2000)
Jadi disini dapat disimpulkan bahwa pidana mati masih dianggap sebagai suatu jenis pidana yang masih diperlukan dan dapat diterapkan, akan tetapi pelaksanaannya diharapkan hanyalah sebagai suatu alternatif yang bersifat khusus dan bukan lagi merupakan pidana pokok seperti yang masih dianut hingga sekarang berdasarkan KUHP lama (wetboek van strafrecht).



II. Kontra Pidana Mati Dalam Pembahasannya

Dalam perjalanannya, pidana mati ini adalah merupakan satu-satunya jenis pidana yang paling banyak mendapat tanggapan baik berupa kritik, saran, pembelaan, dsb.
Yang dalam buku tanya jawabnya Djoko Prakoso meyakini dimulainya pro kontra tersebut sejak publikasi “Dei Delitti E Delle Pene” tahun 1764 oleh Cesare Beccaria.
[12]
Yang pada akhirnya dapat terlihat bahwa pengaturan dan pelaksanaan pidana yang satu ini telah membuat terbaginya pandangan para pakar hukum, sosiolog, kaum agamawi, dsb menjadi 2 bagian, yaitu yang pertama adalah golongan mereka yang menyatakan tidak setuju (kontra) dengan tetap diatur dan tetap diterapkannya pidana mati tersebut dalam kehidupan bermasyarakat, dan yang kedua adalah golongan mereka yang menyatakan sangat setuju (pro) dengan keberadaan pidana mati itu sendiri.
Masing-masing golongan tentu saja memiliki argumentasi dan dalilnya masing – masing dalam mencoba mempertahankan pendapatnya tersebut.

Prof Mr. Roeslan Saleh (Guru Besar Hukum Pidana) berpendapat bahwa tidak setuju adanya pidana mati karena :
Kalau ada kekeliruan putusan hakim tidak dapat diperbaiki lagi.
Mendasarkan landasan falsafah Negara Pancasila, maka pidana mati itu dipandang bertentangan dengan perikemanusiaan.
[13]

Prof. Soedarto (Rektor UNDIP Semarang dan guru besar hukum pidana), juga tidak setuju adanya pidana mati dengan alasan :
Karena manusia tidak berhak mencabut nyawa orang lain, apalagi bila diingat bahwa hakim bias salah menjatuhkan hukuman.
Tidak benar hukuman mati untuk menakut-nakuti agar orang tidak berbuat jahat, karena nafsu tidak dapat dibendung dengan ancaman.
[14]
Yap Thian Hien mengatakan “Saya gembira kalau hukuman mati dikeluarkan dari semua Undang Undang baik KUHP maupun pidana khusus. Allah melarang untuk membunuh manusia. Dan hukuman mati tidak lain pembunuhan yang dilegalisir. Pemidanaan, menurut falsafah hukum modern tidak untuk membalas dendam, tapi untuk mendidik dan memperbaiki manusia yang rusak. Kalau sudah mati tidak lagi bisa tobat, itu tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Hukuman mati hanya menunjukan ketidakmampuan mendidik nara pidana.”[15]

Hal senada disetujui oleh penulis dikarenakan di satu sisi (kontra) pidana mati hanyalah membuat tertutupnya kesempatan bagi si terpidana untuk dapat diperbaiki, penulis yakin bahwa sejahat apa pun seseorang masih dapat diperbaiki cepat atau pun lambat.
Selain itu juga penulis memperkuat argumennya dengan mengutip dari Yohanes 8: 3-11 yang secara tidak langsung merupakan penyataan Yesus dalam menolak adanya pidana mati tersebut, sehingga dengan demikian sudah sepatutnyalah pidana mati tersebut ditiadakan.

Aneke di Perancis percaya bahwa setiap orang termasuk terpidana berhak untuk mendapat perlakuan yang manusiawi dan diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya.
Ia juga mengemukakan ketidaksetujuannya dengan pidana mati, salah satunya berlandaskan agama, dimana pelaksanaan pidana mati sama saja dengan mendahului kehendak Allah SWT. Alasan lainnya adalah jika ternyata terpidana terbukti tidak bersalah, apa yang dapat dibuat oleh pengadilan dalam memperbaiki kesalahan tersebut, jika terhukum sudah dipidana mati.

J.J. Amstrong Sembiring mengatakan “Dalam konteks hukuman mati, secara fakta empiris di berbagai negara, seperti Amerika Serikat dan Cina, yang memberlakukan ancaman hukuman mati, ternyata tindak angka kejahatan tidak berkurang. Di Cina, tentang hukuman mati, tidak lagi diterapkan secara absolut (mutlak), seperti di Indonesia, akan tetapi sebagai pidana khusus bersyarat.Banyak negara melakukan dua pendekatan, yaitu efek jera dan rehabilitasi. Berdasarkan right to life, hak untuk hidup terpidana, hukuman mati seharusnya tidak lagi diterapkan, maksimal hanya berpatokan pada efek jera.
[16]

Penulis juga melihat dari sisi lain (kontra) terhadap pidana mati dengan mendasarkanya pada pasal 28a UUD’45 yang menyatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”
Dalam UUD’45 secara eksplisit sudah jelas bahwa setiap manusia berhak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya dari siapapun, selain itu juga pidana mati ditinjau dari tujuan pemidanaan yang berkembang luas, dimana dalam hal ini setiap pejabat / penegak hukum yang berpandangan melakukan pembalasan untuk memuaskan hasrat keluarga korban agar pelaku tindak pidana diberikan hukuman yang setimpal ini akan menjadi keadilan semu.
Kemudian juga masih menurut penulis, bahwa pidana mati merupakan langkah keliru dikarenakan dengan dilakukannya eksekusi pidana mati, para eksekutor tersebut memberikan jalan panjang menuju rantai kekerasan yang merupakan pembunuhan yang dilegalisir oleh Negara.

J.E. Sahetapy juga dalam bukunya tentang pidana mati ini menyatakan ketidaksetujuannya dengan berbagai alasan, salah satunya adalah ketidaksetujuannya terhadap pidana mati dengan tujuan pembalasan dan menakutkan, dimana menurut beliau ;
“pemidanaan sebaiknya bertujuan “pembebasan”, pembebasan disini harus dilihat bukan dalam pengertian fisik. Sebab secara fisik yang bersangkutan sama sekali tidak mengalami perubahan, kecuali ruang geraknya dibatasi karena ia berada dalam lembaga permasyarakatan. Namun dalam keterbatasan ruang geraknya, ia dibebaskan secara mental dan spiritual. Ini berarti ia bukan saja melepaskan pula cara berpikir dan gaya hidupnya yang lama, melainkan ia melepaskan pula cara berpikir dan kebiasaan yang lama.”
[17]

III. Pro Pidana Mati Dalam Pembahasannya

Sebaliknya dalam menetapkan pidana mati ini terdapat juga golongan kedua yaitu mereka yang setuju (pro) mengenai pelaksanakannya pidana mati tersebut.

Seorang yang bernama Greg. L. Bahnsen dalam bukunya menjelaskan alasan mengapa ia setuju dengan pidana mati ini tetap diterapkan, yang menurutnya “kita harus mengerti ketentuan dari hukuman mati atas dasar bahwa suatu hukuman yang bersifat kewarganegaraan adalah kejahatan yang dibenarkan di mata Allah.”
[18]

Begitu juga dengan David Anderson, seorang pakar yang berasal dari kalangan Kristiani, yang sangat setuju (pro) dengan pidan mati pernah menulis bahwa “In order to rightly value the death penalty it is necessary to have emphaty and understanding for all the victims and their relatives.” Sangat tepat bahwa pidana mati justru menunjukan rasa simpati terhadap korban-korban kejahatan berat, mengapa kita harus mendahulukan dan mengutamakan hak asasi para criminal, ketimbang hak asasi korban-korban kejahatan itu sendiri? Menurutnya sampai kapanpun pidana mati ini tetap diperlukan terhadap pelaku-pelaku kejahatan berat seperti pembunuhan berencana yang dilakukan secara sadis, pembunuhan massal, koruptor kelas kakap dan teroris. Hanya saja menurutnya eksekusi pidana mati itu yang perlu direvisi, sehingga mengurangi rasa sakit si terpidana, misalnya dengan menggunakan suntikan yang tidak menyakitkan.

Alasan lain juga dikemukakan oleh pakar lainnya yaitu Ririn di Swedia yang menjelaskan bahwa pidana mati dipertahankan dengan alasan sepanjang hukuman mati tersebut merupakan senjata efektif untuk terpidana dan untuk masyarakat. Dilaksanakannya sepanjang tidak digunakan untuk memberantas lawan politiknya dan dilakukan dengan manusiawi, serta melalui proses peradilan yang adil dan jujur.

Begitu juga dengan Bichon van Ysselmode yang menyatakan “Saya masih berkeyakinan, bahwa ancaman dan pelaksanaan pidana mati harus ada dalam tiap-tiap Negara dan masyarakat yang teratur, baik ditinjau dari sudut keputusan hukum maupun dari sudut tidak dapat ditiadakannya. Keduanya jure divino humano. Pedang pidana, seperti juga pedang harus ada pada Negara. Hak dan kewajiban ini tak dapat diserahkan begitu saja. Tetapi haruslah dipertahankan dan juga digunakannya.”
[19]

Didalam Hukum Islam hampir tidak diketemukan pro–kontra pidana mati, oleh karena didalam Islam dikenal Talio, yang berarti membuat sebanding dengan perbuatannya terhadap orang lain, sehingga disini sama dengan apa yang dianut dengan agama Yahudi dalam kitab Pentateuch mereka yang menyatakan bahwa mata balas mata, gigi ganti gigi.
Bahkan didalam Islam diwajibkan qishash, yang dalam surat Al Baqarah ayat 178 dinyatakan “Hai orang-orang yang beriman : sesungguhnya diwajibkan kkamu qishash untuk soal pembunuhan, orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak, wanita dengan wanita, tetapi kalau seorang kamu dimaafkan oleh sanak saudaranya hendaklah kamu membalas kebaikan mereka itu, karena itu adalah suatu keringanan dari Tuhan Yang Maha Pengasih.”

Sulaeman Rasjid menyebutkan syarat-syarat dapat dijatuhkannya pidana mati sebagai berikut ;
Keadaan yang membunuh sudah baliq dan berakal.
Yang membunuh bukan bapak dari yang dibunuh.
Keadaan yang dibunuh tidak kurang juga derajatnya dari yang membunuh
Yang dimaksud dengan derajat disini ialah agama dan merdeka atau tidak, begitu juga dengan anak dengan bapal. Maka oleh karenanya orang Islam yang membunuh orang kafir tidak berlaku terhadapnya.
Keadaan yang terbunuh, orang yang terpelihara darahnya dengan Islam atau dengan perjanjian.
[20]

Dalam perkembangannya para pakar dari kalangan agama Islam juga memiliki pandangan dan penafsiran yang berbeda tentang pidana mati tersebut, contohnya Malik yang setuju untuk menerapkan pidana mati tersebut terhadap orang yang melakukan tindakan pembunuhan yang tidak disengaja, sementara yang lain seperti Abu Hanifah dan As-Syafii hanya setuju tetapi dengan syarat bahwa perbuatan tersebut dilakukan berulang-ulang. Begitu juga menurut Juynboll, “pidana mati hanya dipergunakan terhadap pembunuhan yang disengaja dan membunuh dengan senjata dalam keadaan normal dan yang melakukan kejahatan itu cukup umur dan waras.”
[21]

Bambang Poernomo menyatakan bahwa “Pidana mati yang dilakukan menurut ketentuan – ketentuan Islam yang “benar” adalah tidak bertentangan dengan falsafah Negara, tidak tidak berlawanan pula dengan unsur-unsur Ketuhanan YME, karena syari’at Islam merupakan syari’at yang berdasarkan Ketuhanan YME.”
[22]

Kemudian dalam pandangan penulis (jika seandainya pro pidana mati) akan menyatakan setuju masih diatur dan diterapkannya pidana mati tersebut dalam KUHP, dengan memandang dari sisi pencegahannya (general deterent). Menurut penulis berhubungan dengan efek pencegahan ini, ancaman pidana mati terhadap delik tertentu akan membawa secara langsung tak langsung jiwa (pikiran, perasaan dan kehendak) seseorang “ditekan” untuk tidak melakukan bahkan berusaha menjauhkan diri untuk melakukan delik yang diancam pidana mati tersebut dan dengan demikian akan berhasil membuat suatu efek pencegahan pada masyarakat luas terhadap delik-delik tertentu.

Penulis juga setuju dengan pendapat von Feurbach yang berpendapat bahwa jika seseorang terlebih dahulu telah mengetahui bahwa ia akan mendapat suatu hukuman yang telah diatur dalam undang-undang, maka sudah tentu ia akan lebih berhati-hati.

Dari beberapa pendapat para pakar dan penulis diatas, maka dapatlah disimpulkan bahwa pidana mati tidaklah boleh hanya ditinjau dari akibatnya saja , yaitu matinya seseorang, melainkan harus juga dilihat dari sisi keadilan, hak asasi dan rasa empati terhadap korban-korbannya. Kemudian selain dari sudut pandang hak asasi dan rasa empati terhadap korban juga ditinjau dari sudut pandang agama Islam, pidana mati tersebut merupakan sesuatu yang legal dan bahkan dianjurkan sehingga tidak mungkin dan seharusnya tidak boleh dihapuskan, sebab dengan demikian maka asas pembalasan yang dalam bahasa Arab dikenal qishash tidak akan dapat diwujudkan. Begitu juga dengan agama Kristen yang oleh beberapa pakar agama Kristen (Katholik) dinyatakan sebagai sesuatu yang seharusnya ada dan sah (dibenarkan) dihadapan Tuhan.

Salah satu contohnya adalah pendapat A. Jansens yang mengatakan “bahwa penguasa duniawi tanpa dosa boleh menjalankan pidana mati asal mereka pada menentukan pidana itu tidak karena benci, tapi sesudah dipertimbangkan secara masak. Jadi dapat dikatakan bahwa ajaran agama Kristen (Katholik) menerima bahwa Negara berhak menjatuhkan pidana mati dan melaksanakannya.”
[23]

Ditinjau lebih jauh dari sisi Agama Kristen (Katholik), ternyata dengan lebih jelas dapat dilihat bagaimana Allah memberikan kuasa (kewenangan) untuk terjadinya pidana mati ini oleh pemerintahan manusia hingga saat ini.
“Dimulai dari awal kitab Kejadian (Kej 4) sampai pada jaman sebelum Nuh telah ada pidana mati, tetapi bentuknya diberikan kepada sanak family untuk membalas dendam pada si pembunuh (Kejadian 4:14) … juga dilanjutkan dengan dimasukannya pidana mati itu ke dalam hukum Musa (Keluaran 21 ; 31:14 dsb).”
[24]

“Pidana mati ini juga kemudian ditegaskan kembali dalam Perjanjian Baru … dimana pedang yang diberikan dari Atas untuk pemerintahan manusia untuk hukuman mati (Kejadian 9:6) secara eksplisit ditegaskan kembali didalam Perjanjian Baru (Roma 13:4). Yesus juga mengakui hal ini di hadapan Pilatus (Yohanes 19:11), sebagaimana yang dilakukan Paulus dihadapan orang-orang Roma (Kis 25:11) Dengan demikian pidana mati, sedikitnya untuk kejahatan-kejahatan yang besar, telah dinyatakan sebelum hukum Musa dan diulangi lagi sesudahnya.”
[25]

Juga penafsiran terhadap kitab Roma pasal 13 ayat 4 yang menyatakan ; bahwa pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murkaNya pada mereka yang jahat, sehingga tidak sia-sia / percuma pemerintah menyandang pedang.
Penafsiran dari ayat tersebut menurut penulis (jika pro pidana mati) diyakinkan haruslah diberi pengertian bahwa menurut ayat itu Pemerintah (penguasa yang ada) diperbolehkan (dibenarkan dihadapan Allah) dalam menganut dan melaksanakan pidana mati, sebab dalam teologi Kristen jika berbicara mengenai “pedang” hampir selalu diberi arti dan dihubungkan dengan pembunuhan ataupun kematian.
Sehingga sangatlah tidak mungkin jika ditafsirkan bahwa pada saat menuliskan surat kepada jemaat di Roma tersebut Rasul Paulus sedang memikirkan tentang pidana penjara, pidana denda ataupun jenis pidana yang lainnya. Melainkan dengan pasti seharusnya pernyataan tidak sia-sia atau tidak percuma pemerintah menyandang pedang, ditafsirkan dengan pidana mati yang memang pada saat ditulisnya surat itu sedang marak diterapkan di daerah Yudea, Samaria bahkan di Roma itu sendiri.

Dari sini kita haruslah dapat melihat bahwa sekalipun memang membunuh / menghilangkan nyawa orang lain selalu dipandang sebagai suatu perbuatan yang berdosa dan karenanya sangat tidak diperbolehkan, tetapi jika dilakukan oleh pemerintah yang ada, sesuai ketentuan yang ada, dan tidak dalam kesewenangan serta berdasarkan keadilan dan pertimbangan yang jujur dan pasti, maka pidana mati tersebut merupakan sesuatu yang tetap dibenarkan (tidak dianggap perbuatan dosa) dihadapan Allah, dan karenanya adalah sesuatu yang baik dan benar untuk tetap mempertahankan pidana mati tersebut terhadap kejahatan-kejahatan tertentu.



Kesimpulan

Pidana mati merupakan jenis pidana yang dijatuhkan oleh pemerintahan suatu Negara (kerajaan) yang dianggap merupakan pidana terberat dan tertua dilihat dari sejarahnya.
Dalam perkembangannya pidana mati ini sering diselewengkan oleh penguasa yang ada sebagai suatu senjata yang ampuh dalam menyingkirkan lawan-lawan politiknya dan juga sebagai sarana yang paling sering digunakan untuk mempertegas kedudukannya sebagai penguasa dihadapan masyarakat luas.

Dalam bentuknya pidana mati ini juga merupakan suatu jenis pidana yang paling banyak memilki variasi dalam pelaksanaannya, mulai dengan cara dipenggal, di salibkan, ditenggelamkan, di adu hingga mati dengan binatang buas dalam suatu gelanggang arena, digergaji, ditarik oleh 4 kuda hingga mati terpotong-potong, bahkan pada sekitar abad ke 4 sampai dengan cara digantung hidup-hidup di pinggir jalan dan kemudian dibakar sebagai penerangan jalan. Semua bentuk-bentuk tersebut dilaksanakan dengan alasan dan tujuannya masing-masing tetapi dengan hasil akhir yang sama yakni matinya seseorang.
Berbagai bentuk tidak manusiawi dan penerapan akhir yang seringkali dianggap merupakan kesewenangan penguasa inilah yang membawa pro – kontra terhadap pidana mati ini terus berlangsung hingga kini.
Sebagian berpendapat agar pidana mati tersebut harus segera dihapuskan, tetapi sebagian orang lainnya menyatakan bahwa pidana mati ini masih merupakan suatu jenis pidana yang dibutuhkan hingga saat ini.

Dibutuhkan hikmat serta pemikiran yang dalam dan objektif dalam mengkaji mengenai masih diatur dan dilaksanakannya pidana mati tersebut dalam kehidupan bernegara.
Dan jika pelaksanaan pidana mati tersebut masih tetap harus dipertahankan, maka harus juga dipikirkan dalam-dalam bagaimana pelaksanaan pidana mati itu dilakukan sehingga dilakukan dengan cara yang paling tepat, manusiawi, meringankan si terdakwa dan tidak berdampak negatif / buruk terhadap pandangan masyarakat luas.



Kepustakaan

Andi Hamzah & A Sumangelipu. Pidana Mati di Indonesia. Ghalia Indonesia 1984

Bambang Poernomo. Ancaman Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Di Indonesia. Penerbit Liberty Jogjakarta. 1982

Djoko Prakoso. Masalah Pidana Mati (soal jawab). Bina Aksara. Jakarta 1987


H.Berkhof, L.H.Enklaar. Sejarah Gereja. BPK Gunung Mulia 1997

J.E. Sahetapy. Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana. Alumni Bandung. 1979

Moeljatno. Azas-Azas Hukum Pidana. Bina Aksara Jakarta 1983


Muladi & Barda Nawawi. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni Bandung 1998

Norman.L.Geisler Etika Kristen. SAAT – Malang. 2000


P.A.F Lamintang. Hukum Penitensier Indonesia. Armico 1984

R.Soesilo. KUHP (serta komentarnya lengkap pasal demi pasal). Politea Bogor 1994




Sumber-sumber lain ;
Konsep KUHP tahun 1999-2000
J.J. Amstrong Sembiring. Pidana Mati di Tengah Krisis Hukum.
www.iloveblue.com/bali_gaul_funky/berita_bali/detail/67.htm
Undang Undang Dasar 1945. Pustaka Madani Press. 2004





[1] P.A.F Lamintang. Hukum Penitensier Indonesia. Armico 1984. halaman 34
[2] P.A.F Lamintang. Hukum Penitensier Indonesia. Armico 1984. halaman 35
[3] Muladi & Barda Nawawi. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni Bandung 1998. halaman 2
[4] Ibid. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni Bandung 1998. halaman 9
[5] Andi Hamzah, A Sumangelipu. Pidana Mati di Indonesia. Ghalia Indonesia 1984. halaman 12, mengutip dari A.Z. Abidin. Bunga Rampai Hukum Pidana. Pradnya Paramita. Jakarta
[6] Ibid. Pidana Mati di Indonesia. Ghalia Indonesia 1984. halaman 79. Penulis mengutip dari J.A. Drossaart Bentfort, Tijdschrift voor Strafrecht 1940. Deel I pp.308-309

[7] H.Berkhof, L.H.Enklaar. Sejarah Gereja. BPK Gunung Mulia 1997. halaman 17
[8] Moeljatno. Azas-Azas Hukum Pidana. Bina Aksara Jakarta 1983. halaman 24
[9] Ibid. Azas-Azas Hukum Pidana. Bina Aksara Jakarta 1983. halaman 24
[10] Andi Hamzah, A Sumangelipu. Pidana Mati di Indonesia. Ghalia Indonesia 1984. halaman 90

[11] R.Soesilo. KUHP (serta komentarnya lengkap pasal demi pasal). Politea Bogor 1994. halaman 37
[12] Djoko Prakoso. Masalah Pidana Mati (soal jawab). Bina Aksara. Jakarta 1987. halaman 35
[13] Bambang Poernomo. Ancaman Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Di Indonesia. Penerbit Liberty Jogjakarta. 1982. halaman 18

[14] Ibid. Ancaman Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Di Indonesia. Penerbit Liberty Jogjakarta. 1982. halaman 19
[15] Ibid. Ancaman Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Di Indonesia. Penerbit Liberty Jogjakarta. 1982. halaman 19
[16] J.J. Amstrong Sembiring. Pidana Mati di Tengah Krisis Hukum. www.iloveblue.com/bali_gaul_funky/berita_bali/detail/67.htm

[17] J.E. Sahetapy. Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana. Alumni Bandung. 1979. halaman 216-217
[18] Norman.L.Geisler Etika Kristen. SAAT – Malang. 2000. halaman 255. Penulis mengutip dari Greg.L.Bahnsen. Theonomy In Cristian Ethics. Exp.ed (Phillipsburg N.J Presbyterian and Reformed. 1984 halaman 441.
[19] Andi Hamzah, A Sumangelipu. Pidana Mati di Indonesia. Ghalia Indonesia 1984. halaman 25

[20] Ibid. Pidana Mati di Indonesia. Ghalia Indonesia 1984. halaman 64
[21] Ibid. Pidana Mati di Indonesia. Ghalia Indonesia 1984. halaman 61

[22] Bambang Poernomo. Ancaman Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Di Indonesia. Penerbit Liberty Jogjakarta. 1982. halaman 8
[23] Op.cit. Pidana Mati di Indonesia. Ghalia Indonesia 1984. halaman 65

[24] Norman.L.Geisler Etika Kristen. SAAT – Malang. 2000. halaman 268

[25] Ibid. Etika Kristen. SAAT – Malang. 2000. halaman 269