WELCOME FRIENDS

Selamat datang di blog ini, blog ini di tujukan sebagai kumpulan berita, artikel, pesan dan mungkin hasil pemikiran penulis dengan mengangkat tema sentral Hukum Bisnis, akan tetapi para pembaca juga akan di bawa membaca banyak tulisan-tulisan yang muatan secara materinya tidak berhubungan secara langsung dengan Hukum Bisnis saja, seperti contohnya dimasukannya tulisan mengenai Hukum Pidana, Hukum Tata Negara dan sebagainya, walau begitu adalah Hukum Bisnis yang tetap menjadi sentral utama dari materi muatan blog ini.

Selamat membaca dan di tunggu masukan, pendapat dan mungkin kritikan dari kawan-kawan semua.

07 August 2007

TINJAUAN HUKUM TERHADAP SAHAM SEBAGAI BENDA DALAM PERSPEKTIF HUKUM KEBENDAAN



BAB I
PENDAHULUAN

Kodifikasi hukum perdata yang pertama kali dapat dibukukan pada abad keenam (Masehi) dengan nama Corpus Iuris Civilis, yang dikerjakan pada jaman kejayaan Romawi sekitar tahun 524-565 (Masehi).

Tentang Corpus Iuris Civilis ini, John Henry Merryman menguraikan, bahwa :
“Corpus Iuris Civilis tidak hanya berisi terbatas pada hukum perdata, tetapi mencakup pula dan berkaitan dengan kekuasaan kaisar, organisasi kekaisaran dan masalah lain yang oleh pakar hukum sekarang digolongkan sebagai hukum publik. Tetapi harus diakui bahwa Corpus Iuris Civilis adalah merupakan objek studi yang paling intensif dan telah menjadi dasar dari sistem sistem hukum perdata di dunia. Corpus Iuris Civilis menjadi tidak digunakan lagi setelah jatuhnya kerajaan Roma. Akan tetapi pengaruhnya tetap tidak hilang terutama didaratan Eropa.”

Dalam sejarahnya hukum perdata ini kemudian diterima juga di negara Perancis yang kemudian di kodifikasikan pada tahun 1804 dengan nama Code Civil Des Francais yang kemudian tahun 1807 berubah nama menjadi Code Civil Perancis.
Belanda yang merupakan jajahan Perancis pada tahun 1811-1813 kemudian menerima dan memberlakukan hukum perdata ini dan dalam kodifikasinya, Belanda menamakannya Burgerlijk Wetboek (B.W) yang berlaku sejak 1 Oktober 1838.
B.W inilah yang kemudian berdasarkan asas konkordansi (penyesuaian) melalui Stb.1847 Nomor 23, berlaku di Hindia Belanda (Indonesia) sejak tanggal 1 Mei 1848. Asas konkordansi berarti bahwa hukum yang berlaku bagi orang – orang Belanda di Indonesia harus disesuaikan atau disamakan dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda.

Pada saat Indonesia merdeka di tahun 1945, secara hakiki bangsa Indonesia berhak menentukan bentuk hukum dan peraturan hukum seperti apa yang akan di anut oleh bangsa Indonesia ini, tetapi oleh karena ketidaksiapan dan ketidakmampuan pemimpin-pemimpin bangsa di saat itu, maka berdasarkan aturan peralihan Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa semua peraturan yang telah ada, masih terus dipergunakan hingga dibuat ketentuan yang baru, maka berdasarkan hal tersebut bangsa Indonesia secara mutatis mutandis terus mempergunakan Kitab Undang Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, di singkat menjadi BW) hingga saat sekarang ini.

Secara umum berdasarkan pembagian sistem hukum yang di anut di dunia ini, maka Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental yang lebih mengutamakan hukum yang tertulis demi terciptanya kepastian hukum, Kitab Undang Undang Hukum Acara Perdata (BW) yang hingga saat ini masih di pergunakan pun merupakan wujud perundangan dari sistem Eropa Kontinental tersebut.

Kitab Undang Undang Hukum Perdata itu sendiri didalamnya terbagi menjadi 4 buku (bagian), yakni Buku Kesatu Tentang Orang, kemudian Buku Kedua Tentang Kebendaan, Buku Ketiga Tentang Perikatan, dan Buku Keempat Tentang Pembuktian Dan Daluarsa.

Berkaitan dengan pembahasan dalam karya tulis ini, maka penulis secara khususnya akan menyoroti perihal buku kedua tentang Kebendaan.
Buku kedua tentang kebendaan dalam B.W ini di bagi lagi dalam 21 bab dan terdiri dari 733 pasal yang dimulai dari Pasal 499 sampai dengan Pasal 1232.

Dalam perkembangannya banyak dari ketentuan di buku kedua tentang kebendaan ini yang telah di cabut / di hapus oleh berbagai peraturan lainnya, hal ini disebabkan oleh karena perkembangan kehidupan masyarakat, perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang menuntut di lakukannya perubahan secara yuridis formil.

Beberapa perubahan itu antara lain terdapat dalam Undang Undang Pokok Agraria yang berlaku sejak tahun 1960, undang undang ini menyatakan mencabut buku II KUH perdata sepanjang yang mengatur tentang bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan mengenai hipotek.
Kemudian selain itu ada juga beberapa pasal yang dinyatakan tidak berlaku lagi yakni oleh Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) tahun 1953, kemudian juga secara perlahan dilanjutkan oleh beberapa Yurisprudensi dari Mahkamah Agung, dan menyusul dengan munculnya Undang Undang Hak Tanggungan Tahun 1996, Undang Undang tentang Fidusia tahun 1998, beberapa Undang Undang tentang Hak Cipta, dan perundangan lainnya.

Menurut Pasal 499 KUH Perdata, yang dinamakan dengan kebendaan adalah tiap – tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik.

Kemudian dalam Pasal 503 dan 504 KUH Perdata di bedakan tentang cara-cara membeda-bedakan kebendaan, yakni adanya benda bertubuh dan tidak bertubuh dan benda bergerak dan tidak bergerak.

Pasal 505 KUH Perdata menyatakan bahwa tiap-tiap kebendaan bergerak adalah dapat dihabiskan atau tak dapat dihabiskan, kebendaan dikatakan dapt dihabiskan, bilamana karena dipakai, menjadi habis.

Dewasa ini dengan semakin banyaknya perangkat investasi, adanya pasar modal dan pasar komoditi, berbagai macam surat-surat berharga dan derivatifnya membuat dalam perspektif hukum kebendaan yang berpusat pada buku II tentang kebendaan ini kemudian menjadi dipertanyakan eksistensinya, apakah termasuk juga sebagai “benda” berdasarkan buku II KUH Perdata, yang mana saja yang bukan termasuk sebagai “benda” seperti yang di atur dalam buku II KUH Perdata, dan banyak pertanyaan lainnya yang berkaitan dengan hal tersebut. Salah satunya adalah mengenai “saham” suatu perseroan, dalam wujudnya seringkali berbentuk surat saham, ada juga sertifikat saham, tetapi kemudian dengan adanya bursa efek (pasar modal) maka dikenal saham yang tidak berwujud apapun juga, tetapi hanya merupakan transaksi jual beli saham berupa deretan angka dan nama di sebuah layar besar (big screen) di dalam bursa efek.

Berkaitan dengan hal inilah maka penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai saham dalam hukum kebendaan seperti telah dipaparkan di atas, dengan judul ”TINJAUAN HUKUM TERHADAP SAHAM SEBAGAI BENDA DALAM PERSPEKTIF HUKUM KEBENDAAN.”




BAB II
SAHAM SEBAGAI BENDA DALAM HUKUM KEBENDAAN

Menurut Pasal 499 KUH Perdata, yang dinamakan dengan kebendaan adalah tiap – tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik.
Tetapi kemudian di dalam KUH Perdata tidak ada penjelasan mengenai apa yang di maksud dengan hukum kebendaan itu sendiri.

Sehingga dengan demikian haruslah melihat dari sumber lain seperti dari beberapa pendapat pakar berikut ini :
“Hukum kebendaan adalah hukum yang mengatur benda dan hak kebendaan.”
“Hukum kebendaan adalah hukum yang berlaku di Indonesia yang mengatur hak-hak diatasnya.”

Penulis sendiri lebih menyukai memakai pendefinisian yang dilakukan oleh Djuhaendah Hasan, oleh karena dalam pendefinisian tersebut dilakukan pemisahan secara tegas mengenai benda dan hak kebendaan. Hal ini penting karena dengan begitu harus dilihat seperti apa perbedaan yang di maksud di atas.

Benda dalam teminologinya secara umum dapat di nyatakan sebagai “segala yang ada di alam yang berwujud atau berjazad.”
Menurut Djubaendah Hasan, “benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dengan hak milik (eigendom) atau segala sesuatu yang dapat menjadi objek hak milik.”
Sementara itu yang dimaksud dengan hak kebendaan (zakelijkrecht) adalah “hak mutlak atas suatu benda yang memberikan kekuasaan langsung atas benda tersebut dan dapat dipertahankan terhadap siapapun.”

Dilihat dari sifatnya, hukum benda sifatnya tertutup, yaitu tidak dapat diadakan hak-hak kebendaan baru diluar yang telah diatur dalam undang-undang, artinya menganut sistem tertutup adalah “terdiri dari hak-hak kebendaan yang disebutkan secara limitatif dan tidak enunsiatif di dalam undang-undang.”
Menurut penulis, dianutnya sistem tertutup dalam hukum kebendaan adalah demi terciptanya suatu kepastian hukum berkaitan dengan hukum benda tersebut.

Sementara itu mengenai hak kebendaan memiliki sifat absolut (right in rem), yang secara singkat memiliki pengertian bahwa hak absolut tersebut berarti hak itu mengikat setiap orang.
Arti dari mengikat setiap orang dalam hak kebendaan (zakelijke rechten) ini adalah :
1. Hak itu dapat dipertahankan terhadap siapapun juga.
2. Memiliki droit de suite yakni hak mengikuti benda ditangan siapapun berada.
3. Memiliki droit de preferance yakni hak untuk didahulukan.
4. Memiliki hak penuh untuk mengalihkan.
5. Mengandung asas spesialitas.
6. Mengandung asas publisitas
7. Memiliki hak gugat kebendaan.

Dalam KUH Perdata pembedaan terhadap benda terdiri atas :
1. Benda bergerak (roerend goed)
a. Benda berwujud
b. Benda tidak berwujud
2. Benda tidak bergerak (onroerend goed)

Sesuai dengan sifat tertutup dalam hukum kebendaan, maka pengertian benda bergerak dan benda tidak bergerak juga telah diatur secara limitatif sepanjang belum di ubah oleh peraturan perundangan lainnya.
Benda tidak bergerak menurut penulis adalah benda yang karena sifatnya tidak dapat dipindahkan atau berpindah. Dalam KUH Perdata kebendaan yang tidak bergerak ini telah diatur dalam Pasal 506 sampai dengan Pasal 508.

Kemudian yang dimaksud dengan benda bergerak adalah karena dilihat dari sifatnya yang dapat berpindah atau dipindahkan (Pasal 509 KUH Perdata).
Saham (sero) menurut Pasal 511 KUH Perdata dianggap / di masukan sebagai benda bergerak, kemudian berdasarkan doktrin saham / sero ini kemudian di kategorikan sebagai benda bergerak yang tidak berwujud.
Hal ini dapat dilihat dalam penyataan “benda bergerak, berwujud (semua benda yang dapat diraba dan dirasa oleh indra manusia) dan tidak berwujud (misalnya surat berharga, piutang).”
Kemudian secara eksplisit oleh Abdulkadir Muhammad yang menyatakan saham sebagai surat berharga yang merupakan benda bergerak tidak berwujud.

Saham (sero) itu sendiri adalah tanda penyertaan modal pada perseroan terbatas.
Saham juga diberi arti dalam kamus istilah hukum fockema andreae sebagai aandeel (bld), saham (ind) adalah hak pada sebagian modal suatu perseroan ; andil dalam perseroan atau perusahaan, bagian-bagian modal pada perusahaan yang telah dibagi-bagi pada akte pendirian.
Sementara itu dalam kamus khusus pasar uang dan modal dijelaskan saham adalah surat bukti pemilikan bagian modal perseroan terbatas yang memeberi hak atas dividen dan lain-lain menurut besar kecilnya modal yag disetor.
Kemudian lebih tegas lagi dalam surat keputusan direksi bank indonesia No. 24/32 tanggal 12 Agustus 1991 tentang kredit kepada perusahaan sekuritas dan kredit dengan agunan saham, dalam pasal 1 butir c dinyatakan bahwa saham adalah surat bukti pemilikan suatu perseoan terbatas, baik yang diperjualbelikan di pasar modal maupun yang tidak.

Dari beberapa pendapat di atas maka penulis menyimpulkan bahwa saham merupakan bagian dari modal dalam suatu perseroan yang secara langsung memiliki konsekuaensi pada pemilik saham berupa hak-hak (kebendaan) yang melekat kepada saham yang dimilikinya.

Berdasarkan Pasal 24 Undang Undang No 1 Tahun 1995 tentang perseroan Terbatas, saham di kenal sebagai saham atas nama dan saham atas tunjuk.
Saham atas nama adalah yang mencantumkan nama pemegang atau pemiliknya.
Sedang saham atas tunjuk adalah saham yang tidak mencantumkan nama pemegang atau pemiliknya.

Dalam dunia usaha klasifikasi saham tidak hanya terbagi menjadi dua bagian yakni saham atas nama dan saham atas tunjuk saja melainkan memiliki banyak varian dengan klasifikasi yang berbeda-beda.
Contohnya adalah di kenalnya saham umum (common stock) dan saham preferen (preferred stock) atau sering disebut juga saham prioritas.

Seperti telah dijabarkan di atas bahwa central hukum kebendaan adalah hak milik, maka saham dalam perseroan juga merupakan bukti kepemilikan.
Saham merupakan bukti kepemilikan dari pemodal yang menginvestasikannya dalam perseroan.

Secara eksplisit menurut Sentosa Sembiring dalam perkembangannya, kepemilikan atas saham ini didapatkan tidak harus dengan cara menyetorkan uang tunai sebagai modal saja, tetapi juga dapat berbentuk lain misalnya saja barang produksi ataupun dapat berupa hak kekayaan intelektual.

Berdasarkan pemaparan di atas maka dalam hukum kebendaan dapat di lihat bahwa saham (sero) adalah merupakan benda sehingga termasuk dalam hukum kebendaan, benda tersebut merupakan benda yang dapat dimiliki oleh seseorang dan kepemilikannya tersebut bersifat absolut, sehingga secara yuridis formil saham diakui sebagai benda bergerak tidak berwujud (Pasal 511 KUH Perdata) dan kemudian dalam doktrin juga telah diakui mengenai keberadaan saham tersebut dalam hukum kebendaan sebagai benda bergerak dan tidak berwujud, dan yang terakhir yakni dalam kebiasaan di dunia usaha (bisnis) telah lama dan dipergunakan dan di kenal adanya saham sebagai bukti kepemilikan dalam suatu perseroan.

BAB III
SAHAM SEBAGAI BENDA DALAM HUBUNGANNYA
DENGAN PARA PIHAK YANG BERKAITAN

Saham (sero) sebagai benda tidak pernah dapat dilepaskan dengan perihal kepemilikan dan akibat yang timbul dari adanya saham itu sendiri.
Seperti telah di sebutkan di atas bahwa dalam Pasal 24 Undang Undang No. 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas di kenal saham atas nama dan saham atas tunjuk.
Jadi menurut pasal tersebut setidaknya ada dua jenis kelompok pemegang saham.
Tetapi saat dihubungkan dengan perseroan terbatas yang kemudian go public / menjadi PT Terbuka, maka pihak yang berkaitan dengan saham ini pun menjadi semakin kompleks dan luas, yang menurut penulis setidaknya dapat di bagi menjadi :
1. Para pihak sebelum saham didaftarkan (listing) di bursa efek
2. Para pihak setelah saham didaftarkan (listing) di bursa efek

Sebelum masuk bursa / go public, maka para pemegang saham biasanya terdiri dari anggota keluarga yang kemudian menjadi para pemegang saham, atau juga dapat orang lain yang bersama-sama menanamkan modalnya kedalam perusahaan tersebut. Dalam pengalihan saham itu pun masih mudah dilakukan yakni langsung berhubungan antaa pemegang saham selaku pemilik saham dengan pembeli saham. Para pihak pemegang saham dalam perusahaan yang tidak go public ini masih sederhana dan di atur dengan jelas dalam Undang Undang No. 1 Tentang Perseroan Terbatas.

Setelah suatu perseroan terbatas masuk bursa / go public, maka para pihak pemegang saham bukan hanya anggota keuarga atau beberapa orang pemegang saham saja, tetapi telah dengan bebas diperjualbelikan di bursa efek oleh masyarakat luas, sehingga kepemilikan saham tidak lagi di catat dalam pembukuan perseroan terbatas, tetapi juga dalam bursa efek dan dapat mencapai ratusan bahkan ribuan nama pemegang saham.
Selain itu juga jika saham hendak dialihkan, tidak dapat lagi secara langsung melainkan harus mengikuti tata cara yang ditentukan oleh undang undang Pasar Modal, yakni harus melalui perantara pedagang efek. Jadi setidaknya ada pihak lain yakni pedagang efek atau sering juga di sebut pialang, broker, dan sebagainya selaku pihak lain dalam pengalihan saham tersebut.

Perbedaan yang mendasar dari keberadaan saham saat suatu perseroan terbatas menjadi terbuka atau masuk bursa (go public) dan yang tidak masuk bursa (tidak go public) adalah bahwa saham tersebut biasanya dalam perusahaan yang go public memiliki bentuk nilai saham yang lebih kecil tetapi lebih banyak jumlahnya ketimbang saat saham tersebut berada dalam perusahaan yang tidak go public.
Keberadaan saham ini sebagai benda bergerak dapat di lihat dari wujudnya yang dapat kapan saja dialihkan haknya, baik dengan cara di gadaikan, di jualbelikan, bahkan dapat di wariskan dan saham tersebut di anggap sebagai wujud hak kebendaan yang bersifat absolut terhadap pemiliknya.

Saham sebagai benda bergerak dalam hubunganan para pihak saat terjadi pengalihan, antara perseroan terbatas dengan perseroan terbatan yang go public pada dasarnya tidak memiliki perbedaan yang jauh maupun krusial.
Hubungan antara pemegang saham (pemilik saham) dengan penerima saham dengan cara membeli, hibah, gadai, dan sebagainya adalah hubungan penjual dan pembeli, yakni saat beralihnya kepemilikan saham itu maka seluruh hak (dividen, hak suara, dsb) dan kewajibannya (utang piutang, dsb) yang melekat pada saham itu beralih juga dari pemegang yang lama (penjual / pemberi saham) kepada pemegang saham yang baru / penerima saham.

Yang perlu diperhatikan adalah jika pengalihan saham itu tidak dilakukan sepenuhnya, artinya saham yang dialihkan adalah pecahan dari suatu nominal saham, jika hal itu sesuai dengan anggaran dasar perseroan terbatas yang bersangkutan maka hal ini tidak akan menjadi masalah, akan tetapi jika nominal pecahan saham minimal telah di tetapkan maka jiak terjadi pengalihan kepemilikan saham yang merupakan pecahan dari suatu nilai nominal saham yang telah di tentukan, maka hubungan hukum antara pemegang saham pertama (pemegang saham lama) dengan pemegang saham yang baru, sebaiknya membuat perjanjian antara 2 (dua) belah pihak berkaitan dengan bagaimana permasalahan hak (dividen, hak suara, dsb) dan kewajiban (utang piutang, dsb) yang melekat pada saham tersebut.

Penulis membuat contoh untuk hal ini sebagai berikut :
Suatu perseroan terbatas X, dalam anggaran dasarnya telah menentukan bahwa nilai saham terkecil adalah 1 saham seharga 1 juta rupiah.
A memiliki 1 saham tersebut, tetapi kemudian karena membutuhkan uang maka A menjual kepada B ½ dari saham itu seharga 500 ribu rupiah.
Hubungan hukum yang ada antara A dan B adalah jual beli, tetapi oleh karena ketentuan anggaran dasar PT X, maka tentunya akan dipermasalahkan di kemudian hari mengenai hak memperoleh dividen, hak suara, dsb sehubungan dengan kepemilikan B atas saham tersebut tidak memenuhi syarat yang telah di tentukan oleh anggaran dasar PT X, maka selanjutnya untuk mengantisipasi hal itu di buatlah perjanjian antara A dan B yang isinya adalah mengenai pembagian hak serta kewajian yang lahir dari adanya saham tersebut.

Jadi di sini ada 2 hubungan hukum para pihak berkaitan dengan saham tersebut, yakni :
Pertama antara A selaku pemegang saham dengan PT X.
Kedua adalah antara A dan B dalam perjanjian jual beli saham dan menyusul perjanjian antara A dan B yang berisi tentang pembagian dividen, hak suara, dsb yang merupakan hak serta kewajiban yang melekat dengan adanya saham kepemilikan tersebut.



BAB IV
KESIMPULAN

Berkaitan dengan hukum kebendaan di Indonesia masih menganut ajaran kebendaan dari KUH Perdata (B.W) yang di negara Belanda sendiri telah mengalami perubahan dengan adanya NBW.
Hukum kebendaan di Indonesia menganut pembagian kebendaan menjadi benda bergerak dan tidak bergerak. Benda bergerak itu sendiri terbagi lagi menjadi dua bagian yakni benda yang berwujud dan tidak berwujud.
Dalam kaitannya dengan saham (sero), maka secara yuridis formil saham tersebut di pandang sebagai benda yang bergerak dan tidak berwujud. Hal ini jelas di nyatakan dalam Pasal 511 KUH Perdata.

Keberadaan saham sebagai benda ini juga kemudian dipertegas dalam doktrin (pendapat para pakar) yang telah diakui mengenai keberadaan saham tersebut dalam hukum kebendaan sebagai benda bergerak dan tidak berwujud, dan yang terakhir yakni dalam kebiasaan di dunia usaha (bisnis) telah lama dan dipergunakan dan di kenal adanya saham sebagai bukti kepemilikan dalam suatu perseroan dan keberadaan saham tersebut sebagai benda membuat dengan sendirinya saham itu memiliki harga (value) layaknya benda lainnya dan dengan sendirinya juga layaknya benda bergerak lainnya, saham dapat di alihkan dan dengan mudah di perjual belikan dalam dunia usaha (bisnis).




DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir Muhammad, Hukum Dagang Tentang Surat-Surat Berharga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993

Djaja Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang Dan Hukum Keluarga, Nuansa Aulia, Bandung, 2006

Djuhaendah Hasan, Diktat Hukum Kebendaan, Hukum Bisnis Unpad, 2007

------------------------, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah Dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Horisontal, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996

-----------------------, Diktat Kapita Selekta Hukum Perdata, Hukum Bisnis Unpad, 2007

Sentosa Sembiring, Hukum Perusahaan Tentang Perseroan Terbatas, Nuansa Aulia, Bandung

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak Atas Benda, Intermasa, 1981



Sumber Lain :

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994

Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda – Indonesia, Diterjemahkan Oleh H Boerhanoedin St Batuah (Dkk), Binacipta, Bandung, 1983

Kamus Khusus Pasar Uang Dan Modal, Dept Keuangan Ri- Badan Pelaksana Pasar Modal, Jakarta, 1974

Kitab Undang Undang Hukum Acara Perdata








No comments: