WELCOME FRIENDS

Selamat datang di blog ini, blog ini di tujukan sebagai kumpulan berita, artikel, pesan dan mungkin hasil pemikiran penulis dengan mengangkat tema sentral Hukum Bisnis, akan tetapi para pembaca juga akan di bawa membaca banyak tulisan-tulisan yang muatan secara materinya tidak berhubungan secara langsung dengan Hukum Bisnis saja, seperti contohnya dimasukannya tulisan mengenai Hukum Pidana, Hukum Tata Negara dan sebagainya, walau begitu adalah Hukum Bisnis yang tetap menjadi sentral utama dari materi muatan blog ini.

Selamat membaca dan di tunggu masukan, pendapat dan mungkin kritikan dari kawan-kawan semua.

07 August 2007

TINJAUAN HUKUM TERHADAP PENGATURAN INTERNASIONAL E-COMMERCE DIHUBUNGKAN DENGAN
HUKUM KONTRAK INTERNASIONAL



BAB I
PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi elektronik yang berlangsung pesat hingga saat ini telah mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan dan kegiatan di masyarakat luas, dalam berbagai sisi kehidupan dan termasuk juga di bidang hukum.
Munculnya penemuan internet dan kemudian berkembang pada praktek perdagangan dengan ruang lingkup yang baru yakni tanpa batasan (borderless) melalui media elektronik (e-commerce) secara umum telah menimbulkan dampak ekonomi dan hukum yang sangat luas.

Hukum nasional dan internasional, baik publik maupun privat akan mendapat pengaruh cukup besar dari perkembangan baru dibidang teknologi tersebut. Berbagai upaya pun tengah dilakukan oleh organisasi-organisasi internasional seperti PBB melalui UNCITRAL dan UNCAD, WTO dan juga perhimpunan-perhimpunan regional negara-negara seperti ASEAN untuk membuat aturan-aturan / perangkat hukum yang setidaknya dapat dijadikan acuan oleh pemerintah-pemerintah negara-negara yang berkepentingan.
Hingga saat ini juga dapat dilihat pemerintah Indonesia mulai terus berusaha mengikuti perkembangan praktik e-commerce untuk menghindari dampak yang dapat merugikan para pelaku bisnis serta masyarakat pada umumnya, hal ini dapat di lihat dengan adanya beberapa rancangan undang-undang yang berkaitan dengan e-commerce, telematika, dan sebagainya. Secara empiris e-commerce telah menjadi salah satu transaksi bisnis yang biasa dilakukan melalui internet.

Dari perspektif hukum, perkembangan e-commerce ini telah menimbulkan berbagai permasalah dan ketidakpastian yang memerlukan penanganan segera. Hal ini dapat dilihat khususnya berkaitan erat dengan hal kontrak yang termuat didalamnya. Di Indonesia perihal kontrak dan sisi yuridis materil maupun formil berkaitan dengan hal tersebut telah diatur dengan jelas dalam beberapa peraturan perundang-undangan, akan tetapi teknologi yang mendukung terciptanya e-commerce tidak mengenal atau menghiraukan batas-batas wilayah negara sehingga hukum yang pergunakan pun menjadi berada dalam suatu wacana yang komprehensif, artinya tidak hanya dari sisi hukum nasional tetapi juga hukum internasional.

Dari sisi hukum nasional, permasalahan sehubungan dengan kontrak internasional dalam e-commerce adalah perumusan aturan-aturan hukum perjanjian yang mencakup e-commerce contract, selain itu juga berkaitan dengan legatimasi / keabsahan suatu konrak / perjanjian dalam e-commerce yang secara langsung menciptakan hubungan bisnis yang dapat diimplementasikan. Kemudian juga berkaitan dengan penyelesaian sengketa jika timbul perselisihan, masalah perpajakan, perlindungan konsumen, HAKI, dan sebagainya.
Di sisi lain pada tataran internasional, berkaitan dengan permasalahan aturan-aturan / perangkat hukum di bidang yang terkait dengan persoalan pembentukan kebijakan negara khususnya dibidang ekonomi dan perdagangan yang masih seringkali kebijakan-kebijakan yang dibuat negara menimbulakn hambatan-hambatan baru terhadap sistem perdagangan dunia.

Berdasarkan hal tersebut, maka penulis pada kesempatan ini akan mencoba membahas dan menuangkannya dalam karya tulis ini dengan judul “TINJAUAN HUKUM TERHADAP PENGATURAN INTERNASIONAL E-COMMERCE DIHUBUNGKAN DENGAN HUKUM KONTRAK INTERNASIONAL”



BAB II
KONTRAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM NASIONAL

Di Indonesia, hukum kontrak telah memiliki kedudukan tersendiri, hal ini dapat dilihat dalam Buku III KUH Perdata, yang terdiri atas 18 bab dan 631 pasal. Dimulai dari Pasal 1233 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata.
Sekalipun KUH Perdata yang masih di anut oleh Indonesia berasal dari Belanda dengan nama awal Burgerjlik Wetboek (disingkat B.W), akan tetapi saat ini negara Belanda sendiri sudah tidak memakai B.W tersebut dan telah merubahnya (revisi) menjadi NBW yang juga tetap mengatur mengenai hukum kontrak, tempat pengaturan hukum kontrak dalam buku IV tentang van verbintenissen, dimulai dari Pasal 1269 NBW sampai dengan Pasal 1901 NBW.

Kontrak yang dalam bahasa Inggris disebut contracts atau overeenkomst dalam bahasa Belandanya sering juga diterjemahkan menjadi perjanjian.
Definisi perjanjian atau kontrak di atur dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang berbunyi “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”

Berikut ini adalah pendapat para ahli hukum” “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana ada seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.
“Suatu perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk melaksanakan prestasi”.
Sistem pengaturan hukum kontrak di Indonesia adalah sistem terbuka (open system), yang artinya bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan maupun yang belum di atur di dalam undang-undang. Hal ini dapat dilihat dan kemudian disimpulkan dari ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata membuat terciptanya kebebasan kepada para pihak untuk :
1. Membuat atau tidak membuat perjanjian,
2. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun,
3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan
4. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

Analisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata ini telah membuat di kenalnya asas penting dalam hukum perdata yakni asas kebebasan berkontrak.
Asas kebebasan berkontrak (beginsel der contractsvrijheid) disimpulkan dengan jalan menekankan pada perkataan “semua” yang ada dimuka perkataan “perjanjian”.
Dikatakan bahwa Pasal 1338 ayat (1) itu seolah-olah membuat suatu pernyataan (proklamasi) bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang.

Kebebasan berkontrak tersebut kemudian selalu di hubungkan (junto) dengan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai sahnya suatu kontrak / perjanjian. Hal ini dikarenakan melihat dari bunyi Pasal 1338 ayat (1) yang mensyaratkan agar kontrak / perjanjian apapun juga yang dibuat selalu “dibuat secara sah”
Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, ditentukan empat syarat sahnya perjanjian, yakni :
1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak,
2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum,
3. Adanya objek, dan
4. Adanya kausa yang halal.
Dalam penjabarannya empat syarat tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Kesepakatan kedua belah pihak, yang diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata yang artinya pernyatan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.
2. Kecakapan bertindak, yaitu kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum, salah satu ukurannya adalah seseorang yang telah berumur 18 tahun dan atau sudah kawin. Adapaun orang yang tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah:
- Anak dibawah umur
- Orang yang berada dibawah pengampuan
- Istri (Pasal 1330 KUHPerdata) walaupun dalam perkembangannya dapat melakukan perbuatan hukum (Pasal 31 UU Nomor 1974 jo SEMA No 3 Tahun 1963)
3. Objek perjanjian, yaitu prestasi.
Prestasi dapat terdiri atas :
- Memberikan sesuatu
- Berbuat sesuatu
- Tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUHPerdata)
4. Causa yang halal, dalam KUHPerdata tidak dijelaskan pengertian causa yang halal, namun hanya menyebutkan causa yang terlarang. Sejak tahun 1927 dalam Hoge Raad dijelaskan bahwa yang termasuk dalam causa yang terlarang adalah perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum, dapat diartikan causa yang halal menurut Hoge Raad ini merupakan sesuatu yang menjadi tujuan para pihak.



BAB III
ELECTRONIC COMMERCE DALAM PENGATURAN INTERNASIONAL

Electronic commerce (disingkat e-commerce) adalah kegiatan-kegiatan bisnis yang menyangkut konsumen (consumers), manufaktur (manufactures), services providers dan pedagang perantara (intermediateries) dengan menggunakan jaringan-jaringan komputer (computers network) yaitu internet.

Berbicara mengenai perdagangan di dunia maya (e-commerece) tidak pernah dapat dipisahkan dengan perjanjian / kontrak maya berskala internasional (e-contract), hal ini dikarenakan setiap perdagangan dan hubungan bisnis antara para pelaku bisnis di dunia maya, selalu memiliki kontrak atau dituangkan dalam suatu kontrak maya (e-contract), atau setidaknya ada terms and conditions yang telah dibuat salah satu pihak (klausula baku) dalam menjalankan usaha / bisnis di dunia maya tersebut.

Kontrak maya (e-contract) dalam dunia usaha internasional yang menggunakan fasilitas internet sebagai jembatan usahanya, di kategorikan sebagai kontrak internasional.
Hal ini dikarenakan di dalam kontrak tersebut adanya unsur asing.
Dengan begitu lahirlah hingga saat ini keberadaan kontrak (perjanjian) yang berskala internasional, yang adalah “suatu kontrak yang didalamnya ada atau terdapat unsur asing (foreign element).”

Hal ini juga di perkuat oleh pendapat yang mengatakan bahwa “are contract with two nations or more nation states. Such contracts may be between states, between state and a private party, or exclusive between private parties.”
Istilah kontrak internasional tersebut haruslah di bedakan dengan istilah perjanjian internasional, yakni bahwa “kontrak internasional dalam bidang komersil atau perniagaan … perjanjian internasional dalam bidang publik bukan bersifat komersial atau perniagaan.”
Penulis berpendapat dengan demikian jika berbicara mengenai perjanjian dalam bidang komersial dan perniagaan (perdagangan) maka lebih tepat menggunakan istilah kontrak internasional, sebab istilah perjanjian internasional dapat mencakup bidang yang lain, bidang kenegaraan (perjanjian bilateral antar negara, dan sebagainya), dan bidang publik.

Keberadaan kontrak internasional ini pun kemudian mengalami perkembangan sehubungan dengan adanya bentuk perdagangan baru yang di sebut electronic commerce (e-commerce), yang merupakan penemuan baru dalam bentuk perdagangan yang dinilai lebih dari perdagangan pada umumnya (konvensional).

Perkembangan e-commerce membawa banyak dampak perubahan secara umum pada sektor aktivitas bisnis yang selama ini biasa di jalankan di dunia nyata, dan secara khusus mengakibatkan juga perubahan di bidang kontrak internasional.
E-commerce tersebut merupakan transaksi perdagangan yang melibatkan individu-individu dan organisasi-organisasi atau badan, berdasarkan pada proses dan transmisi data digital, termasuk teks, suara atau jaringan tertutup seperti American On Line (AOL) yang mempunyai jaringan terbuka dan di kenal hingga saat ini.

Implikasi dari pengembangan perdagangan dan kontrak (internasional) tersebut tentunya ada yang di rasa positif dan menguntungkan, tetapi ada juga yang di rasa negatif, yakni :
Aspek positifnya adalah terciptanya kecepatan dan kemudahan serta kecanggihan dalam melakukan transaksi dan iteraksi global tanpa batasan waktu dan tempat, kemudian telah berhasil meningkatkan peranan dan fungsi perdagangan sekaligus memberikan kemudahan dan efisiensi yang lebih. Tetapi dari aspek negatifnya, masih di permasalahkan berkaitan dengan persoalan keamanan dalam bertransaksi dan secara yuridis terkait juga dengan jaminan kepastian hukumnya.
Keberadaan suatu kontrak internasional dalam perdagangan mayaranta (e-commerce) baru dapat di katakan sah menurut hukum Indonesia, saat di anggap telah memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian (Pasal 1329 KUHPerdata) yakni kesepakatan yang telah tercapai saat konsumen meng-klik suatu ilustrasi “setuju”, pengisian data diri sehingga diketahui kecakapannya, objek yang ditawarkan tertentu, perjanjian dapat di baca sehingga dapat di ketahui isi suatu sebab yang halal.

E-commerce sebagai lahan pebisnis dan para pelaku usaha telah menjadi trend yang sangat menarik perhatian publik. Penggunaan peralatan elektronika khususnya internet untuk melaksanakan atau membuat suatu transaksi (contract) komersial telah dirancang sedemikian rupa sehingga seringkali didalamnya terdapat suatu kontrak atau perjanjian yang dalam perspektif hukum masih terus menerus terjadi benturan atau perbedaan sistem hukum yang berlaku.

Ruang lingkup e-commerce atau segmentasinya setidaknya dapat meliputi tiga sisi, yakni:
1. Bisnis ke bisnis (bussiness to bussiness), yakni sistem komunikasi antara pelaku bisnis atau dengan kata lain transaksi secara elektronik antar perusahaan yang dilakukan secara rutin dan dalam kapasitas atau volume produk yang besar.
2. Bisnis ke konsumen (bussiness to customer), merupakan suatu transaksi bisnis secara elektronik yang dilakukan pelaku usaha dan pihak konsumen untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu dan pada saat tertentu.
3. Konsumen ke konsumen (customer to customer), merupakan suatu transaksi bisnis secara elektronik yang dilakukan antar konsumen untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu dan pada saat tertentu pula, sifatnya lebih khusus karena transaksi dilakukan oleh konsumen ke konsumen yang memerlukan transaksi.

Dapat dilihat, e-commerce yang selalu memuat didalmnya kontrak daganng (e-contract) bersifat global, sehingga penanganannya juga harus dilakukan dalam ruang lingkup internasional juga.
Beberapa usaha di bidang e-commerce hingga saat ini terus berlangsung di berbagai oganisasi internasional seperti, UNCTAD, UNCITRAL, OECD, WTO, dan sebagainya.
Secara lebih khusus, perkembangan hukum konrak internasional dalam bidang e-commerce yang terbaru adalah dengan adanya United Nations Convention On The Use Of Electronic Communication In International Contracts 2005.

1. UNITED NATION CONVERENCE ON TRADE AND DEVELOPMENT (UNCTAD)
Ini merupakan badan PBB yang bertugas membantu negara-negara berkembang, UNCTAD telah mendirikan jaringan bernama global trade point network dengan tujuan untuk membantu negara-negara berkembang dalam usaha mereka untuk mendapatkan manfaat dari perkembangan-perkembangan di bidang komunikasi elektronik. UNCTAD hingga saat ini merupakan salah satu sarana perdagangan internasional yang telah meningkatkan jasa mereka dan memfasilitasi jumlah transaksi kontrak / perjanjian perdagangan yang sangat luas. Bahkan hingga saat ini UNCTAD terus bergerak dari suatu jaringan pra-transaksional kearah suatu jaringan yang sepenuhnya tansaksional (contracts to contracts).

2. ORGANIZATION FOR ECONOMIC COOPERATION AND DEVELOPMENT (OECD)
OECD yang berdiri sejak tahun 1996 memfokuskan persoalan pada dua aspek yaitu : bussiness to bussiness dan rekomendasi strategis yang ditujukan kepada pemerinta dengan maksud untuk memfasilitasi perkembangan e-commerce dan memaksimalkan kontribusi kearah penciptaan bisnis dan pekerjaan-pekerjaan baru. OECD membuat studi yang dimaksudkan untuk meninjau peraturan-peraturan serta praktek yang ada di negara-negara anggota mengenai internet serta menghimpun pandangan-pandangan dari berbagai pelaku bisnis yang terlibat didalamnya.
Di bidang e-commerce OECD juga berusaha menciptakan suatu sistem pembayaran dan perbankan yang pararel diluar saluran-saluran perbankan konvensional. Hal ini tentunya masih terus diperjuangkan mengingat keberadaan OECD lebih kearah penciptaan bisnis dan pekerjaan-pekerjaan baru.

3. WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO)
Dalam hubungannya dengan e-commerce dan khususnya e-contract, WTO terus mencoba membantu negara-negara anggotanya membuat kebijakan baru sebagai respon terhadap perkembangan bisnis yang dipicu oleh pesatnya teknologi dewasa ini, transaksi komersial melalui internet dan e-contract telah menimbulkan dampak yang sangat besar di segala bidang termasuk di bidang hukum. E-commerce yang didalamnya juga secara tidak langsung terdapat atau adanya e-contract telah menciptakan sejumlah tantangan (keharusan) terhadap pemerintah berkaitan dengan keamanan dan privasi dari transaksi, perpajakan, perlindungan konsumen, penyelesaian sengketa dan kepastian hukum para pelaku yang terlibat dalam e-commerce. WTO dapat membantu memfasilitasi e-commerce dan mengintegrasikannya kedalam peraturan-peraturan perdagangannya.

4. UNITED NATION COMMISSION ON INTERNASIONAL TRADE LAW (UNCITRAL)
Sebagai tindak lanjut dari mandat untuk menciptakan harmonisasi dan unifikasi hukum perdagangan internasional yang dapat menghilangkan hambatan-hambatan terhadap perdagangan internasional sebagai akibat dari tidak memadai dan beragamnya aturan-aturan dibidang perdagangan, maka sejak tahun 1996 UNCIRAL Model Law On Electronic Commerce telah di terima olah UNCITRAL.
Model law ini dipersiapkan sebagai respon terhadap perubahan besar yang terjadi dalam cara komunikasi diantara pihak-pihak dengan menggunakan komputer dan teknik-teknik modern lainnya dalam menjalankan bisnis.
Sekalipun begitu, model law ini dimaksudkan hanya untuk mengarahkan prosedur dan memberikan prinsip-prinsip guna memfasilitasi teknik-teknik modern dalam merekam, dan mengkomunikasikan informasi, namun instrumen ini hanya sekedar framework law, artinya tidak menuangkan peraturan-peraturan lengkap yang mungkin dibutuhkan negara untuk mengimplementasikan teknik-teknik tersebut, sehingga juga tidak meliput keseluruhan aspek e-commerce.

5. UNITED NATIONS CONVENTION ON THE USE OF ELECTRONIC COMMUNICATION IN INTERNATIONAL CONTRACTS 2005
UNCITRAL telah mengeluarkan suatu instrumen penting dalam bidang hukum kontrak internasional yang secara khususnya menggunakan sarana elektronik (e-contract) dalam sebuah konvensi yang bernama “The Convention On The Use Of Electronic Communication In International Contracting.”
Konvensi ini di buka untuk negara-negara yang hendak ikut terlibat dan menandatanganinya serta terikat di dalamnya sejak tangal 16 Januari 2006 hingga 16 Januari 2008. Konvensi ini terdiri dari 4 bab dan 25 pasal.
Tujuan di adakannya pembentukan konvensi ini adalah pengadopsian penyeragaman peraturan yang sama untuk menghilangkan rintangan dalam kontrak internasional dan komunikasi elektronik, termasuk rintangan yang biasa ada dalam instrumen hukum perdagangan.
Pada prinsipnya, sesuai dengan ketentuan di dalam Pasal 3 Konvensi, di nyatakan bahwa para pihak mendapat kebebasan untuk tidak menggunakan aturan substansi konvensi, sehingga masih ada yang di kenal dengan kebebasan para pihak untuk membuat peraturan berbeda dengan peraturan nasionalnya.
Mengenai status hukumnya, berhubungan dengan komunikasi elektronik, dalam Pasal 8 Konvensi di nyatakan bahwa suatu komunikasi atau suatu kontrak tidak boleh di sangkal keabsahan dan kekuatan hukumnya dengan alasan semata-mata komunikasi dan kontrak tersebut di buat secara elektronik.



BAB IV
E-COMMERCE DARI SEGI HUKUM KONTRAK INTERNASIONAL

Seperti telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya, salah satu unsur terpenting bagi terciptanya suatu kontrak adalah adanya kesepakatan (salah satu syarat berdasar Pasal 1320 KUH Perdata) diantara para pihak yang mengadakan perjanjian atau kontrak.

Dengan demikian juga suatu perjanjian / kontrak dapat berwujud tertulis ataupun tidak tertulis. Sedangkan melihat dari istilah “perikatan” maka menurut penulis, yang lebih ditekankan adalah mengenai adanya hak dan kewajiban yang lahir dari adanya pembuatan suatu perjanjian / kontrak tersebut. Sedangkan istilah perjanjian / kontrak lebih mengacu pada faktanya, yakni apakah tertulis atau tidak tertulis.
Dari hal tersebut, maka dari sisi hukum yang terpenting adalah kapan terciptanya suatu perikatan tersebut? Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, maka salah satu unsur perikatan adalah adanya kesepakatan. Jika kesepakatan para pihak tersebut dituangkan secara tertulis, maka ada suatu kontrak / perjanjian yang tertulis pula. Sebaliknya jika kesepakatan para pihak dinyatakan secara lisan, maka yang ada hanyalah suatu kontrak lisan saja. Akan tetapi baik kontrak secara tertulis maupun kontrak lisan, dapat melahirkan perikatan, yang artinya jika salah satu pihak tidak melaksanakannya pihak yang lain dapat menuntut pemenuhannya.

Ciri yang membedakan kontrak dalam e-commerce dari kontrak-kontrak yang lain pada umumnya ialah bahwa kesepakatan tidak diberikan dalam bentuk tertulis maupun lisan, melainkan komunikasi dengan media / sarana elektronik (internet). Inilah yang seringkali menjadi salah satu permasalahan jika di tinjau dalam perspektif hukum.

Hingga saat ini di negara Indonesia khususnya belum ada pengaturan tentang e-commerce maupun e-contract atau lebih khusus lagi mengenai hal kesepakatan dalam kaitannya dengan kontrak melalui media elektronik (internet). Secara ideal tentunya memang diperlukan pengaturan hukum bagi hal itu. Akan tetapi hal ini tentunya tidak menutup kemungkina bahwa selama pengaturan hukum itu belum ada, kesepakatan dan pembuatan suatu kontrak bisnis di dunia maya tetap dimungkinkan dilaksanakan. Sebenarnya telah banyak contoh-contoh kegiatan dagang dunia maya, hanya saja saat ini teknologi menjadi lebih canggih sehingga seringkali ekspor impor tidak dapat terlaksana tanpa bantuan lembaga letter of credit dan bill of ladding.

Adanya Uncitral Model Law On Electronic Commerce 1996 dan yag terbaru adalah dengan adanya United Nations Convention On The Use Of Electronic Communication In International Contracts 2005, merupakan langkah-langkah yang dilakukan oleh PBB untuk mempercepat tercapainya harmonisasi dan mungkin unifikasi antar hukum di antara negara-negara anggota yang mengatur mengenai e-commerce, atau setidaknya dapat memberikan “guidance” dalam penyusunan / pembentukan aturan hukum mengenai e-commerce tersebut.

Secara lebih sederhana lagi adalah agar pihak-pihak yang merencanakan akan mengadakan kegiatan bisnis melalui media elektronik dapat mengikatkan dirinya secara kontraktual terlebih dahulu, yakni dengan terlebih dahulu mensepakati persyaratan-persyaratan tertentu melalui media elektronik (internet) yang akan mengikatkan mereka sebagai kesepakatan yang disyaratkan oleh Pasal 1320 KUH Perdata.

Selain itu juga perkembangan e-commercce telah didukung adanya banyak program keamanan seperti firewall, antivirus terhadap spamming maupun virus.
Kemudian dalam pembuktiannya (hukum acara perdata) telah adanya tanda tangan digital (digital signature) yang memungkinkan sebuah dokumen elektronik ditandatangani secara elektronik pula.

Demi terciptanya suatu kontrak yang baik, dalam arti kontrak itu dapat menjadi suatu kontrak yang efektif dan efisien, maka menurut penulis sebuah kontrak (e-contract) dalam e-commerce haruslah dibuat dengan memperhatikan beberapa hal penting, antara lain :
1. Pengecekan terhadap para pihak yang hendak melangsungkan perikatan.
2. Memastikan bahwa kontrak yang dibuat telah memiliki choise of forum dan choise of law yang jelas.
3. Kepastian sistem pembayaran dan cara pembayaran yang dianggap paling aman bagi para pihak.

Saat ketiga hal ini dilakukan, maka setidaknya akan dapat meminimalisasi sengketa atau ketidakpastian hukum dalam e-commerce, selain itu juga ketiga hal itu termasuk langkah-langkah yang juga diatur dalam Uncitral Model Law On Electronic Commerce 1996 dan yang terbaru adalah dengan adanya United Nations Convention On The Use Of Electronic Communication In International Contracts 2005, dengan demikian perlindungan terhadap para pihak terjaga dan disisi lain peningkatan perdagangan di dunia maya dapat semakin meningkat yang tentunya menciptakan juga peningkatan bagi pemerintah baik secara ekonomi makro ataupun mikro




BAB V
SIMPULAN

Berbicara mengenai perdagangan di dunai maya (e-commerce) tidak pernah dapat dipisahkan dengan perjanjian / kontrak maya berskala internasional (e-contract), hal ini dikarenakan setiap perdagangan dan hubungan bisnis antara para pelaku bisnis di dunia maya, selalu memiliki kontrak atau dituangkan dalam suatu kontrak maya (e-contract), atau setidaknya ada terms and conditions yang telah dibuat salah satu pihak (klausula baku) dalam menjalankan usaha / bisnis di dunia maya tersebut.

Praktik e-commerce telah dan akan menimbulkan konsekuensi serius terhadap banyak bidang, termasuk di bidang hukum baik nasional maupun internasional, publik maupun privat. Usaha-usaha yang dilakukan berbagai organisasi internasional untuk membuat pengaturan mengenai e-commerce adalah dalam rangka menertibkan dan mensinkronisasikan pengaturan hukum nasional dengan pengaturan internasional.

Dalam hukum internasional telah ada beberapa pengaturan mengenai hal ini, seperti contohnya adanya UNCITRAL Model Law On Electronic Commerce 1996 dan United Nations Convention On The Use Of Electronic Communication In International Contracts 2005. Kemudian melihat pada hukum nasional masih berupa rancangan undang-undang seperti RUU Telematika dan RUU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Semakin meluasnya pengenalan akan internet terhadap masyarakat di Indonesia, dengan sendirinya akan menciptakan kegiatan e-commerce semakin meningkat, didukung perundangan yang diharapkan segera di sahkan setidaknya dapat menjadi payung hukum demi terciptanya kepastian hukum dan peningkatan ekonomi makro dan mikro bangsa Indonesia yang lahir dari peningkatan perdagangan di dunia maya tersebut.




DAFTAR PUSTAKA


Abdul Hakim Barkatullah & Teguh Prasetyo, Bisnis E-Comerce (Studi Sistem Keamanan Dan Hukum Di Indonesia), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005

Hata, Beberapa Aspek Pengaturan Internasional E-Commerce Serta Dampaknya Bagi Hukum Nasional, Dalam Varia Peradilan, Volume VII, Maret, 2002

Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2007

M.Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perikatan, Bandung: PT.Alumni, 1982

R.Subekti, Aneka Perjanjian, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995

Salim H.S, Hukum Kontrak (Teori Dan Teknik Penyusunan Kontrak), Sinar Grafika, Jakarta, 2003







No comments: