WELCOME FRIENDS

Selamat datang di blog ini, blog ini di tujukan sebagai kumpulan berita, artikel, pesan dan mungkin hasil pemikiran penulis dengan mengangkat tema sentral Hukum Bisnis, akan tetapi para pembaca juga akan di bawa membaca banyak tulisan-tulisan yang muatan secara materinya tidak berhubungan secara langsung dengan Hukum Bisnis saja, seperti contohnya dimasukannya tulisan mengenai Hukum Pidana, Hukum Tata Negara dan sebagainya, walau begitu adalah Hukum Bisnis yang tetap menjadi sentral utama dari materi muatan blog ini.

Selamat membaca dan di tunggu masukan, pendapat dan mungkin kritikan dari kawan-kawan semua.

08 April 2007

Kejaksaan Dalam Pranata Hukum Indonesia

Bab I
PENDAHULUAN


Pada mulanya di Indonesia (menurut hukum adat) tidak mengenal pembedaan atau pemisahan bentuk hukum menjadi pidana dan perdata, yang karena Supomo hal tersebut disebabkan “... alam pikiran tradisional Indonesia bersifat kosmis, meliputi segalanya sebagai suatu kesatuan (totaliter), sehingga tidak ada pemisahan-pemisahan dari berbagai macam lapangan hidup...”
[1]
Hal ini juga tentunya termasuk dalam hal hukum (adat) yang berlaku pada saat itu. Tetapi hal tersebut berubah seiring kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Belanda yang pada saat itu masih menjajah bangsa Indonesia, dimana sekitar tahun 1845 Raja di negeri Belanda mengangkat Mr.HL Wichers sebagai Presiden Hoooggerechtshof merangkap Komisaris khusus di Hindia Belanda dan ditugaskan untuk memperbaiki, mengatur dan memberlakukan peraturan mengenai peradilan dan kitab undang-undang (IR) yang telah dibuat untuk Hindia Belanda tersebut. Isi dari perintah Raja tersebut diumumkan di Indonesia tanggal 16 Mei 1846 dengan Sbld 1847 No:23. yang kemudian setelah mengalami beberapa perubahan akhirnya berubah menjadi HIR (Herzine Inlands Reglement) pada thn 1941.
Tetapi setelah tahun 1981 sejak diberlakukannya undang – undang No.8 thn 1981 mengenai Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana, negara Indonesia sudah tidak menggunakan lagi HIR buatan Belanda yang liberal individualis itu sebagai hukum acara pidana di Indonesia, melainkan menggunakan KUHAP buatan sendiri yang telah dijiwai oleh Pancasila sebagai grundnorm / norma dasar bangsa Indonesia.
Berbicara tentang hukum pidana maka tidak pernah dapat lepas dengan berbicara tentang subsistem – subsistem atau aparatur-aparatur didalamnya yang berhubungan langsung dengan masalah pidana dan pemidanaan, dimana subsistem – subsistem tersebut adalah Penyidik (Kepolisisan), Jaksa Penuntut Umum (KeJaksaan), Hakim (Pengadilan), dan Lembaga Koreksi (Lapas).
Didalam makalah ini kami akan memfokuskan isi pembahasan pada subsistem kedua yaitu KeJaksaan (JPU), dimana menurut kami posisi Jaksa Penuntut Umum adalah sangat penting dan merupakan posisi kunci atau posisi sentral, jika di pandang dari fungsinya Jaksa Penuntut Umum dalam proses penyelesaian suatu perkara, dimana ia berada tepat ditengah – tengah antara penyidik dan hakim. Sebab dengan wewenangnya Jaksa Penuntut Umum dapat mengadakan pra penuntutan (pengembalian berkas perkara kepada penyidik untuk dilengkapi disertai dengan petunjuk yang mana setelah dilengkapi oleh penyidik dikirimkan kembali kepada Jaksa peneliti untuk dapat dilimpahkan perkaranya ke Pengadilan), dan dengan wewenangnya juga ia membuat dakwaan (dan penuntutan) yang kemudian menjadi dasar untuk semuanya, yakni dasar pemeriksaan dipengadilan, dasar tuntutan pidana setelah pemeriksaan, dasar pembelaan terdakwa / penasehat hukumnya dan juga menjadi dasar bagi hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.
Hal inilah yang membuat pembahasan mengenai Jaksa Penuntut Umum (KeJaksaan) baik mengenai surat dakwaan, surat tuntutan maupun tugas dan fungsinya dalam sistem peradilan di Indonesia selalu menarik dan patut dicermati dengan seksama.

Menurut Undang-Undang KeJaksaan No:16 Tahun 2004, KeJaksaaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. (UU No.16 thn 2004 Tentang KeJaksaan Pasal 2 ayat 1).
Sedangkan Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang (UU No.16 thn 2004 Tentang KeJaksaan Pasal 1 butir ke 1).
Sedangkan Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan hakim (UU No.16 thn 2004 Tentang KeJaksaan Pasal 1 butir ke 2).
Jika kita bandingkan pasal 1 butir ke 1 dan pasal 1 butir ke 2 UU No:16 thn 2004 tersebut Jo pasal 1 butir 6a dan 6b KUHAP, maka terlihat sedikit perbedaannya, yakni Jaksa adalah aparat KeJaksaan sebagai alat negara penegak hukum dalam arti umum (sebagai jabatan), sedangkan Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi tugas untuk menangani proses penyelesaian suatu perkara pidana.



Bab II
SURAT DAKWAAN


Seperti telah dijabarkan didalam pendahuluan tentang tugas Jaksa dalam melakukan penuntutan perlulah diperhatikan sebelumnya apa yang ditentukan dalam pasal 139 KUHAP, dimana Jaksa Penuntut Umum diharuskan segera menentukan sikap setelah menerima berkas perkara dari penyidik, yakni apakah berkas perkara itu telah memenuhi persyaratan untuk dapat dilimpahkan ke Pengadilan yang berwenang atau tidak. Dalam hal ini sesuai pasal 138 ayat 2 maka Jaksa Penuntut Umum haruslah mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dalam waktu 7 hari setelah tanggal pemeriksaan berkas (proses inilah yang disebut dengan istilah pra-penuntutan).
Apabila Jaksa Penuntut Umum berpendapat bahwa perkara telah lengkap dan memenuhi persyaratan untuk dilimpahkan ke Pengadilan, maka Jaksa Penuntut Umum segera membuat surat dakwaan.
Khusus dalam P.21 yaitu kode untuk surat penyataan kelengkapan suatu berkas perkara dari Jaksa Penuntut Umum pada Penyidik, ada permasalahan dalam istilah “lengkap” tersebut, dimana seringkali timbul pertanyaan, apa saja yang menjadi syarat “kelengkapan” itu? Dan apakah lengkap disini termasuk juga dengan semua unsur-unsur yang akan didakwakan?
Seharusnya P.21 tersebut tidak lagi dikatakan hasil penyidikan sudah lengkap, melainkan “...lebih baik diganti dengan pemberitahuan hasil penyidikan sudah maksimum, karena dalam prakteknya tidak semua hasil penyidikan yang sudah dinyatakan Jaksa lengkap, telah memenuhi unsur-unsur yang didakwakan.”
[2]
Jadi istilah “lengkap” tersebut alangkah lebih baiknya jika diganti menggunakan istilah “sudah maksimum.”

Setelah diteliti dan dipelajari dan dinyatakan sudah maksimum (P.21) maka Jaksa Penuntut Umum segera membuat surat dakwaan.
“Surat dakwaan adalah surat atau akta yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan.”
[3]
“Dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasarkan itulah pemeriksaan dipersidangan dilakukan. Hakim tidak dapat menjatuhkan pidana diluar batas-batas dakwaan.”[4]
“Pemeriksaan didasarkan kepada dakwaan dan menurut Nederburg, pemeriksaan tidak batal jika batas-batas itu dilampaui tetapi putusan hakim hanya boleh mengenai peristiwa-peristiwa yang terletak dalam batas itu.”[5]
Bentuk-bentuk surat dakwaan
Bentuk surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum sifatnya adalah kasuistis, hal ini disebabkan oleh karena pembuatan surat dakwaan tersebut bergantung pada kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh terdakwa seperti yang dituangkan oleh penyidik dalam berkas perkara.
Khusus tentang hubungan kausal ini Prof Moeljatno, SH menjelaskan bahwa “Tanpa adanya hubungan kausal antara akibat yang tertentu dengan kelakuan orang yang didakwa menimbulkan akibat tadi, maka tak dapat dibuktikan bahwa orang itu yang melakukan delik tersebut, apalagi dipertanggungjawabkan kepadanya.”
[6]
Maka dari itu surat dakwaan itu bersifat kasuistik, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kasuistik tersebut diartikan sebagai sebab-sebab timbulnya sesuatu (dari akibat), dimana dalam hal ini adalah kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh terdakwa.
Bentuk surat dakwaan berbeda-beda dan bentuk-bentuk yang berbeda tersebut sangat penting artinya dalam rangka pembuktian kesalahan terdakwa didalam sidang pengadilan.

Ada 5 macam bentuk surat dakwaan, yakni :
Dakwaan Tunggal (enkelvoudig)
Bentuk ini digunakan apabila penuntut Umum berpendapat dan yakin bahwa tindak pidana yang dilakukan terdakwa :
Hanya merupakan satu tindak pidana saja.
Ada 2 tindak pidana, tetapi yang didakwakan hanya 1 saja sedang yang satunya dihentikan penuntutannya.
Terdapat 1 perbuatan tetapi termasuk dalam beberapa ketentuan pidana, maka yang dikenakan satu saja dari ketentuan itu.
Dalam hal adanya perbuatan yang berkelanjutan.

Dakwaan Kumulatif.
Dalam bentuk ini beberapa tindak pidana didakwakan secara serempak, tidak peduli beberapa tindak pidana itu ada kaitannya atau tidak dan tidak peduli apakah ada perbedaan waktu terjadinya atau tidak, tetapi tetap memperhatikan pasal 2-9, asalkan tindak pidana itu dilakukan oleh subjek yang sama. Dalam bentuk ini semua dakwaan harus dibuktikan.

Dakwaan Subsidair.
Bentuk ini biasanya digunakan oleh Penuntut Umum jika ia ragu-ragu apakah suatu perbuatan itu merupakan tindak pidana pembunuhan berencana, pembunuhan biasa, atau penganiayaan berat yang menyebabkan kematian.
Bentuk surat dakwaan ini disusun dengan sistem primer (pokok), subsidair, lebih subsidarir, dan seterusnya mulai dari yang terberat hingga yang paling ringan. Yang harus diingat bahwa diantara dakwaan primer dan subsidair ada persamaannya dan erat hubungannya. Dalam bentuk dakwaan ini jika yang primer sudah dapat dibuktikan maka yang subsidair, lebih subsidair dst tidak lagi harus dibuktikan, tetapi jika yang primer tidak dapat dibuktikan maka yang harus dibuktikan adalah yang subsidair, dst.
Dakwaan Alternatif.
Jika dalam dakwaan subsidair Penuntut Umum ragu-ragu atas kualifikasi yuridis yang paling tepat bagi terdakwa apakah suatu perbuatan itu merupakan tindak pidana pembunuhan berencana, pembunuhan biasa, atau penganiayaan berat yang menyebabkan kematian, sedang dalam dakwaan alternatif pada umumnya Penuntut Umum ragu apakah terdakwa sebagai pembantu atau turut serta. Yakni antara pasal 56 KUHP atau 55 KUHP. Atau dapat juga ada keraguan, apakah tindak pidana pencurian atau penadahan.
Jadi ada perbedaan dengan dakwaan subsidair, dimana dalam subsidair hakim wajib melakukan pemeriksaan dan putusan pada dakwaan pertama. Bilamana dakwaan pertama sudah terbukti dan dapat dikenakan pidana, maka dakwaan kedua tidak perlu lagi diperiksa, hal ini berbeda dengan bentuk kumulatif.

Dakwaan Kombinasi.
Surat dakwaan ini adalah dalam bentuk kumulatif, tetapi didalamnya mengandung pula dakwaan primair dan subsidair.
Contoh bentuk kombinasi :
Kesatu : Primer...........................
Subsidair.......................
Kedua : Primer............................
Lebih Subsidair..............

Dasar surat dakwaan
Dalam sistem peradilan pidana di negara Indonesia ini, seseorang hanya dapat di jatuhi suatu pidana setelah pengadilan memeriksa dan memutus perkara tersebut atas dasar surat dakwaan yang Penuntut Umum buat. Sehingga dengan kata lain, isi dari pada suatu surat dakwaan memiliki nilai dan merupakan faktor utama yang mendasari banyak hal lainnnya, dimana surat dakwaan tersebutlah yang menjadi dasar pemeriksaan di pengadilan, dasar penuntutan pidana setelah pemeriksaan, dasar pembelaan terdakwa / penasehat hukumnya dan juga menjadi dasar bagi hakim dalam menjatuhkan suatu putusan. Untuk itu Undang-Undang telah mengaturnya dalam pasal 13-15 KUHAP dan pasal 8, 30 ayat 1a UU No:16 thn 2004. Dan lebih khususnya lagi wewenang membuat surat dakwaan tersebut diatur dalam pasal 14d KUHAP.

Syarat-Syarat Surat Dakwaan ;
Mengenai syarat dalam suatu surat dakwaan, diatur dalam pasal 143 KUHAP, dimana didalamnya ditentukan 2 syarat yang harus dipenuhi dalam surat dakwaan yakni memuat syarat formil dan memuat syarat materil yang harus diberi tanggal dan ditandatanggani oleh penuntut umum.

Bahkan menurut tanya jawab yang dilakukan dengan seorang Jaksa Utama Pratama (Pembina) bernama Hg Zebua di Kejaksaan Tinggi Bandung, selain syarat materil dalam sebuah surat dakwaan harus dicantumkan juga kalimat “Demi Keadilan”, hal ini adalah merupakan pengganti bea meterai yang menyatakan bahwa sebuah surat atau dokumen sah / resmi.
Sebuah surat dapat dikatakan menjadi akta resmi dan berkekuatan hukum jika di bubuhi dengan meterai dalam surat tersebut, dalam hal ini surat dakwaan tidak menggunakan meterai untuk menjadikan surat tersebut merupakan akta resmi /otentik melainkan diganti dengan kalimat “Demi Keadilan” yang dianggap menjadi pengganti bea meterai, sehingga jika kalimat “Demi Keadilan” tersebut tidak ada surat dakwaan tersebut dapat dianggap tidak sah dan dapat batal demi hukum, ini tidak tertuang dalam KUHAP, tetapi diatur dalam Jurisprudensi.

Syarat formal memuat mengenai nama lengkap terdakwa, umur dan tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa (biasanya dilengkapi juga dengan pendidikan terakhir terdakwa).
Sedangkan syarat materil memuat tentang uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dan menyebutkan waktu (tempus delicty) dan tempat (locus delicty) tindak pidana itu dilakukan.
Hal yang sangat penting berhubungan dengan kedua syarat tersebut adalah bahwa dalam KUHAP telah diatur jika syarat materil yang dimaksud tidak memenuhi ketentuan seperti yang telah disyaratkan (pasal 143 ayat 2b KUHAP) maka surat dakwaan tersebut batal demi hukum.

Tetapi sekalipun telah ditentukan seperti demikian, sayangnya para penyusun KUHAP tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan cermat, jelas dan lengkap tersebut, sehingga dalam prakteknya seringkali dijadikan “senjata” oleh terdakwa / advokatnya untuk mengajukan eksepsi agar hakim memutuskan bahwa surat dakwaan tidak jelas / kabur (obscuur libel), atau pun dengan alasan surat dakwaan tersebut tidak cermat, jelas dan lengkap sehingga batal demi hukum.
Dari sini dapat disimak bahwa agar syarat materil ini terpenuhi maka syarat materil tersebut dapat dibagi menjadi 5 bagian, yakni :
Uraian secara cermat tindak pidana yang didakwakan.
Uraian secara jelas tindak pidana yang didakwakan.
Uraian secara lengkap tindak pidana yang didakwakan.
Waktu tindak pidana dilakukan.
Tempat tindak pidana dilakukan.
Kelima hal inilah yang menurut pasal 143 KUHAP harus dipenuhi, dimana jika tidak terpenuhi akan dapat mengakibatkan surat dakwaan tersebut batal demi hukum.

Uraian Cermat, jelas dan lengkap ;
Cermat ; disini pembuat menghendaki agar karakter atau sikap penuntut umum dalam membuat surat dakwaan selalu bersikap cermat dan teliti. Kecermatan itu sendiri meliputi keseluruhan surat dakwaan, baik syarat-syarat formalnya maupun mengenai batang tubuh yang surat yang didakwakan.
Jelas ; disini memiliki pengertian penguraian / penempatan uraian kejadian atau fakta kejadian yang jelas dalam surat dakwaan, sehingga terdakwa dengan mudah dapat memahami apa yang didakwakan terhadap dirinya.
Lengkap ; disini surat dakwaan lengkap bilamana dalam surat dakwaan itu memuat semua unsur-unsur (elemen) tindak pidana yang didakwakan. Unsur-unsur tersebut harus tertulis dalam uraian fakta kejadian yang dituangkan dalam surat dakwaan.

Berikut salah satu contoh Tanggapan terhadap Eksepsi terdakwa dan advokatnya mengenai uraian cermat, jelas dan lengkap oleh Jaksa Penuntut Umum ;

Cermat, artinya :
Surat dakwaan kami telah disusun dengan didasarkan kepada Undang-Undang atau peraturan yang berlaku serta tidak terdapat kekurangan atau kekeliruan, antara lain:
- Penerapan hukum atau ketentuan pidananya sudah tepat,
- Terdakwa dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana.

Jelas artinya :
Bahwa didalam surat dakwaan penuntut umum telah membuat rumusan unsur-unsur delik yang didakwakan dan sekaligus memadukannya dengan uraian perbuatan materil (fakta-fakta dalam berkas perkara ) yang dilakukan oleh terdakwa.

Lengkap :
Uraian surat dakwaan telah mencakup semua unsur-unsur pasal yang didakwakan secara lengkap dengan menguraikan perbuatan materil terdakwa secara tegas sehingga tidak ada alasan mengatakan bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa bukan merupakan tindak pidana.

Setelah surat dakwaan dibacakan dan eksepsi terdakwa (jika ada) ditolak oleh hakim, maka selanjutnya masuk didalam pokok perkara dimana diadakan pemeriksaan dan pembuktian didalam persidangan, dan setelah tahap itu selesai dilakukan barulah Jaksa Penuntut Umum masuk dalam pengembangan terakhir dari surat dakwaannya yakni pembacaan surat tuntutan yang merupakan hasil pemeriksaan di sidang.
Sekalipun dalam KUHAP tidak diatur bahwa surat tuntutan tersebut dapat batal demi hukum atau tidak, tetapi dalam prakteknya jika terdapat surat tuntutan yang “melenceng” atau berbeda dengan isi pokok surat dakwaan atau dengan kata lain memiliki perbedaan mutlak dengan surat dakwaan sebelumnya atau memuat hal-hal yang berbeda dengan fakta dalam pemeriksaan di sidang pengadilan maka surat tuntutan tersebut akan mengakibatkan terdakwa diputus bebas (pasal 191 KUHAP) dan bukan batal demi hukum seperti yang dikenal dalam akibat tidak terpenuhinya syarat materil dalam surat dakwaan.




Bab III
SURAT TUNTUTAN


Hal ini diatur dalam pasal 182 ayat 1c yang isinya “Tuntutan, pembelaan dan jawaban atas pembelaan dilakukan secara tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan kepada hakim ketua sidang dan turunannya kepada pihak yang berkepentingan.”
Surat tuntutan ini harus berisi tuntutan (eis) dari penuntut umum, yaitu apa yang terbukti menurutnya, sesuai dengan fakta persidangan dan alat bukti lain untuk dibahas oleh Majelis Hakim tentnag perkara yang telah dimajukan dalam sidang.
“Dengan perkataan lain surat tuntutan adalah kesimpulan dari penuntut umum terhadap perkara pidana yang dimajukannya”
[7]

Mengenai sistematika dan syarat penyusunan surat tuntutan tidak diatur dalam KUHAP sehingga dalam pledoi terdakwa / advokatnya, pledoi tersebut biasanya diajukan hanya seputar masalah tidak terpenuhi atau tidak terbuktinya terdakwa dengan apa yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum atau mengenai pembelaan bahwa kasus tersebut bukan pidana melainkan masuk dalam perdata dsb, tetapi tidak lagi menyinggung tentang kesalahan sistematika penyusunan tuntutan atau apakah adanya kekurangan syarat dalam surat tuntutan tersebut atau tidak, hal ini berbeda dengan surat dakwaan dimana dalam eksepsinya syarat surat dakwaan hampir selalu terdakwa / advokatnya jadikan salah satu dasar tangkisan terhadap surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum.

Fungsi surat Tuntutan
Dalam sidang Pengadilan fungsi surat tuntutan dapat dilihat dari 3 kepentingan (tiga dimensi), yaitu bagi Jaksa Penuntut Umum sebagai landasan, apakah terdakwa dituntut pemidanaan atau pelepasan dari segala tuntutan atau pembebasan.
Hal ini haruslah ada disebutkan dalam surat dakwaan oleh Jaaksa Penuntut Umum, jika tidak dicantumkan maka tuntutan akan menjadi tidak jelas dan akan dipertanyakan oleh hakim di sidang Pengadilan.

Bagi terdakwa surat tuntutan menjadi bahan untuk pembelaannya, karena terdakwa dapat mengcounter argumentasi yang dimuat Jaksa Penuntut Umum dalam surat tuntutan, bilamana tuntutannya pemidanaan.
Bagi Hakim surat tuntutan dapat menjadi bahan atau memberi corak terhadap putusan yang akan dijatuhkan dan juga memberi bahan konfirmasi terhadap fakta-fakta yang ditemukan dengan yang menjadi bahan bagi keyakinannya.

Dalam hal ini juga Jaksa Penuntut Umum yang mewakili Negara dan masyarakat (khususnya korban), haruslah membuat tuntutan yang sesuai dengan fakta-fakta yang ditemukan dalam persidangan. Fungsinya adalah untuk mencerminkan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, dalam batas-batas ketentuan hukum yang berlaku. Sebagai “wakil” negara daalm melawan terdakwa, seorang Jaksa Penuntut Umum haruslah berlaku objektif dan tidak memihak kepada terdakwa.

Sistematika Penyusunan surat tuntutan
Mengenai sistematika surat tuntutan ini, tidak ada suatu ketentuan mutlak yang mengaturnya, tetapi dalam prakteknya surat tuntutan biasa terbagi dalam 3 bentuk, yakni:
Dalam perkara ringan. biasanya disini Jaksa Penuntut tidak menyusun surat tuntutan, tetapi cukup Jaksa Penuntut Umum mengucapkan tuntutan dan dituliskan dalam formulir tuntutan.
Perkara biasa
Secara sistematis dalam perkara biasa surat tuntutannya berisi :
Identitas terdakwa
Penahanan ; yakni sejak kapan terdakwa ditahan oleh penyidik, oleh Jaksa Penuntut Umum, Majelis Hakim dan juga jika dilakukan perpanjangan penahanan harus dicantumkan.
Dakwaan ; hal ini diambil dari dakwaan sebelumnya.
Fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan ; didalamnya berisi keterangan saksi, keterangan ahli, alat bukti surat dan alat bukti, petunjuk, keterangan terdakwa.
Uraian yuridis ; inilah kunci keberhasilan dari surat tuntutan, karena fakta yang ditemukan harus sesuai dengan unsur-unsur yang didakwakan atau denagn perkataan lain fakta kejadian yang dilakukan terdakwa harus memenuhi unsur-unsur yang didakwakan. Salah satu unsur tidak terpenuhi mengakibatkan pembebasan terdakwa.
Tuntutan
Penutup

Dalam Perkara berbobot.
Surat tuntutan bentuk ketiga yaitu surat tuntutan dalam perkara yang berbobot, atau perkara yang menarik perhatian masyarakat luas atau dahulu dikenal perkara subversi. Sistematikanya sama dengan perkara biasa hanya dalam surat tuntutan berbobot ini selalu dimulai dengan “pendahuluan” sebelum memasuki materi surat tuntutan, hal ini perlu untuk membentuk opini public dan menjelaskan kepada umum bahwa perkara yang sedang disidangkan baik perbuatan terdakwa maupun akibatnya membawa bencana bagi masyarakat, atau dalam pendahuluan bisa digambarkan perbuatan sadis terdakwa yang tidak berperikemanusiaan dsb.
Dalam pendahuluan itu biasanya terdiri dari 3 bagian, yaitu :
Ucapan terima kasih kepada Majelis Hakim
Ucapan terima kasih kepada Penasihat hukum terdakwa
Latar belakang peristiwa pidana serta akibat-akibatnya, sehingga masyarakat memahami peristiwa yang sebenarnya terjadi (mungkin sadisme, rasialisme, makar, dsb)


Bab IV
PENGHENTIAN PENUNTUTAN

Penghentian penuntutan ini termasuk dalam ruang lingkup penuntutan sebagaimana yang tercantum dalam pasal 14 KUHAP huruf h yang berbunyi, “Penuntut Umum berhak menutup perkara demi kepentingan hukum.”
Kemudian sekarang yang menjadi pertanyaan, apa yang dimaksud dengan “Perkara dihentikan demi kepentingan hukum?” dan apa maksud “Perkara ditutup demi hukum?” serta apakah maksud “Penyampingan perkara?”

A. Perkara Dihentikan Penuntutannya Demi Kepentingan Hukum.
Perkara yang dihentikan penuntutannya demi kepentingan hukum adalah perkara yang dihentikan kerena tidak cukup alat bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana. Rumusan ini ditemui dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP halaman 87-88 cetakan ke IV.

Dalam penghentian ini ada 2 permasalahan yakni ;
- Dihentikannya penuntutan : kalimat ini merupakan kalimat pasif, dengan demikian ada factor penyebabnya dihentikan, dan dengan demikian juga maka ada kemungkinan perkara akan dihidupkan kembali bila ada novum, dimana pada saat tuntutan dihentikan novum tersebut belumlah ditemui sehingga perkara tidak memenuhi syarat (unsur) untuk dilimpahkan ke Pengadilan. “Dengan begitu penghentian penuntutan ini sifatnya temporer dan bukan suatu ketetapan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.”
[8] Hal ini juga diperjelas dalam pasal 77 dan 80 KUHAP.
- Demi kepentingan hukum : kalimat ini mengandung arti agar kepastian hukum dan wibawa hukum terjamin. Jika perkara dari semula telah diketahui oleh penuntut umum tidak cukup bukti atau perkara tersebut bukan merupakan tindak pidana maka ia sudah dapat memperkirakan bahwa jika perkara tersebut dilimpahkan ke depan sidang pengadilan, putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim adalah putusan bebas murni. Putusan bebas murni sudah tentu menyangkut kepentingan hukum, untuk apa hukum dimajukan jika dari semula sudah diketahui akhirnya akan bebas murni ? Untuk menjaga kemurnian hukum itulah Jaksa penuntut (dan penyidik) tidak sewenang-wenang dalam penghentian penuntutan (penyidikan), maka pada pihak ketiga yang berkepentingan diberikan hak untuk mengajukan pra-peradilan yang tujuannya adalah bahwa tindakan penghentianpenyidiakn ataupun penuntutan adalah benar demi kepentingan hukum semata.

B. Perkara Ditutup Demi Hukum
Dalam kalimat “perkara ditutup demi hukum” ini ada 2 suku kata yang eprlu dipahami/dibahas maknanya yaitu ; ditutup dan demi hukum.
Kenapa dalam hal ini digunakan kata “ditutup” dan bukan “dihentikan” ?
Untuk menjawab hal tersebut haruslah kita simak pengaturannya terlebih dahulu yakni dalam pasal 76-78 KUHP

Lantas apakah dalam perkara ditutup demi hukum ini dapat dibuka kembali seperti dalam perkara yang dihentikan penuntutannya ?
Kemungkinan perkara hidup kembali setelah ditutup demi hukum sangat tipis sekali atau boleh dikatakan tidak ada kemungkinannya, kecuali alasan menutupi perkara demi hukum, ada perbuatan pidana misalnya, adanya tindakan pemalsuan akte kematian, karena berdasar akte kematian, maka perkara ditutup demi hukum, dimana yang sebenarnya terdakwa masih hidup atau adanya tindakan pemalsuan atau perbuatan lainnya dalam menentukan tenggang waktu kadaluarsa.


C. Penyampingan Perkara
Penyampingan perkara ini dikaitkan dengan penjelasan resmi pasal 77 KUHAP yang berbunyi “yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung.”
Penyampingan perkara ini bukanlah termasuk dalam golongan penghentian penuntutan, karena begitu perkara sudah dikesampingkan, tidak ada kemungkinan lagi untuk di pra-peradilkan, karena dengan penyampingan perkara dianggap perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Penyampingan perkara ini adalah wewenang yang diberikan undang-undang kepada Jaksa Agung RI untuk menyampingkan perkara demi kepentingan umum, adapun dasar penyampingan perkara ini karena hukum acara kita menganut asas oportunitas.



KEPUSTAKAAN


Andi Hamzah. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia 1985
Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Bina Aksara. 1985
Osman Simanjuntak. Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum. 1994
Yahya Harahap. Pembahasan Pemasalahan dan Penerapan KUHAP ; Penyidikan dan Penuntutan. Sinar Grafika. 2003
Penerbit KeJaksaan Agung RI. Pedoman Pembuatan Surat Dakwaan. 1985
UU No. 1 tahun 1946. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
UU No.8 tahun 1981. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
UU No.16 tahun 2004. UU KeJaksaan



[1] Andi Hamzah ; Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia ; Ghalia Indonesia 1985 ( Penulis Mengambil Dari R.Supomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1981, Halaman 112-114 )
[2] Osman Simanjuntak. Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum. 1994. Halaman 108

[3] M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP ; Penyidikan dan
Penuntutan. Sinar Grafika 2003. Halaman 386-387

[4] Andi Hamzah ; Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia 19985. halaman 167

[5] Ibid. halaman 167. Penulis mengutip dari E. Bonn-Sasrodanukusumo. Tuntutan Pidana. Penerbit Siliwangi. Djakarta halaman 236

[6] Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana. Bina Aksara 1985. Halaman 89

[7] Osman Simanjuntak. Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum. 1994. Halaman 118
[8] Osman Simanjuntak. Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum. 1994. Halaman 112

1 comment:

Anonymous said...

Penerbit KeJaksaan Agung RI. Pedoman Pembuatan Surat Dakwaan. 1985
saya lagi nyari buku diatas, bisa kasih tau dimana untuk mendapatkanya?
appc_73@hotmail.com