WELCOME FRIENDS

Selamat datang di blog ini, blog ini di tujukan sebagai kumpulan berita, artikel, pesan dan mungkin hasil pemikiran penulis dengan mengangkat tema sentral Hukum Bisnis, akan tetapi para pembaca juga akan di bawa membaca banyak tulisan-tulisan yang muatan secara materinya tidak berhubungan secara langsung dengan Hukum Bisnis saja, seperti contohnya dimasukannya tulisan mengenai Hukum Pidana, Hukum Tata Negara dan sebagainya, walau begitu adalah Hukum Bisnis yang tetap menjadi sentral utama dari materi muatan blog ini.

Selamat membaca dan di tunggu masukan, pendapat dan mungkin kritikan dari kawan-kawan semua.

09 April 2007

Pidana Mati Di Indonesia

Pendahuluan

Berbicara mengenai pidana mati, maka tentunya terlebih dahulu kita juga harus melihat batasan, pendapat dan definisi-definisi dari para pakar hukum sebagai suatu pengertian awal, pegangan dan kerangka pemikiran mengenai pidana itu sendiri.
Dalam teori hukum pidana banyak pengertian yang beragam pendapat dalam mendefinisikan pidana (straf) itu sendiri, seperti contohnya yang dinyatakan oleh Van Hamel yakni bahwa pidana merupakan “suatu penderitaan yang khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang yang melanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakan oleh Negara.”
[1]

Pidana itu sendiri oleh Simons dikatakan sebagai “suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seorang yang bersalah.”
[2]

Dan kemudian ada juga pendapat Roeslam Saleh yang menyatakan “pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan oleh Negara pada pembuat delik itu.”
[3]

Akan tetapi penulis sendiri dalam menanggapi pidana itu sendiri lebih menyukai penjabaran G.P. Hoefnagels, dimana beliau tidak melihat pidana hanya sebatas hukuman setelah ada keputusan hakim, juga tidak hanya melihat sebatas suatu pencelaan (censure) atau juga sebatas suatu penjeraan (discouragement), atau pun sebatas penderitaan jasmani saja (suffering).
Beliau memiliki titik tolak pada pemikirannya terhadap pidana itu sendiri dengan memandang dan mencoba menarik pengertiannya secara luas, dimana “bahwa semua sanksi dalam hukum pidana adalah semua reaksi terhadap pelanggaran hukum yang telah ditentukan oleh Undang-Undang, sejak penahanan dan pengusutan terdakwa oleh polisi sampai vonis dijatuhkan.”
[4]
Dari pendapat beliau maka penulis dapat menyimpulkan bahwa memang jika kita berbicara mengenai pidana, kita haruslah melihat bagaimana pidana itu sendiri sebenarnya telah dikenakan secara tidak langsung pada mulai awal ditangkapnya seseorang, diperiksa dan mungkin ditahan sampai dengan orang / pelaku tersebut di jatuhkan suatu pidana (hukuman) tertentu seperti yang diatur dalam perundangan pidana kita.
Jika setelah adanya putusan yang bersifat tetap itu maka menurut batasan yang diberikan oleh beliau, kita tidak lagi berbicara atau menyebutnya sebagai pidana, melainkan berbicara mengenai pemidanaan, dimana memang didalam pemidanaan itu sendiri tidak mungkin dipisahkan dari arti pidana itu sendiri.

Pidana itu sendiri menurut penulis memiliki pengertian yang seharusnya dibagi menjadi 2 bagian, yakni secara sempit dan secara luas, dimana secara sempit ; pidana adalah dipandang sebagai suatu hukuman (bukan tindakan) yang membawa siksaan, penderitaan / nestapa bahkan kematian yang sifatnya khusus.
Maksud dari sifatnya khusus adalah bahwa suatu hukuman (bukan tindakan) yang membawa siksaan, penderitaan / nestapa bahkan kematiann itu harus dikenakan pada seseorang sesuai dengan perundangan yang ada, jadi jika diluar itu seperti misalnya seorang pencuri tertangkap tangan dan kemudian dipukuli warga hingga babak belur, maka sekalipun sipelaku merasa menderita, merasa jera bahkan sangat menyesal dengan perbuatannya tersebut, tetapi oleh karena tidak dijatuhkan dan diproses seperti yang diatur dalam perundangan pidana yang ada maka hal tersebut (rasa menderita dan jeranya si pelaku) tidak dapat disebut sebagai pidana.
Dalam arti khusus juga menurut penulis berarti penderitaan, nestapa dan siksaan itu baru dapat dikatakan pidana hanya pada hal-hal tertentu saja (jadi tidak umum), jadi jika ada seseorang yang menderita misalnya karena belum makan selama beberapa hari, tidak dapat penderitaannya itu disebut sebagai pidana, atau juga saat seseorang jatuh sakit, sekalipun orang tersebut merasa tersiksa dan menderita akan tetapi hal itu juga tidak dapat dikatakan sebagai pidana, sehingga jelaslah bahwa pidana dalam pengertian yang sempit adalah suatu hukuman (bukan tindakan) yang membawa siksaan, penderitaan / nestapa bahkan kematian yang sifatnya khusus.
Sedang pengertian pidana secara luas penulis mengikuti pendapat G.P. Hoefnagels, dimana pidana itu dipandang secara luas bagi si tersangka, yakni mulai dari sejak penahanan dan pengusutan terdakwa oleh polisi sampai dengan vonis dijatuhkan terhadapnya.

Mengenai pidana ini sendiri, A.Z. Abidin dalam bukunya pernah menulis bahwa “Hukum pidana itu merupakan cermin suatu masyarakat yang merefleksikan nilai-nilai yang menjadi dasar masyarakat itu. Bilamana nilai-nilai itu berubah, hukum pidana juga berubah.”
[5]
Dari pendapat beliau dapat disimpulkan bahwa pidana itu sendiri bersifat seharusnya bersifat fleksibel dan seharusnya juga terus berkembang mengikuti budaya, pola pemikiran dan kebiasaan dalam suatu masyarakat. Berubahnya pidana itu disini bukan berarti hanya ditujukan pada jenis-jenis pidana itu sendiri, melainkan juga termasuk pada ancaman pidana terhadap sipelaku tindak pidana, kemudian kemungkinan terjadinya kriminalisasi maupun dekriminalisasi.

Berkaitan dengan hal itu jugalah maka dalam makalah ini akan kami bahas mengenai salah satu jenis atau bentuk pidana yang hingga sekarang masih dianut di Indonesia, yakni mengenai pidana mati dalam sejarah dan perkembangan dan juga mengenai pro kontra pidana mati tesebut yang masih terus berlangsung hingga saat ini.



---000---





I. Pidana Mati

Dalam KUHP (Wetboek van Strafrecht) yang nota benenya masih merupakan produk lama pemerintah Belanda, pidana dibagi menjadi 2 bagian yakni pidana pokok yang dapat berupa pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tambahan yang berupa pencabutan beberapa hak yang tertentu, perampasan barang yang tertentu, pengumuman putusan oleh hakim.
Disini terlihat bahwa pidana mati masih dianut dan diancamkan tehadap tindak pidana tertentu di Indonesia.

Dalam KUHP setidaknya ada 9 macam kejahatan yang diancam pidana mati tersebut, antara lain ;
Makar dengan maksud membunuh Presiden atau Wakil Presiden (104 KUHP)
Melakukan suatu hubungan dengan negara asing sehingga berakibat terjadinya perang (111 ayat (2) KUHP)
Penghianatan memberitahukan kepada musuh saat perang (124 ayat (3) KUHP)
Menghasut dan memudahkan terjadinya huru hara (124 bis KUHP)
Pembunuhan berencana terhadap kepala Negara sahabat (140 ayat (3) KUHP)
Pembunuhan berencana (340 KUHP)
Pencurian dengan kekerasan secara bersekutu yang mengakibatkan luka berat atau mati (365 ayat (4) KUHP)
Pembajakan di laut yang mengakibatkan kematian (444 KUHP)
Kejahatan penerbangan dan sarana penerbangan (149 K ayat (2) dan 149 O ayat (2) KUHP)

Kemudian diluar KUHP juga masih banyak tindak pidana yang diancam dengan pidana ini seperti dalam Tindak Pidana Ekonomi, Tindak Pidana Narkotika & Psikotropika, Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana terhadap HAM, dsb.
Yang perlu diperhatikan dalam pengenaan pidana mati tersebut adalah bahwa selalu dicantumkannya sebuah alternatif baik berupa pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20 tahun.

Sejarah Singkat Pidana Mati Hingga Sampai di Indonesia.

Dalam sejarahnya pidana mati ini merupakan suatu jenis hukuman (pidana) yang tidak diketahui sejak kapan mulai diberlakukannya, tetapi sejarah mencatat bahwa jenis hukuman yang satu ini merupakan jenis hukuman yang terberat dan tertua yang pernah ada, bahkan menurut Codex Hammurabi yang diperkirakan telah ada sekitar 2000 tahun sebelum masehi, pidana mati ini telah digunakan pada orang yang telah melakukan kejahatan tertentu, bahkan menurut codex Hammurabi tersebut dikatakan, “kalau ada binatang pemeliharaan yang membunuh orang, maka binatang berikut pemiliknya juga akan dibunuh juga.”
[6]

Begitu juga dengan yang ada dalam Pentateuch (kitab Taurat agama Yahudi) yang ada jauh sebelum masehi, dinyatakan bahwa jenis pidana mati ini juga telah diatur, disahkan dan dipergunakan pada orang-orang tertentu yang telah melakukan kejahatan tertentu pada masa itu, seperti contohnya dengan melempari seorang anak yang durhaka hingga mati oleh orang-orang sekotanya (Deuteronomy / Ulangan 21:21).

Pada perkembangan di abad-abad selanjutnya terutama dijaman Romawi Kuno, pidana mati ini mengalami perkembangan yang luar biasa dalam bentuk pelaksanaannya, mulai dengan cara dipenggal, di salibkan, ditenggelamkan, digergaji, bahkan pada sekitar abad ke 4 masehi di semua daerah jajahan Romawi, pidana mati ini tidak lagi harus dilakukan dengan cara yang sama dengan yang telah diatur pada peraturan yang ada, sehingga ada yang sampai dengan cara digantung hidup-hidup di pinggir jalan dan kemudian dibakar sebagai penerangan jalan. Seperti dijabarkan oleh seorang ahli sejarah yang menyatakan, “Kita ketahui jalannya acara-acara peradilan itu … hukuman itu adalah dipancung kepalanya, dibuang kesalah satu pulau yang sangat jauh, dipekerjakan selaku budak, dibakar hidup-hidup ataupun diterkam binatang buas didalam gelanggang arena ditonton oleh beribu-ribu orang.”
[7]
Pada abad-abad selanjutnya, pidana mati ini kemudian telah menjadi suatu “alat” yang paling efisien dan dipandang paling kuat oleh gereja maupun raja-raja untuk menyingkirkan lawan-lawannya, ataupun untuk terus membuat rakyat tetap tunduk pada para penguasa yang ada.
Contohnya adalah hukum / peraturan yang berkembang pada abad pertengahan, yaitu “criminal extra ordinaria ini yang sangat terkenal adalah criminal stellionatus, yang letterlijk artinya : perbuatan jahat, durjana. Tetapi tidak ditentukan perbuatan berupa apa yang dimaksud disitu. Sewaktu hukum romawi kuno itu diterima (diresipieer) di Eropa barat pada abad pertengahan, maka pengertian tentang criminal extra ordinaria diterima pula oleh raja-raja yang berkuasa. Dan dengan adanya criminal extra ordinaria ini lalu diadakan kemungkinan untuk menggunakan hukum pidana itu secara sewenang-wenang, menurut kehendaknya dan kebutuhannya raja itu sendiri.”
[8]

Perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa inilah yang lalu menjadi titik tolak munculnya pemikiran-pemikiran pembaharuan hukum pidana dan munculnya asas legalitas (abad 18) oleh para pemikir hukum seperti Montesquieu, J.J.Rousseau, von Feurbach, dsb
Akan tetapi sekalipun asas legalitas tersebut kemudian diterima dan dimasukan dalam perundangan yang ada (Code penal Perancis), tidak berarti menghapuskan pidana mati itu sendiri, hanya saja membatasi penguasa dalam menerapkan pidana itu sendiri.

Penjajahan Perancis oleh Napoleon (1801) kemudian membawa bukan saja pengaruh budaya, bahasa dan guncangan terhadap perekonomian, tetapi juga sampai dengan pemahaman dan perkembangan hukum yang ada di negeri Belanda (Nederland). Seperti dinyatakan bahwa “dari sini asas itu dikenal oleh Nederland karena penjajahan Napoleon, sehingga mendapat tempat dalam Wetboek v. Strafrecht Nederland 1881…”
[9]

Yang kemudian sejarah mencatat oleh karena penjajahan Belanda di Indonesia, secara perlahan-lahan hukum pidana mulai diperkenalkan dan mulai menggeser kekuatan hukum adat yang telah ada dan kemudian berhasil mencapai puncaknya yakni pada saat Wetboek v. Strafrecht itu mulai diberlakukan secara nasional (menyeluruh) di Indonesia pada tahun 1918, baik bagi golongan Bumiputera, Timur Asing maupun golongan penduduk Eropa, yang kemudian dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Dalam KUHP inilah pidana mati (death penalty) dicantumkan dan mendapat pengaturannya yang sah (legal act) bagi pemerintah / negara Indonesia hingga saat ini dalam melakukan pemidanaan terhadap orang yang melakukan delik tertentu.


Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia

Sekalipun telah memiliki pengaturannya sendiri dalam pasal 11 KUHP yang menyatakan ; hukuman mati dijalankan oleh algojo ditempat penggantungan, dengan menggunakan sebuah jerat dileher terhukum dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri.
Tetapi dalam prakteknya setelah tahun 1918 tersebut mengalami perubahan pada saat Jepang menjajah Indonesia. “Pada waktu itu ada 2 peraturan dijalankan, yaitu peraturan pasal 11 KUHP dan satu lagi peraturan baru yang di Undangkan oleh pemerintah Jepang yang menghendaki pidana mati dilaksanakan dengan tembak mati (artikel 6 dari Ozamu Gunrei No.1 pada tanggal 2 Maret dengan artikel 5 dari Gunrei Keizirei, yaitu kode kriminil dari pemerintah pendudukan Jepang).
[10]

Kemudian setelah kesatuan RI tercapai dimulai dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, maka pidana mati dilakukan kembali dengan cara pidana gantung seperti yang ada dalam pasal 11 KUHP.
Pada tahun 1964, terjadi perubahan kembali dalam pelaksanaan pidana mati ini melalui Penetapan Presiden No.2 tahun 1964, dimana “Karena ketentuan tentang pelaksaaan pidana mati sebagaimana tersebut dalam pasal 11 ini tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan serta jiwa revolusi Indonesia, maka dengan Penpres No.2 / 1964 pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan cara ditembak mati disuatu tempat dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama.”
[11]
Penpres No.2 tahun 1964 ini juga kemudian melalui Lembaran Negara tahun 1964 nomor 38, dirubah menjadi Undang- Undang No.2 tahun 1964 .
Melalui UU No.2 tahun 1964 diatur bahwa pelaksanaan pidana ini tidak lagi dengan cara digantung oleh seorang algojo, melainkan dengan cara ditembak mati oleh suatu regu tembak, pidana mati ini juga menurut ketetapan tersebut mengharuskan agar dilaksanakan ditempat tertentu dan tidak dimuka umum kecuali ditetapkan lain oleh Presiden RI.
Disini terlihat bahwa efek penjeraan atau untuk mencoba membuat takut orang banyak agar suatu delik tidak dilakukan, yang adalah tujuan dari pidana mati dilakukan didepan umum pada masa yang lalu tidak lagi dijadikan alasan untuk mencapai tujuan pidana (mati), hal tersebut terlihat karena pidana mati itu sendiri sekarang dilakukan tidak ditempat umum untuk dilihat oleh khalayak ramai.

Sementara itu saat ini, pelaksanaan pidana mati di Indonesia juga diharapkan akan mendapat perubahan dalam pandangan para pakar, disini terlihat bagaimana dalam Rancangan KUHP yang masih dalam tahap penyusunan, dapat dilihat disana bahwa pidana mati tersebut tidak lagi dimasukan menjadi pidana pokok beriringan dengan pidana penjara dsb, melainkan telah mendapat tempat sebagai pidana yang bersifat khusus, yang dalam hal ini dijadikan suatu ancaman pidana secara alternatif. (Pasal 61 konsep KUHP 1999-2000)
Jadi disini dapat disimpulkan bahwa pidana mati masih dianggap sebagai suatu jenis pidana yang masih diperlukan dan dapat diterapkan, akan tetapi pelaksanaannya diharapkan hanyalah sebagai suatu alternatif yang bersifat khusus dan bukan lagi merupakan pidana pokok seperti yang masih dianut hingga sekarang berdasarkan KUHP lama (wetboek van strafrecht).



II. Kontra Pidana Mati Dalam Pembahasannya

Dalam perjalanannya, pidana mati ini adalah merupakan satu-satunya jenis pidana yang paling banyak mendapat tanggapan baik berupa kritik, saran, pembelaan, dsb.
Yang dalam buku tanya jawabnya Djoko Prakoso meyakini dimulainya pro kontra tersebut sejak publikasi “Dei Delitti E Delle Pene” tahun 1764 oleh Cesare Beccaria.
[12]
Yang pada akhirnya dapat terlihat bahwa pengaturan dan pelaksanaan pidana yang satu ini telah membuat terbaginya pandangan para pakar hukum, sosiolog, kaum agamawi, dsb menjadi 2 bagian, yaitu yang pertama adalah golongan mereka yang menyatakan tidak setuju (kontra) dengan tetap diatur dan tetap diterapkannya pidana mati tersebut dalam kehidupan bermasyarakat, dan yang kedua adalah golongan mereka yang menyatakan sangat setuju (pro) dengan keberadaan pidana mati itu sendiri.
Masing-masing golongan tentu saja memiliki argumentasi dan dalilnya masing – masing dalam mencoba mempertahankan pendapatnya tersebut.

Prof Mr. Roeslan Saleh (Guru Besar Hukum Pidana) berpendapat bahwa tidak setuju adanya pidana mati karena :
Kalau ada kekeliruan putusan hakim tidak dapat diperbaiki lagi.
Mendasarkan landasan falsafah Negara Pancasila, maka pidana mati itu dipandang bertentangan dengan perikemanusiaan.
[13]

Prof. Soedarto (Rektor UNDIP Semarang dan guru besar hukum pidana), juga tidak setuju adanya pidana mati dengan alasan :
Karena manusia tidak berhak mencabut nyawa orang lain, apalagi bila diingat bahwa hakim bias salah menjatuhkan hukuman.
Tidak benar hukuman mati untuk menakut-nakuti agar orang tidak berbuat jahat, karena nafsu tidak dapat dibendung dengan ancaman.
[14]
Yap Thian Hien mengatakan “Saya gembira kalau hukuman mati dikeluarkan dari semua Undang Undang baik KUHP maupun pidana khusus. Allah melarang untuk membunuh manusia. Dan hukuman mati tidak lain pembunuhan yang dilegalisir. Pemidanaan, menurut falsafah hukum modern tidak untuk membalas dendam, tapi untuk mendidik dan memperbaiki manusia yang rusak. Kalau sudah mati tidak lagi bisa tobat, itu tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Hukuman mati hanya menunjukan ketidakmampuan mendidik nara pidana.”[15]

Hal senada disetujui oleh penulis dikarenakan di satu sisi (kontra) pidana mati hanyalah membuat tertutupnya kesempatan bagi si terpidana untuk dapat diperbaiki, penulis yakin bahwa sejahat apa pun seseorang masih dapat diperbaiki cepat atau pun lambat.
Selain itu juga penulis memperkuat argumennya dengan mengutip dari Yohanes 8: 3-11 yang secara tidak langsung merupakan penyataan Yesus dalam menolak adanya pidana mati tersebut, sehingga dengan demikian sudah sepatutnyalah pidana mati tersebut ditiadakan.

Aneke di Perancis percaya bahwa setiap orang termasuk terpidana berhak untuk mendapat perlakuan yang manusiawi dan diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya.
Ia juga mengemukakan ketidaksetujuannya dengan pidana mati, salah satunya berlandaskan agama, dimana pelaksanaan pidana mati sama saja dengan mendahului kehendak Allah SWT. Alasan lainnya adalah jika ternyata terpidana terbukti tidak bersalah, apa yang dapat dibuat oleh pengadilan dalam memperbaiki kesalahan tersebut, jika terhukum sudah dipidana mati.

J.J. Amstrong Sembiring mengatakan “Dalam konteks hukuman mati, secara fakta empiris di berbagai negara, seperti Amerika Serikat dan Cina, yang memberlakukan ancaman hukuman mati, ternyata tindak angka kejahatan tidak berkurang. Di Cina, tentang hukuman mati, tidak lagi diterapkan secara absolut (mutlak), seperti di Indonesia, akan tetapi sebagai pidana khusus bersyarat.Banyak negara melakukan dua pendekatan, yaitu efek jera dan rehabilitasi. Berdasarkan right to life, hak untuk hidup terpidana, hukuman mati seharusnya tidak lagi diterapkan, maksimal hanya berpatokan pada efek jera.
[16]

Penulis juga melihat dari sisi lain (kontra) terhadap pidana mati dengan mendasarkanya pada pasal 28a UUD’45 yang menyatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”
Dalam UUD’45 secara eksplisit sudah jelas bahwa setiap manusia berhak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya dari siapapun, selain itu juga pidana mati ditinjau dari tujuan pemidanaan yang berkembang luas, dimana dalam hal ini setiap pejabat / penegak hukum yang berpandangan melakukan pembalasan untuk memuaskan hasrat keluarga korban agar pelaku tindak pidana diberikan hukuman yang setimpal ini akan menjadi keadilan semu.
Kemudian juga masih menurut penulis, bahwa pidana mati merupakan langkah keliru dikarenakan dengan dilakukannya eksekusi pidana mati, para eksekutor tersebut memberikan jalan panjang menuju rantai kekerasan yang merupakan pembunuhan yang dilegalisir oleh Negara.

J.E. Sahetapy juga dalam bukunya tentang pidana mati ini menyatakan ketidaksetujuannya dengan berbagai alasan, salah satunya adalah ketidaksetujuannya terhadap pidana mati dengan tujuan pembalasan dan menakutkan, dimana menurut beliau ;
“pemidanaan sebaiknya bertujuan “pembebasan”, pembebasan disini harus dilihat bukan dalam pengertian fisik. Sebab secara fisik yang bersangkutan sama sekali tidak mengalami perubahan, kecuali ruang geraknya dibatasi karena ia berada dalam lembaga permasyarakatan. Namun dalam keterbatasan ruang geraknya, ia dibebaskan secara mental dan spiritual. Ini berarti ia bukan saja melepaskan pula cara berpikir dan gaya hidupnya yang lama, melainkan ia melepaskan pula cara berpikir dan kebiasaan yang lama.”
[17]

III. Pro Pidana Mati Dalam Pembahasannya

Sebaliknya dalam menetapkan pidana mati ini terdapat juga golongan kedua yaitu mereka yang setuju (pro) mengenai pelaksanakannya pidana mati tersebut.

Seorang yang bernama Greg. L. Bahnsen dalam bukunya menjelaskan alasan mengapa ia setuju dengan pidana mati ini tetap diterapkan, yang menurutnya “kita harus mengerti ketentuan dari hukuman mati atas dasar bahwa suatu hukuman yang bersifat kewarganegaraan adalah kejahatan yang dibenarkan di mata Allah.”
[18]

Begitu juga dengan David Anderson, seorang pakar yang berasal dari kalangan Kristiani, yang sangat setuju (pro) dengan pidan mati pernah menulis bahwa “In order to rightly value the death penalty it is necessary to have emphaty and understanding for all the victims and their relatives.” Sangat tepat bahwa pidana mati justru menunjukan rasa simpati terhadap korban-korban kejahatan berat, mengapa kita harus mendahulukan dan mengutamakan hak asasi para criminal, ketimbang hak asasi korban-korban kejahatan itu sendiri? Menurutnya sampai kapanpun pidana mati ini tetap diperlukan terhadap pelaku-pelaku kejahatan berat seperti pembunuhan berencana yang dilakukan secara sadis, pembunuhan massal, koruptor kelas kakap dan teroris. Hanya saja menurutnya eksekusi pidana mati itu yang perlu direvisi, sehingga mengurangi rasa sakit si terpidana, misalnya dengan menggunakan suntikan yang tidak menyakitkan.

Alasan lain juga dikemukakan oleh pakar lainnya yaitu Ririn di Swedia yang menjelaskan bahwa pidana mati dipertahankan dengan alasan sepanjang hukuman mati tersebut merupakan senjata efektif untuk terpidana dan untuk masyarakat. Dilaksanakannya sepanjang tidak digunakan untuk memberantas lawan politiknya dan dilakukan dengan manusiawi, serta melalui proses peradilan yang adil dan jujur.

Begitu juga dengan Bichon van Ysselmode yang menyatakan “Saya masih berkeyakinan, bahwa ancaman dan pelaksanaan pidana mati harus ada dalam tiap-tiap Negara dan masyarakat yang teratur, baik ditinjau dari sudut keputusan hukum maupun dari sudut tidak dapat ditiadakannya. Keduanya jure divino humano. Pedang pidana, seperti juga pedang harus ada pada Negara. Hak dan kewajiban ini tak dapat diserahkan begitu saja. Tetapi haruslah dipertahankan dan juga digunakannya.”
[19]

Didalam Hukum Islam hampir tidak diketemukan pro–kontra pidana mati, oleh karena didalam Islam dikenal Talio, yang berarti membuat sebanding dengan perbuatannya terhadap orang lain, sehingga disini sama dengan apa yang dianut dengan agama Yahudi dalam kitab Pentateuch mereka yang menyatakan bahwa mata balas mata, gigi ganti gigi.
Bahkan didalam Islam diwajibkan qishash, yang dalam surat Al Baqarah ayat 178 dinyatakan “Hai orang-orang yang beriman : sesungguhnya diwajibkan kkamu qishash untuk soal pembunuhan, orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak, wanita dengan wanita, tetapi kalau seorang kamu dimaafkan oleh sanak saudaranya hendaklah kamu membalas kebaikan mereka itu, karena itu adalah suatu keringanan dari Tuhan Yang Maha Pengasih.”

Sulaeman Rasjid menyebutkan syarat-syarat dapat dijatuhkannya pidana mati sebagai berikut ;
Keadaan yang membunuh sudah baliq dan berakal.
Yang membunuh bukan bapak dari yang dibunuh.
Keadaan yang dibunuh tidak kurang juga derajatnya dari yang membunuh
Yang dimaksud dengan derajat disini ialah agama dan merdeka atau tidak, begitu juga dengan anak dengan bapal. Maka oleh karenanya orang Islam yang membunuh orang kafir tidak berlaku terhadapnya.
Keadaan yang terbunuh, orang yang terpelihara darahnya dengan Islam atau dengan perjanjian.
[20]

Dalam perkembangannya para pakar dari kalangan agama Islam juga memiliki pandangan dan penafsiran yang berbeda tentang pidana mati tersebut, contohnya Malik yang setuju untuk menerapkan pidana mati tersebut terhadap orang yang melakukan tindakan pembunuhan yang tidak disengaja, sementara yang lain seperti Abu Hanifah dan As-Syafii hanya setuju tetapi dengan syarat bahwa perbuatan tersebut dilakukan berulang-ulang. Begitu juga menurut Juynboll, “pidana mati hanya dipergunakan terhadap pembunuhan yang disengaja dan membunuh dengan senjata dalam keadaan normal dan yang melakukan kejahatan itu cukup umur dan waras.”
[21]

Bambang Poernomo menyatakan bahwa “Pidana mati yang dilakukan menurut ketentuan – ketentuan Islam yang “benar” adalah tidak bertentangan dengan falsafah Negara, tidak tidak berlawanan pula dengan unsur-unsur Ketuhanan YME, karena syari’at Islam merupakan syari’at yang berdasarkan Ketuhanan YME.”
[22]

Kemudian dalam pandangan penulis (jika seandainya pro pidana mati) akan menyatakan setuju masih diatur dan diterapkannya pidana mati tersebut dalam KUHP, dengan memandang dari sisi pencegahannya (general deterent). Menurut penulis berhubungan dengan efek pencegahan ini, ancaman pidana mati terhadap delik tertentu akan membawa secara langsung tak langsung jiwa (pikiran, perasaan dan kehendak) seseorang “ditekan” untuk tidak melakukan bahkan berusaha menjauhkan diri untuk melakukan delik yang diancam pidana mati tersebut dan dengan demikian akan berhasil membuat suatu efek pencegahan pada masyarakat luas terhadap delik-delik tertentu.

Penulis juga setuju dengan pendapat von Feurbach yang berpendapat bahwa jika seseorang terlebih dahulu telah mengetahui bahwa ia akan mendapat suatu hukuman yang telah diatur dalam undang-undang, maka sudah tentu ia akan lebih berhati-hati.

Dari beberapa pendapat para pakar dan penulis diatas, maka dapatlah disimpulkan bahwa pidana mati tidaklah boleh hanya ditinjau dari akibatnya saja , yaitu matinya seseorang, melainkan harus juga dilihat dari sisi keadilan, hak asasi dan rasa empati terhadap korban-korbannya. Kemudian selain dari sudut pandang hak asasi dan rasa empati terhadap korban juga ditinjau dari sudut pandang agama Islam, pidana mati tersebut merupakan sesuatu yang legal dan bahkan dianjurkan sehingga tidak mungkin dan seharusnya tidak boleh dihapuskan, sebab dengan demikian maka asas pembalasan yang dalam bahasa Arab dikenal qishash tidak akan dapat diwujudkan. Begitu juga dengan agama Kristen yang oleh beberapa pakar agama Kristen (Katholik) dinyatakan sebagai sesuatu yang seharusnya ada dan sah (dibenarkan) dihadapan Tuhan.

Salah satu contohnya adalah pendapat A. Jansens yang mengatakan “bahwa penguasa duniawi tanpa dosa boleh menjalankan pidana mati asal mereka pada menentukan pidana itu tidak karena benci, tapi sesudah dipertimbangkan secara masak. Jadi dapat dikatakan bahwa ajaran agama Kristen (Katholik) menerima bahwa Negara berhak menjatuhkan pidana mati dan melaksanakannya.”
[23]

Ditinjau lebih jauh dari sisi Agama Kristen (Katholik), ternyata dengan lebih jelas dapat dilihat bagaimana Allah memberikan kuasa (kewenangan) untuk terjadinya pidana mati ini oleh pemerintahan manusia hingga saat ini.
“Dimulai dari awal kitab Kejadian (Kej 4) sampai pada jaman sebelum Nuh telah ada pidana mati, tetapi bentuknya diberikan kepada sanak family untuk membalas dendam pada si pembunuh (Kejadian 4:14) … juga dilanjutkan dengan dimasukannya pidana mati itu ke dalam hukum Musa (Keluaran 21 ; 31:14 dsb).”
[24]

“Pidana mati ini juga kemudian ditegaskan kembali dalam Perjanjian Baru … dimana pedang yang diberikan dari Atas untuk pemerintahan manusia untuk hukuman mati (Kejadian 9:6) secara eksplisit ditegaskan kembali didalam Perjanjian Baru (Roma 13:4). Yesus juga mengakui hal ini di hadapan Pilatus (Yohanes 19:11), sebagaimana yang dilakukan Paulus dihadapan orang-orang Roma (Kis 25:11) Dengan demikian pidana mati, sedikitnya untuk kejahatan-kejahatan yang besar, telah dinyatakan sebelum hukum Musa dan diulangi lagi sesudahnya.”
[25]

Juga penafsiran terhadap kitab Roma pasal 13 ayat 4 yang menyatakan ; bahwa pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murkaNya pada mereka yang jahat, sehingga tidak sia-sia / percuma pemerintah menyandang pedang.
Penafsiran dari ayat tersebut menurut penulis (jika pro pidana mati) diyakinkan haruslah diberi pengertian bahwa menurut ayat itu Pemerintah (penguasa yang ada) diperbolehkan (dibenarkan dihadapan Allah) dalam menganut dan melaksanakan pidana mati, sebab dalam teologi Kristen jika berbicara mengenai “pedang” hampir selalu diberi arti dan dihubungkan dengan pembunuhan ataupun kematian.
Sehingga sangatlah tidak mungkin jika ditafsirkan bahwa pada saat menuliskan surat kepada jemaat di Roma tersebut Rasul Paulus sedang memikirkan tentang pidana penjara, pidana denda ataupun jenis pidana yang lainnya. Melainkan dengan pasti seharusnya pernyataan tidak sia-sia atau tidak percuma pemerintah menyandang pedang, ditafsirkan dengan pidana mati yang memang pada saat ditulisnya surat itu sedang marak diterapkan di daerah Yudea, Samaria bahkan di Roma itu sendiri.

Dari sini kita haruslah dapat melihat bahwa sekalipun memang membunuh / menghilangkan nyawa orang lain selalu dipandang sebagai suatu perbuatan yang berdosa dan karenanya sangat tidak diperbolehkan, tetapi jika dilakukan oleh pemerintah yang ada, sesuai ketentuan yang ada, dan tidak dalam kesewenangan serta berdasarkan keadilan dan pertimbangan yang jujur dan pasti, maka pidana mati tersebut merupakan sesuatu yang tetap dibenarkan (tidak dianggap perbuatan dosa) dihadapan Allah, dan karenanya adalah sesuatu yang baik dan benar untuk tetap mempertahankan pidana mati tersebut terhadap kejahatan-kejahatan tertentu.



Kesimpulan

Pidana mati merupakan jenis pidana yang dijatuhkan oleh pemerintahan suatu Negara (kerajaan) yang dianggap merupakan pidana terberat dan tertua dilihat dari sejarahnya.
Dalam perkembangannya pidana mati ini sering diselewengkan oleh penguasa yang ada sebagai suatu senjata yang ampuh dalam menyingkirkan lawan-lawan politiknya dan juga sebagai sarana yang paling sering digunakan untuk mempertegas kedudukannya sebagai penguasa dihadapan masyarakat luas.

Dalam bentuknya pidana mati ini juga merupakan suatu jenis pidana yang paling banyak memilki variasi dalam pelaksanaannya, mulai dengan cara dipenggal, di salibkan, ditenggelamkan, di adu hingga mati dengan binatang buas dalam suatu gelanggang arena, digergaji, ditarik oleh 4 kuda hingga mati terpotong-potong, bahkan pada sekitar abad ke 4 sampai dengan cara digantung hidup-hidup di pinggir jalan dan kemudian dibakar sebagai penerangan jalan. Semua bentuk-bentuk tersebut dilaksanakan dengan alasan dan tujuannya masing-masing tetapi dengan hasil akhir yang sama yakni matinya seseorang.
Berbagai bentuk tidak manusiawi dan penerapan akhir yang seringkali dianggap merupakan kesewenangan penguasa inilah yang membawa pro – kontra terhadap pidana mati ini terus berlangsung hingga kini.
Sebagian berpendapat agar pidana mati tersebut harus segera dihapuskan, tetapi sebagian orang lainnya menyatakan bahwa pidana mati ini masih merupakan suatu jenis pidana yang dibutuhkan hingga saat ini.

Dibutuhkan hikmat serta pemikiran yang dalam dan objektif dalam mengkaji mengenai masih diatur dan dilaksanakannya pidana mati tersebut dalam kehidupan bernegara.
Dan jika pelaksanaan pidana mati tersebut masih tetap harus dipertahankan, maka harus juga dipikirkan dalam-dalam bagaimana pelaksanaan pidana mati itu dilakukan sehingga dilakukan dengan cara yang paling tepat, manusiawi, meringankan si terdakwa dan tidak berdampak negatif / buruk terhadap pandangan masyarakat luas.



Kepustakaan

Andi Hamzah & A Sumangelipu. Pidana Mati di Indonesia. Ghalia Indonesia 1984

Bambang Poernomo. Ancaman Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Di Indonesia. Penerbit Liberty Jogjakarta. 1982

Djoko Prakoso. Masalah Pidana Mati (soal jawab). Bina Aksara. Jakarta 1987


H.Berkhof, L.H.Enklaar. Sejarah Gereja. BPK Gunung Mulia 1997

J.E. Sahetapy. Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana. Alumni Bandung. 1979

Moeljatno. Azas-Azas Hukum Pidana. Bina Aksara Jakarta 1983


Muladi & Barda Nawawi. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni Bandung 1998

Norman.L.Geisler Etika Kristen. SAAT – Malang. 2000


P.A.F Lamintang. Hukum Penitensier Indonesia. Armico 1984

R.Soesilo. KUHP (serta komentarnya lengkap pasal demi pasal). Politea Bogor 1994




Sumber-sumber lain ;
Konsep KUHP tahun 1999-2000
J.J. Amstrong Sembiring. Pidana Mati di Tengah Krisis Hukum.
www.iloveblue.com/bali_gaul_funky/berita_bali/detail/67.htm
Undang Undang Dasar 1945. Pustaka Madani Press. 2004





[1] P.A.F Lamintang. Hukum Penitensier Indonesia. Armico 1984. halaman 34
[2] P.A.F Lamintang. Hukum Penitensier Indonesia. Armico 1984. halaman 35
[3] Muladi & Barda Nawawi. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni Bandung 1998. halaman 2
[4] Ibid. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni Bandung 1998. halaman 9
[5] Andi Hamzah, A Sumangelipu. Pidana Mati di Indonesia. Ghalia Indonesia 1984. halaman 12, mengutip dari A.Z. Abidin. Bunga Rampai Hukum Pidana. Pradnya Paramita. Jakarta
[6] Ibid. Pidana Mati di Indonesia. Ghalia Indonesia 1984. halaman 79. Penulis mengutip dari J.A. Drossaart Bentfort, Tijdschrift voor Strafrecht 1940. Deel I pp.308-309

[7] H.Berkhof, L.H.Enklaar. Sejarah Gereja. BPK Gunung Mulia 1997. halaman 17
[8] Moeljatno. Azas-Azas Hukum Pidana. Bina Aksara Jakarta 1983. halaman 24
[9] Ibid. Azas-Azas Hukum Pidana. Bina Aksara Jakarta 1983. halaman 24
[10] Andi Hamzah, A Sumangelipu. Pidana Mati di Indonesia. Ghalia Indonesia 1984. halaman 90

[11] R.Soesilo. KUHP (serta komentarnya lengkap pasal demi pasal). Politea Bogor 1994. halaman 37
[12] Djoko Prakoso. Masalah Pidana Mati (soal jawab). Bina Aksara. Jakarta 1987. halaman 35
[13] Bambang Poernomo. Ancaman Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Di Indonesia. Penerbit Liberty Jogjakarta. 1982. halaman 18

[14] Ibid. Ancaman Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Di Indonesia. Penerbit Liberty Jogjakarta. 1982. halaman 19
[15] Ibid. Ancaman Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Di Indonesia. Penerbit Liberty Jogjakarta. 1982. halaman 19
[16] J.J. Amstrong Sembiring. Pidana Mati di Tengah Krisis Hukum. www.iloveblue.com/bali_gaul_funky/berita_bali/detail/67.htm

[17] J.E. Sahetapy. Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana. Alumni Bandung. 1979. halaman 216-217
[18] Norman.L.Geisler Etika Kristen. SAAT – Malang. 2000. halaman 255. Penulis mengutip dari Greg.L.Bahnsen. Theonomy In Cristian Ethics. Exp.ed (Phillipsburg N.J Presbyterian and Reformed. 1984 halaman 441.
[19] Andi Hamzah, A Sumangelipu. Pidana Mati di Indonesia. Ghalia Indonesia 1984. halaman 25

[20] Ibid. Pidana Mati di Indonesia. Ghalia Indonesia 1984. halaman 64
[21] Ibid. Pidana Mati di Indonesia. Ghalia Indonesia 1984. halaman 61

[22] Bambang Poernomo. Ancaman Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Di Indonesia. Penerbit Liberty Jogjakarta. 1982. halaman 8
[23] Op.cit. Pidana Mati di Indonesia. Ghalia Indonesia 1984. halaman 65

[24] Norman.L.Geisler Etika Kristen. SAAT – Malang. 2000. halaman 268

[25] Ibid. Etika Kristen. SAAT – Malang. 2000. halaman 269

No comments: