WELCOME FRIENDS

Selamat datang di blog ini, blog ini di tujukan sebagai kumpulan berita, artikel, pesan dan mungkin hasil pemikiran penulis dengan mengangkat tema sentral Hukum Bisnis, akan tetapi para pembaca juga akan di bawa membaca banyak tulisan-tulisan yang muatan secara materinya tidak berhubungan secara langsung dengan Hukum Bisnis saja, seperti contohnya dimasukannya tulisan mengenai Hukum Pidana, Hukum Tata Negara dan sebagainya, walau begitu adalah Hukum Bisnis yang tetap menjadi sentral utama dari materi muatan blog ini.

Selamat membaca dan di tunggu masukan, pendapat dan mungkin kritikan dari kawan-kawan semua.

28 June 2010

PENANAMAN MODAL ASING DAN KETIDAKPASTIAN HUKUM
SEBAGAI SALAH SATU KENDALA DALAM INVESTASI ASING DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN

Perkembangan perekonomian suatu negara, khususnya negara berkembang seperti Indonesia sangat ditentukan dari tingkat pertumbuhan penanaman modal asing. Penanaman modal asing atau Foreign Direct Investment sangat diharapkan untuk menggerakkan dan meningkatkan perputaran roda perekonomian di Indonesia. Posisi Indonesia sebagai negara berkembang dituntut untuk mengejar ketinggalan di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, pembangunan ekonomi, serta menciptakan masyaratkat yang demokratis.
Sebagai negara berkembang, Indonesia berada pada posisi yang sangat berkepentingan dalam mengundang investor asing untuk memacu pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu, pelaksanaan penanaman modal asing di Indonesia juga mengharapkan manfaat lainnya, seperti alih teknologi (transfer of technology) dan penciptaan lapangan kerja. Kegiatan penanaman modal asing tersebut terjadi sebagai konsekuensi dari berkembangnya kegiatan di bidang ekonomi dan perdagangan.
Perkembangan penanaman modal di Indonesia khususnya penanaman modal asing dapat dilihat sejak Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Akan tetapi, Indonesia baru mempromosikan dan membuka diri terhadap arus penanaman modal asing secara signifikan mulai tahun 1967 Masalah penanaman modal asing bukan hal yang baru, tapi sudah ada sejak zaman penjajahan. Pada zaman penjajahan, karena kegiatan perdagangan cukup maju maka, masalah penanaman modal ini dirasa belum diperlukan. Hal ini dikarenakan pemerintah penjajah telah mengatur sturktur kegiatan perdagangan sehingga kegiatan penanaman modal dikuasai oleh mereka.
Kegiatan penanaman modal merupakan salah satu bentuk transaksi bisnis, yang keberlangsungan dapat dikategorikan sebagai suatu transaksi bisnis internasional (international business transactions) atau hukum perdagangan internasional (international trade law) yang dilangsungkan oleh dan antar warga negara atau badan usaha (business organization) lintas batas negara (cross border), misalnya antara pelaku usaha Indonesia baik badan hukum Indonesia ataupun perorangan warga negara Indonesia dengan pelaku usaha asing baik badan hukum hukum asing ataupun perorangan warga negara asing.
Dalam praktik, investasi asing dapat dilakukan dalam bentuk investasi portofolio dan investasi langsung (foreign direct investment/FDI). Investasi portofolio adalah investasi yang dilakukan melalui pasar modal dengan instrumen surat berharga, sedangkan investasi langsung merupakan bentuk investasi dengan jalan membangun, membeli total, atau mengakuisisi perusahaan.2)
Masalah penanaman modal di Indonesia saat ini menghadapi masalah yang sangat kompleks di antaranya permasalahan buruh, ketidakpastian hukum, keamanan dan pelaksanaan otonomi daerah. Pemerintah menyadari bahwa dalam usaha melaksanakan pembangunan ekonomi, kemampuan sumber-sumber dalam negeri belum memadai, oleh karena itu perlu dimanfaatkan sumber-sumber lain berupa bantuan luar negeri dan penanaman modal asing.
Masalah yang paling serius dikeluhkan para investor adalah masalah penegakan hukum. Para investor sangat membutuhkan adanya kepastian hukum yang diwujudkan melalui kepatuhan terhadap kontrak atau kerjasama yang telah dibuat serta adanya kepastian tentang mekanisme penyelesaian jika terjadi sengketa. Peranan hukum dalam mendorong penanaman modal asing sangat diperlukan untuk menciptakan kepastian hukum.



BAB II
FOREIGN DIRECT INVESTMENT SEBAGAI BENTUK PENANAMAN MODAL ASING


1. Pengertian, Maksud dan Tujuan Penanaman Modal Asing
Ada 2 (dua) sifat khas penanaman modal asing, menurut Robert Gilpin, yaitu:
a. Perusahaan multi/trans nasional (PMN/PTN) melakukan penanaman modal langsung di negara-negara asing (Foreign Direct Investment, “FDI”), melalui pendirian anak atau cabang perusahaan atau pengambilalihan sebuah perusahaan asing, dengan sasaran melakukan pengawasan manajemen terhadap suatu unit produksi di suatu negara asing, yang berbeda dengan penanaman modal fortofolio pembelian saham dalam suatu perusahaan.
b. Suatu PMN ditandai dengan adanya perusahaan induk dan sekelompok anak perusahaan atau cabang perusahaan di berbagai negara dengan satu penampung bersama sumber-sumber manajemen, keuangan dan teknik dengan integrasi vertikal dan sentralisai pengambilan keputusan.
Ditinjau dari negara yang terkait dalam PMN, maka ada 2 (dua) negara yang terkait yaitu negara asal investasi (home state) dengan negara tuan rumah (host state) atau negara yang merupakan pusat PMN (home country) dengan negara lain yang merupakan tempat perusahaan tersebut melakukan operasi atau kegiatanya (host country). Berkaitan dengan hubungan antara PMN dengan negara penerima modal (host contry, host state), setidaknya ada 2 (dua) golongan aliran pemikiran atau perspektif ideologi sebagai berikut:


1. Kelompok yang Setuju PMN
(1) Business school of how to approach (dengan tokoh: Robin dan Stobough).
(2) Aliran ekonomi tradisional (economic traditionalism): menekankan pada dukungan modal dan teknis dari peranan PMN (dengan tokoh: Vernon dan Kindleberger).
(3) Aliran ekonomi neo-tradisional (neo economic traditionalism): mendorong pemamfaatan modal PMN dalam dunia usaha internasional secara terbatas (dengan tokoh: Vernon dan Kindleberger).
2. Kelompok yang setuju PMN dengan syarat atau menolak:
(1) Aliran nasionalis (nationalism dan populism): dampak negatif PMN tak perlu timbul, asal pengendalian pengelolaan PMN dilakukan secara ketat oleh negara penerima modal (dengan tokoh: Streeten dan Lall).
(2) Aliran ketergantungan (dependency): dilema antara manfaat PMN dan sikap ketidaktergantungan pada PMN (dengan tokoh: Sunkle dan Hymer).
(3) Aliran Marksis (Marxists): mutlak menentang PMN (dengan tokoh: Magdaft, Sweenny, Frank dan Weiskopf).
Kemudian saat ini, setidaknya ada dua perspektif baru yang muncul, yaitu sebagai berikut:
(1) Perspektif lingkungan (environmental perspective) Pada masa kini, suatu dimensi yang lebih jauh telah muncul dalam perdebatan tentang PMN, yang mengkonsentrasikan diri pada dampak lingkungan. PMN dikritik karena kurang memperhatikan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, serta strategi mereka yang merelokasi pabriknya ke negara tuan rumah yang lebih longgar pengawasan lingkungannya. Peranan PMN dalam mengendalikan polusi dan limbah menjadi isu utama. Hal tersebut menjadi pemicu bagi tumbuhnya kelompok-kelompok yang peduli lingkungan khususnya kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh PMN. Bagaimanapun, hal ini berpotensi bagi pengembangan suatu kerangka kerja yang baru bagi pengawasan aktivitas bisnis. Dan ini mungkin menjadi ideologi penting yang mempengaruhi kebijakan dimasa datang (dengan tokoh: Leslie Sklair).
(2) Konsumerisme global (global consumerism): berusaha mengidentifikasi dampak sosial dan budaya yang muncul atas ekspansi global PMN, yang menjadi suatu kebudayaan baru yang didasarkan pada barang dan jasa yang ditawarkan oleh PMN, yang cenderung membentuk gaya hidup baru yang berbeda dengan nilai tradisional di negara lokal, melalui peranan media transnasional dan perusahaan periklanan sebagai pencipta image yang mendorong pembentukan selera pasar (dengan tokoh: Leslie Sklair).
Pengertian penanaman modal asing menurut Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1967 “Pengertian penanaman modal asing di dalam Undang-undang ini hanyalah meliputi modal asing secara langsung yang dilakukan menurut atau berdasarkan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini dan yang digunakan untuk menjalankan perusahaan di Indonesia, dalam arti pemilik modal secara langsung menanggung resiko dari penanam modal tersebut.”Dalam rangka menarik penanaman modal asing ke Indonesia pada umumnya menyangkut tiga hal yaitu adanya peluang di bidang ekonomi, kepastian hukum, dan stabilitas politik.
Adapun syarat-syarat untuk menarik modal asing adalah:
a. Syarat keuntungan ekonomi (economic opportunity)
Adanya kesempatan ekonomi bagi investor, seperti dekat dengan sumber daya alam, tersedianya bahan baku, tersedianya lokasi untuk mendirikan pabrik, tersedianya tenaga kerja dan pasar yang prospektif.
b. Syarat kepastian hukum (legal certainity)
Pemerintah harus mampu menegakkan hukum dan memberikan jaminan keamanan. Penerapan peraturan dan kebijakan, terutama konsistensi penegakan hukum dan keamanan serta memperbaiki sistem peradilan dan hukum merupakan suatu syarat yang sangat penting dalam rangka menarik investor.
c. Syarat stabilitas politik (political stability)
Penanaman modal asing pada suatu negara sangat dipengaruhi oleh faktor stabilitas politik (political stability). Konflik yang terjadi di antara elit politik atau dalam masyaratkat akan berpengaruh terhadap iklim penanaman modal. Selain itu, belum mantapnya kondisi sosial politik mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap arus penanaman modal.
Penanaman modal memberikan keuntungan kepada semua pihak, tidak hanya bagi investor saja, tetapi juga bagi perekonomian negara tempat modal itu ditanamkan serta bagi negara asal para investor. Pemerintah menetapkan bidang-bidang usaha yang memerlukan penanaman modal dengan berbagai peraturan. Selain itu, pemerintah juga menentukan besarnya modal dan perbandingan antara modal nasional dan modal asing. Hal ini dilakukan agar penanaman modal tersebut dapat diarahkan pada suatu tujuan yang hendak dicapai. Bukan haya itu seringkali suatu negara tidak dapat menentukan politik ekonominya secara bebas, karena adanya pengaruh serta campur tangan dari pemerintah asing.
Hal ini mengingat karena terbatasnya modal, skill dan teknologi yang dimiliki negara kita, serta banyaknya negara yang memerlukan kehadiran investor asing untuk menanamkan modal di negaranya. Pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan penerimaan pajak, hasil ekspor migas dan non migas, tabungan dalam negeri dan bantuan luar negeri. Apabila hanya mengandalkan sumber-sumber tersebut maka angka pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak akan meningkat, untuk itulah diperlukan adanya penanaman modal asing. Indonesia memerlukan modal asing karena:
a. Untuk menyediakan lapangan kerja;
b. Melaksanakan substitusi import untuk meningkatkan devisa;
c. Mendorong ekspor untuk mendapatkan devisa;
d. Membangun daerah-daerah tertinggal dan sarana prasarana;
e. Untuk industrialisasi atau alih teknologi.
Penanaman modal asing diharapkan sebagai salah satu sumber pembiayaan dalam pembangunan infrastruktur seperti pelabuhan, telekomunikasi, perhubungan udara, air minum, listrik, air bersih, jalan, rel kereta api. Penanaman modal asing diperlukan untuk mengembangkan teknologi dan peningkatan ilmu pengetahuan, oleh karena itu diperlukan dana yang cukup besar.
Investor asing datang ke Indonesia karena memperoleh berbagai keuntungan, yaitu:
a. Upah buruh murah;
Indonesia mempunyai jumlah buruh yang melimpah dengan upah yang relatif murah.
b. Dekat dengan sumber bahan mentah;
Indonesia memiliki bahan mentah yang belum di eksploitasi.
c. Menemukan pasar baru;
Indonesia merupakan pasar yang sangat efektif untuk memasarkan hasil produksi dari negara-negara maju dan ini akan membawa keuntungan tersendiri bagi negara asal investor asing.
d. Royalti dari alih teknologi;
Negara asal investor akan mendapatkan keuntungan dari proses alih teknologi melalui penjualan hak merek, paten, rahasia dagang, desain industri. Dari alih teknologi inilah investor akan memperoleh kompensasi.
e. Menjual bahan baku untuk dijadikan barang jadi;
Negara berkembang belum memiliki bahan baku yang memadai.
f. Insentif lain;
Misalnya tax holiday untuk menarik investor agar menanamkan modalnya di Indonesia.
g. Status khusus negara-negara tertentu dalam perdagangan internasional.
Perekonomian Indonesia sampai saat ini belum menunjukkan perbaikan yang menggembirakan, meskipun demikian Indonesia tetap menjadi pilihan investor karena adanya pasar yang prospektif .
Adapun faktor-faktor yang menarik investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia adalah:
a. Adanya peraturan dan kebijaksanaan yang mendukung investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
b. Tenaga kerja yang besar dengan upah yang relatif rendah.
c. Pasar produksi yang luas karena jumlah penduduk Indonesia yang besar.
d. Sumber-sumber kekayaan alam yang tersedia.
e. Stabilitas politik Indonesia yang mantap.
Selain faktor-faktor tersebut di atas, ada beberapa faktor yang secara umum mendorong investor asing menanamkan modalnya di Indonesia yaitu:
a. Alasan politik, dimana pelaksanaan penanaman modal asing bukan hanya dilatarbelakangi oleh pertimbangan ekonomi “murni” belaka.
b. Banyaknya investor yang ingin mengadu nasib dengan menanamkan modalnya di negara berkembang.
c. Negara-negara industri sedang menghadapi bahaya kelebihan produksi yang menyebabkan kesempatan untuk menanamkan modalnya di dalam negeri menjadi lebih kecil.
Dewasa ini hampir di semua negara, khususnya negara berkembang membutuhkan modal asing. Modal asing itu merupakan suatu hal yang semakin penting bagi pembangunan suatu negara. Sehingga kehadiran investor asing nampaknya tidak mungkin dihindari. Yang menjadi permasalahan bahwa kehadiran investor asing ini sangat dipengaruhi oleh kondisi internal suatu negara, sepert stabilitas ekonomi, politik negara, penegakan hukum.
Berbagai strategi untuk mengundang investor asing telah dilakukan. Hal ini didukung oleh arah kebijakan ekonomi dalam TAP MPR RI Nomor IV/MPR/1999 salah satu kebijakan ekonomi tersebut adalah: “mengoptimalkan peranan pemerintah dalam mengoreksi ketidaksempurnaan pasar dengan menghilangkan seluruh hambatan yang mengganggu mekanisme pasar, melalui regulasi, layanan publik, subsidi dan insentif yang dilakukan secara transparan dan diatur dengan undang-undang.”
Kebijakan mengundang modal asing adalah untuk meningkatkan potensi ekspor dan substitusi impor, sehingga Indonesia dapat meningkatkan penghasilan devisa dan mampu menghemat devisa, oleh karena itu usaha-usaha di bidang tersebut diberi prioritas dan fasilitas. Alasan kebijakan yang lain yaitu agar terjadi alih teknologi yang dapat mempercepat laju pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional Indonesia.
Upaya pemerintah untuk mencari modal asing agar mau kembali menanamkan modalnya di Indoensia sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Ditambah lagi sejak krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1998, penanaman modal di Indonesia semakin menurun. Jangan menarik investor, menjaga investor yang sudah ada saja belum maksimal, misalnya dengan tutupnya perusahaan asing seperti PT. Sony Electornics Indonesia pada 27 Nopember 2002. Terlebih lagi pada tahun 2003 yang lalu. Hal ini dikarenakan adanya invasi Amerika ke Irak serta mewabahnya penyakit sindrom pernafasan akut. Hal ini menimbulkan ketidak pastian perekonomian dunia dan berdampak buruk bagi perekonomian Indonesia terutama terhadap penanam modal, padahal pemerintah telah mencanangkan tahun 2003 ini sebagai tahun investasi.
Untuk bisa memenuhi harapan tersebut, pemerintah, aparat hukum dan komponen masyarakat dituntut untuk segara menciptakan iklim yang kondusif untuk investasi. Menyadari pentingnya penanaman modal asing, pemerintah Indonesia menciptakan suatu iklim penanaman modal yang dapat menarik modal asing masuk ke Indonesia. Usaha-usaha tersebut antara lain adalah dengan mengeluarkan peraturan-peraturan tentang penanaman modal asing dan kebijaksanaan pemerintah yang pada dasarnya tidak akan merugikan kepentingan nasional dan kepentingan investor.
Usaha pemerintah untuk selalu memperbaiki ketentuan yang berkaitan dengan penanaman modal asing antara lain dilakukan dengan memperbaiki peraturan dan pemberian paket yang menarik bagi investor asing. Pada akhirnya harus tetap diingat bahwa maksud diadakannya penanaman modal asing hanyalah sebagai pelengkap atau penunjang pembangunan ekonomi Indonesia. Pada hakekatnya pembangunan tersebut harus dilaksanakan dengan ketentuan swadaya masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah harus bijaksana dan hati-hati dalam memberikan persetujuan dalam penanaman modal asing agar tidak menibulkan ketergantungan pada pihak asing yang akan menimbulkan dampak buruk bagi negara ini di kemudian hari.

Foreign Direct Investment Sebagai Bentuk Penanaman Modal Asing
FDI atau Foreign Direct Investment sebagai bentuk aliran modal mempunyai peranan penting bagi pertumbuhan negara berkembang, karena tidak hanya memindahkan modal barang, tetapi juga mentransfer pengetahuan dan modal sumber daya manusia.3) Secara lebih rinci, kontribusi FDI adalah sebagai salah satu sumber devisa negara, menyediakan kesempatan kerja, memberi andil dalam alih teknologi dan alih keterampilan lainnya, meningkatkan ekspor nasional, dan meningkatkan daya saing negara di pasar global.

Mengingat pentingnya FDI dalam rangka membiayai pembangunan nasional, pemerintah Indonesia dalam berbagai kebijakannya selalu berusaha mendorong agar fungsi yang diemban investor asing semakin efektif. Hal ini dilakukan melalui, antara lain penyusunan kebijakan-kebijakan yang dapat meningkatkan kegiatan FDI. Langkah ini tampak jelas sejak diterbitkannya UUPMA dan berlanjut terus hingga saat ini.
UUPMA merupakan dasar kebijakan pemerintah di bidang FDI. Sejak diterbitkannya UUPMA sampai dengan awal tahun 1997, kegiatan FDI di Indonesia meningkat pesat. Namun, sejak tahun 1997 sampai saat ini, kegiatan FDI mengalami penurunan yang signifikan. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan bahwa nilai persetujuan investasi asing (dan juga investasi domestik) sejak tahun 1997 sampai sekarang, terus mengalami penurunan.
Penurunan FDI tersebut disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor utama yang menyebabkan penurunan FDI di Indonesia adalah situasi keamanan dalam negeri yang tidak kondusif dan tidak adanya kepastian hukum. Padahal kedua faktor tersebut merupakan jaminan utama bagi investor dalam melakukan kegiatan investasi.



BAB III
KETIDAKPASTIAN HUKUM DALAM PENANAMAN
MODAL ASING DI INDONESIA

Sebagian besar investor asing berpendapat bahwa di Indonesia tidak ada kepastian hukum. Hal ini ditegaskan oleh, antara lain General Marketing Samsung Electronics Indonesia, Lee Kang Hyun. Lee mengatakan, kontrol pemerintah di bidang hukum sangat lemah, sehingga tidak ada kepastian hukum.4) Keluhan investor asing tersebut diakui oleh (mantan) Kepala BKPM, Theo F. Toemion. Toemion mengatakan bahwa persoalan pokok dalam negeri, sebagaimana disampaikan oleh para investor, pengamat, dan para pakar ekonomi adalah, keamanan yang rendah, ketidakpastian hukum, politik yang tidak stabil, dan euforia otonomi daerah.5) Di lain pihak, Kepala BKPM, Muhammad Lutfi, menyebutkan lima hambatan serius dalam berinvestasi di Indonesia, yaitu lamanya proses perizinan, tidak adanya rules of law, masalah pemutusan hubungan kerja, masalah infrastruktur, dan masalah insentif.6)
Kepastian hukum merupakan salah satu faktor yang dapat mendukung peningkatan kegiatan FDI di Indonesia. Hal ini didukung oleh para investor asing, sebagaimana terlihat pada pandangan investor Jepang, yang mengatakan: “From the investors’ perspective, the project security, conducive local environment, consistent and law enforcement (including obedience of contract committed), normal (even simple?) or international standards of investment licensing, and sufficient infrastructures, are the ultimate expectations beyond the high profit-oriented, huge potential of domestic market, cheap labor cost or even natural resources. These parameters are needed if the Indonesian government is to revitalize the investment climate in Indonesia”.7) Dalam konteks perdagangan bebas, kepastian hukum dalam kegiatan FDI merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Hal ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa kebijakan investasi suatu negara dapat mempengaruhi perdagangan, terutama pada era globalisasi perdagangan dan investasi. Kegiatan investasi akan mendorong peningkatan aktivitas perdagangan, dan sebaliknya perdagangan akan mendorong investasi lebih lanjut.8)
Apabila dicermati lebih seksama, ketidakpastian hukum yang dikeluhkan investor asing tersebut, disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Berlakunya otonomi daerah. Dengan diundangkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah digantikan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka daerah dapat melaksanakan otonomi sendiri. Sesuai dengan ketentuan undang-undang tersebut bahwa penanaman modal merupakan salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah. Hal ini menyebabkan banyak daerah kabupaten atau kota yang menerbitkan peraturan daerah untuk mengatur investasi, sehingga terjadi tumpang tindih regulasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah serta antara pemerintah daerah yang satu dengan pemerintah daerah lainnya. Pada gilirannya, keadaan tersebut justeru membingungkan investor asing karena tidak ada kepastian hukum.
2. Tidak konsistennya penegakan hukum. Dalam beberapa hal, ketidakpastian hukum yang dikeluhkan investor asing disebabkan oleh tidak konsistennya penegakan hukum di Indonesia. Hal ini tampak jelas dalam kasus PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (PT. AJMI). Duta Besar Perancis untuk Indonesia, Herve Ladseus mengatakan, kasus PT. AJMI merupakan suatu preseden buruk terhadap iklim investasi di Indonesia, sehingga investor asing akan semakin enggan menginvestasikan modalnya di Indonesia.9) Hal senada diungkapkan Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Benny Soetrisno. Soetrisno mengatakan, dengan kasus Manulife, pihak luar negeri dapat berpandangan bahwa tidak ada kepastian hukum di Indonesia. Peraturan dibuat, tetapi belum tentu dapat dipatuhi semua pihak.10)
3. Lambannya pemerintah melakukan reformasi hukum investasi. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa pemerintah belum melakukan harmonisasi hukum yang komprehensif terhadap peraturan perundang-undangan investasi dengan perjanjian-perjanjian internasional di bidang investasi. Sebagai contoh: sampai saat ini, Indonesia masih membedakan investasi domestik dan investasi asing, padahal Indonesia merupakan negara anggota WTO yang harus melaksanakan Agreement on Trade-Related Investment Measures (Perjanjian TRIMs). Keadaan ini menimbulkan rasa skeptis di kalangan investor asing mengenai komitmen pemerintah Indonesia untuk melaksanakan aturan-aturan hukum internasional yang telah disepakati.
Faktor lain yang menyebabkan tidak adanya kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan investasi di Indonesia adalah, terbitnya peraturan perundang-undangan yang tidak mendukung kegiatan dunia usaha. Sebagai contoh adalah, Keputusan Menaker Nomor 150 Tahun 2000. Daya saing Indonesia untuk menarik investor asing semakin berkurang dengan terbitnya Kepmenaker Nomor 150 Tahun 2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, dan Ganti Kerugian di Perusahaan.
Hal yang menjadi masalah dalam Kepmenaker tersebut adalah, menyangkut kewajiban perusahaan untuk memberikan pesangon dan penghargaan bagi pekerja yang mengundurkan diri. Jika diimplementasikan, ketentuan tersebut sangat merugikan dunia usaha karena perusahaan harus membayar uang penghargaan jasa kepada pekerja yang mengundurkan diri. Masalah perburuhan ini dianggap sebagai salah satu penyebab ketidakpastian iklim investasi. Investor tidak akan masuk ke Indonesia apabila ketentuan perburuhan tidak jelas dan sangat membebani dunia usaha. Apabila Kepmenaker tersebut tidak direvisi, maka tidak akan ada investor yang berminat untuk menanamkan modal di Indonesia.



BAB IV
PENANAMAN MODAL ASING DAN KETIDAKPASTIAN HUKUM SEBAGAI SALAH SATU KENDALA DALAM INVESTASI ASING DI INDONESIA

Selanjutnya, akan dikemukakan beberapa fakta yang menggambarkan tidak konsistennya penyelenggaraan hukum di Indonesia. Pasca berlakunya otonomi daerah, keadaan hukum investasi di Indonesia dapat dikatakan sangat “memprihatinkan”. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa berdasarkan UU Pemerintahan Daerah, penanaman modal merupakan salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten atau kota. Dalam praktik investasi pasca-otonomi daerah, banyak terjadi konflik kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah kabupaten atau kota serta konflik kewenangan antar-pemerintah daerah yang merugikan investor asing.
Di satu pihak, penyerahan kewenangan untuk menangani investasi kepada daerah merupakan langkah positif dalam rangka mewujudkan otonomi daerah. Namun di lain pihak, hal tersebut justeru menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor asing. Investor asing mengeluhkan munculnya gejala tindakan sewenang-wenang pemerintah daerah, antara lain dalam hal pengaturan izin lokasi investasi.11) Di samping masalah tersebut, investor juga mengeluhkan banyaknya pungutan pajak yang harus dibayar dan tumpang tindihnya regulasi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Bahkan sejumlah investor menilai, pemerintah daerah bertindak sewenang-wenang hanya karena merasa lebih berhak menentukan siapa yang boleh mendapat izin lokasi.12)

Banyak faktor yang menimbulkan masalah ketidakpastian hukum dalam penyelenggaraan investasi pasca-otonomi daerah. Salah satunya adalah karena tidak adanya kepastian hukum mengenai pengaturan kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta kewenangan antar-pemerintah daerah dalam hal penanganan investasi asing. Sampai saat ini, dalam beberapa hal, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah terjadi tarik-menarik kewenangan dalam penanganan investasi asing. Hal ini disebabkan oleh, antara lain, pemerintah pusat belum menerbitkan peraturan yang jelas dan komprehensif mengenai kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam hal penanganan investasi asing.
Belum adanya pengaturan yang jelas dan komprehensif dalam hal penanganan investasi asing, menyebabkan investor “bingung,” karena tidak adanya kepastian hukum sebagai akibat terjadinya konflik kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, serta konflik kewenangan antar-pemerintah daerah dalam penanganan investasi asing.
Selain menyebabkan tidak jelasnya penanganan kegiatan investasi asing, otonomi daerah juga telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam hal pungutan pajak dan sejenisnya terhadap investor asing. Di satu pihak, investor asing harus membayar pajak kepada pemerintah pusat, dan di lain pihak harus membayar beberapa jenis pungutan baru kepada pemerintah daerah berdasarkan peraturan daerah yang pada dasarnya bertentangan dengan undang-undang mengenai perpajakan. Hal ini dikeluhkan investor asing karena akan mengurangi keuntungan yang telah diprediksikan sebelumnya. Lebih dari itu, pungutan-pungutan baru yang dilakukan pemerintah daerah, tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
Masalah ketidakpastian hukum yang dikeluhkan investor pasca-otonomi daerah, dipertegas oleh hasil penelitian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Hasil penelitian KPPOD menunjukkan, 42% dari total jawaban responden (kalangan dunia usaha) menyatakan, kepastian hukum masih rendah. KPPOD melihat masalah ketidakpastian hukum tersebut dari dua aspek, yaitu terjadi ketidaktetapan peraturan, sehingga “membingungkan" dunia usaha dan terjadinya ketidakkonsistenan dalam penegakan peraturan.13)
Fakta mengenai tidak adanya kepastian hukum yang dikeluhkan investor asing semakin nyata dalam konteks penegakan hukum di Indonesia. Hasil survei Political and Economic Risk Consultancy Ltd., menunjukkan bahwa Indonesia paling buruk dalam skor sistem hukum di Asia. Indonesia berada pada posisi teratas dengan skor hampir mencapai angka 10. Tidak adanya kepastian hukum, menyebabkan investor asing merasa tidak nyaman untuk menginvestasikan dananya di Indonesia.14)
Hal tersebut tampak dalam beberapa kasus yang terjadi pada beberapa tahun terakhir. Proses pemailitan PT. AJMI merupakan salah satu contoh kasus tidak konsistennya penegakan hukum di Indonesia. Menurut (mantan) Menko Perekonomian, Dorodjatun Kuntjoro Jakti, kasus PT. AJMI harus menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia. Pelajaran dimaksud adalah, sebuah kasus yudikatif juga dapat menimbulkan akibat-akibat yang luas pada bidang-bidang lain, termasuk di bidang investasi.15)
Berkaitan dengan kasus PT. AJMI tersebut, Dennis Heffernan dari perusahaan konsultan Van Zorge, Heffernan & Associates mengatakan, kalangan investor menjadi gamang terhadap keputusan-keputusan pengadilan yang sangat tidak jelas dan kehilangan kepercayaan terhadap kesungguhan pemerintah untuk melakukan reformasi hukum dan peradilan sebagaimana disampaikan kepada kalangan investor.16) Masalah penegakan hukum tersebut paling sering dikeluhkan investor asing. Tidak adanya kepastian hukum menyebabkan investor merasa kecewa dan khawatir. Kasus pemailitan PT. AJMI dan kasus-kasus sejenisnya dikhawatirkan dapat menghilangkan momentum pemulihan ekonomi yang dilakukan pemerintah.
Kasus lainnya adalah kasus PT. Doson Indonesia. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) pada saat itu, yang memerintahkan manajemen PT. Doson Indonesia untuk membayar dua kali pesangon merupakan hasil veto yang dilakukannya terhadap keputusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P). Inti keputusan P4P terhadap PT. Doson Indonesia adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan perusahaan, telah sesuai dengan prosedur yang berlaku. Alasan P4P menyetujui keputusan tersebut adalah karena perusahaan mengalami kerugian terus-menerus. P4P memberikan izin kepada perusahaan yang bersangkutan untuk melakukan PHK, dan PT. Doson Indonesia diwajibkan membayar hak-hak pekerja sesuai dengan Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 Keputusan Menaker Nomor Kep 150/MEN/2000.
Namun, keputusan tersebut diveto oleh Menakertrans, karena dinilai tidak adil. Amar keputusan P4P diminta diubah, dan perusahaan harus memberikan pesangon sebesar dua kali jumlah yang ditentukan dalam Pasal 22 Kepmenaker Nomor 150 Tahun 2000. Tindakan veto tersebut merupakan preseden buruk dalam penegakan hukum di Indonesia, karena keputusan P4P menjadi tidak memiliki legitimasi hukum, sebagai akibat tindakan veto yang dilakukan tanpa melihat urgensi masalahnya. Tindakan Menakertrans tersebut juga menunjukkan tidak adanya kepastian dalam penegakan hukum di Indonesia. Akibatnya, kasus yang mendapat perhatian investor asing ini dikhawatirkan berdampak negatif terhadap arus investasi ke Indonesia pada tahun-tahun berikutnya.17)

Selain itu, kasus lain yang menggambarkan ketidakpastian hukum di Indonesia yang diciptakan oleh pemerintah sendiri adalah, menyangkut pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) di Batam. Ketidakpastian pengenaan pajak tersebut menimbulkan keresahan dan ketidakpastian bagi para investor di kawasan tersebut, karena pemerintah telah memutuskan untuk memberlakukan dua jenis pajak tersebut sejak April 2000, tetapi pelaksanaannya di lapangan tertunda-tunda hingga saat ini.18)
Di samping tiga kasus yang dikemukakan di atas, masih banyak kasus lain yang menimbulkan ketidakpastian hukum dalam kegiatan investasi asing di Indonesia. Kasus yang secara langsung maupun tidak langsung membuat iklim investasi di Indonesia semakin tidak kondusif adalah kasus PT. Semen Gresik, kasus pelepasan saham PT. Kaltim Prima Coal, dan kasus divestasi saham PT. Indosat.
Masalah ketidakpastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan investasi tersebut, tentu saja akan menimbulkan implikasi terhadap kegiatan investasi di Indonesia pada umumnya. Sebagai implikasi dari adanya ketidakpastian hukum dalam kegiatan investasi tersebut adalah, minimnya investor asing yang akan melakukan investasi ke Indonesia. Akibat lanjutnya adalah, menurunnya kegiatan investasi asing di Indonesia. Fakta ini dapat dilihat pada data terakhir BKPM mengenai persetujuan dan realisasi investasi asing. Pada tahun 2005, realisasi investasi tidak menyebar ke seluruh penjuru daerah, “bolak balik” hanya di lima daerah : Riau, Jawa Timur, Banten, Jawa Barat, dan DKI Jakarta.19)
Data BKPM tahun 2002 menunjukkan, jumlah proyek investasi asing yang telah disetujui pada periode 1 Januari sampai dengan 31 Oktober 2002 menurun sebesar 13,1% dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2001, sedangkan nilai investasinya meningkat sedikit, yaitu dari US$ 6,497 menjadi US$ 6.498,6. Sementara jumlah proyek investasi domestik yang telah disetujui pada periode 1 Januari sampai dengan 31 Oktober 2002 mengalami penurunan sebesar 28,6% dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2001, sedangkan nilai investasinya turun sebesar 59,8%, yaitu dari Rp52,033 triliun menjadi Rp20,905 triliun.20)
Dari data tersebut, terlihat bahwa persetujuan investasi asing dan investasi domestik mengalami penurunan yang signifikan dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya. Meskipun pada kuartal ketiga tahun 2002, kegiatan investasi mengalami pertumbuhan positif, namun secara keseluruhan menunjukkan kecenderungan negatif, sehingga mengalami kontraksi minus 1,6%. Angka ini jauh lebih rendah dari tahun 2001 yang mengalami pertumbuhan positif 7,5%.
Fakta tersebut merupakan indikator bahwa Indonesia bukan lagi dianggap sebagai salah satu negara tujuan investasi asing. Investor lebih memilih negara lain di Asia yang iklim investasinya lebih kondusif. Hal ini didasarkan pada laporan UNCTAD (United Nations Commission on Trade and Development) tahun 2001 yang menunjukkan bahwa arus investasi asing langsung (FDI) di Asia meningkat terus setiap tahun, kecuali di Indonesia yang sejak tahun 1998 hingga tahun 2000 mengalami arus modal negatif, yaitu arus keluar lebih besar daripada arus masuk. Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami net capital flow yang negatif, dan pada tahun 2000 tercatat sebesar 4.550 juta dollar AS.21)
Hal yang menarik dari laporan tersebut adalah, penurunan investasi asing yang terjadi di Indonesia sejak krisis ekonomi dan moneter yang mencapai puncaknya pada tahun 1998, tidak terjadi di negara-negara Asia lainnya yang juga mengalami krisis ekonomi seperti Indonesia, misalnya Korea Selatan dan Thailand. Perbedaan ini menjadi alasan kuat untuk percaya bahwa ada faktor-faktor lain yang menjadi masalah bagi investor asing di Indonesia, yang tidak terjadi di negara-negara Asia lainnya. Salah satu faktor yang menjadi masalah bagi investor asing di Indonesia adalah tidak adanya kepastian hukum, sementara di negara-negara Asia lainnya, kepastian hukum tidak menjadi masalah bagi investor asing. Perlu ditegaskan kembali bahwa kepastian hukum merupakan indikator yang sangat menentukan bagi suatu negara untuk menarik investasi asing.
Selain menurunnya investasi asing, implikasi lain dari tidak adanya kepastian hukum di Indonesia adalah relokasi industri yang dilakukan beberapa perusahaan asing ke negara-negara lain. Sejak tahun 2001, ada beberapa perusahaan asing yang telah dan akan melakukan relokasi industrinya ke negara-negara lain sebagai akibat tidak kondusifnya iklim investasi di Indonesia. Beberapa perusahaan asing yang telah dan akan merelokasikan industrinya ke negara lain adalah: perusahaan industri elektronik Aiwa dari Korea Selatan yang pindah ke Vietnam, order sepatu Nike dan Reebok dipindahkan ke China dan Vietnam, dan PT. Sony Electronics Indonesia yang merencanakan pindah ke Malaysia atau China. Selain itu, produsen garmen dan sepatu dari Amerika Serikat G-III Apparel Group Ltd., yang memproduksi pakaian dan sepatu merek Cole Haan dan Jones New York bermaksud pindah dari Indonesia.
Relokasi industri yang dilakukan oleh beberapa perusahaan asing tersebut, kemungkinan akan diikuti oleh perusahaan-perusahaan asing lainnya, bahkan perusahaan investasi domestik. Hal tersebut tentu saja akan menimbulkan dampak negatif yang sangat besar bagi perekonomian Indonesia, padahal Indonesia masih memerlukan kehadiran investor asing untuk menggerakkan sektor riil.


BAB V
SIMPULAN

Untuk mengatasi berbagai persoalan investasi tersebut, pemerintah perlu melakukan tindakan nyata. Dalam jangka pendek, pemerintah harus segera memperbaiki iklim investasi. Untuk memperbaiki iklim investasi tersebut, pemerintah perlu melakukan beberapa tindakan nyata, antara lain segera menerbitkan undang-undang investasi yang baru, menetapkan batas waktu pemberian perizinan investasi, dan menerbitkan peraturan pelaksanaan UU Pemerintahan Daerah yang dapat menjamin kepastian hukum. Selain itu, hal yang lebih penting adalah, membenahi tatanan hukum, khususnya dalam hal penegakan hukum.
PERANAN LEMBAGA ARBITRASE DALAM MENYELESAIKAN MASALAH KERJASAMA
PENANAMAN MODAL ASING


BAB I
PENDAHULUAN

Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dituangkan dalam suatu Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam GBHN tahun 1999-2004 yang ditetapkan MPR memuat arah kebijakan penyelenggaraan negara, termasuk lembaga tinggi negara dan seluruh rakyat Indonesia, dalam melaksanakan penyelenggaraan negara dan melakukan langkah-langkah penyelamatan, pemulihan, pemantapan, dan pengembangan pembangunan dalam kurun waktu tersebut.
Banyak anggapan bahwa krisis moneter yang terjadi hanya berpengaruh pada sektor pembangunan ekonomi saja, namun nyatanya hal tersebut membawa dampak yang sangat luas bagi pembangunan di berbagai sekotor kehidupan di negara kita. Pembangunan dalam arti seluas-luasnya meliputi segala segi kehidupan masyarakat dan tidak hanya segi kehidupan ekonomi belaka, karena istilah itu pembangunan ekonomi sebenarnya kurang tepat, karena tidak dapat membangun “ekonomi” suatu masyarakat tanpa menyangkutkan pembangunan segi-segi kehidupan masyarakat lainnya.
Pembangunan yang dilakukan pemerintah dalam melakukan eksplorasi sumber daya alam Indonesia, salah satunya dengan mengundang partisipasi pihak asing untuk menggairahkan kegiatan investasi asing di Indonesia, terutama untuk berinvestasi dalam bidang-bidang usaha yang tidak tertutup bagi pihak asing. Mengalirnya penanaman modal asing tersebut tentunya menggairahkan bisnis internasional yang dilakukan di Indonesia. Ketentuan mengenai penanaman modal asing tersebut dimuat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tanggal 10 Januari 1967 tentang Penanaman Modal Asing juncto Undang-Undang No. 11 Tahun 1970 tanggal 7 Agustus 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
Sejak diberikannya keleluasaan penanaman modal, khususnya penanaman modal asing oleh pemerintah Indonesia untuk melaksanakan usahanya di Indonesia melalui UU Nomor 2 Tahun 1967 tentang PMA dan UU Nomor 6 Tahun 1968 tentang PMDN hingga sekarang ini sudah berjalan sekira 37 tahun. Dalam jangka waktu itu, sudah banyak proyek yang dikerjakan, baik dengan modal asing maupun modal dalam negeri, dan sudah banyak pula menghasilkan berbagai macam produk, mulai dari industri jasa, hingga industri pertambangan. Tidak dapat dipungkiri, hasil produksi dari usaha-usaha penanaman modal tersebut sudah banyak dinikmati oleh masyarakat Indonesia.
Mengalirnya penanaman modal asing tentunya menggairahkan bisnis internasional yang dilakukan di Indonesia. Hadirnya penanaman modal, khususnya penanaman modal asing ke Indonesia tentunya akan memberikan atau membawa akibat terhadap negara Indonesia, sehingga dibutuhkan adanya suatu pengaturan yang seimbang agar penanaman modal, khususnya penanaman modal asing di satu pihak, dan pemerintah di lain pihak dapat memetik manfaatnya. Sebagaimana disinyalir oleh banyak pakar bahwa penanaman modal khususnya penanaman modal asing tidak begitu saja menanamkan modalnya di suatu negara, akan tetapi melalui suatu penelitian yang cukup rumit dengan suatu studi kelayakan (feasibility study).
Studi kelayakan itu akan menjadi pedoman bagi setiap penanaman modal apakah dengan modal yang akan ditanamkan itu dapat memberikan keuntungan, rasa aman, ataukah sebaliknya. Hal tersebut menjadi pertimbangan bagi setiap penanam modal dalam menanamkan modalnya di suatu negara disebabkan adanya rasa kekhawatiran yakni terjadinya nasionalisasi terhadap perusahaan yang menggunakan modal asing tanpa melalui prosedur dan ganti rugi yang layak dan sesuai, tidak dipatuhinya perjanjian lisensi penanaman modal asing, tidak terlindunginya hak-hak milik intelektual (intellectual property right) serta adanya kemungkinan perselisihan antara penanaman modal asing dengan pemerintah Indonesia, maupun dengan partner lokal di kemudian hari.
Mengantisipasi hal tersebut, pemerintah Indonesia secara strategis telah meratifikasi konvensi ICSID tahun 1958 dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 LN. 1968 Nomor 32 sebagai salah satu upaya untuk menyelesaikan kemungkinan timbulnya sengketa atau perselisihan antara penanaman modal asing dengan pihak Indonesia, baik oleh pemerintah sendiri, maupun swasta. Kebijaksanaan Indonesia untuk meratifikasi konvensi ICSID didasarkan pada pertimbangan agar dapat menarik penanaman modal asing sebanyak mungkin ke Indonesia, memberikan rasa aman, serta mengupayakan terjadinya penyelesaian perselisihan lewat jasa perwasitan atau lebih dikenal dengan nama arbitrase.



BAB II
PERANAN LEMBAGA ARBITRASE

Kata arbitrase berasal dari kata “arbitrase” (latin), “arbitrage” (Belanda), “arbitration” (Inggris), “schiedspruch” (Jerman), dan “arbitrage” (Prancis) yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh arbiter atau wasit. Pada dasarnya, forum arbitrase telah lama dipraktekkan. Menurut M. Domke, bangsa-bangsa telah menggunakan cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase sejak zaman Yunani Kuno. Praktek ini berlangsung pula pada zaman keemasan Romawi dan Yahudi serta terus berkembang terutama di negara-negara dagang di Eropa seperti Inggris dan Belanda. Kemudian cara cara penyelesaian sengketa ini menyebar ke negara-negara Eropa lainnya. Penyebaran di Prancis berlangsung pada tahun 1250, Skotlandia 1695, Irlandia 1700, dan Denmark 1795. Penyebaran arbitrase sampai pula di Amerika Serikat sebagai akibat berlangsungnya imigrasi besar-besaran dari Eropa.
Perkembangan Arbitrase di Eropa pada saat itu masih dalam bentuknya yang sederhana. Arbitrase pada masa itu memiliki 3 ciri, antara lain:
1. Pada masa tersebut orang menggunakan arbitrase setelah terjadi sengketa, tanpa memperjanjikannya terlebih dahulu sebelum terjadi sengketa.
2. Arbitase dipergunakan untuk menyelesaikan sengketa diantara kerabat, tetangga atau mereka yang hidupnya bersama-sama dan yang berkepentingan agar hubungan mereka terjaga baik.
3. Arbitrator yang dipilihnya adalah mereka yang telah dikenal baik oleh para pihak dan tidak terikat pada adanya ikatan-ikatan tertentu.
Apabila dibandingkan dengan ciri-ciri arbitrase pada masa lampau, saat ini arbitrase telah sangat berkembang. Arbitrase bukan hanya dipergunakan untuk menyelesaikan sengketa antara orang-orang dekat tetapi bahkan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa bisnis bernilai besar. Dewasa ini arbitrase berfungsi tidak hanya sebagai badan penyelesai sengketa, tetapi juga menafsirkan suatu kontrak, memutuskan apakah suatu kontrak telah dilaksanakan, menentukan konsekwensi suatu pelanggaran, dan juga dapat diminta untuk menyempurnakan suatu kontrak yang tidak lengkap. Arbitrase tidak hanya dipergunakan dalam penyelesaian sengketa-sengketa dalam lapangan hukum privat, tetapi juga dalam lapangan hukum publik, bahkan dalam hubungan antar negara (arbitrase internasional publik).



BAB III
MASALAH KERJASAMA PENANAMAN MODAL ASING

Konflik, sengketa, pelanggaran atau pertikaian antara atau terkait dua individu atau lebih dewasa ini telah dan akan terus menjadi fenomena biasa dalam masyarakat. Situasi itu akan semakin merepotkan dunia hukum dan peradilan apabila semua konflik, sengketa atau pertikaian itu diproses secara hukum oleh peradilan.
Perkembangan dunia bisnis atau perdagangan, baik dalam skala nasional, maupun internasional dewasa ini, secara potensial menyebabkan meningkatnya kemungkinan terjadinya sengketa antara pihak terkait. Secara konvensional, suatu penyelesaian sengketa biasa dilakukan melalui mekanisme jalur yudikasi, yaitu melalui proses litigasi di pengadilan atau proses non litigasi di hadapan lembaga arbitrase.
Seiring dengan pesatnya perkembangan transaksi bisnis dalam masyarakat saat ini, akan timbul permasalahan yang lebih kompleks dan tentunya memerlukan suatu perangkat hukum yang dapat menjawab dan memberikan solusi permasalahan yang terjadi. Berkembangnya kerja sama ekonomi internasional dewasa ini mengakibatkan meningkatnya kegiatan atau transaksi bisnis internasional dan tentunya banyak masalah hukum dalam transaksi bisnis internasional tidak jauh berbeda dengan yang dihadapi para pihak dalam transaksi bisnis domestik.
Berbagai masalah atau kendala yang dihadapi oleh para pihak, khususnya pihak pemodal dalam negeri dalam rangka kerja sama (joint venture) dengan penanaman modal asing menimbulkan banyak ketidakpuasan antara kedua belah pihak. Untuk itu, peran pemerintah sangat diperlukan melalui suatu kebijaksanaan yang terarah dan dapat memberikan kepastian hukum serta rasa keadilan di antara kedua belah pihak. Tidak bisa disangkal bahwa dengan adanya suatu usaha kerja sama antara penanaman modal asing dengan modal nasional tentu saja akan melahirkan berbagai implikasi dan salah satunya adalah terjadinya sengketa yang tentunya memerlukan penyelesaian secara tuntas agar tidak menimbulkan imej yang buruk dari penanam modal asing.
Secara umum diketahui bahwa penanaman modal asing, khususnya yang berlokasi di negara-negara berkembang atau sedang berkembang, sangat merasa khawatir dan selalu merasa was-was memikirkan begitu banyak risiko. Hal itu disebabkan karena keadaan politik, sosial, dan ekonomi dari negara-negara berkembang atau sedang berkembang belum stabil, padahal penanaman modal asing membutuhkan suatu keadaan yang bersifat kondusif seperti rasa aman, tertib, serta adanya suatu kepastian atau jaminan hukum dari negara-negara penerima modal. Peran yang sangat menonjol untuk dapat menarik penanaman modal khususnya penanaman modal asing (PMA) dalam melakukan usahanya di suatu negara adalah adanya perangkat peraturan perundang-undangan yang mendukung stabilitas, politik dalam negeri pangsa pasar yang besar.
Adanya berbagai faktor yang dikemukakan oleh beberapa pakar ekonomi yang mendorong penanam modal asing untuk menanamkan modalnya pada suatu negara, khususnya di negara berkembang bukanlah semata-mata disebabkan penanaman modal asing pasti akan dapat mengeruk keuntungan sebanyak mungkin dari penanaman modal yang mereka laksanakan, akan tetapi sebaliknya banyak faktor yang mendasarinya baik ditinjau dari segi ekonomi, politik, maupun dari segi hukum. Sunaryati Hartono menilai bahwa perusahaan asing yang telah mempunyai nama baik sering tidak begitu bergairah untuk menanamkan modalnya di negara-negara berkembang, sebab bukan hanya pasarannya kecil dengan tingkat daya beli masyarakat rendah, akan tetapi administrasi pemerintahan dan struktur masyarakat yang belum bisa dengan cara atau tata kerja seperti yang dilakukan oleh penanaman modal asing. Ditambah lagi dengan adanya tingkat stabilisasi politik yang masih kurang stabil, sehingga mengancam bahaya nasionalisasi.
Berbagai permasalahan yang timbul berkaitan dengan kerja sama (joint venture) yang dilakukan antara modal asing dengan modal nasional, dimulai sejak permulaan suatu usaha kerja sama sampai pada pengelolaan perusahaan. Perlu dipahami oleh para pihak khususnya pemodal nasional bahwa kerja sama merupakan suatu organisasi usaha yang pada prinsipnya bertujuan untuk mendapatkan keuntungan maksimal dengan pengeluaran yang minimal sesuai dengan teori ekonomi.
Adanya kerja sama yang dilakukan antara modal asing dengan modal nasional membawa pula berbagai implikasi baik politik, hukum, maupun ekonomi. Dari segi politik kehadiran penanaman modal asing tentunya membawa segi-segi positif maupun negatif. Segi positifnya adalah membantu untuk meningkatkan tingkat pertumbuhan ekonomi melalui pengelolaan sumber daya ekonomi, memberikan alih teknologi, kemampuan manajemen, skill atau kemampuan untuk dapat mengelola dengan peralatan yang modern serta membuka lapangan kerja baru. Dari sisi negatifnya dapat mengeruk keuntungan melalui praktik-praktik yang tidak wajar, seperti transfer pricing, penyelundupan pajak, penguasaan pasar dengan monopoli, dan sebagainya.
Dari segi hukum perlunya dipahami oleh kedua belah pihak bahwa adanya pertemuan dua sistem hukum yang berbeda baik masalah sifat, karakter, maupun prinsip-prinsipnya. Masih beruntung jika penanaman modal asing itu satu rumpun sistem hukum dengan Indonesia, misalnya dari negara-negara Eropa Kontinental. Hal yang menjadi ganjalan dalam praktik bilama penanaman modal asing itu bersal dari Amerika Serikat, Inggris, ataupun Kanada yang mempunyai sistem hukum yang berbeda dengan Indonesia, yakni dengan “Common Law System” atau “Hukum Anglo-Saxon”. Pada sistem hukum ini perumusan perjanjian yang mendasari suatu kerja sama sangat rumit dan terinci dibandingkan dengan sistem Eropa Kontinental yang tidak terlalu rumit dan rinci. Hal ini harus benar-benar dipahami oleh para penanam modal dalam negeri untuk dapat bekerja sama dengan penanam modal asing. Masalah lainnya adalah “choice of law” atau “pilihan hukum”. Hukum mana yang digunakan untuk mendasari perjanjian kerja sama tersebut agar dalam sengketa nantinya dapat ditentukan posisi hukum kedua belah pihak.
Dari segi ekonomi adalah perimbangan modal kedua belah pihak, pembagian keuntungan, pembagian kerja (manajemen), masalah alih teknologi, serta masalah Indonesianisasi. Ketiga aspek atau segi mendasar tersebut harus diperhatikan oleh kedua belah pihak bilamana akan melaksanakan suatu usaha kerja sama dalam bentuk usaha patungan. Sebab, ketiga aspek tersebut selalu mendapat prioritas utama para penanam modal asing sebelum melakukan suatu kerja sama dengan pihak modal dalam negeri.
Sumantoro membagi dua aspek kerja sama antara penanaman modal asing dengan modal dalam negeri, yakni:
(1) Adanya conflict of interest antara penanaman modal asing negara penerima modal.
(2) Baik buruknya suatu penanaman modal asing bagi negara sedang berkembang.
Menurutnya, conflict of interest pada dasarnya terletak pada motif penanam modal asing untuk meng-generate penghasilan yang diperolehnya, memperkuat posisinya guna mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin atas modal, keahlian, dan teknologi mereka, sedangkan negara penerima modal mempunyai minat untuk memanfaatkan modal asing, teknologi, dan keahlian untuk kepentingan pembangunan negaranya. Aspek kedua adalah penanaman modal asing menambah pendapatan devisa negara melalui penanaman modal di bidang produksi ekspor, di sektor industri penanaman modal asing mengurangi kebutuhan devisa untuk impor, menambah pajak-pajak dan royalti, menambah kesempatan kerja, membuka lapangan kerja baru, menaikkan keterampilan kerja, serta memberikan pengarh modernisasi. Di lain pihak, penanaman modal asing juga mencari keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memperhatikan kondisi negara penerima modal, sewaktu-waktu dapat menarik modalnya (repatriasi modal) serta praktik-praktik yang tidak wajar lainnya.
Permasalahan lain yang sering dijumpai adalah adanya keluhan partner lokal terhadap penanaman modal asing. Sudah lazim terdengar bahwa penanaman modal asing hanya mencari keuntungan saja tanpa memperhatikan partner lokalnya, adanya pelanggaran perjanjian kerja sama yang bersifat teknis operasional seperti alih teknologi tidak jalan, peningkatan kemampuan tenaga kerja lokal tidak berkembang, manajemen yang diterapkan terlalu individualistis, pembagian kerja yang tidak seimbang, dan sebagainya.
Adanya keluhan dari partner lokal terhadap penanaman modal asing dalam kenyataannya tidak seluruhnya benar. Apa yang sering dungkapkan oleh para partner lokal hanyalah merupakan kompensasi saja dalam hal ketidakmampuan lokal untuk dapat bekerja sama dengan pihak asing. Hal tersebut dimungkinkan karena pada kenyataannya, komposisi pemilikan saham atas suatu perusahaan tidak sepenuhnya seimbang antara modal yang ditanamkan oleh pihak asing dan partner lokal. Kadangkala dalam praktik perjanjian kerja sama kurang ditemukan adanya perimbanagn modal antara modal asing dengan modal nasional yang menurut persyaratan pemerintah modal dalam negeri adalah 51% dan modal asing adalah 49%. Komposisi ini diterapkan oleh pemerintah dan merupakan kebijaksanaan untuk meningkatkan perimbanagn modal antara modal asing dengan modal nasional.
Namun apa yang tejadi dalam praktik, tidaklah demikian adanya. Perimbangan modal yang diisyaratkan kadangkala sulit dipenuhi oleh modal nasional, sehingga pihak asing lebih memonopoli kerja sama tersebut. Malah, dijumpai adanya kerja sama usaha patungan antara modal asing dengan modal nasional hanya berlandaskan kepada saling pengertian saja antara pihak asing dengan modal nasional. Lebih tragis lagi, hanya mengatasnamakan adanya kerja sama namun dalam kenyataannya modal nasional tidak pernah ada. Wajar bila penguasaan penuh oleh penanam modal asing atas nama manajemen perusahaan yang mulai dari pengolahan sampai dengan pemasaran meskipun dilakukan dalam benruk kerja sama dengan modal nasional tetap berada dalam kontrol penanaman modal asing.
Harapan pemerintah dan penanam modal dalam negeri untuk memanfaatkan joint venture ini dengan penanaman modal asing sedikit banyaknya belum memperoleh hasil yang memuaskan. Kenyataan yang dijumpai bahwa anggapan pemodal nasional dalam melakukan kerja sama dengan pihak asing akan membawa atau menarik manfaat yang lebih besar dan tentunya akan mendapatkan keuntungan yang besar pula belum tentu memberikan hasil yang maksimal. Sebab, harapan partner lokal terhadap penanaman modal asing adalah tentunya terdapat cara produksi yang modern, ternyata meleset dari perkiraan sebelumnya. Sebab, penanam modal nasional kadang tidak mampu atau jeli melihat suatu teknologi yang diinginkan itu termasuk dalam kategori teknologi yang padat karya ataukah dengan teknologi yang padat modal. Padahal, teknologi yang lebih modern adalah teknologi yang padat modal (capital intensive), sedangkan teknologi yang lebih sederhana adalah teknologi yang padat karya. Dengan penggunaan teknologi yang padat modal oleh penanaman modal asing dilihat dari satu sisi sangat merugikan bila dikaitkan dengan pembukaan lapangan kerja baru. Dari sisi yang lainnya menguntungkan penanam modal oleh karena dengan penggunaan tenaga kerna yang sedikit menghasilkan produksi yang sangat besar. Pilihan ini sangat dilematis bagi pihak penanam modal nasional maupun pemerintah dalam menetapkan kebijaksanaan penerimaan penanaman modal asing.
Permasalahan tentang peningkatan know-how dan penyerapan tenaga kerja dalam kerja sama ini belum memberikan hasil yang maksimal, sehingga harapan yang digantungkan kepada kerja sama ini belum terpenuhi baik dalam perolehan know-how, alih teknologi, peningkatan keterampilan yang disebabkan oleh hal-hal, sebagai berikut:
(1) Pengusaha nasional (modal nasional) yang terlalu status oriented dan lebih senang dengan kedudukan sebagai presiden direktur yang tidak perlu mengerjakan atau memikirkan apa-apa, kecuali dengan membubuhi tanda tangan di bawah kertas-kertas yang disodorkan kepadanya daripada menjadi seorang managing director yang mempuyai tugas cukup berat.
(2) Pihak asing juga tidak rela melepaskan segala rahasia perusahaan apalagi mengadakan alih teknologi, sehingga di samping posisinya sebagai managing director juga prosedur-prosedur yang terjadi di dalam perusahaan joint venture berlangsung di luar pengetahuan partner lokalnya.
Tidak mengherankan bila dari asal mulanya di dalam suatu perjanjian usaha kerja sama kedudukan pihak asing jauh lebih kuat dibandingkan dengan pihak pemodal nasional, oleh karena itu, tidak dipunyainya bargaining position yang memadai. Di samping itu, terdengar keluhan bahwa barang modal yang berupa mesin-mesin (capital equipment) yang dibawa oleh penanam modal asing sebenarnya bukan barang baru (merupakan relokasi industri), akan tetapi merupakan barang-barang bekas yang tidak hanya perlu diperbaiki dulu di Indonesia sebelum digunakan dan pasti akan menjadi besi tua pada saat kontrak kerja sama akan berakhir.
Masalah lain dari penanam modal asing adalah sulit diperoleh counter-part nasional yang cukup banyak memiliki modal dan mampu menjalankan kerja sama dengan pihak asing. Kendala lainnya adalah kurang pekanya pengusaha nasional dalam mengantisipasi partner asingnya dalam hal peningkatan produksinya, sehingga sering produksi berlebihan tidak lagi mendapat perhatian dan menyebabkan lonjakan produksi yang pada akhirnya membawa akibat harga di pasaran menjadi menurun. Jika hal itu terjadi, biasanya kesalahan tersebut ditimpakan kepada partner lokalnya.
Kelemahan lain yang sangat mendasar dijumpai dalam praktik kerja sama antara penanam modal asing dengan modal nasional terletak pada corak, sifat, dan karakter perjanjian kerja sama yang tidak begitu terinci dan pasti. Akibatnya, di dalam menghadapi pelaksanaan perusahaan semua mengenai hal-hal yang sekecil-kecilnya harus dirundingkan kembali, hal mana memakan waktu yang lama dan kesabaran yang besar dari kedua belah pihak. Sebab, kendala yang sering ditemui adalah perbedaan persepsi antara pihak asing dengan modal nasional. Pihak asing menginginkan segala sesuatu yang menyangkut kerja sama itu harus diatur sedemikian rupa agar tidak menimbulkan penafsran. Sebaliknya, pihak modal nasional merasa pihak asing terlalu mempersoalkan hal yang sebetulnya tidak perlu dipersoalkan atau diatur cukup dengan konsesus saja antara kedua belah pihak dan penerapan penafsiran diperlukan bilama terjadi kemacetan dalam hal pelaksanaan perjanjian kerja sama. Perbedaan sikap inilah yang hampir selalu dihadapi oleh penanam modal asing dan pihak negara penerima modal.
Sepanjang menyangkut pengamanan modal, tentunya penanaman modal asing dapat dibenarkan sebab faktor risiko selalu diperhitungkan, baik sebelum dilaksanakannya, maupun sesudah dilaksanakannya perjanjian penanaman modal pada suatu negara agar dapat memperkirakan keuntungan yang bisa mereka dapatkan atau minimal modal mereka tidak diganggu gugat, sebab trauma nasionalisasi tetap membayangi setiap langkah mereka.
Pengalaman negara kita sendiri telah menunjukkan pasang surutnya sikap pemerintah terhadap penanaman modal, khususnya penanaman modal asing (PMA). Dari zaman penjajahan, orde lama, orde baru, hingga zaman reformasi, memiliki ciri tersendiri dalam sikap menghadapi penanaman modal asing. Bahkan, pada zaman reformasi ini kebijaksanaan pemerintah terhadap penanaman modal mengalami pula pasang surut. Kadang, mengadakan pembatasan melalui kebijaksanaan persyaratan yang sangat ketat seperti halnya kebijaksanaan persyaratan pada tahun 1974 tepatnya 22 Januari 1974 serta peninjauan berbagai macam kerja sama khususnya peninjauan kontrak karya minyak yang dilakukan oleh PT Pertamina dengan penanaman modal asing sebagai suatu kasus.
Dengan demikian, pelaksanaan suatu usaha kerja sama antara penanaman modal asing dengan modal nasional memerlukan penanganan yang sangat serius serta membutuhkan adanya sikap profesionalisme dari kedua belah pihak guna menghindari hal-hal yang timbul dari pelaksanaan perjanjian joint venture. Pihak modal nasional juga harus menyadari bahwa suatu usaha kerja sama joint venture dengan modal asing memerlukan pengaturan yang sangat rinci agar nantinya setiap sengketa yang timbul dapat diselesaikan sesuai dengan perjanjian kerja sama yang telah dibuat oleh kedua belah pihak.


BAB IV
PERANAN LEMBAGA ARBITRASE DALAM MENYELESAIKAN MASALAH KERJASAMA PENANAMAN MODAL ASING

Dalam kehidupan bermasyarakat, supaya hubungan itu berjalan dengan baik dobutuhkan aturan berdasarkan mana orang melindungi kepentingannya dari menghormati kepentingan dan hak orang lain sesuai dengan hak dan kewajiban yang ditentukan aturan (hukum) itu. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan daripada nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu.
Dalam kegiatan pembangunan saat ini, di mana hal itu dilakukan dengan suatu proses perubahan yang cepat, namun dengan tetap memperhatikan pelaksanaan secara teratur dan tertib, tentunya hukum sangat diperlukan. Dengan demikian, hukum harus tampil ke depan, menunjukkan arah dan memberi jalan bagi pembaruan.
Adanya keinginan untuk menyelesaikan setiap sengketa penanaman modal asing lewat jasa perwasitan atau arbitrase merupakan konsekuensi logis dari setiap pelaksanaan perjanjian kontrak yang dilakukan oleh pihak penanam modal asing dengan pihak pemerintah Indonesia lewat perjanjian jaminan investasi (investment guarantee) yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dengan beberapa negara penanam modal asing. Dalam hal pelaksanaan penanaman modal asing itu memakai bentuk kerja sama joint venture dengan partner lokal, maka hal itu berasal dari klausul perjanjian yang dibuat antara penanam modal asing dengan modal nasional di mana dicantumkan penyelesaiannya dilakukan oleh suatu badan perwasitan atau arbitrase. Syarat perwasitan tersebut sering dipilih oleh para pihak yang bersengketa disebabkan prosedurnya dapat dipermudah dan putusan perwasitan adalah mengikat para pihak dan tidak dapat dibanding pada instansi peradilan yang lebih tinggi. Lagipula persoalannya sangat teknis operasional, sehingga sukar untuk dimengerti oleh hakim dari badan peradilan.
Pada umumnya, lembaga arbitrase ini mempunyai kelebihan dari cara-cara penyelesaian sengketa lainnya, antara lain:
1. Terhindar dari kelambatan-kelambatan yang diakibatkan oleh hal-hal prosedural dan administratif.
2. Pihak-pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya paling dapat mengerti kepentingan pihaknya serta mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan.
3. Phak-pihak yang dapat memilih hukum apa yang akan diterapkan untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase ini.
4. Ptusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat pihak-pihak dan dengan melalui prosedur sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Adanya arbitrase dalam International Bank of Reconstruction and Development (IBRD) yang menyelenggarakan suatu konvensi untuk memberikan perlindungan yang memadai bagi para penanam modal asing dengan suatu “multilateral agreement” khususnya penanaman modal asing yang berada dalam negara-negara sedang berkembang. Namun demikian, usaha-usaha untuk melindungi penanaman modal, khususnya penanaman modal asing tidak banyak memberikan hasil. Oleh karena itu, usaha tersebut kemudian dialihkan ke arah yang lebih praktis, yakni mencari suatu prosedur bagi suatu lembaga yang efektif yang dapat menyelesaikan sengketa-sengketa yang disebabkan penanaman modal asing.
Usaha itu kemudian terwujud pada tahun 1965 dengan diselenggarakannya “Convention on the Settlement of Investment Dispute Between States and Nationals of Other States” dan diratifikasi oleh 64 negara sebagai penanda tangan konvensi. Indonesia menandatangani konvensi ini pada 16 Februari 1968, kemudian mencatat ratifikasinya pada 28 September 1968. Konvensi ini diratifikasi melalui UU Nomor 5 Tahun 1968 dan mengikat sejak 28 Oktober 1968.
Konvensi ini juga menetapkan secara tegas bahwa sengketa antara negara dengan warga negara asing mengenai penanaman modal asing yurisdiksinya meliputi setiap legal dispute yang timbul sebagai akibat langsung dari penanaman modal asing. Pengertian legal dispute sebagai conflict of rights yang dipertentangkan dengan conflict of interest yang berada di luar kewenangan dari center ini. Sengketa harus menyangkut adanya atau luasnya suatu hak atau kewajiban berdasar hukum atau sifat dan besarnya ganti rugi yang harus diberikan karena pelanggaran suatu kewajiban hukum.
Arbitrase dapat diartikan sebagai suatu proses yang sederhana yang dipilih para pihak untuk menyelesaikan suatu perselisihan atau sengketa dengan suatu keputusan final. Persyaratan perwasitan dalam rangka penanaman modal asing paling banyak dicantumkan adalah penyelesaian perwasitan menurut konvensi Bank Dunia (World Bank) yang lebih dikenal dengan “International Center for The Settlement of Dispute” (ICSID). Dengan adanya lembaga ICSID ini, membuka kemungkinan bagi penanaman modal asing yang menanamkan modalnya di Indonesia bilamana mereka menganggap telah diperlakukan kurang wajar oleh pihak pemerintah Indonesia dapat mengajukan gugatan atau klaim sengketa tentang penanaman modal asing yang merupakan sengketa hukum (legal dispute) kepada dewan arbitrase ICSID yang berkedudukan di Washington DC yang akan diselenggarakan menurut “The convention of the settlement of investment dispute between states and national of other states”.
Pembentukan lembaga ICSID ini merupakan prakarsa dari direktur eksekutif Bank Dunia (World Bank) yang berkedudukan di Washington DC., Amerika Serikat yang mengusulkan kepada negara-negara anggotanya dengan tujuan untuk merangsang masuknya modal asing kepada negara-negara yang sedang berkembang. Menurut pertimbangannya bahwa setiap perselisihan mengenai penanaman modal asing di suatu negara diselesaikan menurur ketentuan dan tata cara setempat apakah lewat peradilan atau perwasitan (arbitrase). Pengalaman menunjukkan, sering untuk kepentingan penanam modal asing menginginkan adanya suatu penyelesaian sengketa lewat pihak yang dianggap netral dan menurut cara penyelesaian yang bersifat internasional.
Bank Dunia secepatnya mencari jalan keluar dari setiap permasalahan yang timbul terhadap penanaman modal asing dengan memprakarsai suatu konvensi pada tahun 1958 yang diselenggarakan guna mencari penyelesaian perselisihan tentang penanaman modal asing yang sering timbul antara pihak penanam modal asing dengan negara penerima modal asing. Konvensi Bank Dunia itu secara resmi mulai berlaku pada 4 Oktober 1968 setelah mendapat ratifikasi dari duapuluh negara sesuai dengan Pasal 68 ayat (2) dari konvensi tersebut.
Penyelesaian perselisihan yang diberikan oleh konvensi Bank Dunia itu diupayakan dengan jalan konsiliasi, yaitu berupa usul yang tidak mengikat dari arbitrase atau perwasitan yang putusannya mengikat bagi para pihak kalau dianggap perlu setelah konsiliasi dapat dilanjutkan dengan perwasitan. Sebagai badan pelaksana dari konvensi tersebut kemudian dibentuk lembaga ICSID yang merupakan suatu lembaga internasional yang berdiri sendiri.
Sudarto Gautama menyatakan bahwa penyelesaian sengketa terhadap penanaman modal asing tidak semudah yang kita duga, karena menyangkut perselisihan penanaman modal yang melibatkan dua sistem hukum atau lebih, sehingga penyelesaiannya bukan ditentukan oleh hukum yang berlaku dalam wilayah Indonesia saja, tetapi dengan melalui suatu prosedur konsiliasi atau arbitrase.
Perkembangan dunia bisnis atau perdagangan, baik dalam skala nasional, maupun internasional dewasa ini, secara potensial menyebabkan meningkatnya kemungkinan terjadinya sengketa antara pihak terkait. Secara konvensional, suatu penyelesaian sengketa biasa dilakukan melalui mekanisme jalur ajudikasi, yaitu melalui proses litigasi di pengadilan atau proses non litigasi di hadapan lembaga arbitrase.
Dalam hal terjadinya suatu masalah dalam pemenuhan prestasi suatu kontrak, maka akan terjadi suatu sengketa antara para pihak. Penyelesaian sengketa yang bersifat efektif merupakan keinginan setiap pihak yang terlibat dalam transaksi bisnis. Salah satu alasan yang menjadi dasar pertimbangannya adalah terjadinya suatu sengketa akan hampir mutlak menjadi hambatan dalam perwujudan prediksi-prediksi bisnis. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dicari sistem penyelesaian sengketa yang kondusif bagi dunia bisnis, sesuai dengan perkembangan dunia perekonomian dan perdagangan, yaitu sistem penyelesaian sengketa yang cepat dan murah (quick and lower in time and money to parties).

Sistem penyelesaian sengketa yang cepat dan murah serta telah lama dikenal adalah arbitrase. Peran badan arbitrase dalam menyelesaikan sengketa-sengketa bisnis di bidang perdagangan nasional dan internasional dewasa ini menjadi semakin penting. Banyak kontrak nasional dan internasional menyelipkan klausula arbitrase. Bagi kalangan bisnis, cara penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase yang memberi keuntungan sendiri keuntungan sendiri daripada melalui badan peradilan nasional. Arbitration Clause merupakan sumber filsafah, sumber hukum, dan sumber yurisdiksi bagi semua pihak yang terkait dalam suatu sengketa yang diselesaikan melalui lembaga arbitrase maupun (ADR).
Pada dasarnya, prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang dengan tegas diakui dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia tidak saja memberikan kebebasan kepada para pihak yang berkontrak untuk mengajukan poin-poin perikatan yang akan disepakati dan dilaksanakan bersama dalam kontrak, akan tetapi memberikan juga kebebasan kepada para pihak tersebut untuk memilih atau menyepakati langkah penyelesaian sengketa di luar proses pengadilan sebagai alternatif penyelesaian sengketa, bila di kemudian hari terdapat permasalahan yang tidak dapat diselesaikan secara musyawarah oleh para pihak dalam menjalankan kesepakatan-kesepakatan dalam kontrak tersebut.
Adanya kebebasan para pihak dalam suatu penentuan pilihan hukum bukanlah tanpa batas. Terdapat beberapa batasan terhadap pilihan hukum para pihak dalam kontrak adalah:
1. Tidak melanggar ketertiban umum
2. Meliputi hanya bidang hukum kontrak
3. Tidak boleh mengenai hukum kontrak kerja
4. Tidak boleh mengenai ketentuan perdata yang bersifat publik.

Pengajuan gugatan oleh para pihak kepada lembaga International on the Settlement of Dispute (ICSID) di Washington DC sebagai akibat adanya sengketa atau perselisihan penanaman modal asing antara pemerintah dan swasta nasional. Mengingat bahwa lembaga ICSID merupakan suatu lembaga arbitrase yang bersifat privat, berkenaan dengan itu syarat terpenting untuk dapat memajukan gugatan atau tuntutan atau klaim terhadap pemerintah atau partner lokal penerima modal asing adalah adanya persetujuan untuk dapat diajukan melalui dewan arbitrase ICSID.
Dalam ketentuan konvensi ICSID ditetapkan bahwa syarat yang terpenting suatu negara dapat digugat di hadapan arbitrase ICSID ialah harus ada legal dispute yang timbul secara langsung terhadap penanaman modal asing di mana sengketa tersebut antara suatu negara peserta dengan seorang warga negara dari para peserta konvensi. Juga merupakan syarat yang harus dipenuhi adalah para pihak harus memberikan persetujuannya secara tertulis, di mana para pihak menyetujui untuk memilih jalan arbitrase guna menyelesaikan sengketa mereka.
Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Konvensi ICSID ditetapkan bahwa “para pihak tidak dapat menarik secara sepihak bilamana telah mengadakan perjanjian sebelumnya”. Selain itu, dalam Pasal 25 ayat (3) ditetapkan pula persyaratan bahwa “dalam suatu persoalan yang diajukan kepada arbitrase masih diperlukan persetujuan dari pemerintah negara yang digugat dalam hal ini negara penerima modal”. Hal ini berkaitan juga dengan Pasal 25 ayat (1) dari konvensi yang menyatakan bahwa “Center baru mempunyai yuridikasi apabila kedua belah pihak yaitu si penanam modal asing dan pemerintah suatu negara menyetujuinya”. Dengan adanya persyaratan ini, menimbulkan pertanyaan apakah pemerintah sudah merasa terikat atau telah menyetujui untuk dibawa ke depan arbitrase sesuai dengan ratifikasi dari UU Nomor 5 Tahun 1968. Dalam penjelasan undang-undang tersebut dikemukakan bahwa walaupun konvensi tersebut tidak berlaku untuk suatu negara, namun tidaklah ada suatu kewajiban untuk menyelesaikan setiap perselisihan menurut konvensi.
Dalam praktiknya, hal itu dilakukan dengan persetujuan secara tertulis, dan persetujuan itu bersifat mengikat dan tidak dapat ditarik kembali. Persetujuan tertulis tersebut dapat diwujudkan dalam suatu perundang-undangan dari negara peserta dengan warga negara dari peserta lain. Juga persetujuan dapat diberikan secara ad hoc kompromis untuk menyelesaikan suatu prsengketaan penanaman modal asing tertentu.
Melalui ketentuan dan persyaratan yang ditetapkan oleh ICSID merupakan lembaga terakhir dalam penyelesaian sengketa penanaman modal asing sekaligus merupakan upaya terakhir dari para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka. Dengan demikian, putusannya tidak bisa diadakan banding atau kasasi tetapi masih dimungkinkan dengan jalan meminta atau memohon pembatalan putusan (annulment).
Pengajuan alasan untuk memajukan gugatan kepada lembaga ICSID harus dinyatakan secara tegas dalam gugatan yang diajukan. Bilamana alasan diajukan dalam gugatan tersebut tidak jelas dan menjadi kabur, maka gugatan itu akan ditolak dan dinyatakan kabur (obscribe libel) sehingga gugatan dapat dimajukan ulang. Oleh karena itu, para pihak yang bersengketa baik dari pihak penanaman modal asing maupun pemerintah atau swasta perlu memperhatikan secara saksama, teliti, dan berhati-hati dalam mengajukan gugatan agar tidak mengalami kegagalan dan mengakibatkan kerugian dari para pihak itu sendiri.
Selanjutnya, yang menjadi dasar bagi dewan arbitrase untuk dapat menangani perselisihan atau sengketa yang diajukan kepadanya yakni apakah telah dicapainya pemufakatan oleh para pihak yang diwujudkan dalam suatu “arbitrator clause”, di mana dalam perjanjian kedua belah pihak telah dinyatakan bahwa bilamana terjadi sengketa atau perselisihan di antara mereka akan diajukan ke depan dewan arbitrase ICSID untuk dapat diselesaikan dengan ketentuan bahwa putusan dewan adalah “final and binding” yang menutup kemungkinan untuk mengajukan banding atau kasasi terhadap putusan yang telah ditetapkan terkecuali dengan jalan memohon untuk meminta “pembatalan keputusan” (annulment) oleh para pihak.
Menurut Pasal III konvensi setiap negara peserta konvensi harus mengakui putusan arbitrase sebagai putusan yang mengikat atau binding atau final, serta harus melaksanakan eksekusi menurut aturan hukum acara yang berlaku dalam wilayah negara di mana putusan arbitrase yang bersangkutan dimohon eksekusi. Pasal ini mengatur bahwa setiap putusan arbitrase bersifat mengikat (binding) para pihak sebagai putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Putusan arbitrase bersifat final, dalam arti merupakan putusan tingkat akhir dan tidak ada upaya banding atau kasasi terhadapnya, serta negara yang diminta untuk melaksanakan harus menjalankan eksekusi putusan.
Putusan arbitrase itu bersifat “final”, yakni putusan pertama dan terakhir, dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta secara langsung mengikat (binding) bagi para pihak. Sebagai suatu putusan yang bersifat final, maka dengan demikian, terhadap putusan arbitrase tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum seperti perlawanan, banding, kasasi, atau peninjauan kembali.
Sering ditemui adanya kontrak yang dilakukan oleh para pihak dalam rangka penanaman modal asing tidak ditemukan adanya pilihan hukum (choice of law) sehingga menimbulkan kesulitan oleh para arbitrator dalam menerapkan hukum yang mana akan digunakan dalam menyelesaikan sengketa yang diajukan kepadanya. Namun sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 24 ayat (1) konvensi ditetapkan bahwa hukum yang harus digunakan sebagai dasar memutus sengketa adalah hukum dari negara peserta yang menjadi pihak dalam sengketa tersebut (hot state). Hal ini sesuai pula dengan kenyataan pada umumnya penanaman modal asing dilakukan di negara peserta yang sedang diperkarakan. Oleh sebab itu, hukum yang digunakan haruslah hukum dari negara tersebut (the law of the host state of country). Alasannya, adalah pada negara di mana dilaksanakan penanaman modal asing yang selalu menghadapi masalah-masalah berkenaan dengan penanaman modal asing, sehingga mempunyai titik taut terbanyak dalam pelaksanaan penanaman modalnya.
Pengaturan terhadap penyelesaian sengketa penanaman modal asing di Indonesia dijabarkan ke dalam UU Nomor 5 Tahun 1968 dan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 1990. Dalam Pasal 3 UU Nomor 3 Tahun 1968 dikemukakan bahwa:
1) Untuk melaksanakan putusan arbitrase sebagaimana dimaksud tersebut mengenai perselisihan antara Republik Indonesia dengan warga negara asing di wilayah Indonesia, diperlukan surat pernyataan Mahkamah Agung bahwa putusan tersebut harus dilaksanakan.
2) Mahkamah Agung mengirimkan surat pernyataan termaksud dalam sub 1 di atas kepada pengadilan negeri dalam daerah hukum mana putusan itu harus dijalankan dan memerintahkan untuk melaksanakannya.
3) Surat pernyataan dan perintah yang dimaksud dalam sub 2 di atas disampaikan kepada pengadilan negeri yang bersangkutan melalui pengadilan tinggi yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan.


BAB V
KESIMPULAN

1. Pelaksanaan suatu usaha kerja sama antara penanaman modal asing dengan modal nasional memerlukan penanganan yang sangat serius serta membutuhkan profesionalisme dari kedua belah pihak guna menghindari hal-hal yang timbul dari pelaksanaan perjanjian joint venture. Pihak modal nasional juga harus menyadari bahwa suatu usaha kerja sama joint venture dengan modal asing memerlukan pengaturan yang sangat rinci agar nantinya setiap sengketa yang timbul dapat diselesaikan dengan baik.
2. Keinginan untuk menyelesaikan setiap sengketa penanaman modal asing lewat lembaga arbitrase merupakan konsekuensi logis dari setiap pelaksanaan perjanjian kontrak yang dilakukan oleh pihak penanam modal asing dengan pihak pemerintah Indonesia lewat perjanjian jaminan investasi (investment guarantee) yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dengan beberapa negara penanam modal asing.
3. Pelaksanaan keputusan arbitrase dalam wilayah Indonesia dibatasi hanya untuk perselisihan antara warga negara asing dengan pemerintah Indonesia mengenai penanaman modal asing di Indonesia, dan tidak dimungkinkan keluar dari ketentuan yang dimaksud. Bahkan Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat menolak atau berwenang untuk menyatakan putusan dari dewan arbitrase tidak dapat dilaksanakan karena putusan tersebut dirasakan bertentangan dengan ketertiban umum (public policy) dari negara Indonesia.
FUNGSI BASYARNAS SEBAGAI LEMBAGA NON LITIGASI (ARBITRASE)
DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Pengadilan sebagai the first and last resort dalam penyelesaian sengketa ternyata masih dipandang oleh sebagian kalangan hanya menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversarial, belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsive, menimbulkan antagonisme di antara pihak yang bersengketa, serta banyak terjadi pelanggaran dalam pelaksanaannya. Hal ini dipandang kurang menguntungkan dalam duniai bisnis sehingga dibutuhkan institusi baru yang dipandang lebih efisien dan efektif.
Sebagai solusinya, kemudian berkembanglah model penyelesaian sengketa non litigasi, yang dianggap lebih bisa mengakomodir kelemahan-kelemahan model litigasi dan memberikan jalan keluar yang lebih baik. Proses di luar litigasi dipandang lebih menghasilkan kesepakatan yang win-win solution, menjamin kerahasiaan sengketa para pihak, menghindari keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif, menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan, dan tetap menjaga hubungan baik.
Tidak dipungkiri, selain alasan-alasan di atas, dasar pemikiran lahirnya model penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi seperti BAMUI yang pada akhirnya menjelma menjadi BASYARNAS, saat itu memang belum ada lembaga hukum yang mempunyai kewenangan absholut karena Peradilan umum tidak menggunakan perdata Islam (fikih muamalah) dalam hukum formil maupun materiilnya, sedangkan Peradilan Agama saat itu sebagaimana Pasal 49 ayat (1) UU No. 7/1989, kewenangannya masih terbatas mengenai perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. Sehingga lahirnya model BASYARNAS saat itu seakan-akan sebagai payung hukum alternatif.
Sedangkan saat ini kewenangan Peradilan Agama sudah diperluas melalui UU No. 3 Tahun 2006 di antaranya adalah kewenangan mutlak mengadili perkara-perkara ekonomi syariah included perbankan syariah, tentu saja hal ini memberikan paradigma berbeda dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah dibandingkan sebelum adanya undang-undang tersebut.



BAB II
FUNGSI BASYARNAS SEBAGAI LEMBAGA NON LITIGASI (ARBITRASE)

1. Kedudukan BASYARNAS Ditinjau Dari Segi Tata Hukum Indonesia
UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Namun demikian, di dalam Penjelasan Pasal 3 ayat (1) undang-undang tersebut disebutkan antara lain, bahwa: “Penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk eksekusi (executoir) dari pengadilan”.
Selama ini yang dipakai sebagai dasar pemeriksaan arbitrase di Indonesia adalah Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941: 44) dan Pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927: 227).
Dengan diberlakukannya UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, melalui Pasal 81 undang-undang tersebut secara tegas mencabut ketiga macam ketentuan tersebut terhitung sejak tanggal diundangkannya. Maka berarti segala ketentuan yang berhubungan dengan arbitrase, termasuk putusan arbitrase asing tunduk pada ketentuan UU No. 30 Tahun 1999, meskipun secara lex spesialis ketentuan yang berhubungan dengan (pelaksanaan) arbitrase asing telah diatur dalam UU No. 5 Tahun 1968 yang merupakan pengesahan atas persetujuan atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan Antar-Negara dan Warga Negara Asing mengenai penanaman modal (International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSID) Convention), Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981
tentang Pengesahan New York Convention 1958 dan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990.
Menurut pendapat H.M. Thahir Azhari, bahwa kehadiran Arbitrase Islam (BASYARNAS pen.) di Indonesia merupakan suatu condition sine qua non, secara yuridis formal kedudukan BASYARNAS dalam Tata Hukum Indonesia memiliki landasan hukum yang kokoh.

2. Kewenangan BASYARNAS
BASYARNAS sebagai lembaga permanen yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa. Pendirian lembaga ini awalnya dikaitkan dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Disamping itu badan ini dapat memberikan suatu rekomendasi atau pendapat hukum (bindend advice), yaitu pendapat yang mengikat tanpa adanya suatu persoalan tertentu yang berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian” yang sudah barang tentu atas permintaan para pihak yang mengadakan perjanjian untuk diselesaikan.
Apabila jalur arbitrase tidak dapat menyelesaian perselisihan, maka lembaga peradilan adalah jalan terakhir sebagai pemutus perkara tersebut. Hakim harus memperhatikan rujukan yang berasal dari arbiter yang sebelumnya telah menangani kasus tersebut sebagai bahan pertimbangan dan untuk menghindari lamanya proses penyelesaian.

3. Keunggulan dan Kekurangan BASYARNAS
BASYARNAS memiliki keunggulan-keunggulan, di antaranya:
1). Memberikan kepercayaan kepada para pihak, karena penyelesaiannya secara terhormat dan bertanggung jawab;
2). Para pihak menaruh kepercayaan yang besar pada arbiter, karena ditangani oleh orang-orang yang ahli dibidangnya (expertise);
3). Proses pengambilan putusannya cepat, dengan tidak melalui prosedur yang berbelit-belit serta dengan biaya yang murah;
4). Para pihak menyerahkan penyelesaian persengketaannya secara sukarela kepada orang-orang (badan) yang dipercaya, sehingga para pihak juga secara sukarela akan melaksanakan putusan arbiter sebagai konsekuensi atas kesepakatan mereka mengangkat arbiter, karena hakekat kesepakatan itu mengandung janji dan setiap janji itu harus ditepati;
5). Di dalam proses arbitrase pada hakekatnya terkandung perdamaian dan musyawarah. Sedangkan musyawarah dan perdamaian merupakan keinginan nurani setiap orang.
6). Khusus untuk kepentingan Muamalat Islam dan transaksi melalui Bank Muamalat Indonesia maupun BPR Islam, Arbitrase Muamalat (BASYARNAS pen.) akan memberi peluang bagi berlakunya hukum Islam sebagai pedoman penyelesaian perkara, karena di dalam setiap kontrak terdapat klausul diberlakuannya penyelesaian melalui BASYARNAS.


Di samping keunggulan-keunggulan di atas juga terdapat beberapa kelemahan. Apabila melihat perkembangan BASYARNAS yang belum maksimal untuk mengimbangi pesatnya perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia, sebaiknya BASYARNAS melakukan perapihan manajemen dan SDM yang ada. Apabila dibandingkan dengan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) yang relative baru berdiri, maka BASYARNAS masih harus berbenah diri.
Untuk dapat menjadi lembaga yang dipercaya masyarakat, maka harus mempunyai performance yang baik, mempunyai gedung yang representative, administrasi yang baik, kesekretariatan yang selalu siap melayani para pihak yang bersengketa, dan arbiter yang mampu membantu penyelesaian persengketaan mereka secara baik dan memuaskan. Kondisi intern yang baik tersebut akan bertambah baik apabila didukung dengan law enforcement dari pemerintah tentang putusan yang final and binding dalam penyelesaian sengketa di arbitrase.
Selain itu sosialisasi kebeadaan lembaga ini masih terbatas, menurut penulis upaya sosialisasi dalam rangka penyebarluasan informasi dan meningkatkan pemahaman mengenai arbitrase syariah dapat dilakukan secara kontinyu yang melibatkan banker, alim ulama, tokoh masyarakat, pengusaha, akademisi dan masyarakat secara umum.
Keterbatasan Jaringan kantor BASYARNAS di daerah hal ini juga menjadi kelemahan karena BASYARNAS baru beroperasi di Jakarta, pengembangan jaringan kantor BASYARNAS diperlukan dalam rangka perluasan jangkauan pelayanan kepada masyarakat.


BAB III
PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH
DI INDONESIA

1. Beberapa Pilihan Penyelesaian Sengketa Perbankan syariah di Indonesia
Pada prinsipnya penegakan hukum hanya dilakukan oleh kekuasaan kehakiman (judicial Power) yang secara konstitusional lazim disebut badan yudikatif (Pasal 24 UUD 1945). Dengan demikian, maka yang berwenang memeriksa dan mengadili sengketa hanya badan peradilan yang bernaung di bawah kekuasaan kehakiman yang berpuncak di Mahkamah Agung. Pasal 2 UU No. 14 Tahun 1970 secara tegas menyatakan bahwa yang berwenang dan berfungsi melaksanakan peradilan hanya badan-badan peradilan yang dibentuk berdasarkan undang-undang.
Di luar itu tidak dibenarkan karena tidak memenuhi syarat formal dan official serta bertentangan dengan prinsip under the authority of law. Namun berdasarkan Pasal 1851,1855,1858 KUHPdt, Penjelasan Pasal 3 UU No. 14 Tahun 1970 serta UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka terbuka kemungkinan para pihak menyelesaikan sengketa dengan menggunakan lembaga selain pengadilan (non litigasi), seperti arbitrase atau perdamaian (islah) .

2. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Jalur Litigasi
Mengenai badan peradilan mana yang berwenang menyelesaikan perselisihan jika terjadi sengketa perbankan syariah memang sempat menjadi perdebatan di berbagai kalangan apakah menjadi kewenangan Pengadilan Umum atau Pengadilan Agama karena memang belum ada undang-undang yang secara tegas mengatur hal tersebut, sehingga masing-masing mencari landasan hukum yang tepat.
Dengan diamandemennya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka perdebatan mengenai siapa yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah sudah terjawab.

a. Landasan Yuridis dan Kompetensi Pengadilan Agama
Amandemen Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 memberikan wewenang kekuasaan Peradilan Agama bertambah luas, yang semula sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 hanya bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a) Perkawinan,
b) Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam,
c) Wakaf dan shadaqah.
Dengan adanya amandemen Undang-Undang tersebut, maka ruang lingkup tugas dan wewenang Peradilan Agama diperluas. Berdasarkan Pasal 49 huruf (i) UU No. 3 Tahun 2006 Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang ekonomi syari’ah yang meliputi:
a) Bank syari’ah,
b) Lembaga keuangan mikro syari’ah,
c) Asuransi syari’ah,
d) Reasuransi syari’ah,
e) Reksa dana syari’ah,
f) Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah,
g) Sekuritas syari’ah,
h) Pembiayaan syari’ah,
i) Pegadaian syari’ah,
j) Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah, dan
k) Bisnis syari’ah.
Dalam penjelasan Pasal tersebut antara lain dinyatakan: “Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama sesuai ketentuan Pasal ini.”
Dari penjelasan Pasal 49 tersebut, maka seluruh nasabah lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah, atau bank konvensional yang membuka unit usaha syariah dengan sendirinya terikat dengan ketentuan ekonomi syariah, baik dalam pelaksanaan akad maupun dalam penyelesaian perselisihan. Adapun sengketa di bidang ekonomi syariah yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama adalah:
a. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah dengan nasabahnya;
b. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara sesama lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah;
c. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara orang-orang yang beragama Islam, yang mana akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
Selain dalam hal kewenangan sebagaimana diuraikan di atas, Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 juga mengatur tentang kompetensi absolute (kewenangan mutlak) Pengadilan Agama. Oleh karena itu, pihak-pihak yang melakukan perjanjian berdasarkan prinsip syariah (ekonomi syariah) tidak dapat melakukan pilihan hukum untuk diadili di Pengadilan yang lain. Apalagi, sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Umum UU No. 3 Tahun 2006 alenia ke-2, pilihan hukum telah dinyatakan dihapus.
Oleh karena itu, dalam draft-draft perjanjian yang dibuat oleh beberapa perbankan syariah berkaitan dengan perjanjian pembiayaan murabahah, akad mudharabah dan akad-akad yang lain yang masih mencantumkan klausul Penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri apabila BASYARNAS tidak dapat menyelesaikan sengketa maka seharusnya jika mengacu pada Penjelasan Umum UU No. 3 Tahun 2006 alenia ke-2, maka klausul tersebut dirubah menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa tersebut.

b. Keunggulan dan Kelemahan Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Pengadilan Agama
Keunggulan-keunggulan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah antara lain:
1. Pengadilan Agama memilki SDM yang sudah memahami permasalahan syariah, tinggal meningkatkan wawasan dan pengetahuan mereka melalui pendidikan dan pelatihan secara berkala;
2. Kendatipun RUU tentang ekonomi syariah belum disahkan namun Pengadilan Agama mempunyai hukum materiil yang cukup established, khususnya yag berkaitan dengan ekonomi syariah, diantaranya berupa kitab-kitab fikih muamalah yang dalam penerapannya masih kontekstual;
3. Keberadaan kantor Pengadilan Agama hampir meliputi semua wilayah Kabupaten dan Kotamadia di seluruh wilayah Indonesia dan sebagian besar telak mengaplikasikan jaringan Teknologi Informasi (TI) dengan basis internet, sehingga apabila dibandingkan dengan BASYARNAS yang keberadaannya masih terkonsentrasi di wilayah ibukota, maka Pengadilan Agama mempunyai keunggulan dalam kemudahan pelayanan.
4. Mendapat dukungan mayoritas penduduk Indonesia, yaitu masyarakat muslim yang saat ini sedang mempunyai semangat tinggi dalam menegakkan nilai-nilai agama yang mereka anut;
5. Adanya dukungan politis yang kuat karena pemerintah dan DPR telah menyepakati perluasan kewenangan Peradilan Agama tersebut pada tanggal 21 Februari 2006 sehingga lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 adalah suatu keniscayaan untuk menyesuaikan terhadap tuntutan hukum yang ada, yakni perubahan paradigma dari peradilan keluarga menuju peradilan modern.
6. Adanya dukungan dari otoritas Perbankan (Bank Indonesia) dan dukungan dari Lembaga Keuanan Islam di seluruh dunia.
Di samping adanya kelebihan dan keunggulan di atas, Peradilan Agama juga memiliki beberapa kelemahan terhadap kewenangannya dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah – khususnya perbankan syariah - yaitu:
1. Belum ada regulasi atau peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ekonomi syariah, sehingga dengan adanya beragam rujukan kitab hukum, dimungkinkan akan muncul putusan yang berdisparitas dalam kasus yang sama. Hal ini bukan saja membingungkan umat, tetapi juga tidak menguntungkan dalam dunia bisnis, sehingga dikhawatirkan memunculkan sikap trauma bagi para pelaku ekonomi syariah untuk berperkara di Pengadilan Agama.
2. Aparat Peradilan Agama yang sebagian besar mempunyai background disiplin ilmu syariah dan hukum kurang memahami aktifitas ekonomi baik yang besifat mikro maupun makro, juga kegiatan di bidang usaha sektor riel, produksi, distribusi dan konsumsi;
3. Aparat Peradilan Agama masih gagap terhadap kegiatan lembaga keuangan syariah sebagai pendukung kegiatan usaha sektor riel, seperti: Bank Syariah, Asuransi Syariah, Pegadaian Syariah, Multifinance, Pasar Mdal dan sebagainya;
4. Pencitraan inferior terhadap Peradilan Agama yang dipandang hanya berkutat menangani masalah NCTR sulit dihapus, hal ini merupakan dampak dari kurangnya dukungan dari lembaga-lembaga terkait untuk mensososialisasikan UU No. 3 Tahun 2006.
5. Sebagian besar kondisi gedung Kantor Pengadilan Agama dan sarana maupun prasarananya yang ada belum merepresentasikan sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan mengadili para bankir dan para pelaku bisnis, oleh karenanya untuk merubah paradigma sebagai lembaga peradilan yang modern maka hal ini mutlak harus diperbaiki dan ditunjang oleh anggaran yang memadai untuk tahun-tahun yang akan datang;
6. Kinerja aparat peradilan yang kurang meyakinkan, terutama dari segi penampilan dan cara berpakaian mereka yang masih sangat sederhana, hal ini semata-mata karena kesejahteraan mereka yang kurang memadai, sehingga dengan rencana tunjangan khusus bagi aparat peradilan diharapkan bukan saja meningkatkan performance mereka, tetapi lebih dari itu adalah untuk meningkatkan kinerja aparat peradilan demi menuju lembaga peradilan yang adil, jujur, berwibawa dan bebas korupsi sebagaimana amanat reformasi.
7. Adanya aparat peradilan terutama sebagian hakim yang masih gaptek (gagap teknologi) menjadi kendala tersendiri bagi mereka yang akan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, karena pengetahuan ekonomi syariah bagi para hakim harus selalu up to date tentunya harus didukung oleh kemampuan mereka dalam mengakses informasi dari berbagai media terutama melalui internet. Untuk mengantisipasi hal tersebut nampaknya BADILAG cepat tanggap sehingga terus menggalakkan dengan lomba TI (Teknologi Informasi) bagi Peradilan Agama di seluruh Indonesia, himbauan BADILAG tesebut telah mendapatkan respon positif dan sebagian besar Peradilan Agama di seluruh Indonesia, hal ini terbukti dengan telah terbentuknya Tim TI di sebagian besar daerah-daerah yang jauh dari ibukota.



BAB IV
FUNGSI BASYARNAS SEBAGAI LEMBAGA NON LITIGASI (ARBITRASE) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

Lahirnya UU No. 7 Tahun 1992, UU No.10 Tahun 1998 dan UU No. 23 Tahun 1999 sebenarnya sudah menjadi dasar hukum yang kuat bagi terselenggaranya perbankan syariah di Indonesia, kendatipun masih ada beberapa hal yang masih perlu disempurnakan, diantaranya perlunya penyusunan dan penyempurnaan ketentuan maupun perundang-undangan mengenai operasionalisasi bank syari’ah secara tersendiri, sebab undang-undang yang ada sesungguhnya merupakan dasar hukum bagi penerapan dual banking system.
Keberadaan bank syariah hanya menjadi salah satu bagian dari program pengembangan bank konvensional, padahal yang dikehendaki adalah bank syariah yang betul-betul mandiri dari berbagai perangkatnya sebagai bagian perbankan yang diakui secara nasional. Karena pengembangan perbankan syariah sendiri pada awalnya ditujukan dalam rangka pemenuhan pelayanan bagi segmen masyarakat yang belum memperoleh pelayanan jasa perbankan karena sistem perbankan konvensional dipandang tidak sesuai dengan prinsip syariah yang diyakini.
Pengembangan perbankan syariah juga dimaksudkan sebagai perbankan alternatif yang memiliki karakteristik dan keunggulan tertentu. Unsur moralitas menjadi faktor penting dalam seluruh kegiatan usahanya. Kontrak pembiayaan yang lebih menekankan sistem bagi hasil mendorong terciptanya pola hubungan kemitraan (mutual investor relationship), memperhatikan prinsip kehati-hatian dan berupaya memperkecil resiko kegagalan usaha.
Selain penyempurnaan terhadap sisi kelembagaan, perlu juga memperhatikan sisi hukum sebagai landasan penyelenggaraannya hal ini untuk mengantisipasi munculnya berbagai macam permasalahan dalam operasionalisasinya. Pada awalnya yang menjadi kendala hukum bagi penyelesaian sengketa perbankan syariah adalah hendak dibawa ke mana penyelesaiannya, karena Pengadilan Negeri tidak menggunakan syariah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian perkara.
Wewenang Pengadilan saat itu menurut UU No. 7 Tahun 1989 hanya terbatas mengadili perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. Sehingga kemudian untuk mengantisipasi kondisi darurat maka didirikan Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI) yang didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung RI dan MUI, namun badan tersebut tidak bekerja efektif dan sengketa perdata di antara bank-bank syariah dengan para nasabah diselesaikan di Pengadilan Negeri.
Sampai saat ini penyelesaian sengketa perbankan syariah dapat dilakukan melalui dua model, yakni penyelesaian secara litigasi dan non litigasi. Pilihan penyelesaian sengketa non litigasi dapat dibagi dua, yaitu arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Dari beberapa model penyelesaian sengketa tersebut masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan dan akan diuraikan lebih lanjut dalam tulisan ini.

1. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Jalur Non Litigasi
Di Indonesia, penyelesaian sengketa melaui jalur non litigasi diatur dalam satu pasal, yakni Pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

a. Arbitrase
Dalam perspektif Islam arbitrase dapat disepadankan dengan istilah tahkim. Tahkim berasal dari kata hakkama, secara etimologis berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa. Pengertian tersebut erat kaitannya dengan pengertian menurut terminologisnya. Lembaga ini telah dikenal sejak zaman pra Islam. Pada masa itu, meskipun belum terdapat sistem peradilan yang terorganisir, setiap ada perselisihan mengenai hak milik, waris dan hak-hak lainnya seringkali diselesaikan melalui bantuan juru damai atau wasit yang ditunjuk oleh masing-masing pihak yang berselisih.
Gagasan berdirinya lembaga arbitrase Islam di Indonesia, diawali dengan bertemunya para pakar, cendekiawan muslim, praktisi hukum, para kyai dan ulama untuk bertukar pikiran tentang perlunya lembaga arbitrase Islam di Indonesia. Pertemuan ini dimotori Dewan Pimpinan MUI pada tanggal 22 April 1992. Setelah mengadakan beberapa kali rapat dan setelah diadakan beberapa kali penyempurnaan terhadap rancangan struktur organisasi dan prosedur beracara akhirnya pada tanggal 23 Oktober 1993 telah diresmikan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI),6 sekarang telah berganti nama menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang diputuskan dalam Rakernas MUI tahun 2002. Perubahan bentuk dan pengurus BAMUI dituangkan dalam SK MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 sebagai lembaga arbiter yang menangani penyelesaian perselisihan sengketa di bidang ekonomi syariah.

b. Alternatif Penyelesaian Sengketa
Di dalam terminologi Islam dikenal dengan Ash-Shulhu, yang berarti memutus pertengkaran atau perselisihan. Dalam pengertian syariat ash-shulhu adalah suatu jenis akad (perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan (sengketa) antara 2 (dua) orang yang bersengketa. Alternatif penyelesaian sengketa hanya diatur dalam satu pasal, yakni Pasal 6 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa yang menjelaskan tentang mekanisme penyelesaian sengketa. Sengketa atau beda pendapat dalam bidang perdata Islam dapat diselesaikan oleh para pihak melaui Alternative Penyelesaian Sengketa yang didasarkan pada iktikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi.
Apabila sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seseorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil juga mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi lembaga Alternative Penyelesaian Pengketa untuk menunjuk seorang mediator.
Setelah penunjukan mediator oleh lembaga Alternative Penyelesaian Sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai. Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator tersebut dengan memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh kedua belah pihak yang terkait. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan iktikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat tersebut wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan.
Tidak seperti arbiter atau hakim, seorang mediator tidak membuat keputusan mengenai sengketa yang terjadi tetapi hanya membantu para pihak untuk mencapai tujuan mereka dan menemukan pemecahan masalah dengan hasil win-win solution.
Tidak ada pihak yang kalah atau yang menang, semua sengketa diselesaikan dengan cara kekeluargaan, sehingga hasil keputusan mediasi tentunya merupakan konsensus kedua belah pihak. Pemerintah telah mengakomodasi kebutuhan terhadap mediasi dengan megeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Kecenderungan memilih Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resulotion) oleh masyarakat dewasa ini didasarkan pada:
1. Kurang percayanya pada sistem pengadilan dan pada saat yang sama kurang dipahaminya keuntungan atau kelebihan sistem arbitrase di banding pengadilan, sehingga masyarakat pelaku bisnis lebih mencari alternative lain dalam upaya menyelesaikan perbedaan-perbedaan pendapat atau sengketa-sengketa bisnisnya;
2. Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga arbitrase mulai menurun yang disebabkan banyaknya klausul-klausul arbitrase yang tidak berdiri sendiri, melainkan mengikuti dengan klausul kemungkinan pengajuan sengketa ke pengadilan jika putusan arbitrasenya tidak berhasil diselesaikan.
Model yang dikembangkan oleh Alternatif Penyelesaian Sengketa memang cukup ideal dalam hal konsep, namun dalam prakteknya juga tidak menutup kemungkinan terdapat kesulitan jika masing-masing pihak tidak ada kesepakatan atau wanprestasi karena kesepakatan yang dibuat oleh para pihak dengan perantara mediator tidak mempunyai kekuatan eksekutorial. Apabila jalur arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa
tidak dapat menyelesaikan perselisihan, maka lembaga peradilan atau jalur litigasi adalah gawang terakhir sebagai pemutus perkara.



BAB V
SIMPULAN

Mengingat segala kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh lembaga peradilan, oleh sebagian kalangan Peradlan Agama dipandang oleh sebagian kalangan sebagai lembaga pilihan terbaik. Penambahan kewenangan Peradilan Agama di bidang ekonomi syariah sebagaimana amanat UU No. 3 Tahun 2006 adalah suatu bentuk kepercayaan terbesar terhadap lembaga peradilan yang secara politis sejak zaman kolonial Belanda selalu didiskreditkan dan didiskriminasikan.
Momentum ini hendaknya dipandang sebagai amanah yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, karena ini adalah pertaruhan bagi citra Peradilan Agama itu sendiri. Apabila kepercayaan ini tidak disia-siakan dan dijawab dengan kinerja yang memuaskan, maka ini bukan saja momentum bersejarah, namun menjadi tonggak baru yang menentukan perjalanan sejarah Peradilan Agama ke depan. Apabila kepercayaan itu sudah terbangun, Peradilan Agama mungkin saja akan diberi amanat baru
yang lebih besar – sekedar mengingatkan Mahkamah syar’iyah di Aceh telah diberi kewenangan khusus untuk melaksanakan peradilan dibidang jinayah (pidana Islam) - mungkin juga hal ini akan berimbas pada perluasan kewenangan Peradilan Agama secara signifikan di waktu-waktu yang akan datang. Stigma yang melekat pada Pengadilan Agama sebagai
lembaga yang inferior sedikit demi sedikit akan terkikis dengan sendirinya apabila seluruh komponen Peradilan Agama saling bahu membahu untuk menunjukkan kinerja bagus dan mendedikasikan sebagai persembahan terbaik bagi negeri ini yang tak juga surut dirundung duka.