WELCOME FRIENDS

Selamat datang di blog ini, blog ini di tujukan sebagai kumpulan berita, artikel, pesan dan mungkin hasil pemikiran penulis dengan mengangkat tema sentral Hukum Bisnis, akan tetapi para pembaca juga akan di bawa membaca banyak tulisan-tulisan yang muatan secara materinya tidak berhubungan secara langsung dengan Hukum Bisnis saja, seperti contohnya dimasukannya tulisan mengenai Hukum Pidana, Hukum Tata Negara dan sebagainya, walau begitu adalah Hukum Bisnis yang tetap menjadi sentral utama dari materi muatan blog ini.

Selamat membaca dan di tunggu masukan, pendapat dan mungkin kritikan dari kawan-kawan semua.

28 June 2010

ASPEK HUKUM WARALABA SEBAGAI SALAH SATU
PROGRAM KEMITRAUSAHAAN YANG PROSPEKTIF BAGI UKM

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam sejarah perkembangan manusia tidak terdapat seorangpun yang bisa hidup sendiri, terpisah dari kelompok manusia lainnya, kecuali dalam keadaan terpaksa dan itupun hanyalah untuk sementara waktu . Oleh karena sifatnya yang suka bergaul satu sama lain, maka manusia disebut mahluk sosial. Hasrat untuk hidup bersama memang telah menjadi pembawaan manusia , merupakan suatu keharusan badaniah untuk melangsungkan hidupnya, karena tiap manusia mempunyai keperluan sendiri-sendiri dan seringkali keperluan itu searah serta sepadan satu sama lain, sehingga dengan kerjasama tujuan manusia untuk memenuhi keperluan itu akan lebih mudah dan lekas tercapai.
Apabila terjadi ketidakseimbangan hubungan dalam masyarakat, maka akan bisa meningkat menjadi perselisihan dan timbul perpecahan dalam masyarakat. Oleh karena itu dalam masyarakat yang teratur, manusia atau anggota masyarakat itu harus memperhatikan kaidah-kaidah, norma-norma hukum ataupun peraturan-peraturan hidup tertentu yang ada dalam masyarakat di mana ia berada. Utrecht , memberikan batasan hukum sebagai berikut, bahwa hukum itu adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu.
Dari pengertian tersebut tersirat tugas hukum yaitu menjamin kepastian hukum hubungan-hubungan yang terdapat dalam pergaulan kemasyarakatan. Di dalam tugas itu otomatis tersimpul dua tugas lain, yang kadang-kadang tidak dapat disetarakan yaitu hukum harus menjamin keadilan maupun hukum harus tetap berguna.
Dalam jangka panjang, harus diakui bahwa peran Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang jumlahnya sangat dominan dalam struktur perekonomian indonesia sangat strategis dan seharusnya dijadikan landasan pembangunan ekonomi nasional. Namun fakta menunjukan perkonomian Nasional lebih dikuasai oleh segelintir penguasa besar yang ternyata sangat labil terhadap goncangan ekonomi global.
Masalahnya sekarang adalah, bagaimana memperluas dan memberdayakan sosok UKM Indonesia yang cenderung masih menerapkan manajemen tradisional, lemah terhadap akses permodalan, tekhnologi cenderung konvensional, miskin inovasi dan jaringan, sehingga mampu bersama-sama tumbuh dengan perusahaan besar terutama yang berkelas dunia serta bervisi global.
Dalam konteks demikian, pendekatan bisnis melalui sistem waralaba (franchising) merupakan salah satu strategi alternatif bagi pemberdayaan UKM untuk mengembangkan ekonomi dan usaha UKM di masa mendatang. UKM harus mampu membesarkan dirinya secara bersinergi dengan pengusaha besar yang lebih kuat dalam hal manajemen, teknologi produk, akses permodalan. Pemasaran dan lain-lain, sekurang-kurangnya pada tahap awal perkembangannya. Melalui proses kemitraan waralaba yang saling menguntungkan antara UKM (selaku penerima waralaba franchising) dengan pemberi waralaba (franchisoryang umumnya adalah pengusaha besar, diharapkan dapat membuat UKM menjadi lebih kuat dan mandiri.
Mengapa waralaba yang menjadi alternatif pilihan? Karena melalui bisnis waralaba UKM akan mendapatkan: 1) transfer manajemen, 2) kepastian pasar, 3) promosi, 4) pasokan bahan baku, 5) pengawasan mutu, 6) pengenalan dan pengetahuan tentang lokasi bisnis, 7) pengembangan kemampuan sumberdaya manusia, dan yang paling terpenting adalah risiko dalam bisnis waralaba sangat kecil (data empirismenunjukkan bahwa resiko bisnis waralaba kurang dari 8%.
Di Indonesia usaha waralaba ini sudah mulai berkembang sejak tahun 1985 pada berbagai skala usaha terutama bisis makanan seperti: Pizza Hut, Kentucky Fried Chicken, Mc Donald, dalam bisis eceran seperti: Carrefour, Smart, dll. Fakta menunjukkan, bahwa waralaba yang lebih berkembang di Indonesia adalah waralaba yang sumber teknologinya datang dari luar negeri sebagai pemilik Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right).
Implikasinya, sebagian besar pendapatan yang diperoleh dari bisnis waralaba tersebut mengalir ke kantong pengusaha di luar negeriuntuk pembayaran royalti secara terus menerus. Maka dalam rangka memperkuat perekonomian negara perlu dikembangkanbisnis waralaba lokal. Saat ini terdapat 42 perusahaan waralaba lokal jauh lebih sedikit jumlahnya dari waralaba asing yang jumlahnya mencapai 230 perusahaan. Pengembangan waralaba lokal diarahkan dalam rangka memperluas kesempatan berusaha dan kesempatan kerja dimana peran koperasi dan UKM baik sebagai pemberi waralaba maupun penerima waralaba perlu lebih ditingkatkan.


BAB II
PERKEMBANGAN WARALABA DI INDONESIA

Waralaba adalah bentuk kerjasama dimana pemberi waralaba (franchisor) memberikan izin/hak kepada penerima waralaba (franchisee) untuk menggunakan hak intelektualnya seperti nama, merek dagang, produk/jasa, sistem operasi usahanya dalam jangka waktu tertentu. Sebagai timbal balik, penerima waralaba (franchisee) membayar suatu jumlah teretentu serta mengikuti sistem yang ditetapkan franchisor.
Waralaba merupakan sistem keterkaitan usaha vertikal antara pemilik paten yang menciptakan paket teknologi bisnis (franchisor) dengan penerima hak pengelolaan operasional bisnis (franchisee). Jadi sesungguhnya waralaba dapat dikatakan sebagai teknik menjual “Sukses” dari usaha yang sudah berhasil.
Bisnis waralaba dicirikan dengan adanya:
- Franchistor yang menawarkan paket usaha.
- Franchisee yang memiliki unit usaha (outlet) yang memanfaatkan paket usaha milik franchisor.
- Ada kerjasama antara franchisor dan franchisee dalam hal pengelolaan unit usaha.
- Ada kontak tertulis yang mengatur kerjasama.
Hubungan kerjasama antara franchisor dan francisee merupakan aspek yang sangat kritikal dalam waralaba. Sukses keduanya tergantung kepada sinerji dari hubungan kedua belah pihak tersebut. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa bisnis waralaba mengandalkan pada kemampuan mitra usaha dalam mengembangkan dan menjalankan kegiatan usaha waralaba melalui tatacara, proses serta suatu “Code of Conduct” dan sistem yang telah ditentukan oleh perusahaan pemberi waralaba.

Apa saja usaha yang dapat diwaralabakan? Ada lima syarat minimal suatu usaha dapat diwaralabakan yaitu: a) memiliki keunikan, b) terbukti telah berhasil, c) standart, d) dapat diajarkan/diaplikasikan dan, e) menguntungkan.
Kirteria pertama menunjuk pada keunggulan spesifik yang tidak dipunyai oleh pesaing-pesaing didalam industrinya dan tidak mudah ditiru. Usaha yang akan diwaralabakan harus terbukti dan teruji (track record), misalnya terbukti menguntungkan dan teruji dapat bertahan dalam masa-masa sulit. Usaha waralaba sangat memerlukan standarisasi sehingga kerangka kerjanya harus jelas dan sama. Harus mudah diaplikasikan (aplicable) dan mudah dijalankan oleh orang lain (transferable), serta harus menguntungkan yang dibuktikan dengan penerimaan produknya oleh pelanggan (consumers base).
Saat ini di Indonesia berkembang dua jenis waralaba yaitu:
1) Waralaba produk dan merek dagang yaitu pemberian hak izin dan pengelolaan dari franchisor kepada penerima waralaba (franchisee) untuk menjual produk dengan menggunakan merek dagang dalam bentuk keagenan, distributor atau lesensi penjualan. Franchisor membantu franchisee untuk memilih lokasi yang aman dan showroom serta menyediakan jasa orang untuk membantu mengambil keputusan “do or not”.
2) Waralaba format bisnis yaitu sistem waralaba yang tidak hanya menawarkan merek dagang dan logo tetapi juga menawarkan sistem yang komplit dan konprehenship tentang tatacara menjalankan bisnis. Jenis waralaba yang banyak berkembang di Indonesia saat ini adalah jenis waralaba format bisnis.


Perkembangan Waralaba di Indonesia
Bisnis waralaba di Indonesia mulai marak pada sekitar tahun 1970an dengan bermunculannya restaurant-restaurant cepat saji (fast food) seperti Kentucky Fried chiken dan Pizza Hut. Hingga tahun 1992 jumlah perusahaan waralaba di Indonesia mencapai 35 perusahaan, 6 di antaranya adalah perusahaan waralaba lokal dan sisanya (29) adalah waralaba asing.

Perkembangan Waralaba Asing
Perkembangan waralaba asing dari tahun ke tahun berkembang pesat sebesar 710% sejak tahun 1992 hingga tahun 1997, sedangkan perkembangan waralaba lokal hanya meningkatkan sebesar 400% (dari sejumlah 6 perusahaan menjadi 30 perusahaan).
Namun sejak krisis moneter tahun 1997, jumlah perusahaan waralaba asing mengalami penurunan pertumbuhan sebesar -9.78% dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2001. Hal ini disebabkan karena terpuruknya nilai rupiah sehingga biaya untuk franchise fee dan royalti fee serta biaya bahan baku, peralatan dan perlengkapan yang dalam dollar menjadi meningkat. Hal tersebut mempengaruhi perhitungan harga jual produk atau jasanya di Indonesia. Sebaliknya waralaba lokal mengalami peningkatan pertumbuhan rata-rata sebesar 30%. Pada tahun 2001 jumlah waralaba asing tumbuh kembali sebesar 8.5% sedangkan waralaba lokal meningkat 7.69% dari tahun 2000.

Menurut Anang Sukandar, ketua asosiasi franchise Indonesia (2002) bisnis waralaba lokal merupakan usaha yang prospektif di kembangkan di Indonesia. Berdasarkan analisa SWOT, juga dapat disimpulkan bahwa bisnis waralaba sangat cocok dikembangkan oleh UKM.
Fenomena di atas menunjukkan adanya peluang bagi waralaba lokal untuk meningkatkan peranannya dalam bisnis waralaba, OIeh karena itu. pemerintah perlu mengambil langkah-langkah kebijakan bagi tumbuh kembangnya bisnis waralaba lokal. Hal ini dapat dilakukan antara lain melalui penumbuhan pengusaha-pengusaha baru serta memberdayakan UKM dan koperasi dalam bisnis waralaba baik sebagai penerima waralaba (franchisee) maupun sebagai pemberi waralaba (franchisor).



BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG KEMITRAAN USAHA

A. Pengaturan Mengenai Kemitraan
Berbicara mengenai pengaturan kemitraan, berarti membicarakan hukum yang mengatur masalah kemitraan. Hukum tersebut dimaksudkan untuk memberikan rambu-rambu terhadap pelaksanaan kemitraan agar dapat memberikan dan menjamin keseimbangan kepentingan di dalam pelaksanaan kemitraan. Di dalam melakukan inventarisasi hukum di bidang kemitraan, yang perlu kita pahami adalah terdapat tiga konsep pokok mengenai hukum, yaitu:
1. Hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau oleh pejabat negara yang berwenang.
2. Hukum dikonstruksikan sebagai pencerminan dari kehidupan masyarakat itu sendiri (norma tidak tertulis).
3. Hukum identik dengan keputusan hakim (termsuk juga) keputusan-keputusan kepala adat.
Senada dengan hal tersebut di atas, Soetandyo dalam bukunya Bambang Sunggono mengkonsepsikan tiga konsepsi utama tentang hukum yaitu:
1. Konsepsi kaum legis-positivis, yang menyatakan bahwa hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat serta diundangkan oleh lembaga atau pejabat negara yang berwenang.
2. Konsepsi yang justru menekankan arti pentingnya norma-norma hukum tak tertulis untuk disebut sebagai (norma) hukum. Meskipun tidak tertuliskan tetapi apabila norma-norma ini secara de facto diikuti dan dipatuhi oleh masyarakat (rakyat) setempat, maka norma-norma itu harus dipandang sebagai hukum.
3. Konsepsi yang menyatakan bahwa hukum itu identik sepenuhnya dengan keputusan-keputusan hakim.
Kemudian akan ditunjukkan beberapa peraturan yang terkait dan mengatur mengenai kemitraan usaha ini adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
Undang-Undang ini lahir untuk memberikan landasan hukum (yuridis) bagi pemberdayaan usaha kecil, sebab dalam pembangunan nasional usaha kecil sebagai bagian integral dunia usaha yang merupakan kegiatan ekonomi rakyat mempunyai kedudukan, potensi dan peran yang strategis untuk mewujudkan struktur perekonomian nasional yang makin seimbang berdasarkan demokrasi ekonomi.
Dalam arti umum, demokrasi adalah pemerintahan atau pengaturan tata kehidupan masyarakat/bangsa oleh rakyat, artinya seluruh warga negara, besar maupun kecil, terlibat dalam pengambilan setiap keputusan yang menyangkut kehidupan mereka. Menurut penjelasan resmi Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa, dalam bunyi ayat 1 Pasal 33 ini tercantum (pengertian) dasar demokrasi ekonomi. Dan demokrasi ekonomi diartikan sebagai produksi dikerjakan oleh semua, (dan) untuk semua, dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Dalam perekonomian yang dasarnya adalah demokrasi ekonomi, kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran perorangan, sebab kalau tidak, tampuk produksi (akan) jatuh ke tangan orang seorang yang (kebetulan) berkuasa, dan rakyat yang banyak (tidak urung akan) ditindasinya .
Kemudian menurut Martin Cornoy dan Derek Shearer dalam buku Economic Democracy, menyatakan bahwa demokrasi ekonomi adalah: Currently United States is a mixed economy-acombination of planning and market relationship-but the planning is carried out either by large corporations in their own interest or by government in the service of corporate interests. Under economic demokrasy, the rules of the market game would be changed; there would be more player (Cooperatives, worker-owned firm, community development corporations public enterprises), and the relationships between the player would be more balanced. The invisible hand work anly when producers and consumers are relatively equal in terms of knowledge and power.
Di dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil tersebut diatur mengenai kriteria usaha kecil, tujuan pemberdayaan usaha kecil, iklim usaha bagi pengembangan usaha kecil dan pola-pola kemitraan.

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan
Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil. Salah satu cara/upaya dalam rangka pemberdayaan usaha kecil adalah dengan kemitraan. Dalam Ketentuan Umum Peraturan Pemerintah Nomor. 44 Tahun 1997 terutama dalam Pasal 1 menyatakan bahwa:
“Kemitraan adalah kerjasama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah dan atau dengan Usaha Besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah dan atau Usaha Besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan”.
Oleh sebab itu untuk mempercepat terwujudnya kemitraan keluarlah peraturan tersebut di atas yang mengatur mengenai tata cara penyelenggaraan, pembinaan dan pengembangannya. Sebenarnya pemerintah telah melakukan pembinaan dan pengembangan bagi kemitraan antara usaha besar dan kecil telah dimulai Tahun 1984 yaitu dengan Undang-Undang Nomor. 5 tahun 1984 yaitu Undang-Undang Pokok Perindustrian.
Namun gerakan kemitraan ini lebih berdasarkan himbauan dan kesadaran karena belum ada peraturan pelaksanaan yang mengatur kewajiban perusahaan secara khusus dan disertai dengan sanksinya. Kemudian dalam Kepmenkeu RI No. 316/KMK.016/1994 sebagaimana telah dirubah dengan Kepmenkeu RI No. 60/KMK.016/1996 tentang “Pedoman Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi Melalui Pemanfaatan Dana dari Bagian Laba BUMN”, mewajibkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyisihkan dana pembinaan sebesar 1% - 3% dari keuntungan bersih, sistem keterkaitan Bapak Angkat Mitra Usaha, penjualan saham perusahaan besar yang sehat kepada koperasi dan lain sebagainya.
Berikutnya pada tahun 1996 dicanangkan Gerakan Program Kemitraan Usaha Nasional (KUN) oleh Bapak Presiden. Dalam Program Kemitraan Usaha Nasional (KUN)9 yang telah tersusun atas prakarsa Badan Pengurus Deklarasi Jimbaran-Bali dengan Departemen Koperasi atau Pembinaan Pengusaha Kecil, Pemerintah menekankan bahwa kemitraan usaha merupakan upaya yang tepat untuk memadukan kekuatan-kekuatan ekonomi nasional.




3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor. 99 Tahun 1998 tentang Bidang/Jenis Usaha Yang Dicadangkan Untuk Usaha Kecil dan Bidang/Jenis Usaha Yang Terbuka Dengan Syarat Kemitraan
Keputusan Presiden ini dikeluarkan dengan tujuan untuk memberdayakan dan memberikan peluang berusaha kepada usaha kecil agar mampu mewujudkan peran sertanya dalam pembangunan nasional. Keppres tertanggal 14 Juli 1998 ini memuat delapan pasal yang menjabarkan bidang-bidang usaha yang dicadangkan untuk usaha kecil antara lain bidang pertanian, perkebunan, peternakan, periklanan, industri makanan atau minuman, industri tekstil dan industri percetakan.
Semua bidang usaha tersebut di atas wajib bermitra dengan usaha kecil dalam pelbagai bentuk kemitraan melalui penyertaan saham, inti plasma, sub kontrak, waralaba, perdagangan umum, keagenan dan bentuk lainnya melalui suatu perjanjian tertulis.

a. Pengertian Kemitraan
(1) Pengertian Menurut Para Sarjana
Terdapat adanya perbedaan pendapat diantara para sarjana mengenai pengertian kemitraan. Untuk menambah dan memperkaya pemahaman kita mengenai kemitraan, maka akan dipaparkan beberapa pengertian kemitraan menurut para sarjana di antaranya adalah:
a. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia:
Arti kata mitra adalah teman, kawan kerja, pasangan kerja, rekan. Kemitraan artinya: perihal hubungan atau jalinan kerjasama sebagai mitra.
b. Dr. Muhammad Jafar Hafsah:
Kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Karena merupakan strategi bisnis maka keberhasilan kemitraan sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan diantara yang bermitra dalam menjalankan etika bisnis.
c. Ian Linton:
Kemitraan adalah sebuah cara melakukan bisnis di mana pemasok dan pelanggan berniaga satu sama lain untuk mencapai tujuan bisnis bersama.
d. Keint L. Fletcher:
Partnership is the relation which subsists between persons carrying on a business in common with a view of profit.

(2) Pengertian Munurut Peraturan Perundangan
Telah dipaparkan di atas, berbagai definisi dari para sarjana mengenai kemitraan, selanjutnya akan dilihat definisi menurut peraturan perundang-undangan yang telah dibakukan sebagai berikut:
a. Menurut Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Pasal 1 angka 8.
“Kemitraan adalah kerja sama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau dengan Usaha Besar disertai pembinaan dan Pengembangan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar dengan memperlihatkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan”.
b. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor. 44 Tahun 1997 tentang kemitraan, Pasal 1 angka 1. “Kemitraan adalah kerja sama usaha antar Usaha Kecil dengan Usaha Menengah dan atau Usaha Besar dengan memperlihatkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan”.
b. Unsur-Unsur Kemitraan
Pada dasarnya kemitraan itu merupakan suatu kegiatan saling menguntungkan dengan pelbagai macam bentuk kerjasama dalam menghadapi dan memperkuat satu sama lainnya. Julius Bobo menyatakan, bahwa tujuan utama kemitraan adalah untuk mengembangkan pembangunan yang mandiri dan berkelanjutan (Self-Propelling Growth Scheme) dengan landasan dan struktur perekonomian yang kukuh dan berkeadilan dengan ekonomi rakyat sebagai tulang punggung utamanya.
Dalam konsep kerjasama usaha melalui kemitraan ini, jalinan kerjasama yang dilakukan antara usaha besar atau menengah dengan usaha kecil didasarkan pada kesejajaran kedudukan atau mempunyai derajat yang sama terhadap kedua belah pihak yang bermitra. Ini berarti bahwa hubungan kerjasama yang dilakukan antara pengusaha besar atau menengah dengan pengusaha kecil mempunyai kedudukan yang setara dengan hak dan kewajiban timbal balik sehingga tidak ada pihak yang dirugikan, tidak ada yang saling mengekspoitasi satu sama lain dan tumbuh berkembangnya rasa saling percaya di antara para pihak dalam mengembangkan usahanya.

Prinsip Saling Memerlukan
Menurut John L. Mariotti kemitraan merupakan suatu rangkaian proses yang dimulai dengan mengenal calon mitranya, mengetahui posisi keunggulan dan kelemahan usahanya. Pemahaman akan keunggulan yang ada akan menghasilkan sinergi yang bedampak pada efisiensi, turunnya biaya produksi dan sebagainya. Penerapannya dalam kemitraan, perusahaan besar dapat menghemat tenaga dalam mencapai target tertentu dengan menggunakan tenaga kerja yang dimiliki oleh perusahaan yang kecil.
Sebaliknya perusahaan yang lebih kecil, yang umumnya relatif lemah dalam hal kemampuan teknologi, permodalan dan sarana produksi melalui teknologi dan sarana produksi yang dimiliki oleh perusahaan besar. Dengan demikian sebenarnya ada saling memerlukan atau ketergantungan diantara kedua belah pihak yang bermitra.

Prinsip Saling Memperkuat
Dalam kemitraan usaha, sebelum kedua belah pihak memulai untuk bekerjasama, maka pasti ada sesuatu nilai tambah yang ingin diraih oleh masing-masing pihak yang bermitra. Nilai tambah ini selain diwujudkan dalam bentuk nilai ekonomi seperti peningkatan modal dan keuntungan, perluasan pangsa pasar, tetapi juga ada nilai tambah yang non ekonomi seperti peningkatan kemampuan manajemen, penguasaan teknologi dan kepuasan tertentu.
Keinginan ini merupakan konsekwensi logis dan alamiah dari adanya kemitraan. Keinginan tersebut harus didasari sampai sejauh mana kemampuan untuk memanfaatkan keinginan tersebut dan untuk memperkuat keunggulan-keunggulan yang dimilikinya, sehingga dengan bermitra terjadi suatu sinergi antara para pelaku yang bermitra sehingga nilai tambah yang diterima akan lebih besar.

Prinsip Saling Menguntungkan
Salah satu maksud dan tujuan dari kemitraan usaha adalah “win-win solution partnership” kesadaran dan saling menguntungkan. Pada kemitraan ini tidak berarti para partisipan harus memiliki kemampuan dan kekuatan yang sama, tetapi yang essensi dan lebih utama adalah adanya posisi tawar yang setara berdasarkan peran masing-masing. Pada kemitraan usaha terutama sekali tehadap hubungan timbal balik, bukan seperti kedudukan antara buruh dan majikan, atau terhadap atasan kepada bawahan sebagai adanya pembagian resiko dan keuntungan proporsional.

c. Tujuan Kemitraan
Kenyataan menunjukkan bahwa Usaha Kecil masih belum dapat mewujudkan kemampuan dan peranannya secara optimal dalam perekonomian nasional. Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa Usaha Kecil masih menghadapi berbagai hambatan dan kendala, baik yang bersifat eksternal maupun internal, dalam bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia, dan teknologi, serta iklim usaha yang belum mendukung bagi perkembangannya.
Sehubungan dengan itu, Usaha Kecil perlu memberdayakan dirinya dan diberdayakan dengan berpijak pada kerangka hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 demi terwujudnya demokrasi ekonomi yang bedasar pada asas kekeluargaan.
Pemberdayaan Usaha Kecil dilakukan melalui:
a. Penumbuhan iklim usaha yang mendukung bagi pengembangan Usaha Kecil;
b. Pembinaan dan pengembangan Usaha Kecil serta kemitraan usaha.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka untuk menghasilkan tingkat efisiensi dan produktivitas yang optimal diperlukan sinergi antara pihak yang memiliki modal kuat, teknologi maju, manajemen modern dengan pihak yang memiliki bahan baku, tenaga kerja dan lahan. Sinergi ini dikenal dengan kemitraan. Kemitraan yang dihasilkan merupakan suatu proses yang dibutuhkan bersama oleh pihak yang bermitra dengan tujuan memperoleh nilai tambah. Hanya dengan kemitraan yang saling menguntungkan, saling membutuhkan dan saling memperkuat, dunia usaha baik kecil maupun menengah akan mampu bersaing.


BAB IV
ASPEK HUKUM WARALABA SEBAGAI SALAH SATU PROGRAM KEMITRAUSAHAAN YANG
PROSPEKTIF BAGI UKM

Waralaba merupakan prospek bisnis bagi UKM karena sudah terbukti dapat meningkatkan akses pasar UKM, mensinergikan perkembangan usaha besar dengan UKM melalui kemitraan, serta mempercepat mengatasi persoalan kesenjangan kesempatan berusaha antara golongan ekonomi kuat yang sudah mempunyai jejaring dengan golongan ekonomi lemah, Sistem ini juga mempercepat pemanfaatan produk dan jasa untuk didistribusikan ke daerah-daerah, karena sistem ini memungkinkan partisipasi dari sumberdaya daerah terlibat hingga ketingkat kecamatan, bahkan sampai ke pedesaan.
Oleh karena itu pertanyaan yang masih perlu dicarikan jawabannya ke depan adalah pertama, bagaimana upaya mendorong pengusaha UKM Untuk ambil bagian dalam bisnis waralaba berteknologi maju tersebut sehingga mereka bisa lebih terberdayakan, yang pada gilirannya diharapkan mampu mengembangkan dirinya secara berkelanjutan, kedua, sejalan dengan itu bagaimana upaya membangun dan menumbuh-kembangkan sistem waralaba yang asli hasil inovasi teknologi dalam negeri agar baik multiplier pendapatan maupun tenaga kerja seluruhnya dapat dinikmati oleh masyarakat banyak.
UKM dengan segala kendala yang dimilikinya dapat dan mampu memanfaatkan sistem waralaba dalam mengembangkan usahanya terutama sebagai penerima waralaba (franchisee), karena:
a) UKM mendapat pelatihan khusus yang telah terstruktur dari pihak franchisor untuk mengatasi kendala pengetahuan yang dimiliki oleh UKM. Di samping itu, franchisee (dalam hal ini UKM) dapat memanfaatkan pengalaman, organisasi & manajemen kantor franchisor; walaupun dia tetap mandiri dalam menjalankan bisnisnya sendiri.
b) UKM jelas akan mengeluarkan biaya yang lebih rendah dibandingkan bila UKM mencoba menjalankan bisnis sejenis secara mandiri. Hal ini dimungkinkan karena franchisor tidak lagi memperhitungkan biaya-biaya percobaan Yang telah dilakukannya.
c) UKM mendapat keuntungan untangible dengan resiko yang lebih rendah karena produk yang dihasilkannya sudah mempunyai brand name yang mapan dalam pandangan & pikiran konsumen. Disamping itu, franchisee (UKM) mendapat keuntungan dm"i pcnggunaan paten, merk dagi.mg, hak cipta, rabasia dagang, proses, [orIllula dari pihakfi'ancllisol: d) UKM dapat memanfaatkan hasil penelitian & pengembangan franchisor dalam memperbaiki bisnis sehingga bisnis tersebut tetap kornpetitif.
e) UKM mendapat bantuan dari franchisor dalam memilih lokasi usaha berdasarkan pengalaman franchisor. Hal tersebut menguntungkan karena salah satu faktor kunci kesuksesan bisnis waralaba adalah pemilihan lokasi yang tepat dan strategis dari sisi pasar.
Dengan demikian bisnis waralaba merupakan peluang Yang sangat menjanjikan bagi pengusaha UKM yang mau mengembangkan usahanya. Walaupun bisnis waralaba sangat menjanjikan, akan tetapi setiap usaha bisnis selalu mempunyai potensi resiko, oleh karena itu pengelolaan bisnis secara profesional merupakan tuntutan persyaratan untuk keberhasilan. Untuk itu diperlukan pemikiran yang cermat apabila pengusaha UKM telah mengambil keputusan untuk terjun dalam bisnis waralaba.
Untuk memilih bentuk dan jenis waralaba yang akan dibeli, setiap UKM harus memperhatikan manajemen, prosedur, etika dan filosofi dari waralaba yang ingin dipilih, yaitu bagamana jaringan waralaba dimulai, seberapa luas jaringan waralaba, apakah waralaba tersebut sudah mapan di pasar atau sedang bertumbuh, investasi seperti apa yang dibutuhkan dll. Untuk itu hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum UKM memasuki bisnis waralaba adalah:
1. Menyeleksi waralaba Yang akan dipilih.
2. Meyakinkan motivasi untuk berbisnis waralaba.
3. Menghubungi waralaba yang mempunyai prospektif baik.
4. Menyelidiki sistem waralaba yang akan dipilih.
5. Mengevaluasi kesempatan dan tantangan waralaba yang bersangkutan.
6. Mempelajari sistem manajemen korporasinya.
7. Memilih format bisnis waralaba yang akan dijalankan.
8. Melakukan kontrak kerjasama bisnis waralaba.
Adapun peluang keuntungan UKM apabila menjalankan bisnis waralaba sebagai penerima waralaba (franchisee) adalah sebagai berikut:
1. Memperoleh program pelatihan yang terstruktur dari franchisor:
2. Memperoleh insentif memiliki bisnis sendiri dengan bantuan manajemen secara terus-menerus.
3. Mendapat keuntungan dari kegiatan operasioanal di bawah nama dagang yang telah mapan di masyarakat.
4. Membutuhkan modal yang lebili kecil.
5. Risiko bisnis relatif kecil.
6. Memperoleh dukungan riset dan pengembangan dari franchisor:
7. Mendapat dukungan untuk akses kesumber-sumber pinjaman modal.
Sedangkan peluang kerugian UKM sebagai franchisee adalah:
1. Adanya keharusan untuk membayar royalti fee kepada franchisor untuk penggunaan sistem waralaba.
2. Kemungkinan kerjasama dan kualitas dukulngan franchisor yang tidak konsisten sesuai kontrak kerjasama.
3. Ketergantungan yang besar kepada franchisor sehingga menjadi kurang mandiri.
4. Reputasi dan citra bisnis yang diwaralabakan menurun di luar kontrol franchisor dan franchisee.
Apabila UKM telah memiliki sistem, peralatan, pembukuan dan pelatihan serta memiliki usaha yang menguntungkan (profitable) dan dapat diaplikasikan maka usaha tersebut dapat dikembangkan melalui sistem waralaba. Dalam hal ini UKM adalah sebagai pemberi waralaba (franchisor). Beberapa keuntungan UKM apabila mengembangkan usaha sebagai franchisor dengan menggunakan sistem waralaba adalah:
(1) UKM akan lebih cepat dalam perluasan usahanya karena tidak perlu mempersiapkan modal, tenaga dan waktu yang sangat besar untuk mendirikan outlet baru.
(2) UKM hanya memerlukan modal yang relatif lebih sedikit untuk memperluas usahanya karena outlet didirikan dan dimiliki oleh franchisee dengan modal investasi dan biaya praoperasional ditanggung oleh franchisee. Modal yang diperlukan untuk pengembangan usaha relatif hanya untuk sistem franchise.
(3) UKM franchisor akan lebih mudah dalam mengelola outlet karena franchisee telah mengeluarkan dana investasi yang cukup besar sehingga motivasi franchisee untuk sukses sangat tinggi.
(4) Biaya operasional relatif berkurang karena biaya operasional outlet menjadi tanggung jawab franchisee.
(5) Posisi tawar menawar (bargaining position) dengan supplier maupun dalam hal pemasaran semakin tinggi apabila memiliki cabang lebih banyak dibandingkan jika hanya memiliki satu atau dua outlet saja.
(6) UKM sebagai pemberi waralaba (franchisor) akan menerima royalti fee dan imbalan lainnya yang dibayarkan oleh franchisee walaupun jumlahnya tidak terlalu besar tetapi jika dikaitkan dengan pembukaan outlet yang banyak dan dikaitkan dengan resiko usaha yang ditanggung maka tingkat pengembalian investasi bisnis waralaba cukup tinggi.



Mengamati peluang keuntungan di atas baik bagi UKM franchisee maupun UKM franchisor maka jelas tergambar adanya pembagian tanggung jawab resiko bisnis. dari sisi pemegang paten, ini merupakan salah satu strategi pemasaran, sedangkan dagi pembeli hak waralaba merupakan "start-up of new business". Selain itu salah satu ciri menonjol dari warulaba adalah perusahaan bisnis baru Yang lebih cepat meraih keuntungan. Artinya, dengan manajemen moderen pada tahun pertama sudah dapat memberikan keuntungan.
Agar keuntungan tersebut dapat diwujudkan, manajemen pengelola waralaba dituntut agar (a) maupun memberikan informasi yang akurat mengenai posisi keuangan kepada franchisor sesuai dengan perjanjian yang di sepakati kedua belah pihak, (b) mampu mengendalikan usaha secara mandiri, (c) mentaati seluruh program pelatihan yang diselenggarakan oleh franchisor, (d) mampu aktif berperan serta dalam meningkatkan hubungan harmonis dan saling menguntungkan antara franchisee dan franchisor.

Aspek Hukum dari Franchise
Meskipun belum diantisipasi, apalagi diatur secara eksplisit dalam perangkat hukum nasional, istilah franchise telah menjadi bagian dari praktek bisnis di Indonesia yang tidak saja menguasai barang-barang konsumen, tapi juga segala bentuk jasa. Mulai dari jenis fast food seperti Kentucky Fried Chicken, McDonald’s, Pizza Hut, sampai ke fitness centre. Tidak jarang sampai mengakibatkan perang dagang antara sesama pemegang franchise.
Sekarang lembaga ini diakui tidak saja sebagai alat untuk mendorong investasi pada skala internasional tapi juga sebagai teknik pemasaran yang membantu perkembangan bisnis kecil lokal. Untuk Indonesia, kondisi itu dipengaruhi banyak oleh deregulasi yang dilakukan pemerintah dalam bidang bisnis. Di negara-negara lain gelombang franchise bergulir lebih cepat lagi. Departemen perdagangan AS, yang dikutip oleh Internationale Financial Law Review, memperkirakan bahwa dalam 10 tahun mendatang sekitar setengah dari perdangan AS akan dikuasai oleh franchise. Beberapa negara bagian telah mengantisipasi gejala ini dengan menyiapkan perangkat hukum, seperti Californias’s Franchise Investment Law yang dibuat tahun 1970.
Di Eropa, masyarakat Eropah secara bersama juga telah menyusun franchising agreement regulation pada tahun 1988 yang memberi jaminan kebebasan negara-negara itu melakukan monopoli untuk kegiatan franchising. Sebelumnya negara-negara itu terikat pada larangan monopoli yang dianut dalam perjanjian Roma.
Di kawasan Asean, perkembangan franchise terasa semakin kuat. Tidak hanya di dunia bisnis saja, tapi juga dikalangan hukum yang telah membahas implikasi hukum dari franchise lewat konferensi ALA (Asean Law Association) di Bali meskipun baru menghasilkan rekomendasi.

Bentuk Franchise
Melihat berbagai modifikasi yang berkembang dalam praktek, East Asean Aexecutive Report tahun 1983 menggolongkan franchise ke dalam beberapa kategori:
Pertama, adalah produk franchise, di mana penerima franchise hanya bertindak mendistribusikan saja produk dari partnernya dengan pembatasan areal, seperti pengecer bahan bakar Shell atau British Petroleum.
Kedua, adalah processing or manufacturing franchise di mana pemberi franchise hanya memegang peranan memberi know-how dari suatu proses produksi seperti minuman Coca-Cola atau Fanta.
Ketiga, adalah business format/system franchising, di sini pemberi franchising sudha memberi cara yang unik dalam satu paket, bentuk yang dilakukan oleh Burger King, Kentucky Fried Chicken, Big Rooster, Pizza Hut, Dunkin Donuts yang menunjuk cara unik dalam penyajian pada konsumen.

Perlindungan Hukum
Di Indonesia kebetulan franchise selama ini belum banyak menimbulkan problem hukum. Memang ada kemungkinan ada masalah itu muncul tetapi tidak anel dalam dunia bisnis komentar Prof. Dr. Sudargo Gautama. Walaupun demikian sebaliknya masalah franchise ditampung dalam perangkat hukum nasional.
Di Indonesia masalah hak milik intellektual dalam beberapa aspek sudah diatur lewat undang-undang hak cipta, undang-undang hak patent, dan undang-undang perindustrian. Begitu juga UU Merek yang meskipun memerlukan revisi cukup memberi perlindungan hukum pemilik hak intelektual. Yang perlu dipersoalkan adalah bagaimana memberikan perlindungan pada investor, karena banyaknya penawaran yang menggiurkan dari franchisor serig kali membuat para investor bersedia mengikuti segala kemauan, prosedur, dan klausula yang diajukan.
Franchisor hampir tak memiliki resiko yang langsung, sementara franchisee selain berhadapan dengan resiko investasi, resiko persaingan, kesalahan manajemen, dan pangsa pasar, juga harus membayar royalty. Belum lagi menghadapi resiko perlakukan tak adil berupa mekanisme kontrol yang berlebihan, pencabutan franchise atau memberikannya kepada pengusaha lain.

Choice of Law
Kalaupun belum ada perangkat hukum yang mengatur tentang franchise di Indonesia, menurut Prof. Gautama, perlindungan tetap bisa dilakukan melalui konrak franchise yang dibuat pihak-pihak yang terlibat. “Sebab KUHPerdata yang sekarang berlaku, secara tegas mengakui bahwa perjanjian yang disepakati oleh beberapa pihak, mengikat mereka sebagai hukum”.
Hal itu juga dikuatkan oleh T. Mulya Lubis SH, LLM. Yang melemparkan alternatif choice of law atau pilihan hukum. “Kalaupun kalangan pengusaha domestik maupun asing belum percaya pada sistim peradilan Indonesia, mereka masih memiliki alternatif dengan membuat choice of law dalam kontrak yang dibuat”. Artinya, jika ada perselisihan bisa dipilih forum yang menangani dan hukum yang diterapkan.



BAB V
SIMPULAN

1. Franchising merupakan fenomena bisnis yang baru dalam bidang manajemen dan bisnis.
2. Salah satu keunggulan sistem franchise adalah kemampuannya mendukung kecepatan bertumbuh. Hal ini dimungkinkan karena tumbuhnya usaha dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya di luar perusahaan induk dan juga eneergi wira usaha yang berstatus sebagai pemilik dari unit usaha yang seragam. Kecepatan pertumbuhan unit usaha dalam sistem ini perlu dimanfaatkan untuk mengatasi kebutuhan pemerataan distribusi barang.
3. Aturan mengenai sistem ini memang belum ada sehingga baik franchisor maupun franchisee harus menggantungkan pada kesepakatan yang tertuang dan tertulis dalam kontrak kerja sama.

No comments: