WELCOME FRIENDS

Selamat datang di blog ini, blog ini di tujukan sebagai kumpulan berita, artikel, pesan dan mungkin hasil pemikiran penulis dengan mengangkat tema sentral Hukum Bisnis, akan tetapi para pembaca juga akan di bawa membaca banyak tulisan-tulisan yang muatan secara materinya tidak berhubungan secara langsung dengan Hukum Bisnis saja, seperti contohnya dimasukannya tulisan mengenai Hukum Pidana, Hukum Tata Negara dan sebagainya, walau begitu adalah Hukum Bisnis yang tetap menjadi sentral utama dari materi muatan blog ini.

Selamat membaca dan di tunggu masukan, pendapat dan mungkin kritikan dari kawan-kawan semua.

09 April 2007

Pidana Mati Di Indonesia

Pendahuluan

Berbicara mengenai pidana mati, maka tentunya terlebih dahulu kita juga harus melihat batasan, pendapat dan definisi-definisi dari para pakar hukum sebagai suatu pengertian awal, pegangan dan kerangka pemikiran mengenai pidana itu sendiri.
Dalam teori hukum pidana banyak pengertian yang beragam pendapat dalam mendefinisikan pidana (straf) itu sendiri, seperti contohnya yang dinyatakan oleh Van Hamel yakni bahwa pidana merupakan “suatu penderitaan yang khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang yang melanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakan oleh Negara.”
[1]

Pidana itu sendiri oleh Simons dikatakan sebagai “suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seorang yang bersalah.”
[2]

Dan kemudian ada juga pendapat Roeslam Saleh yang menyatakan “pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan oleh Negara pada pembuat delik itu.”
[3]

Akan tetapi penulis sendiri dalam menanggapi pidana itu sendiri lebih menyukai penjabaran G.P. Hoefnagels, dimana beliau tidak melihat pidana hanya sebatas hukuman setelah ada keputusan hakim, juga tidak hanya melihat sebatas suatu pencelaan (censure) atau juga sebatas suatu penjeraan (discouragement), atau pun sebatas penderitaan jasmani saja (suffering).
Beliau memiliki titik tolak pada pemikirannya terhadap pidana itu sendiri dengan memandang dan mencoba menarik pengertiannya secara luas, dimana “bahwa semua sanksi dalam hukum pidana adalah semua reaksi terhadap pelanggaran hukum yang telah ditentukan oleh Undang-Undang, sejak penahanan dan pengusutan terdakwa oleh polisi sampai vonis dijatuhkan.”
[4]
Dari pendapat beliau maka penulis dapat menyimpulkan bahwa memang jika kita berbicara mengenai pidana, kita haruslah melihat bagaimana pidana itu sendiri sebenarnya telah dikenakan secara tidak langsung pada mulai awal ditangkapnya seseorang, diperiksa dan mungkin ditahan sampai dengan orang / pelaku tersebut di jatuhkan suatu pidana (hukuman) tertentu seperti yang diatur dalam perundangan pidana kita.
Jika setelah adanya putusan yang bersifat tetap itu maka menurut batasan yang diberikan oleh beliau, kita tidak lagi berbicara atau menyebutnya sebagai pidana, melainkan berbicara mengenai pemidanaan, dimana memang didalam pemidanaan itu sendiri tidak mungkin dipisahkan dari arti pidana itu sendiri.

Pidana itu sendiri menurut penulis memiliki pengertian yang seharusnya dibagi menjadi 2 bagian, yakni secara sempit dan secara luas, dimana secara sempit ; pidana adalah dipandang sebagai suatu hukuman (bukan tindakan) yang membawa siksaan, penderitaan / nestapa bahkan kematian yang sifatnya khusus.
Maksud dari sifatnya khusus adalah bahwa suatu hukuman (bukan tindakan) yang membawa siksaan, penderitaan / nestapa bahkan kematiann itu harus dikenakan pada seseorang sesuai dengan perundangan yang ada, jadi jika diluar itu seperti misalnya seorang pencuri tertangkap tangan dan kemudian dipukuli warga hingga babak belur, maka sekalipun sipelaku merasa menderita, merasa jera bahkan sangat menyesal dengan perbuatannya tersebut, tetapi oleh karena tidak dijatuhkan dan diproses seperti yang diatur dalam perundangan pidana yang ada maka hal tersebut (rasa menderita dan jeranya si pelaku) tidak dapat disebut sebagai pidana.
Dalam arti khusus juga menurut penulis berarti penderitaan, nestapa dan siksaan itu baru dapat dikatakan pidana hanya pada hal-hal tertentu saja (jadi tidak umum), jadi jika ada seseorang yang menderita misalnya karena belum makan selama beberapa hari, tidak dapat penderitaannya itu disebut sebagai pidana, atau juga saat seseorang jatuh sakit, sekalipun orang tersebut merasa tersiksa dan menderita akan tetapi hal itu juga tidak dapat dikatakan sebagai pidana, sehingga jelaslah bahwa pidana dalam pengertian yang sempit adalah suatu hukuman (bukan tindakan) yang membawa siksaan, penderitaan / nestapa bahkan kematian yang sifatnya khusus.
Sedang pengertian pidana secara luas penulis mengikuti pendapat G.P. Hoefnagels, dimana pidana itu dipandang secara luas bagi si tersangka, yakni mulai dari sejak penahanan dan pengusutan terdakwa oleh polisi sampai dengan vonis dijatuhkan terhadapnya.

Mengenai pidana ini sendiri, A.Z. Abidin dalam bukunya pernah menulis bahwa “Hukum pidana itu merupakan cermin suatu masyarakat yang merefleksikan nilai-nilai yang menjadi dasar masyarakat itu. Bilamana nilai-nilai itu berubah, hukum pidana juga berubah.”
[5]
Dari pendapat beliau dapat disimpulkan bahwa pidana itu sendiri bersifat seharusnya bersifat fleksibel dan seharusnya juga terus berkembang mengikuti budaya, pola pemikiran dan kebiasaan dalam suatu masyarakat. Berubahnya pidana itu disini bukan berarti hanya ditujukan pada jenis-jenis pidana itu sendiri, melainkan juga termasuk pada ancaman pidana terhadap sipelaku tindak pidana, kemudian kemungkinan terjadinya kriminalisasi maupun dekriminalisasi.

Berkaitan dengan hal itu jugalah maka dalam makalah ini akan kami bahas mengenai salah satu jenis atau bentuk pidana yang hingga sekarang masih dianut di Indonesia, yakni mengenai pidana mati dalam sejarah dan perkembangan dan juga mengenai pro kontra pidana mati tesebut yang masih terus berlangsung hingga saat ini.



---000---





I. Pidana Mati

Dalam KUHP (Wetboek van Strafrecht) yang nota benenya masih merupakan produk lama pemerintah Belanda, pidana dibagi menjadi 2 bagian yakni pidana pokok yang dapat berupa pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tambahan yang berupa pencabutan beberapa hak yang tertentu, perampasan barang yang tertentu, pengumuman putusan oleh hakim.
Disini terlihat bahwa pidana mati masih dianut dan diancamkan tehadap tindak pidana tertentu di Indonesia.

Dalam KUHP setidaknya ada 9 macam kejahatan yang diancam pidana mati tersebut, antara lain ;
Makar dengan maksud membunuh Presiden atau Wakil Presiden (104 KUHP)
Melakukan suatu hubungan dengan negara asing sehingga berakibat terjadinya perang (111 ayat (2) KUHP)
Penghianatan memberitahukan kepada musuh saat perang (124 ayat (3) KUHP)
Menghasut dan memudahkan terjadinya huru hara (124 bis KUHP)
Pembunuhan berencana terhadap kepala Negara sahabat (140 ayat (3) KUHP)
Pembunuhan berencana (340 KUHP)
Pencurian dengan kekerasan secara bersekutu yang mengakibatkan luka berat atau mati (365 ayat (4) KUHP)
Pembajakan di laut yang mengakibatkan kematian (444 KUHP)
Kejahatan penerbangan dan sarana penerbangan (149 K ayat (2) dan 149 O ayat (2) KUHP)

Kemudian diluar KUHP juga masih banyak tindak pidana yang diancam dengan pidana ini seperti dalam Tindak Pidana Ekonomi, Tindak Pidana Narkotika & Psikotropika, Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana terhadap HAM, dsb.
Yang perlu diperhatikan dalam pengenaan pidana mati tersebut adalah bahwa selalu dicantumkannya sebuah alternatif baik berupa pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20 tahun.

Sejarah Singkat Pidana Mati Hingga Sampai di Indonesia.

Dalam sejarahnya pidana mati ini merupakan suatu jenis hukuman (pidana) yang tidak diketahui sejak kapan mulai diberlakukannya, tetapi sejarah mencatat bahwa jenis hukuman yang satu ini merupakan jenis hukuman yang terberat dan tertua yang pernah ada, bahkan menurut Codex Hammurabi yang diperkirakan telah ada sekitar 2000 tahun sebelum masehi, pidana mati ini telah digunakan pada orang yang telah melakukan kejahatan tertentu, bahkan menurut codex Hammurabi tersebut dikatakan, “kalau ada binatang pemeliharaan yang membunuh orang, maka binatang berikut pemiliknya juga akan dibunuh juga.”
[6]

Begitu juga dengan yang ada dalam Pentateuch (kitab Taurat agama Yahudi) yang ada jauh sebelum masehi, dinyatakan bahwa jenis pidana mati ini juga telah diatur, disahkan dan dipergunakan pada orang-orang tertentu yang telah melakukan kejahatan tertentu pada masa itu, seperti contohnya dengan melempari seorang anak yang durhaka hingga mati oleh orang-orang sekotanya (Deuteronomy / Ulangan 21:21).

Pada perkembangan di abad-abad selanjutnya terutama dijaman Romawi Kuno, pidana mati ini mengalami perkembangan yang luar biasa dalam bentuk pelaksanaannya, mulai dengan cara dipenggal, di salibkan, ditenggelamkan, digergaji, bahkan pada sekitar abad ke 4 masehi di semua daerah jajahan Romawi, pidana mati ini tidak lagi harus dilakukan dengan cara yang sama dengan yang telah diatur pada peraturan yang ada, sehingga ada yang sampai dengan cara digantung hidup-hidup di pinggir jalan dan kemudian dibakar sebagai penerangan jalan. Seperti dijabarkan oleh seorang ahli sejarah yang menyatakan, “Kita ketahui jalannya acara-acara peradilan itu … hukuman itu adalah dipancung kepalanya, dibuang kesalah satu pulau yang sangat jauh, dipekerjakan selaku budak, dibakar hidup-hidup ataupun diterkam binatang buas didalam gelanggang arena ditonton oleh beribu-ribu orang.”
[7]
Pada abad-abad selanjutnya, pidana mati ini kemudian telah menjadi suatu “alat” yang paling efisien dan dipandang paling kuat oleh gereja maupun raja-raja untuk menyingkirkan lawan-lawannya, ataupun untuk terus membuat rakyat tetap tunduk pada para penguasa yang ada.
Contohnya adalah hukum / peraturan yang berkembang pada abad pertengahan, yaitu “criminal extra ordinaria ini yang sangat terkenal adalah criminal stellionatus, yang letterlijk artinya : perbuatan jahat, durjana. Tetapi tidak ditentukan perbuatan berupa apa yang dimaksud disitu. Sewaktu hukum romawi kuno itu diterima (diresipieer) di Eropa barat pada abad pertengahan, maka pengertian tentang criminal extra ordinaria diterima pula oleh raja-raja yang berkuasa. Dan dengan adanya criminal extra ordinaria ini lalu diadakan kemungkinan untuk menggunakan hukum pidana itu secara sewenang-wenang, menurut kehendaknya dan kebutuhannya raja itu sendiri.”
[8]

Perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa inilah yang lalu menjadi titik tolak munculnya pemikiran-pemikiran pembaharuan hukum pidana dan munculnya asas legalitas (abad 18) oleh para pemikir hukum seperti Montesquieu, J.J.Rousseau, von Feurbach, dsb
Akan tetapi sekalipun asas legalitas tersebut kemudian diterima dan dimasukan dalam perundangan yang ada (Code penal Perancis), tidak berarti menghapuskan pidana mati itu sendiri, hanya saja membatasi penguasa dalam menerapkan pidana itu sendiri.

Penjajahan Perancis oleh Napoleon (1801) kemudian membawa bukan saja pengaruh budaya, bahasa dan guncangan terhadap perekonomian, tetapi juga sampai dengan pemahaman dan perkembangan hukum yang ada di negeri Belanda (Nederland). Seperti dinyatakan bahwa “dari sini asas itu dikenal oleh Nederland karena penjajahan Napoleon, sehingga mendapat tempat dalam Wetboek v. Strafrecht Nederland 1881…”
[9]

Yang kemudian sejarah mencatat oleh karena penjajahan Belanda di Indonesia, secara perlahan-lahan hukum pidana mulai diperkenalkan dan mulai menggeser kekuatan hukum adat yang telah ada dan kemudian berhasil mencapai puncaknya yakni pada saat Wetboek v. Strafrecht itu mulai diberlakukan secara nasional (menyeluruh) di Indonesia pada tahun 1918, baik bagi golongan Bumiputera, Timur Asing maupun golongan penduduk Eropa, yang kemudian dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Dalam KUHP inilah pidana mati (death penalty) dicantumkan dan mendapat pengaturannya yang sah (legal act) bagi pemerintah / negara Indonesia hingga saat ini dalam melakukan pemidanaan terhadap orang yang melakukan delik tertentu.


Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia

Sekalipun telah memiliki pengaturannya sendiri dalam pasal 11 KUHP yang menyatakan ; hukuman mati dijalankan oleh algojo ditempat penggantungan, dengan menggunakan sebuah jerat dileher terhukum dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri.
Tetapi dalam prakteknya setelah tahun 1918 tersebut mengalami perubahan pada saat Jepang menjajah Indonesia. “Pada waktu itu ada 2 peraturan dijalankan, yaitu peraturan pasal 11 KUHP dan satu lagi peraturan baru yang di Undangkan oleh pemerintah Jepang yang menghendaki pidana mati dilaksanakan dengan tembak mati (artikel 6 dari Ozamu Gunrei No.1 pada tanggal 2 Maret dengan artikel 5 dari Gunrei Keizirei, yaitu kode kriminil dari pemerintah pendudukan Jepang).
[10]

Kemudian setelah kesatuan RI tercapai dimulai dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, maka pidana mati dilakukan kembali dengan cara pidana gantung seperti yang ada dalam pasal 11 KUHP.
Pada tahun 1964, terjadi perubahan kembali dalam pelaksanaan pidana mati ini melalui Penetapan Presiden No.2 tahun 1964, dimana “Karena ketentuan tentang pelaksaaan pidana mati sebagaimana tersebut dalam pasal 11 ini tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan serta jiwa revolusi Indonesia, maka dengan Penpres No.2 / 1964 pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan cara ditembak mati disuatu tempat dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama.”
[11]
Penpres No.2 tahun 1964 ini juga kemudian melalui Lembaran Negara tahun 1964 nomor 38, dirubah menjadi Undang- Undang No.2 tahun 1964 .
Melalui UU No.2 tahun 1964 diatur bahwa pelaksanaan pidana ini tidak lagi dengan cara digantung oleh seorang algojo, melainkan dengan cara ditembak mati oleh suatu regu tembak, pidana mati ini juga menurut ketetapan tersebut mengharuskan agar dilaksanakan ditempat tertentu dan tidak dimuka umum kecuali ditetapkan lain oleh Presiden RI.
Disini terlihat bahwa efek penjeraan atau untuk mencoba membuat takut orang banyak agar suatu delik tidak dilakukan, yang adalah tujuan dari pidana mati dilakukan didepan umum pada masa yang lalu tidak lagi dijadikan alasan untuk mencapai tujuan pidana (mati), hal tersebut terlihat karena pidana mati itu sendiri sekarang dilakukan tidak ditempat umum untuk dilihat oleh khalayak ramai.

Sementara itu saat ini, pelaksanaan pidana mati di Indonesia juga diharapkan akan mendapat perubahan dalam pandangan para pakar, disini terlihat bagaimana dalam Rancangan KUHP yang masih dalam tahap penyusunan, dapat dilihat disana bahwa pidana mati tersebut tidak lagi dimasukan menjadi pidana pokok beriringan dengan pidana penjara dsb, melainkan telah mendapat tempat sebagai pidana yang bersifat khusus, yang dalam hal ini dijadikan suatu ancaman pidana secara alternatif. (Pasal 61 konsep KUHP 1999-2000)
Jadi disini dapat disimpulkan bahwa pidana mati masih dianggap sebagai suatu jenis pidana yang masih diperlukan dan dapat diterapkan, akan tetapi pelaksanaannya diharapkan hanyalah sebagai suatu alternatif yang bersifat khusus dan bukan lagi merupakan pidana pokok seperti yang masih dianut hingga sekarang berdasarkan KUHP lama (wetboek van strafrecht).



II. Kontra Pidana Mati Dalam Pembahasannya

Dalam perjalanannya, pidana mati ini adalah merupakan satu-satunya jenis pidana yang paling banyak mendapat tanggapan baik berupa kritik, saran, pembelaan, dsb.
Yang dalam buku tanya jawabnya Djoko Prakoso meyakini dimulainya pro kontra tersebut sejak publikasi “Dei Delitti E Delle Pene” tahun 1764 oleh Cesare Beccaria.
[12]
Yang pada akhirnya dapat terlihat bahwa pengaturan dan pelaksanaan pidana yang satu ini telah membuat terbaginya pandangan para pakar hukum, sosiolog, kaum agamawi, dsb menjadi 2 bagian, yaitu yang pertama adalah golongan mereka yang menyatakan tidak setuju (kontra) dengan tetap diatur dan tetap diterapkannya pidana mati tersebut dalam kehidupan bermasyarakat, dan yang kedua adalah golongan mereka yang menyatakan sangat setuju (pro) dengan keberadaan pidana mati itu sendiri.
Masing-masing golongan tentu saja memiliki argumentasi dan dalilnya masing – masing dalam mencoba mempertahankan pendapatnya tersebut.

Prof Mr. Roeslan Saleh (Guru Besar Hukum Pidana) berpendapat bahwa tidak setuju adanya pidana mati karena :
Kalau ada kekeliruan putusan hakim tidak dapat diperbaiki lagi.
Mendasarkan landasan falsafah Negara Pancasila, maka pidana mati itu dipandang bertentangan dengan perikemanusiaan.
[13]

Prof. Soedarto (Rektor UNDIP Semarang dan guru besar hukum pidana), juga tidak setuju adanya pidana mati dengan alasan :
Karena manusia tidak berhak mencabut nyawa orang lain, apalagi bila diingat bahwa hakim bias salah menjatuhkan hukuman.
Tidak benar hukuman mati untuk menakut-nakuti agar orang tidak berbuat jahat, karena nafsu tidak dapat dibendung dengan ancaman.
[14]
Yap Thian Hien mengatakan “Saya gembira kalau hukuman mati dikeluarkan dari semua Undang Undang baik KUHP maupun pidana khusus. Allah melarang untuk membunuh manusia. Dan hukuman mati tidak lain pembunuhan yang dilegalisir. Pemidanaan, menurut falsafah hukum modern tidak untuk membalas dendam, tapi untuk mendidik dan memperbaiki manusia yang rusak. Kalau sudah mati tidak lagi bisa tobat, itu tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Hukuman mati hanya menunjukan ketidakmampuan mendidik nara pidana.”[15]

Hal senada disetujui oleh penulis dikarenakan di satu sisi (kontra) pidana mati hanyalah membuat tertutupnya kesempatan bagi si terpidana untuk dapat diperbaiki, penulis yakin bahwa sejahat apa pun seseorang masih dapat diperbaiki cepat atau pun lambat.
Selain itu juga penulis memperkuat argumennya dengan mengutip dari Yohanes 8: 3-11 yang secara tidak langsung merupakan penyataan Yesus dalam menolak adanya pidana mati tersebut, sehingga dengan demikian sudah sepatutnyalah pidana mati tersebut ditiadakan.

Aneke di Perancis percaya bahwa setiap orang termasuk terpidana berhak untuk mendapat perlakuan yang manusiawi dan diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya.
Ia juga mengemukakan ketidaksetujuannya dengan pidana mati, salah satunya berlandaskan agama, dimana pelaksanaan pidana mati sama saja dengan mendahului kehendak Allah SWT. Alasan lainnya adalah jika ternyata terpidana terbukti tidak bersalah, apa yang dapat dibuat oleh pengadilan dalam memperbaiki kesalahan tersebut, jika terhukum sudah dipidana mati.

J.J. Amstrong Sembiring mengatakan “Dalam konteks hukuman mati, secara fakta empiris di berbagai negara, seperti Amerika Serikat dan Cina, yang memberlakukan ancaman hukuman mati, ternyata tindak angka kejahatan tidak berkurang. Di Cina, tentang hukuman mati, tidak lagi diterapkan secara absolut (mutlak), seperti di Indonesia, akan tetapi sebagai pidana khusus bersyarat.Banyak negara melakukan dua pendekatan, yaitu efek jera dan rehabilitasi. Berdasarkan right to life, hak untuk hidup terpidana, hukuman mati seharusnya tidak lagi diterapkan, maksimal hanya berpatokan pada efek jera.
[16]

Penulis juga melihat dari sisi lain (kontra) terhadap pidana mati dengan mendasarkanya pada pasal 28a UUD’45 yang menyatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”
Dalam UUD’45 secara eksplisit sudah jelas bahwa setiap manusia berhak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya dari siapapun, selain itu juga pidana mati ditinjau dari tujuan pemidanaan yang berkembang luas, dimana dalam hal ini setiap pejabat / penegak hukum yang berpandangan melakukan pembalasan untuk memuaskan hasrat keluarga korban agar pelaku tindak pidana diberikan hukuman yang setimpal ini akan menjadi keadilan semu.
Kemudian juga masih menurut penulis, bahwa pidana mati merupakan langkah keliru dikarenakan dengan dilakukannya eksekusi pidana mati, para eksekutor tersebut memberikan jalan panjang menuju rantai kekerasan yang merupakan pembunuhan yang dilegalisir oleh Negara.

J.E. Sahetapy juga dalam bukunya tentang pidana mati ini menyatakan ketidaksetujuannya dengan berbagai alasan, salah satunya adalah ketidaksetujuannya terhadap pidana mati dengan tujuan pembalasan dan menakutkan, dimana menurut beliau ;
“pemidanaan sebaiknya bertujuan “pembebasan”, pembebasan disini harus dilihat bukan dalam pengertian fisik. Sebab secara fisik yang bersangkutan sama sekali tidak mengalami perubahan, kecuali ruang geraknya dibatasi karena ia berada dalam lembaga permasyarakatan. Namun dalam keterbatasan ruang geraknya, ia dibebaskan secara mental dan spiritual. Ini berarti ia bukan saja melepaskan pula cara berpikir dan gaya hidupnya yang lama, melainkan ia melepaskan pula cara berpikir dan kebiasaan yang lama.”
[17]

III. Pro Pidana Mati Dalam Pembahasannya

Sebaliknya dalam menetapkan pidana mati ini terdapat juga golongan kedua yaitu mereka yang setuju (pro) mengenai pelaksanakannya pidana mati tersebut.

Seorang yang bernama Greg. L. Bahnsen dalam bukunya menjelaskan alasan mengapa ia setuju dengan pidana mati ini tetap diterapkan, yang menurutnya “kita harus mengerti ketentuan dari hukuman mati atas dasar bahwa suatu hukuman yang bersifat kewarganegaraan adalah kejahatan yang dibenarkan di mata Allah.”
[18]

Begitu juga dengan David Anderson, seorang pakar yang berasal dari kalangan Kristiani, yang sangat setuju (pro) dengan pidan mati pernah menulis bahwa “In order to rightly value the death penalty it is necessary to have emphaty and understanding for all the victims and their relatives.” Sangat tepat bahwa pidana mati justru menunjukan rasa simpati terhadap korban-korban kejahatan berat, mengapa kita harus mendahulukan dan mengutamakan hak asasi para criminal, ketimbang hak asasi korban-korban kejahatan itu sendiri? Menurutnya sampai kapanpun pidana mati ini tetap diperlukan terhadap pelaku-pelaku kejahatan berat seperti pembunuhan berencana yang dilakukan secara sadis, pembunuhan massal, koruptor kelas kakap dan teroris. Hanya saja menurutnya eksekusi pidana mati itu yang perlu direvisi, sehingga mengurangi rasa sakit si terpidana, misalnya dengan menggunakan suntikan yang tidak menyakitkan.

Alasan lain juga dikemukakan oleh pakar lainnya yaitu Ririn di Swedia yang menjelaskan bahwa pidana mati dipertahankan dengan alasan sepanjang hukuman mati tersebut merupakan senjata efektif untuk terpidana dan untuk masyarakat. Dilaksanakannya sepanjang tidak digunakan untuk memberantas lawan politiknya dan dilakukan dengan manusiawi, serta melalui proses peradilan yang adil dan jujur.

Begitu juga dengan Bichon van Ysselmode yang menyatakan “Saya masih berkeyakinan, bahwa ancaman dan pelaksanaan pidana mati harus ada dalam tiap-tiap Negara dan masyarakat yang teratur, baik ditinjau dari sudut keputusan hukum maupun dari sudut tidak dapat ditiadakannya. Keduanya jure divino humano. Pedang pidana, seperti juga pedang harus ada pada Negara. Hak dan kewajiban ini tak dapat diserahkan begitu saja. Tetapi haruslah dipertahankan dan juga digunakannya.”
[19]

Didalam Hukum Islam hampir tidak diketemukan pro–kontra pidana mati, oleh karena didalam Islam dikenal Talio, yang berarti membuat sebanding dengan perbuatannya terhadap orang lain, sehingga disini sama dengan apa yang dianut dengan agama Yahudi dalam kitab Pentateuch mereka yang menyatakan bahwa mata balas mata, gigi ganti gigi.
Bahkan didalam Islam diwajibkan qishash, yang dalam surat Al Baqarah ayat 178 dinyatakan “Hai orang-orang yang beriman : sesungguhnya diwajibkan kkamu qishash untuk soal pembunuhan, orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak, wanita dengan wanita, tetapi kalau seorang kamu dimaafkan oleh sanak saudaranya hendaklah kamu membalas kebaikan mereka itu, karena itu adalah suatu keringanan dari Tuhan Yang Maha Pengasih.”

Sulaeman Rasjid menyebutkan syarat-syarat dapat dijatuhkannya pidana mati sebagai berikut ;
Keadaan yang membunuh sudah baliq dan berakal.
Yang membunuh bukan bapak dari yang dibunuh.
Keadaan yang dibunuh tidak kurang juga derajatnya dari yang membunuh
Yang dimaksud dengan derajat disini ialah agama dan merdeka atau tidak, begitu juga dengan anak dengan bapal. Maka oleh karenanya orang Islam yang membunuh orang kafir tidak berlaku terhadapnya.
Keadaan yang terbunuh, orang yang terpelihara darahnya dengan Islam atau dengan perjanjian.
[20]

Dalam perkembangannya para pakar dari kalangan agama Islam juga memiliki pandangan dan penafsiran yang berbeda tentang pidana mati tersebut, contohnya Malik yang setuju untuk menerapkan pidana mati tersebut terhadap orang yang melakukan tindakan pembunuhan yang tidak disengaja, sementara yang lain seperti Abu Hanifah dan As-Syafii hanya setuju tetapi dengan syarat bahwa perbuatan tersebut dilakukan berulang-ulang. Begitu juga menurut Juynboll, “pidana mati hanya dipergunakan terhadap pembunuhan yang disengaja dan membunuh dengan senjata dalam keadaan normal dan yang melakukan kejahatan itu cukup umur dan waras.”
[21]

Bambang Poernomo menyatakan bahwa “Pidana mati yang dilakukan menurut ketentuan – ketentuan Islam yang “benar” adalah tidak bertentangan dengan falsafah Negara, tidak tidak berlawanan pula dengan unsur-unsur Ketuhanan YME, karena syari’at Islam merupakan syari’at yang berdasarkan Ketuhanan YME.”
[22]

Kemudian dalam pandangan penulis (jika seandainya pro pidana mati) akan menyatakan setuju masih diatur dan diterapkannya pidana mati tersebut dalam KUHP, dengan memandang dari sisi pencegahannya (general deterent). Menurut penulis berhubungan dengan efek pencegahan ini, ancaman pidana mati terhadap delik tertentu akan membawa secara langsung tak langsung jiwa (pikiran, perasaan dan kehendak) seseorang “ditekan” untuk tidak melakukan bahkan berusaha menjauhkan diri untuk melakukan delik yang diancam pidana mati tersebut dan dengan demikian akan berhasil membuat suatu efek pencegahan pada masyarakat luas terhadap delik-delik tertentu.

Penulis juga setuju dengan pendapat von Feurbach yang berpendapat bahwa jika seseorang terlebih dahulu telah mengetahui bahwa ia akan mendapat suatu hukuman yang telah diatur dalam undang-undang, maka sudah tentu ia akan lebih berhati-hati.

Dari beberapa pendapat para pakar dan penulis diatas, maka dapatlah disimpulkan bahwa pidana mati tidaklah boleh hanya ditinjau dari akibatnya saja , yaitu matinya seseorang, melainkan harus juga dilihat dari sisi keadilan, hak asasi dan rasa empati terhadap korban-korbannya. Kemudian selain dari sudut pandang hak asasi dan rasa empati terhadap korban juga ditinjau dari sudut pandang agama Islam, pidana mati tersebut merupakan sesuatu yang legal dan bahkan dianjurkan sehingga tidak mungkin dan seharusnya tidak boleh dihapuskan, sebab dengan demikian maka asas pembalasan yang dalam bahasa Arab dikenal qishash tidak akan dapat diwujudkan. Begitu juga dengan agama Kristen yang oleh beberapa pakar agama Kristen (Katholik) dinyatakan sebagai sesuatu yang seharusnya ada dan sah (dibenarkan) dihadapan Tuhan.

Salah satu contohnya adalah pendapat A. Jansens yang mengatakan “bahwa penguasa duniawi tanpa dosa boleh menjalankan pidana mati asal mereka pada menentukan pidana itu tidak karena benci, tapi sesudah dipertimbangkan secara masak. Jadi dapat dikatakan bahwa ajaran agama Kristen (Katholik) menerima bahwa Negara berhak menjatuhkan pidana mati dan melaksanakannya.”
[23]

Ditinjau lebih jauh dari sisi Agama Kristen (Katholik), ternyata dengan lebih jelas dapat dilihat bagaimana Allah memberikan kuasa (kewenangan) untuk terjadinya pidana mati ini oleh pemerintahan manusia hingga saat ini.
“Dimulai dari awal kitab Kejadian (Kej 4) sampai pada jaman sebelum Nuh telah ada pidana mati, tetapi bentuknya diberikan kepada sanak family untuk membalas dendam pada si pembunuh (Kejadian 4:14) … juga dilanjutkan dengan dimasukannya pidana mati itu ke dalam hukum Musa (Keluaran 21 ; 31:14 dsb).”
[24]

“Pidana mati ini juga kemudian ditegaskan kembali dalam Perjanjian Baru … dimana pedang yang diberikan dari Atas untuk pemerintahan manusia untuk hukuman mati (Kejadian 9:6) secara eksplisit ditegaskan kembali didalam Perjanjian Baru (Roma 13:4). Yesus juga mengakui hal ini di hadapan Pilatus (Yohanes 19:11), sebagaimana yang dilakukan Paulus dihadapan orang-orang Roma (Kis 25:11) Dengan demikian pidana mati, sedikitnya untuk kejahatan-kejahatan yang besar, telah dinyatakan sebelum hukum Musa dan diulangi lagi sesudahnya.”
[25]

Juga penafsiran terhadap kitab Roma pasal 13 ayat 4 yang menyatakan ; bahwa pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murkaNya pada mereka yang jahat, sehingga tidak sia-sia / percuma pemerintah menyandang pedang.
Penafsiran dari ayat tersebut menurut penulis (jika pro pidana mati) diyakinkan haruslah diberi pengertian bahwa menurut ayat itu Pemerintah (penguasa yang ada) diperbolehkan (dibenarkan dihadapan Allah) dalam menganut dan melaksanakan pidana mati, sebab dalam teologi Kristen jika berbicara mengenai “pedang” hampir selalu diberi arti dan dihubungkan dengan pembunuhan ataupun kematian.
Sehingga sangatlah tidak mungkin jika ditafsirkan bahwa pada saat menuliskan surat kepada jemaat di Roma tersebut Rasul Paulus sedang memikirkan tentang pidana penjara, pidana denda ataupun jenis pidana yang lainnya. Melainkan dengan pasti seharusnya pernyataan tidak sia-sia atau tidak percuma pemerintah menyandang pedang, ditafsirkan dengan pidana mati yang memang pada saat ditulisnya surat itu sedang marak diterapkan di daerah Yudea, Samaria bahkan di Roma itu sendiri.

Dari sini kita haruslah dapat melihat bahwa sekalipun memang membunuh / menghilangkan nyawa orang lain selalu dipandang sebagai suatu perbuatan yang berdosa dan karenanya sangat tidak diperbolehkan, tetapi jika dilakukan oleh pemerintah yang ada, sesuai ketentuan yang ada, dan tidak dalam kesewenangan serta berdasarkan keadilan dan pertimbangan yang jujur dan pasti, maka pidana mati tersebut merupakan sesuatu yang tetap dibenarkan (tidak dianggap perbuatan dosa) dihadapan Allah, dan karenanya adalah sesuatu yang baik dan benar untuk tetap mempertahankan pidana mati tersebut terhadap kejahatan-kejahatan tertentu.



Kesimpulan

Pidana mati merupakan jenis pidana yang dijatuhkan oleh pemerintahan suatu Negara (kerajaan) yang dianggap merupakan pidana terberat dan tertua dilihat dari sejarahnya.
Dalam perkembangannya pidana mati ini sering diselewengkan oleh penguasa yang ada sebagai suatu senjata yang ampuh dalam menyingkirkan lawan-lawan politiknya dan juga sebagai sarana yang paling sering digunakan untuk mempertegas kedudukannya sebagai penguasa dihadapan masyarakat luas.

Dalam bentuknya pidana mati ini juga merupakan suatu jenis pidana yang paling banyak memilki variasi dalam pelaksanaannya, mulai dengan cara dipenggal, di salibkan, ditenggelamkan, di adu hingga mati dengan binatang buas dalam suatu gelanggang arena, digergaji, ditarik oleh 4 kuda hingga mati terpotong-potong, bahkan pada sekitar abad ke 4 sampai dengan cara digantung hidup-hidup di pinggir jalan dan kemudian dibakar sebagai penerangan jalan. Semua bentuk-bentuk tersebut dilaksanakan dengan alasan dan tujuannya masing-masing tetapi dengan hasil akhir yang sama yakni matinya seseorang.
Berbagai bentuk tidak manusiawi dan penerapan akhir yang seringkali dianggap merupakan kesewenangan penguasa inilah yang membawa pro – kontra terhadap pidana mati ini terus berlangsung hingga kini.
Sebagian berpendapat agar pidana mati tersebut harus segera dihapuskan, tetapi sebagian orang lainnya menyatakan bahwa pidana mati ini masih merupakan suatu jenis pidana yang dibutuhkan hingga saat ini.

Dibutuhkan hikmat serta pemikiran yang dalam dan objektif dalam mengkaji mengenai masih diatur dan dilaksanakannya pidana mati tersebut dalam kehidupan bernegara.
Dan jika pelaksanaan pidana mati tersebut masih tetap harus dipertahankan, maka harus juga dipikirkan dalam-dalam bagaimana pelaksanaan pidana mati itu dilakukan sehingga dilakukan dengan cara yang paling tepat, manusiawi, meringankan si terdakwa dan tidak berdampak negatif / buruk terhadap pandangan masyarakat luas.



Kepustakaan

Andi Hamzah & A Sumangelipu. Pidana Mati di Indonesia. Ghalia Indonesia 1984

Bambang Poernomo. Ancaman Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Di Indonesia. Penerbit Liberty Jogjakarta. 1982

Djoko Prakoso. Masalah Pidana Mati (soal jawab). Bina Aksara. Jakarta 1987


H.Berkhof, L.H.Enklaar. Sejarah Gereja. BPK Gunung Mulia 1997

J.E. Sahetapy. Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana. Alumni Bandung. 1979

Moeljatno. Azas-Azas Hukum Pidana. Bina Aksara Jakarta 1983


Muladi & Barda Nawawi. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni Bandung 1998

Norman.L.Geisler Etika Kristen. SAAT – Malang. 2000


P.A.F Lamintang. Hukum Penitensier Indonesia. Armico 1984

R.Soesilo. KUHP (serta komentarnya lengkap pasal demi pasal). Politea Bogor 1994




Sumber-sumber lain ;
Konsep KUHP tahun 1999-2000
J.J. Amstrong Sembiring. Pidana Mati di Tengah Krisis Hukum.
www.iloveblue.com/bali_gaul_funky/berita_bali/detail/67.htm
Undang Undang Dasar 1945. Pustaka Madani Press. 2004





[1] P.A.F Lamintang. Hukum Penitensier Indonesia. Armico 1984. halaman 34
[2] P.A.F Lamintang. Hukum Penitensier Indonesia. Armico 1984. halaman 35
[3] Muladi & Barda Nawawi. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni Bandung 1998. halaman 2
[4] Ibid. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni Bandung 1998. halaman 9
[5] Andi Hamzah, A Sumangelipu. Pidana Mati di Indonesia. Ghalia Indonesia 1984. halaman 12, mengutip dari A.Z. Abidin. Bunga Rampai Hukum Pidana. Pradnya Paramita. Jakarta
[6] Ibid. Pidana Mati di Indonesia. Ghalia Indonesia 1984. halaman 79. Penulis mengutip dari J.A. Drossaart Bentfort, Tijdschrift voor Strafrecht 1940. Deel I pp.308-309

[7] H.Berkhof, L.H.Enklaar. Sejarah Gereja. BPK Gunung Mulia 1997. halaman 17
[8] Moeljatno. Azas-Azas Hukum Pidana. Bina Aksara Jakarta 1983. halaman 24
[9] Ibid. Azas-Azas Hukum Pidana. Bina Aksara Jakarta 1983. halaman 24
[10] Andi Hamzah, A Sumangelipu. Pidana Mati di Indonesia. Ghalia Indonesia 1984. halaman 90

[11] R.Soesilo. KUHP (serta komentarnya lengkap pasal demi pasal). Politea Bogor 1994. halaman 37
[12] Djoko Prakoso. Masalah Pidana Mati (soal jawab). Bina Aksara. Jakarta 1987. halaman 35
[13] Bambang Poernomo. Ancaman Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Di Indonesia. Penerbit Liberty Jogjakarta. 1982. halaman 18

[14] Ibid. Ancaman Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Di Indonesia. Penerbit Liberty Jogjakarta. 1982. halaman 19
[15] Ibid. Ancaman Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Di Indonesia. Penerbit Liberty Jogjakarta. 1982. halaman 19
[16] J.J. Amstrong Sembiring. Pidana Mati di Tengah Krisis Hukum. www.iloveblue.com/bali_gaul_funky/berita_bali/detail/67.htm

[17] J.E. Sahetapy. Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana. Alumni Bandung. 1979. halaman 216-217
[18] Norman.L.Geisler Etika Kristen. SAAT – Malang. 2000. halaman 255. Penulis mengutip dari Greg.L.Bahnsen. Theonomy In Cristian Ethics. Exp.ed (Phillipsburg N.J Presbyterian and Reformed. 1984 halaman 441.
[19] Andi Hamzah, A Sumangelipu. Pidana Mati di Indonesia. Ghalia Indonesia 1984. halaman 25

[20] Ibid. Pidana Mati di Indonesia. Ghalia Indonesia 1984. halaman 64
[21] Ibid. Pidana Mati di Indonesia. Ghalia Indonesia 1984. halaman 61

[22] Bambang Poernomo. Ancaman Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Di Indonesia. Penerbit Liberty Jogjakarta. 1982. halaman 8
[23] Op.cit. Pidana Mati di Indonesia. Ghalia Indonesia 1984. halaman 65

[24] Norman.L.Geisler Etika Kristen. SAAT – Malang. 2000. halaman 268

[25] Ibid. Etika Kristen. SAAT – Malang. 2000. halaman 269

Sekilas Mengenai Perkembangan Perusahaan Perseorangan Di Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN


Melihat kedalam kehidupan manusia (yang adalah subjek hukum), berinteraksi satu dengan yang lainnya tentunya merupakan perbuatan yang sangat lazim dilakukan dalam segala bidang, tidak terkecuali dala bidang usaha (perdagangan).
Bagi bangsa Indonesia sendiri perdagangan tersebut sejak dahulu telah ada dan terus di lakukan.
Sehubungan dengan perkembangan jaman dan berkembangnya macam-macam bentuk perdagangan dan kemudian di pegaruhi oleh saat (masa) di mana bangsa Belanda masuk dan menjajah bangsa Indonesia dan kemudian mulai menerapkan hukum yang berlaku di negaranya, maka secara mutatis mutandis masyarakat Indonesia akhirnya menerima dan mengikuti banyak peraturan-peraturan hukum dari bangsa Belanda tersebut, tak terkecuali hukum yang mengatur dalam bidang usaha perdagangan seperti kitab Undag-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan banyak peraturan lainnya, bahkan seterlah Indonesia merdeka dan terlepas dari penjajahan, bangsa Indonesia masih tetap terus mengakui dan menerapkannya hingga sekarang.

“Dalam dunia usaha (pedagangan) di Indonesia hingga saat ini di kenal beberapa jenis perusahaan, jenis-jenis perusahaan itu dapat di tinjau dari 3 (tiga) hal yaitu klasifikasi perusahaannya, status kepemilikannya dan bentuk hukumnya.”
[1]

“Dilihat dari klasifikasinya terdiri dari perusahaan perseorangan dan perusahaan persekutuan, dilihat dari status pemilikan terdiri dari perusahaan swasta dan perusahaan negara, dilihat dari bentuk hukumnya menjadi perusahaan badan hukum dan perusahan bukan badan hukum.”
[2]

“Berdasarkan klasifikasi tersebut tadi, maka terdapat tiga jenis perusahaan yaitu ; perusahaan perseorangan, perusahaan persekutuan bukan badan hukum, perusahaan persekutuan badan hukum.”
[3]

Berkaitan dengan luasnya penjabaran mengenai hal-hal tersebut jika hendak dipaparkan secara lengkap, maka dalam penulisan ini penulis hendak mempersempit ruang lingkup penulisan dengan mencoba melakukan pembahasan hanya sebatas mengenai perkembangan perusahaan perseorangan di Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN


Berbicara tentang perusahaan perseorangan, hingga saat ini belum ada undang-undang yang memberikan penafsiran resmi tentang apa (secara terminologi yuridis) tentang perusahan perseorangan itu sendiri, sehingga sampai dengan saat ini yang di gunakan adalah sebatas doktrin / pendapat para sarjana (pakar) hukum saja.
Seperti dari Eddi Sopian yang mengatakan “Perusahaan perseorangan adalah perusahaan swasta yag dimiliki oleh perusahaan perseorangan, yang bukan badan hukum…”
[4]

Kemudian dari Johannes Ibrahim yang mengatakan perusahaan perseorangan adalah merupakan usaha pribadi yang memikul usaha secara pribadi atau perorangan. Perusahaan ini merupakan bentuk peralihan antara bentuk partnership dan dapat pula dimungkinkan sebagai one man corporation atau en manszaak.”
[5]
Keberadaan perusahaan perseorangan itu sendiri telah lama ada dan dipergunakan oleh banyak para pelaku usaha, baik yang berupa perusahaan perseorangan dagang, di bidang jasa maupun perusahaan perseorangan di bidang industri.
Mini market dan restaurant adalah contoh dari jenis perusahaan dagang, sednagkan salon, bengkel motor adalah contoh dari perusahaan jasa, sednag industri rumah (home industry), kerajinan perak / anyaman merupakan contoh perusahaan perseorangan di bidang industri.

Dalam perkembangannya hingga dewasa ini perusahaan perseorangan tersebut tidak mengalami banyak perubahan yang signifikan. Perkembangan secara yuridis normatif (perundang-undangan) mengenai perusahaan perseorangan ini juga tidak ada hingga saat ini, belum ada suatu undang-undang khusus yang mengaturnya, hanya saja telah terjadi perkambangan dan sedikit perubahan dalam hal perijinan, banyak usaha kecil dan perseorangan yang dahulunya tidak mempunyai ijin sekarang telah ramai-ramai mulai mengurus perijinan tersebut. Jadi di sini terlihat terjadinya perkembangan secara administrasi yakni dalam hal ijin usaha yang hingga saat ini bila akan mendirikan perusahaan perseorangan (khusus untuk bentuk usaha tertentu) maka Notaris masih menjadi pilihan utama sehubungan dengan dimintanya akta pendirian oleh Notaris yang isi Akta Notaris tersebut sesuai dengan maksud dan tujuan mendirikan perusahaan tersebut, hingga dikemudian hari pelaku usaha perseorangan tidak di pusingkan dengan tuduhan telah melakukan pelanggaran hukum secara administratif.

Menurut Eddi Sopandi, secara praktis di lapangan dan untuk mempermudah lancarnya perijinan, hampir di seluruh Indonesia “Untuk perusahaan perseorangan itu, akta pendiriannya tidak perlu lagi didaftarkan pada Pengadilan Negeri dan tidak perlu di umumkan dalam Berita Negara / Tambahan Berita Negara.”
[6]

Selain membuat akta pendirian oleh Notaris (ini tidak bersifat tentatif), maka tahapan pendirian juga sangat mudah yakni :
[7]
Mengajukan ijin dengan mengisi formulir isian yang disediakan dan dilengkapi dengan syarat-syarat ijin.
Melengkapi surat-surat sebagai berikut ;
- Salinan KTP pemilik perusahaan / penaggung jawab.
- Salinan surat ijin tempat usaha (SITU) dari Pemda apabila diwajibkan oleh Undang-Undang Gangguan / H.O Stb 1926 No. 226
- Pas foto 3x4
- Salinan bukti pembayaran uang jaminan dan biaya administrasi.
- Neraca awal / akhir perusahaan
Apabila hal ini telah terpenuhi, tinggal membuat rencana tapak dan studi kelayakan.
Apabila yang ditulis dalam formulir perijinan belum selesai maka yang dipakai sebagai dasar penetapan restribusi adalah hasil survey atau peninjauan lapangan.
Penetapan restribusi daerah dan dikeluarkan surat penetapan.
Pembayaran restribusi dan pengambilan surat penetapan.

Dengan begitu maka ijin sudah kita dapat dan kita bisa mulai menjalankan usaha. Ijin ini biasanya berlaku selama 5 tahun dan bisa kita perpanjang setelah habis waktunya.
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa perusahaan perseorangan yang memerlukan ijin-ijin usaha seperti penulis jabarkan sebelumnya di atas adalah perusahaan perseorangan dalam skala yang cukup luas dengan menggunakan tenaga kerja dari luar (bukan keluarga).
Perusahaan perseorangan dalam skala kecil yakni yang hanya dikelola oleh anggota keluarga sendiri, untuk hal tersebut bahkan tidak dikenakan kewajiban apapun juga, termasuk kewajiban untuk daftar. Contohnya warung serba guna, jualbeli voucher, dsb.

Ditinjau dari perkembangan bentuk-bentuk dan ragam usaha juga semakin banyak, hampir semua usaha yang hanya melibatkan anggota keluarga dengan tenaga kerja bantuan dari luar yang tidak terlalu banyak memiliki bentuk perusahan perseorangan. Hal ini disebabkan karena terdapat beberapa kelebihan dari perusahaan perseorangan ini ketimbang bentuk usaha lainnya seperti Firma, CV, dsb

Beberapa kelebihan itu diantaranya adalah :
[8]
- Perseroan tidak dkenakan pajak perusahaan seperti halnya PT ataupun partnership (Firma).
- Dalam melakukan pengelolaan perusahaan, pemilik juga menjadi bagian dari manajemen sehingga pengendalian internal tidak terlalu kompleks dan mudah diawasi oleh pemilik langsung.
- Biaya yang rendah dalam pengelolaan, karena karyawan yang berada di dalam perseorangan adalah pemilik usaha.
- Tidak memalui proses administrasi hukum yang kompleks, biasanya hanya sampai akte notaris dan surat keterangan domisili dari kelurahan saja, tidak perlu melalui proses pembuatan SIUP atau TDP ataupun hingga membutuhkan surat keputusan dari Menkeh dan HAM.
- Proses pembentukan yang sangat cepat.
- Apabila dalam bisnis perseorangan dapat terjadi kerugian maka kompensasi kerugian dapat dimasukan dalam perhitungan pajak penghasilan pemilik.

Kemudian selain perkembangan dalam ijin usaha yang lebih perlu diperhatikan adalah berkaitan dengan status yuridis perusahaan perseorangan itu sendiri.
Sekalipun telah ada pengaturan mengenai perijinan, yang dengan demikian secara tidak langsung mengakui dan menyatakan keabsahan keberadaan perusahaan perseorangan tersebut dalam dunia bisnis di Indonesia, dalam perkembangannya hingga dewasa ini perusahaan perseorangan tersebut tetaplah di anggap bukan sebagai badan hukum layaknya Koperasi, PT, dsb

Hal ini adalah wajar mengingat bahwa Perusahaan Perseorangan ini tidak dapat memenuhi syarat-syarat dari “Badan Hukum: yakni :
[9]
- Memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan orang-orang yang menjalankan kegiatan dari badan-badan hukum tersebut.
- Memiliki hak-hak dan kewajiban yang berbeda / terpisah dari kekayaan orang-orang yang menjalankan badan hukum tersebut.
- Memiliki tujuan tertentu.
- Berkesinambungan, dalam arti keberadaannya tidak terikat pada orang-orang tertentu, karena hak-hak dan kewajibannya tetap ada meskipun orang-orang yang menjalankannya silih berganti.

Dari keempat ciri / syarat tersebut maka perusahaan perseorangan tidak dapat memenuhi keseluruan syarat tersebut sehingga dalam kerangkan ilmu hukum tidak dapat di kategorikan sebagai subjek hukum.
Perkembangan dalam perijinan dan pengakuan akan keberadaan legal suatu perusahaan perseorangan tidak dengan sendirinya mengangkat status perusahaan perseorangan tersebut menjadi suatu badan hukum (subjek hukum).
Hal ini menjadi sangat penting jika terjadi sengketa atau permasalahan berhubungan dengan hutang piutang, perbuatan melawan hukum atas nama perusahaan dan masalah legal responsibility / tanggung jawab hukumnya.

BAB III
PENUTUP

Dari penjabaran singkat penulis mengenai perkembangan perusahaan perseorangan ini dapat disimpulkan bahwa tidak terlalu banyak perubahan signifikan terhadap keberadaan perusahaan perseorangan tersebut.
Perkembangannya yang terlihat langsung hanya berkaitan dengan perihal perijinan, kemudian juga terjadi perkembangan bentuk dan ragam oleh karena mengingat daya pacu ilmu pengetahuan dan teknologi melahirkan barang-barang komoditas baru, bentuk jasa yang berbeda dan juga membuat industri-industri yang berbeda juga.
Tetapi sekalipun keseragaman bentuk terjadi, hakikat perusahaan perseorangan itu sendiri tidak pernah berubah yakni merupakan suatu jenis usaha yang dijalankan oleh satu orang pemilik dan merupakan suatu jenis usaha yang tidak kompleks, ruang lingkup para pekerja pun masih tetap sama yakni anggota keluarga dan dalam skala yang lebih luas melibatkan juga beberapa (tidak banyak) orang lain.
Ditinjau dari sisi yuridis normatif, hingga saat ini masih belum ada suatu perangkat perundangan yang khusus mengatur mengenai perusahaan perseorangan tersebut, walaupun memang keberadaan dari perusahaan perseorangan ini hingga saat ini tetap di akui dan bahkan menjadi suatu bentuk perusahaan yang makin banyak dikenal dan dipergunakan dalam dunia dagang (bisnis) oleh para pelaku usaha di Indonesia ini.



DAFTAR PUSTAKA

Anak Suryo, Tata Cara Mengurus Ijin Usaha, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2007

Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pidana Korporasi di Indonesia, CV Utomo, Bandung, 2004

Eddi Sopandi, Beberapa Hal dan Catatan Berupa Tanya Jawab Hukum Bisnis, Refika Aditama, Bandung, 2003

Johannes Ibrahim, Hukum Organisasi Perusahaan, Refika Aditama, Bandung, 2006


Sumber Lain :
Dian Arief Wahyudi, www.infohukum.com

[1] Eddi Sopandi, Beberapa Hal dan Catatan Berupa Tanya Jawab Hukum Bisnis, Refika Aditama, Bandung, 2003, Hal 24
[2] Ibid, Hal 24
[3] Ibid, Hal 24
[4] Ibid, Hal 24
[5] Johannes Ibrahim, Hukum Organisasi Perusahaan, Refika Aditama, Bandung, 2006, Hal 21
[6] Op.Cit, Hal 25
[7] Anak Suryo, Tata Cara Mengurus Ijin Usaha, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2007, Hal 19,20
[8] Dian Arief Wahyudi, www.infohukum.com
[9] Mochtar Kusumaatmadja dan B Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, Hal 80,81, dikutip oleh Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pidana Korporasi di Indonesia, CV Utomo, Bandung, 2004, Hal 18

08 April 2007

Kejaksaan Dalam Pranata Hukum Indonesia

Bab I
PENDAHULUAN


Pada mulanya di Indonesia (menurut hukum adat) tidak mengenal pembedaan atau pemisahan bentuk hukum menjadi pidana dan perdata, yang karena Supomo hal tersebut disebabkan “... alam pikiran tradisional Indonesia bersifat kosmis, meliputi segalanya sebagai suatu kesatuan (totaliter), sehingga tidak ada pemisahan-pemisahan dari berbagai macam lapangan hidup...”
[1]
Hal ini juga tentunya termasuk dalam hal hukum (adat) yang berlaku pada saat itu. Tetapi hal tersebut berubah seiring kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Belanda yang pada saat itu masih menjajah bangsa Indonesia, dimana sekitar tahun 1845 Raja di negeri Belanda mengangkat Mr.HL Wichers sebagai Presiden Hoooggerechtshof merangkap Komisaris khusus di Hindia Belanda dan ditugaskan untuk memperbaiki, mengatur dan memberlakukan peraturan mengenai peradilan dan kitab undang-undang (IR) yang telah dibuat untuk Hindia Belanda tersebut. Isi dari perintah Raja tersebut diumumkan di Indonesia tanggal 16 Mei 1846 dengan Sbld 1847 No:23. yang kemudian setelah mengalami beberapa perubahan akhirnya berubah menjadi HIR (Herzine Inlands Reglement) pada thn 1941.
Tetapi setelah tahun 1981 sejak diberlakukannya undang – undang No.8 thn 1981 mengenai Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana, negara Indonesia sudah tidak menggunakan lagi HIR buatan Belanda yang liberal individualis itu sebagai hukum acara pidana di Indonesia, melainkan menggunakan KUHAP buatan sendiri yang telah dijiwai oleh Pancasila sebagai grundnorm / norma dasar bangsa Indonesia.
Berbicara tentang hukum pidana maka tidak pernah dapat lepas dengan berbicara tentang subsistem – subsistem atau aparatur-aparatur didalamnya yang berhubungan langsung dengan masalah pidana dan pemidanaan, dimana subsistem – subsistem tersebut adalah Penyidik (Kepolisisan), Jaksa Penuntut Umum (KeJaksaan), Hakim (Pengadilan), dan Lembaga Koreksi (Lapas).
Didalam makalah ini kami akan memfokuskan isi pembahasan pada subsistem kedua yaitu KeJaksaan (JPU), dimana menurut kami posisi Jaksa Penuntut Umum adalah sangat penting dan merupakan posisi kunci atau posisi sentral, jika di pandang dari fungsinya Jaksa Penuntut Umum dalam proses penyelesaian suatu perkara, dimana ia berada tepat ditengah – tengah antara penyidik dan hakim. Sebab dengan wewenangnya Jaksa Penuntut Umum dapat mengadakan pra penuntutan (pengembalian berkas perkara kepada penyidik untuk dilengkapi disertai dengan petunjuk yang mana setelah dilengkapi oleh penyidik dikirimkan kembali kepada Jaksa peneliti untuk dapat dilimpahkan perkaranya ke Pengadilan), dan dengan wewenangnya juga ia membuat dakwaan (dan penuntutan) yang kemudian menjadi dasar untuk semuanya, yakni dasar pemeriksaan dipengadilan, dasar tuntutan pidana setelah pemeriksaan, dasar pembelaan terdakwa / penasehat hukumnya dan juga menjadi dasar bagi hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.
Hal inilah yang membuat pembahasan mengenai Jaksa Penuntut Umum (KeJaksaan) baik mengenai surat dakwaan, surat tuntutan maupun tugas dan fungsinya dalam sistem peradilan di Indonesia selalu menarik dan patut dicermati dengan seksama.

Menurut Undang-Undang KeJaksaan No:16 Tahun 2004, KeJaksaaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. (UU No.16 thn 2004 Tentang KeJaksaan Pasal 2 ayat 1).
Sedangkan Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang (UU No.16 thn 2004 Tentang KeJaksaan Pasal 1 butir ke 1).
Sedangkan Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan hakim (UU No.16 thn 2004 Tentang KeJaksaan Pasal 1 butir ke 2).
Jika kita bandingkan pasal 1 butir ke 1 dan pasal 1 butir ke 2 UU No:16 thn 2004 tersebut Jo pasal 1 butir 6a dan 6b KUHAP, maka terlihat sedikit perbedaannya, yakni Jaksa adalah aparat KeJaksaan sebagai alat negara penegak hukum dalam arti umum (sebagai jabatan), sedangkan Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi tugas untuk menangani proses penyelesaian suatu perkara pidana.



Bab II
SURAT DAKWAAN


Seperti telah dijabarkan didalam pendahuluan tentang tugas Jaksa dalam melakukan penuntutan perlulah diperhatikan sebelumnya apa yang ditentukan dalam pasal 139 KUHAP, dimana Jaksa Penuntut Umum diharuskan segera menentukan sikap setelah menerima berkas perkara dari penyidik, yakni apakah berkas perkara itu telah memenuhi persyaratan untuk dapat dilimpahkan ke Pengadilan yang berwenang atau tidak. Dalam hal ini sesuai pasal 138 ayat 2 maka Jaksa Penuntut Umum haruslah mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dalam waktu 7 hari setelah tanggal pemeriksaan berkas (proses inilah yang disebut dengan istilah pra-penuntutan).
Apabila Jaksa Penuntut Umum berpendapat bahwa perkara telah lengkap dan memenuhi persyaratan untuk dilimpahkan ke Pengadilan, maka Jaksa Penuntut Umum segera membuat surat dakwaan.
Khusus dalam P.21 yaitu kode untuk surat penyataan kelengkapan suatu berkas perkara dari Jaksa Penuntut Umum pada Penyidik, ada permasalahan dalam istilah “lengkap” tersebut, dimana seringkali timbul pertanyaan, apa saja yang menjadi syarat “kelengkapan” itu? Dan apakah lengkap disini termasuk juga dengan semua unsur-unsur yang akan didakwakan?
Seharusnya P.21 tersebut tidak lagi dikatakan hasil penyidikan sudah lengkap, melainkan “...lebih baik diganti dengan pemberitahuan hasil penyidikan sudah maksimum, karena dalam prakteknya tidak semua hasil penyidikan yang sudah dinyatakan Jaksa lengkap, telah memenuhi unsur-unsur yang didakwakan.”
[2]
Jadi istilah “lengkap” tersebut alangkah lebih baiknya jika diganti menggunakan istilah “sudah maksimum.”

Setelah diteliti dan dipelajari dan dinyatakan sudah maksimum (P.21) maka Jaksa Penuntut Umum segera membuat surat dakwaan.
“Surat dakwaan adalah surat atau akta yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan.”
[3]
“Dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasarkan itulah pemeriksaan dipersidangan dilakukan. Hakim tidak dapat menjatuhkan pidana diluar batas-batas dakwaan.”[4]
“Pemeriksaan didasarkan kepada dakwaan dan menurut Nederburg, pemeriksaan tidak batal jika batas-batas itu dilampaui tetapi putusan hakim hanya boleh mengenai peristiwa-peristiwa yang terletak dalam batas itu.”[5]
Bentuk-bentuk surat dakwaan
Bentuk surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum sifatnya adalah kasuistis, hal ini disebabkan oleh karena pembuatan surat dakwaan tersebut bergantung pada kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh terdakwa seperti yang dituangkan oleh penyidik dalam berkas perkara.
Khusus tentang hubungan kausal ini Prof Moeljatno, SH menjelaskan bahwa “Tanpa adanya hubungan kausal antara akibat yang tertentu dengan kelakuan orang yang didakwa menimbulkan akibat tadi, maka tak dapat dibuktikan bahwa orang itu yang melakukan delik tersebut, apalagi dipertanggungjawabkan kepadanya.”
[6]
Maka dari itu surat dakwaan itu bersifat kasuistik, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kasuistik tersebut diartikan sebagai sebab-sebab timbulnya sesuatu (dari akibat), dimana dalam hal ini adalah kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh terdakwa.
Bentuk surat dakwaan berbeda-beda dan bentuk-bentuk yang berbeda tersebut sangat penting artinya dalam rangka pembuktian kesalahan terdakwa didalam sidang pengadilan.

Ada 5 macam bentuk surat dakwaan, yakni :
Dakwaan Tunggal (enkelvoudig)
Bentuk ini digunakan apabila penuntut Umum berpendapat dan yakin bahwa tindak pidana yang dilakukan terdakwa :
Hanya merupakan satu tindak pidana saja.
Ada 2 tindak pidana, tetapi yang didakwakan hanya 1 saja sedang yang satunya dihentikan penuntutannya.
Terdapat 1 perbuatan tetapi termasuk dalam beberapa ketentuan pidana, maka yang dikenakan satu saja dari ketentuan itu.
Dalam hal adanya perbuatan yang berkelanjutan.

Dakwaan Kumulatif.
Dalam bentuk ini beberapa tindak pidana didakwakan secara serempak, tidak peduli beberapa tindak pidana itu ada kaitannya atau tidak dan tidak peduli apakah ada perbedaan waktu terjadinya atau tidak, tetapi tetap memperhatikan pasal 2-9, asalkan tindak pidana itu dilakukan oleh subjek yang sama. Dalam bentuk ini semua dakwaan harus dibuktikan.

Dakwaan Subsidair.
Bentuk ini biasanya digunakan oleh Penuntut Umum jika ia ragu-ragu apakah suatu perbuatan itu merupakan tindak pidana pembunuhan berencana, pembunuhan biasa, atau penganiayaan berat yang menyebabkan kematian.
Bentuk surat dakwaan ini disusun dengan sistem primer (pokok), subsidair, lebih subsidarir, dan seterusnya mulai dari yang terberat hingga yang paling ringan. Yang harus diingat bahwa diantara dakwaan primer dan subsidair ada persamaannya dan erat hubungannya. Dalam bentuk dakwaan ini jika yang primer sudah dapat dibuktikan maka yang subsidair, lebih subsidair dst tidak lagi harus dibuktikan, tetapi jika yang primer tidak dapat dibuktikan maka yang harus dibuktikan adalah yang subsidair, dst.
Dakwaan Alternatif.
Jika dalam dakwaan subsidair Penuntut Umum ragu-ragu atas kualifikasi yuridis yang paling tepat bagi terdakwa apakah suatu perbuatan itu merupakan tindak pidana pembunuhan berencana, pembunuhan biasa, atau penganiayaan berat yang menyebabkan kematian, sedang dalam dakwaan alternatif pada umumnya Penuntut Umum ragu apakah terdakwa sebagai pembantu atau turut serta. Yakni antara pasal 56 KUHP atau 55 KUHP. Atau dapat juga ada keraguan, apakah tindak pidana pencurian atau penadahan.
Jadi ada perbedaan dengan dakwaan subsidair, dimana dalam subsidair hakim wajib melakukan pemeriksaan dan putusan pada dakwaan pertama. Bilamana dakwaan pertama sudah terbukti dan dapat dikenakan pidana, maka dakwaan kedua tidak perlu lagi diperiksa, hal ini berbeda dengan bentuk kumulatif.

Dakwaan Kombinasi.
Surat dakwaan ini adalah dalam bentuk kumulatif, tetapi didalamnya mengandung pula dakwaan primair dan subsidair.
Contoh bentuk kombinasi :
Kesatu : Primer...........................
Subsidair.......................
Kedua : Primer............................
Lebih Subsidair..............

Dasar surat dakwaan
Dalam sistem peradilan pidana di negara Indonesia ini, seseorang hanya dapat di jatuhi suatu pidana setelah pengadilan memeriksa dan memutus perkara tersebut atas dasar surat dakwaan yang Penuntut Umum buat. Sehingga dengan kata lain, isi dari pada suatu surat dakwaan memiliki nilai dan merupakan faktor utama yang mendasari banyak hal lainnnya, dimana surat dakwaan tersebutlah yang menjadi dasar pemeriksaan di pengadilan, dasar penuntutan pidana setelah pemeriksaan, dasar pembelaan terdakwa / penasehat hukumnya dan juga menjadi dasar bagi hakim dalam menjatuhkan suatu putusan. Untuk itu Undang-Undang telah mengaturnya dalam pasal 13-15 KUHAP dan pasal 8, 30 ayat 1a UU No:16 thn 2004. Dan lebih khususnya lagi wewenang membuat surat dakwaan tersebut diatur dalam pasal 14d KUHAP.

Syarat-Syarat Surat Dakwaan ;
Mengenai syarat dalam suatu surat dakwaan, diatur dalam pasal 143 KUHAP, dimana didalamnya ditentukan 2 syarat yang harus dipenuhi dalam surat dakwaan yakni memuat syarat formil dan memuat syarat materil yang harus diberi tanggal dan ditandatanggani oleh penuntut umum.

Bahkan menurut tanya jawab yang dilakukan dengan seorang Jaksa Utama Pratama (Pembina) bernama Hg Zebua di Kejaksaan Tinggi Bandung, selain syarat materil dalam sebuah surat dakwaan harus dicantumkan juga kalimat “Demi Keadilan”, hal ini adalah merupakan pengganti bea meterai yang menyatakan bahwa sebuah surat atau dokumen sah / resmi.
Sebuah surat dapat dikatakan menjadi akta resmi dan berkekuatan hukum jika di bubuhi dengan meterai dalam surat tersebut, dalam hal ini surat dakwaan tidak menggunakan meterai untuk menjadikan surat tersebut merupakan akta resmi /otentik melainkan diganti dengan kalimat “Demi Keadilan” yang dianggap menjadi pengganti bea meterai, sehingga jika kalimat “Demi Keadilan” tersebut tidak ada surat dakwaan tersebut dapat dianggap tidak sah dan dapat batal demi hukum, ini tidak tertuang dalam KUHAP, tetapi diatur dalam Jurisprudensi.

Syarat formal memuat mengenai nama lengkap terdakwa, umur dan tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa (biasanya dilengkapi juga dengan pendidikan terakhir terdakwa).
Sedangkan syarat materil memuat tentang uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dan menyebutkan waktu (tempus delicty) dan tempat (locus delicty) tindak pidana itu dilakukan.
Hal yang sangat penting berhubungan dengan kedua syarat tersebut adalah bahwa dalam KUHAP telah diatur jika syarat materil yang dimaksud tidak memenuhi ketentuan seperti yang telah disyaratkan (pasal 143 ayat 2b KUHAP) maka surat dakwaan tersebut batal demi hukum.

Tetapi sekalipun telah ditentukan seperti demikian, sayangnya para penyusun KUHAP tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan cermat, jelas dan lengkap tersebut, sehingga dalam prakteknya seringkali dijadikan “senjata” oleh terdakwa / advokatnya untuk mengajukan eksepsi agar hakim memutuskan bahwa surat dakwaan tidak jelas / kabur (obscuur libel), atau pun dengan alasan surat dakwaan tersebut tidak cermat, jelas dan lengkap sehingga batal demi hukum.
Dari sini dapat disimak bahwa agar syarat materil ini terpenuhi maka syarat materil tersebut dapat dibagi menjadi 5 bagian, yakni :
Uraian secara cermat tindak pidana yang didakwakan.
Uraian secara jelas tindak pidana yang didakwakan.
Uraian secara lengkap tindak pidana yang didakwakan.
Waktu tindak pidana dilakukan.
Tempat tindak pidana dilakukan.
Kelima hal inilah yang menurut pasal 143 KUHAP harus dipenuhi, dimana jika tidak terpenuhi akan dapat mengakibatkan surat dakwaan tersebut batal demi hukum.

Uraian Cermat, jelas dan lengkap ;
Cermat ; disini pembuat menghendaki agar karakter atau sikap penuntut umum dalam membuat surat dakwaan selalu bersikap cermat dan teliti. Kecermatan itu sendiri meliputi keseluruhan surat dakwaan, baik syarat-syarat formalnya maupun mengenai batang tubuh yang surat yang didakwakan.
Jelas ; disini memiliki pengertian penguraian / penempatan uraian kejadian atau fakta kejadian yang jelas dalam surat dakwaan, sehingga terdakwa dengan mudah dapat memahami apa yang didakwakan terhadap dirinya.
Lengkap ; disini surat dakwaan lengkap bilamana dalam surat dakwaan itu memuat semua unsur-unsur (elemen) tindak pidana yang didakwakan. Unsur-unsur tersebut harus tertulis dalam uraian fakta kejadian yang dituangkan dalam surat dakwaan.

Berikut salah satu contoh Tanggapan terhadap Eksepsi terdakwa dan advokatnya mengenai uraian cermat, jelas dan lengkap oleh Jaksa Penuntut Umum ;

Cermat, artinya :
Surat dakwaan kami telah disusun dengan didasarkan kepada Undang-Undang atau peraturan yang berlaku serta tidak terdapat kekurangan atau kekeliruan, antara lain:
- Penerapan hukum atau ketentuan pidananya sudah tepat,
- Terdakwa dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana.

Jelas artinya :
Bahwa didalam surat dakwaan penuntut umum telah membuat rumusan unsur-unsur delik yang didakwakan dan sekaligus memadukannya dengan uraian perbuatan materil (fakta-fakta dalam berkas perkara ) yang dilakukan oleh terdakwa.

Lengkap :
Uraian surat dakwaan telah mencakup semua unsur-unsur pasal yang didakwakan secara lengkap dengan menguraikan perbuatan materil terdakwa secara tegas sehingga tidak ada alasan mengatakan bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa bukan merupakan tindak pidana.

Setelah surat dakwaan dibacakan dan eksepsi terdakwa (jika ada) ditolak oleh hakim, maka selanjutnya masuk didalam pokok perkara dimana diadakan pemeriksaan dan pembuktian didalam persidangan, dan setelah tahap itu selesai dilakukan barulah Jaksa Penuntut Umum masuk dalam pengembangan terakhir dari surat dakwaannya yakni pembacaan surat tuntutan yang merupakan hasil pemeriksaan di sidang.
Sekalipun dalam KUHAP tidak diatur bahwa surat tuntutan tersebut dapat batal demi hukum atau tidak, tetapi dalam prakteknya jika terdapat surat tuntutan yang “melenceng” atau berbeda dengan isi pokok surat dakwaan atau dengan kata lain memiliki perbedaan mutlak dengan surat dakwaan sebelumnya atau memuat hal-hal yang berbeda dengan fakta dalam pemeriksaan di sidang pengadilan maka surat tuntutan tersebut akan mengakibatkan terdakwa diputus bebas (pasal 191 KUHAP) dan bukan batal demi hukum seperti yang dikenal dalam akibat tidak terpenuhinya syarat materil dalam surat dakwaan.




Bab III
SURAT TUNTUTAN


Hal ini diatur dalam pasal 182 ayat 1c yang isinya “Tuntutan, pembelaan dan jawaban atas pembelaan dilakukan secara tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan kepada hakim ketua sidang dan turunannya kepada pihak yang berkepentingan.”
Surat tuntutan ini harus berisi tuntutan (eis) dari penuntut umum, yaitu apa yang terbukti menurutnya, sesuai dengan fakta persidangan dan alat bukti lain untuk dibahas oleh Majelis Hakim tentnag perkara yang telah dimajukan dalam sidang.
“Dengan perkataan lain surat tuntutan adalah kesimpulan dari penuntut umum terhadap perkara pidana yang dimajukannya”
[7]

Mengenai sistematika dan syarat penyusunan surat tuntutan tidak diatur dalam KUHAP sehingga dalam pledoi terdakwa / advokatnya, pledoi tersebut biasanya diajukan hanya seputar masalah tidak terpenuhi atau tidak terbuktinya terdakwa dengan apa yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum atau mengenai pembelaan bahwa kasus tersebut bukan pidana melainkan masuk dalam perdata dsb, tetapi tidak lagi menyinggung tentang kesalahan sistematika penyusunan tuntutan atau apakah adanya kekurangan syarat dalam surat tuntutan tersebut atau tidak, hal ini berbeda dengan surat dakwaan dimana dalam eksepsinya syarat surat dakwaan hampir selalu terdakwa / advokatnya jadikan salah satu dasar tangkisan terhadap surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum.

Fungsi surat Tuntutan
Dalam sidang Pengadilan fungsi surat tuntutan dapat dilihat dari 3 kepentingan (tiga dimensi), yaitu bagi Jaksa Penuntut Umum sebagai landasan, apakah terdakwa dituntut pemidanaan atau pelepasan dari segala tuntutan atau pembebasan.
Hal ini haruslah ada disebutkan dalam surat dakwaan oleh Jaaksa Penuntut Umum, jika tidak dicantumkan maka tuntutan akan menjadi tidak jelas dan akan dipertanyakan oleh hakim di sidang Pengadilan.

Bagi terdakwa surat tuntutan menjadi bahan untuk pembelaannya, karena terdakwa dapat mengcounter argumentasi yang dimuat Jaksa Penuntut Umum dalam surat tuntutan, bilamana tuntutannya pemidanaan.
Bagi Hakim surat tuntutan dapat menjadi bahan atau memberi corak terhadap putusan yang akan dijatuhkan dan juga memberi bahan konfirmasi terhadap fakta-fakta yang ditemukan dengan yang menjadi bahan bagi keyakinannya.

Dalam hal ini juga Jaksa Penuntut Umum yang mewakili Negara dan masyarakat (khususnya korban), haruslah membuat tuntutan yang sesuai dengan fakta-fakta yang ditemukan dalam persidangan. Fungsinya adalah untuk mencerminkan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, dalam batas-batas ketentuan hukum yang berlaku. Sebagai “wakil” negara daalm melawan terdakwa, seorang Jaksa Penuntut Umum haruslah berlaku objektif dan tidak memihak kepada terdakwa.

Sistematika Penyusunan surat tuntutan
Mengenai sistematika surat tuntutan ini, tidak ada suatu ketentuan mutlak yang mengaturnya, tetapi dalam prakteknya surat tuntutan biasa terbagi dalam 3 bentuk, yakni:
Dalam perkara ringan. biasanya disini Jaksa Penuntut tidak menyusun surat tuntutan, tetapi cukup Jaksa Penuntut Umum mengucapkan tuntutan dan dituliskan dalam formulir tuntutan.
Perkara biasa
Secara sistematis dalam perkara biasa surat tuntutannya berisi :
Identitas terdakwa
Penahanan ; yakni sejak kapan terdakwa ditahan oleh penyidik, oleh Jaksa Penuntut Umum, Majelis Hakim dan juga jika dilakukan perpanjangan penahanan harus dicantumkan.
Dakwaan ; hal ini diambil dari dakwaan sebelumnya.
Fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan ; didalamnya berisi keterangan saksi, keterangan ahli, alat bukti surat dan alat bukti, petunjuk, keterangan terdakwa.
Uraian yuridis ; inilah kunci keberhasilan dari surat tuntutan, karena fakta yang ditemukan harus sesuai dengan unsur-unsur yang didakwakan atau denagn perkataan lain fakta kejadian yang dilakukan terdakwa harus memenuhi unsur-unsur yang didakwakan. Salah satu unsur tidak terpenuhi mengakibatkan pembebasan terdakwa.
Tuntutan
Penutup

Dalam Perkara berbobot.
Surat tuntutan bentuk ketiga yaitu surat tuntutan dalam perkara yang berbobot, atau perkara yang menarik perhatian masyarakat luas atau dahulu dikenal perkara subversi. Sistematikanya sama dengan perkara biasa hanya dalam surat tuntutan berbobot ini selalu dimulai dengan “pendahuluan” sebelum memasuki materi surat tuntutan, hal ini perlu untuk membentuk opini public dan menjelaskan kepada umum bahwa perkara yang sedang disidangkan baik perbuatan terdakwa maupun akibatnya membawa bencana bagi masyarakat, atau dalam pendahuluan bisa digambarkan perbuatan sadis terdakwa yang tidak berperikemanusiaan dsb.
Dalam pendahuluan itu biasanya terdiri dari 3 bagian, yaitu :
Ucapan terima kasih kepada Majelis Hakim
Ucapan terima kasih kepada Penasihat hukum terdakwa
Latar belakang peristiwa pidana serta akibat-akibatnya, sehingga masyarakat memahami peristiwa yang sebenarnya terjadi (mungkin sadisme, rasialisme, makar, dsb)


Bab IV
PENGHENTIAN PENUNTUTAN

Penghentian penuntutan ini termasuk dalam ruang lingkup penuntutan sebagaimana yang tercantum dalam pasal 14 KUHAP huruf h yang berbunyi, “Penuntut Umum berhak menutup perkara demi kepentingan hukum.”
Kemudian sekarang yang menjadi pertanyaan, apa yang dimaksud dengan “Perkara dihentikan demi kepentingan hukum?” dan apa maksud “Perkara ditutup demi hukum?” serta apakah maksud “Penyampingan perkara?”

A. Perkara Dihentikan Penuntutannya Demi Kepentingan Hukum.
Perkara yang dihentikan penuntutannya demi kepentingan hukum adalah perkara yang dihentikan kerena tidak cukup alat bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana. Rumusan ini ditemui dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP halaman 87-88 cetakan ke IV.

Dalam penghentian ini ada 2 permasalahan yakni ;
- Dihentikannya penuntutan : kalimat ini merupakan kalimat pasif, dengan demikian ada factor penyebabnya dihentikan, dan dengan demikian juga maka ada kemungkinan perkara akan dihidupkan kembali bila ada novum, dimana pada saat tuntutan dihentikan novum tersebut belumlah ditemui sehingga perkara tidak memenuhi syarat (unsur) untuk dilimpahkan ke Pengadilan. “Dengan begitu penghentian penuntutan ini sifatnya temporer dan bukan suatu ketetapan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.”
[8] Hal ini juga diperjelas dalam pasal 77 dan 80 KUHAP.
- Demi kepentingan hukum : kalimat ini mengandung arti agar kepastian hukum dan wibawa hukum terjamin. Jika perkara dari semula telah diketahui oleh penuntut umum tidak cukup bukti atau perkara tersebut bukan merupakan tindak pidana maka ia sudah dapat memperkirakan bahwa jika perkara tersebut dilimpahkan ke depan sidang pengadilan, putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim adalah putusan bebas murni. Putusan bebas murni sudah tentu menyangkut kepentingan hukum, untuk apa hukum dimajukan jika dari semula sudah diketahui akhirnya akan bebas murni ? Untuk menjaga kemurnian hukum itulah Jaksa penuntut (dan penyidik) tidak sewenang-wenang dalam penghentian penuntutan (penyidikan), maka pada pihak ketiga yang berkepentingan diberikan hak untuk mengajukan pra-peradilan yang tujuannya adalah bahwa tindakan penghentianpenyidiakn ataupun penuntutan adalah benar demi kepentingan hukum semata.

B. Perkara Ditutup Demi Hukum
Dalam kalimat “perkara ditutup demi hukum” ini ada 2 suku kata yang eprlu dipahami/dibahas maknanya yaitu ; ditutup dan demi hukum.
Kenapa dalam hal ini digunakan kata “ditutup” dan bukan “dihentikan” ?
Untuk menjawab hal tersebut haruslah kita simak pengaturannya terlebih dahulu yakni dalam pasal 76-78 KUHP

Lantas apakah dalam perkara ditutup demi hukum ini dapat dibuka kembali seperti dalam perkara yang dihentikan penuntutannya ?
Kemungkinan perkara hidup kembali setelah ditutup demi hukum sangat tipis sekali atau boleh dikatakan tidak ada kemungkinannya, kecuali alasan menutupi perkara demi hukum, ada perbuatan pidana misalnya, adanya tindakan pemalsuan akte kematian, karena berdasar akte kematian, maka perkara ditutup demi hukum, dimana yang sebenarnya terdakwa masih hidup atau adanya tindakan pemalsuan atau perbuatan lainnya dalam menentukan tenggang waktu kadaluarsa.


C. Penyampingan Perkara
Penyampingan perkara ini dikaitkan dengan penjelasan resmi pasal 77 KUHAP yang berbunyi “yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung.”
Penyampingan perkara ini bukanlah termasuk dalam golongan penghentian penuntutan, karena begitu perkara sudah dikesampingkan, tidak ada kemungkinan lagi untuk di pra-peradilkan, karena dengan penyampingan perkara dianggap perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Penyampingan perkara ini adalah wewenang yang diberikan undang-undang kepada Jaksa Agung RI untuk menyampingkan perkara demi kepentingan umum, adapun dasar penyampingan perkara ini karena hukum acara kita menganut asas oportunitas.



KEPUSTAKAAN


Andi Hamzah. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia 1985
Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Bina Aksara. 1985
Osman Simanjuntak. Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum. 1994
Yahya Harahap. Pembahasan Pemasalahan dan Penerapan KUHAP ; Penyidikan dan Penuntutan. Sinar Grafika. 2003
Penerbit KeJaksaan Agung RI. Pedoman Pembuatan Surat Dakwaan. 1985
UU No. 1 tahun 1946. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
UU No.8 tahun 1981. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
UU No.16 tahun 2004. UU KeJaksaan



[1] Andi Hamzah ; Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia ; Ghalia Indonesia 1985 ( Penulis Mengambil Dari R.Supomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1981, Halaman 112-114 )
[2] Osman Simanjuntak. Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum. 1994. Halaman 108

[3] M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP ; Penyidikan dan
Penuntutan. Sinar Grafika 2003. Halaman 386-387

[4] Andi Hamzah ; Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia 19985. halaman 167

[5] Ibid. halaman 167. Penulis mengutip dari E. Bonn-Sasrodanukusumo. Tuntutan Pidana. Penerbit Siliwangi. Djakarta halaman 236

[6] Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana. Bina Aksara 1985. Halaman 89

[7] Osman Simanjuntak. Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum. 1994. Halaman 118
[8] Osman Simanjuntak. Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum. 1994. Halaman 112