WELCOME FRIENDS

Selamat datang di blog ini, blog ini di tujukan sebagai kumpulan berita, artikel, pesan dan mungkin hasil pemikiran penulis dengan mengangkat tema sentral Hukum Bisnis, akan tetapi para pembaca juga akan di bawa membaca banyak tulisan-tulisan yang muatan secara materinya tidak berhubungan secara langsung dengan Hukum Bisnis saja, seperti contohnya dimasukannya tulisan mengenai Hukum Pidana, Hukum Tata Negara dan sebagainya, walau begitu adalah Hukum Bisnis yang tetap menjadi sentral utama dari materi muatan blog ini.

Selamat membaca dan di tunggu masukan, pendapat dan mungkin kritikan dari kawan-kawan semua.

07 August 2007

TINJAUAN HUKUM TERHADAP SAHAM SEBAGAI BENDA DALAM PERSPEKTIF HUKUM KEBENDAAN



BAB I
PENDAHULUAN

Kodifikasi hukum perdata yang pertama kali dapat dibukukan pada abad keenam (Masehi) dengan nama Corpus Iuris Civilis, yang dikerjakan pada jaman kejayaan Romawi sekitar tahun 524-565 (Masehi).

Tentang Corpus Iuris Civilis ini, John Henry Merryman menguraikan, bahwa :
“Corpus Iuris Civilis tidak hanya berisi terbatas pada hukum perdata, tetapi mencakup pula dan berkaitan dengan kekuasaan kaisar, organisasi kekaisaran dan masalah lain yang oleh pakar hukum sekarang digolongkan sebagai hukum publik. Tetapi harus diakui bahwa Corpus Iuris Civilis adalah merupakan objek studi yang paling intensif dan telah menjadi dasar dari sistem sistem hukum perdata di dunia. Corpus Iuris Civilis menjadi tidak digunakan lagi setelah jatuhnya kerajaan Roma. Akan tetapi pengaruhnya tetap tidak hilang terutama didaratan Eropa.”

Dalam sejarahnya hukum perdata ini kemudian diterima juga di negara Perancis yang kemudian di kodifikasikan pada tahun 1804 dengan nama Code Civil Des Francais yang kemudian tahun 1807 berubah nama menjadi Code Civil Perancis.
Belanda yang merupakan jajahan Perancis pada tahun 1811-1813 kemudian menerima dan memberlakukan hukum perdata ini dan dalam kodifikasinya, Belanda menamakannya Burgerlijk Wetboek (B.W) yang berlaku sejak 1 Oktober 1838.
B.W inilah yang kemudian berdasarkan asas konkordansi (penyesuaian) melalui Stb.1847 Nomor 23, berlaku di Hindia Belanda (Indonesia) sejak tanggal 1 Mei 1848. Asas konkordansi berarti bahwa hukum yang berlaku bagi orang – orang Belanda di Indonesia harus disesuaikan atau disamakan dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda.

Pada saat Indonesia merdeka di tahun 1945, secara hakiki bangsa Indonesia berhak menentukan bentuk hukum dan peraturan hukum seperti apa yang akan di anut oleh bangsa Indonesia ini, tetapi oleh karena ketidaksiapan dan ketidakmampuan pemimpin-pemimpin bangsa di saat itu, maka berdasarkan aturan peralihan Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa semua peraturan yang telah ada, masih terus dipergunakan hingga dibuat ketentuan yang baru, maka berdasarkan hal tersebut bangsa Indonesia secara mutatis mutandis terus mempergunakan Kitab Undang Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, di singkat menjadi BW) hingga saat sekarang ini.

Secara umum berdasarkan pembagian sistem hukum yang di anut di dunia ini, maka Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental yang lebih mengutamakan hukum yang tertulis demi terciptanya kepastian hukum, Kitab Undang Undang Hukum Acara Perdata (BW) yang hingga saat ini masih di pergunakan pun merupakan wujud perundangan dari sistem Eropa Kontinental tersebut.

Kitab Undang Undang Hukum Perdata itu sendiri didalamnya terbagi menjadi 4 buku (bagian), yakni Buku Kesatu Tentang Orang, kemudian Buku Kedua Tentang Kebendaan, Buku Ketiga Tentang Perikatan, dan Buku Keempat Tentang Pembuktian Dan Daluarsa.

Berkaitan dengan pembahasan dalam karya tulis ini, maka penulis secara khususnya akan menyoroti perihal buku kedua tentang Kebendaan.
Buku kedua tentang kebendaan dalam B.W ini di bagi lagi dalam 21 bab dan terdiri dari 733 pasal yang dimulai dari Pasal 499 sampai dengan Pasal 1232.

Dalam perkembangannya banyak dari ketentuan di buku kedua tentang kebendaan ini yang telah di cabut / di hapus oleh berbagai peraturan lainnya, hal ini disebabkan oleh karena perkembangan kehidupan masyarakat, perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang menuntut di lakukannya perubahan secara yuridis formil.

Beberapa perubahan itu antara lain terdapat dalam Undang Undang Pokok Agraria yang berlaku sejak tahun 1960, undang undang ini menyatakan mencabut buku II KUH perdata sepanjang yang mengatur tentang bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan mengenai hipotek.
Kemudian selain itu ada juga beberapa pasal yang dinyatakan tidak berlaku lagi yakni oleh Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) tahun 1953, kemudian juga secara perlahan dilanjutkan oleh beberapa Yurisprudensi dari Mahkamah Agung, dan menyusul dengan munculnya Undang Undang Hak Tanggungan Tahun 1996, Undang Undang tentang Fidusia tahun 1998, beberapa Undang Undang tentang Hak Cipta, dan perundangan lainnya.

Menurut Pasal 499 KUH Perdata, yang dinamakan dengan kebendaan adalah tiap – tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik.

Kemudian dalam Pasal 503 dan 504 KUH Perdata di bedakan tentang cara-cara membeda-bedakan kebendaan, yakni adanya benda bertubuh dan tidak bertubuh dan benda bergerak dan tidak bergerak.

Pasal 505 KUH Perdata menyatakan bahwa tiap-tiap kebendaan bergerak adalah dapat dihabiskan atau tak dapat dihabiskan, kebendaan dikatakan dapt dihabiskan, bilamana karena dipakai, menjadi habis.

Dewasa ini dengan semakin banyaknya perangkat investasi, adanya pasar modal dan pasar komoditi, berbagai macam surat-surat berharga dan derivatifnya membuat dalam perspektif hukum kebendaan yang berpusat pada buku II tentang kebendaan ini kemudian menjadi dipertanyakan eksistensinya, apakah termasuk juga sebagai “benda” berdasarkan buku II KUH Perdata, yang mana saja yang bukan termasuk sebagai “benda” seperti yang di atur dalam buku II KUH Perdata, dan banyak pertanyaan lainnya yang berkaitan dengan hal tersebut. Salah satunya adalah mengenai “saham” suatu perseroan, dalam wujudnya seringkali berbentuk surat saham, ada juga sertifikat saham, tetapi kemudian dengan adanya bursa efek (pasar modal) maka dikenal saham yang tidak berwujud apapun juga, tetapi hanya merupakan transaksi jual beli saham berupa deretan angka dan nama di sebuah layar besar (big screen) di dalam bursa efek.

Berkaitan dengan hal inilah maka penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai saham dalam hukum kebendaan seperti telah dipaparkan di atas, dengan judul ”TINJAUAN HUKUM TERHADAP SAHAM SEBAGAI BENDA DALAM PERSPEKTIF HUKUM KEBENDAAN.”




BAB II
SAHAM SEBAGAI BENDA DALAM HUKUM KEBENDAAN

Menurut Pasal 499 KUH Perdata, yang dinamakan dengan kebendaan adalah tiap – tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik.
Tetapi kemudian di dalam KUH Perdata tidak ada penjelasan mengenai apa yang di maksud dengan hukum kebendaan itu sendiri.

Sehingga dengan demikian haruslah melihat dari sumber lain seperti dari beberapa pendapat pakar berikut ini :
“Hukum kebendaan adalah hukum yang mengatur benda dan hak kebendaan.”
“Hukum kebendaan adalah hukum yang berlaku di Indonesia yang mengatur hak-hak diatasnya.”

Penulis sendiri lebih menyukai memakai pendefinisian yang dilakukan oleh Djuhaendah Hasan, oleh karena dalam pendefinisian tersebut dilakukan pemisahan secara tegas mengenai benda dan hak kebendaan. Hal ini penting karena dengan begitu harus dilihat seperti apa perbedaan yang di maksud di atas.

Benda dalam teminologinya secara umum dapat di nyatakan sebagai “segala yang ada di alam yang berwujud atau berjazad.”
Menurut Djubaendah Hasan, “benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dengan hak milik (eigendom) atau segala sesuatu yang dapat menjadi objek hak milik.”
Sementara itu yang dimaksud dengan hak kebendaan (zakelijkrecht) adalah “hak mutlak atas suatu benda yang memberikan kekuasaan langsung atas benda tersebut dan dapat dipertahankan terhadap siapapun.”

Dilihat dari sifatnya, hukum benda sifatnya tertutup, yaitu tidak dapat diadakan hak-hak kebendaan baru diluar yang telah diatur dalam undang-undang, artinya menganut sistem tertutup adalah “terdiri dari hak-hak kebendaan yang disebutkan secara limitatif dan tidak enunsiatif di dalam undang-undang.”
Menurut penulis, dianutnya sistem tertutup dalam hukum kebendaan adalah demi terciptanya suatu kepastian hukum berkaitan dengan hukum benda tersebut.

Sementara itu mengenai hak kebendaan memiliki sifat absolut (right in rem), yang secara singkat memiliki pengertian bahwa hak absolut tersebut berarti hak itu mengikat setiap orang.
Arti dari mengikat setiap orang dalam hak kebendaan (zakelijke rechten) ini adalah :
1. Hak itu dapat dipertahankan terhadap siapapun juga.
2. Memiliki droit de suite yakni hak mengikuti benda ditangan siapapun berada.
3. Memiliki droit de preferance yakni hak untuk didahulukan.
4. Memiliki hak penuh untuk mengalihkan.
5. Mengandung asas spesialitas.
6. Mengandung asas publisitas
7. Memiliki hak gugat kebendaan.

Dalam KUH Perdata pembedaan terhadap benda terdiri atas :
1. Benda bergerak (roerend goed)
a. Benda berwujud
b. Benda tidak berwujud
2. Benda tidak bergerak (onroerend goed)

Sesuai dengan sifat tertutup dalam hukum kebendaan, maka pengertian benda bergerak dan benda tidak bergerak juga telah diatur secara limitatif sepanjang belum di ubah oleh peraturan perundangan lainnya.
Benda tidak bergerak menurut penulis adalah benda yang karena sifatnya tidak dapat dipindahkan atau berpindah. Dalam KUH Perdata kebendaan yang tidak bergerak ini telah diatur dalam Pasal 506 sampai dengan Pasal 508.

Kemudian yang dimaksud dengan benda bergerak adalah karena dilihat dari sifatnya yang dapat berpindah atau dipindahkan (Pasal 509 KUH Perdata).
Saham (sero) menurut Pasal 511 KUH Perdata dianggap / di masukan sebagai benda bergerak, kemudian berdasarkan doktrin saham / sero ini kemudian di kategorikan sebagai benda bergerak yang tidak berwujud.
Hal ini dapat dilihat dalam penyataan “benda bergerak, berwujud (semua benda yang dapat diraba dan dirasa oleh indra manusia) dan tidak berwujud (misalnya surat berharga, piutang).”
Kemudian secara eksplisit oleh Abdulkadir Muhammad yang menyatakan saham sebagai surat berharga yang merupakan benda bergerak tidak berwujud.

Saham (sero) itu sendiri adalah tanda penyertaan modal pada perseroan terbatas.
Saham juga diberi arti dalam kamus istilah hukum fockema andreae sebagai aandeel (bld), saham (ind) adalah hak pada sebagian modal suatu perseroan ; andil dalam perseroan atau perusahaan, bagian-bagian modal pada perusahaan yang telah dibagi-bagi pada akte pendirian.
Sementara itu dalam kamus khusus pasar uang dan modal dijelaskan saham adalah surat bukti pemilikan bagian modal perseroan terbatas yang memeberi hak atas dividen dan lain-lain menurut besar kecilnya modal yag disetor.
Kemudian lebih tegas lagi dalam surat keputusan direksi bank indonesia No. 24/32 tanggal 12 Agustus 1991 tentang kredit kepada perusahaan sekuritas dan kredit dengan agunan saham, dalam pasal 1 butir c dinyatakan bahwa saham adalah surat bukti pemilikan suatu perseoan terbatas, baik yang diperjualbelikan di pasar modal maupun yang tidak.

Dari beberapa pendapat di atas maka penulis menyimpulkan bahwa saham merupakan bagian dari modal dalam suatu perseroan yang secara langsung memiliki konsekuaensi pada pemilik saham berupa hak-hak (kebendaan) yang melekat kepada saham yang dimilikinya.

Berdasarkan Pasal 24 Undang Undang No 1 Tahun 1995 tentang perseroan Terbatas, saham di kenal sebagai saham atas nama dan saham atas tunjuk.
Saham atas nama adalah yang mencantumkan nama pemegang atau pemiliknya.
Sedang saham atas tunjuk adalah saham yang tidak mencantumkan nama pemegang atau pemiliknya.

Dalam dunia usaha klasifikasi saham tidak hanya terbagi menjadi dua bagian yakni saham atas nama dan saham atas tunjuk saja melainkan memiliki banyak varian dengan klasifikasi yang berbeda-beda.
Contohnya adalah di kenalnya saham umum (common stock) dan saham preferen (preferred stock) atau sering disebut juga saham prioritas.

Seperti telah dijabarkan di atas bahwa central hukum kebendaan adalah hak milik, maka saham dalam perseroan juga merupakan bukti kepemilikan.
Saham merupakan bukti kepemilikan dari pemodal yang menginvestasikannya dalam perseroan.

Secara eksplisit menurut Sentosa Sembiring dalam perkembangannya, kepemilikan atas saham ini didapatkan tidak harus dengan cara menyetorkan uang tunai sebagai modal saja, tetapi juga dapat berbentuk lain misalnya saja barang produksi ataupun dapat berupa hak kekayaan intelektual.

Berdasarkan pemaparan di atas maka dalam hukum kebendaan dapat di lihat bahwa saham (sero) adalah merupakan benda sehingga termasuk dalam hukum kebendaan, benda tersebut merupakan benda yang dapat dimiliki oleh seseorang dan kepemilikannya tersebut bersifat absolut, sehingga secara yuridis formil saham diakui sebagai benda bergerak tidak berwujud (Pasal 511 KUH Perdata) dan kemudian dalam doktrin juga telah diakui mengenai keberadaan saham tersebut dalam hukum kebendaan sebagai benda bergerak dan tidak berwujud, dan yang terakhir yakni dalam kebiasaan di dunia usaha (bisnis) telah lama dan dipergunakan dan di kenal adanya saham sebagai bukti kepemilikan dalam suatu perseroan.

BAB III
SAHAM SEBAGAI BENDA DALAM HUBUNGANNYA
DENGAN PARA PIHAK YANG BERKAITAN

Saham (sero) sebagai benda tidak pernah dapat dilepaskan dengan perihal kepemilikan dan akibat yang timbul dari adanya saham itu sendiri.
Seperti telah di sebutkan di atas bahwa dalam Pasal 24 Undang Undang No. 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas di kenal saham atas nama dan saham atas tunjuk.
Jadi menurut pasal tersebut setidaknya ada dua jenis kelompok pemegang saham.
Tetapi saat dihubungkan dengan perseroan terbatas yang kemudian go public / menjadi PT Terbuka, maka pihak yang berkaitan dengan saham ini pun menjadi semakin kompleks dan luas, yang menurut penulis setidaknya dapat di bagi menjadi :
1. Para pihak sebelum saham didaftarkan (listing) di bursa efek
2. Para pihak setelah saham didaftarkan (listing) di bursa efek

Sebelum masuk bursa / go public, maka para pemegang saham biasanya terdiri dari anggota keluarga yang kemudian menjadi para pemegang saham, atau juga dapat orang lain yang bersama-sama menanamkan modalnya kedalam perusahaan tersebut. Dalam pengalihan saham itu pun masih mudah dilakukan yakni langsung berhubungan antaa pemegang saham selaku pemilik saham dengan pembeli saham. Para pihak pemegang saham dalam perusahaan yang tidak go public ini masih sederhana dan di atur dengan jelas dalam Undang Undang No. 1 Tentang Perseroan Terbatas.

Setelah suatu perseroan terbatas masuk bursa / go public, maka para pihak pemegang saham bukan hanya anggota keuarga atau beberapa orang pemegang saham saja, tetapi telah dengan bebas diperjualbelikan di bursa efek oleh masyarakat luas, sehingga kepemilikan saham tidak lagi di catat dalam pembukuan perseroan terbatas, tetapi juga dalam bursa efek dan dapat mencapai ratusan bahkan ribuan nama pemegang saham.
Selain itu juga jika saham hendak dialihkan, tidak dapat lagi secara langsung melainkan harus mengikuti tata cara yang ditentukan oleh undang undang Pasar Modal, yakni harus melalui perantara pedagang efek. Jadi setidaknya ada pihak lain yakni pedagang efek atau sering juga di sebut pialang, broker, dan sebagainya selaku pihak lain dalam pengalihan saham tersebut.

Perbedaan yang mendasar dari keberadaan saham saat suatu perseroan terbatas menjadi terbuka atau masuk bursa (go public) dan yang tidak masuk bursa (tidak go public) adalah bahwa saham tersebut biasanya dalam perusahaan yang go public memiliki bentuk nilai saham yang lebih kecil tetapi lebih banyak jumlahnya ketimbang saat saham tersebut berada dalam perusahaan yang tidak go public.
Keberadaan saham ini sebagai benda bergerak dapat di lihat dari wujudnya yang dapat kapan saja dialihkan haknya, baik dengan cara di gadaikan, di jualbelikan, bahkan dapat di wariskan dan saham tersebut di anggap sebagai wujud hak kebendaan yang bersifat absolut terhadap pemiliknya.

Saham sebagai benda bergerak dalam hubunganan para pihak saat terjadi pengalihan, antara perseroan terbatas dengan perseroan terbatan yang go public pada dasarnya tidak memiliki perbedaan yang jauh maupun krusial.
Hubungan antara pemegang saham (pemilik saham) dengan penerima saham dengan cara membeli, hibah, gadai, dan sebagainya adalah hubungan penjual dan pembeli, yakni saat beralihnya kepemilikan saham itu maka seluruh hak (dividen, hak suara, dsb) dan kewajibannya (utang piutang, dsb) yang melekat pada saham itu beralih juga dari pemegang yang lama (penjual / pemberi saham) kepada pemegang saham yang baru / penerima saham.

Yang perlu diperhatikan adalah jika pengalihan saham itu tidak dilakukan sepenuhnya, artinya saham yang dialihkan adalah pecahan dari suatu nominal saham, jika hal itu sesuai dengan anggaran dasar perseroan terbatas yang bersangkutan maka hal ini tidak akan menjadi masalah, akan tetapi jika nominal pecahan saham minimal telah di tetapkan maka jiak terjadi pengalihan kepemilikan saham yang merupakan pecahan dari suatu nilai nominal saham yang telah di tentukan, maka hubungan hukum antara pemegang saham pertama (pemegang saham lama) dengan pemegang saham yang baru, sebaiknya membuat perjanjian antara 2 (dua) belah pihak berkaitan dengan bagaimana permasalahan hak (dividen, hak suara, dsb) dan kewajiban (utang piutang, dsb) yang melekat pada saham tersebut.

Penulis membuat contoh untuk hal ini sebagai berikut :
Suatu perseroan terbatas X, dalam anggaran dasarnya telah menentukan bahwa nilai saham terkecil adalah 1 saham seharga 1 juta rupiah.
A memiliki 1 saham tersebut, tetapi kemudian karena membutuhkan uang maka A menjual kepada B ½ dari saham itu seharga 500 ribu rupiah.
Hubungan hukum yang ada antara A dan B adalah jual beli, tetapi oleh karena ketentuan anggaran dasar PT X, maka tentunya akan dipermasalahkan di kemudian hari mengenai hak memperoleh dividen, hak suara, dsb sehubungan dengan kepemilikan B atas saham tersebut tidak memenuhi syarat yang telah di tentukan oleh anggaran dasar PT X, maka selanjutnya untuk mengantisipasi hal itu di buatlah perjanjian antara A dan B yang isinya adalah mengenai pembagian hak serta kewajian yang lahir dari adanya saham tersebut.

Jadi di sini ada 2 hubungan hukum para pihak berkaitan dengan saham tersebut, yakni :
Pertama antara A selaku pemegang saham dengan PT X.
Kedua adalah antara A dan B dalam perjanjian jual beli saham dan menyusul perjanjian antara A dan B yang berisi tentang pembagian dividen, hak suara, dsb yang merupakan hak serta kewajiban yang melekat dengan adanya saham kepemilikan tersebut.



BAB IV
KESIMPULAN

Berkaitan dengan hukum kebendaan di Indonesia masih menganut ajaran kebendaan dari KUH Perdata (B.W) yang di negara Belanda sendiri telah mengalami perubahan dengan adanya NBW.
Hukum kebendaan di Indonesia menganut pembagian kebendaan menjadi benda bergerak dan tidak bergerak. Benda bergerak itu sendiri terbagi lagi menjadi dua bagian yakni benda yang berwujud dan tidak berwujud.
Dalam kaitannya dengan saham (sero), maka secara yuridis formil saham tersebut di pandang sebagai benda yang bergerak dan tidak berwujud. Hal ini jelas di nyatakan dalam Pasal 511 KUH Perdata.

Keberadaan saham sebagai benda ini juga kemudian dipertegas dalam doktrin (pendapat para pakar) yang telah diakui mengenai keberadaan saham tersebut dalam hukum kebendaan sebagai benda bergerak dan tidak berwujud, dan yang terakhir yakni dalam kebiasaan di dunia usaha (bisnis) telah lama dan dipergunakan dan di kenal adanya saham sebagai bukti kepemilikan dalam suatu perseroan dan keberadaan saham tersebut sebagai benda membuat dengan sendirinya saham itu memiliki harga (value) layaknya benda lainnya dan dengan sendirinya juga layaknya benda bergerak lainnya, saham dapat di alihkan dan dengan mudah di perjual belikan dalam dunia usaha (bisnis).




DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir Muhammad, Hukum Dagang Tentang Surat-Surat Berharga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993

Djaja Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang Dan Hukum Keluarga, Nuansa Aulia, Bandung, 2006

Djuhaendah Hasan, Diktat Hukum Kebendaan, Hukum Bisnis Unpad, 2007

------------------------, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah Dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Horisontal, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996

-----------------------, Diktat Kapita Selekta Hukum Perdata, Hukum Bisnis Unpad, 2007

Sentosa Sembiring, Hukum Perusahaan Tentang Perseroan Terbatas, Nuansa Aulia, Bandung

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak Atas Benda, Intermasa, 1981



Sumber Lain :

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994

Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda – Indonesia, Diterjemahkan Oleh H Boerhanoedin St Batuah (Dkk), Binacipta, Bandung, 1983

Kamus Khusus Pasar Uang Dan Modal, Dept Keuangan Ri- Badan Pelaksana Pasar Modal, Jakarta, 1974

Kitab Undang Undang Hukum Acara Perdata








TINJAUAN HUKUM TERHADAP PENGATURAN INTERNASIONAL E-COMMERCE DIHUBUNGKAN DENGAN
HUKUM KONTRAK INTERNASIONAL



BAB I
PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi elektronik yang berlangsung pesat hingga saat ini telah mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan dan kegiatan di masyarakat luas, dalam berbagai sisi kehidupan dan termasuk juga di bidang hukum.
Munculnya penemuan internet dan kemudian berkembang pada praktek perdagangan dengan ruang lingkup yang baru yakni tanpa batasan (borderless) melalui media elektronik (e-commerce) secara umum telah menimbulkan dampak ekonomi dan hukum yang sangat luas.

Hukum nasional dan internasional, baik publik maupun privat akan mendapat pengaruh cukup besar dari perkembangan baru dibidang teknologi tersebut. Berbagai upaya pun tengah dilakukan oleh organisasi-organisasi internasional seperti PBB melalui UNCITRAL dan UNCAD, WTO dan juga perhimpunan-perhimpunan regional negara-negara seperti ASEAN untuk membuat aturan-aturan / perangkat hukum yang setidaknya dapat dijadikan acuan oleh pemerintah-pemerintah negara-negara yang berkepentingan.
Hingga saat ini juga dapat dilihat pemerintah Indonesia mulai terus berusaha mengikuti perkembangan praktik e-commerce untuk menghindari dampak yang dapat merugikan para pelaku bisnis serta masyarakat pada umumnya, hal ini dapat di lihat dengan adanya beberapa rancangan undang-undang yang berkaitan dengan e-commerce, telematika, dan sebagainya. Secara empiris e-commerce telah menjadi salah satu transaksi bisnis yang biasa dilakukan melalui internet.

Dari perspektif hukum, perkembangan e-commerce ini telah menimbulkan berbagai permasalah dan ketidakpastian yang memerlukan penanganan segera. Hal ini dapat dilihat khususnya berkaitan erat dengan hal kontrak yang termuat didalamnya. Di Indonesia perihal kontrak dan sisi yuridis materil maupun formil berkaitan dengan hal tersebut telah diatur dengan jelas dalam beberapa peraturan perundang-undangan, akan tetapi teknologi yang mendukung terciptanya e-commerce tidak mengenal atau menghiraukan batas-batas wilayah negara sehingga hukum yang pergunakan pun menjadi berada dalam suatu wacana yang komprehensif, artinya tidak hanya dari sisi hukum nasional tetapi juga hukum internasional.

Dari sisi hukum nasional, permasalahan sehubungan dengan kontrak internasional dalam e-commerce adalah perumusan aturan-aturan hukum perjanjian yang mencakup e-commerce contract, selain itu juga berkaitan dengan legatimasi / keabsahan suatu konrak / perjanjian dalam e-commerce yang secara langsung menciptakan hubungan bisnis yang dapat diimplementasikan. Kemudian juga berkaitan dengan penyelesaian sengketa jika timbul perselisihan, masalah perpajakan, perlindungan konsumen, HAKI, dan sebagainya.
Di sisi lain pada tataran internasional, berkaitan dengan permasalahan aturan-aturan / perangkat hukum di bidang yang terkait dengan persoalan pembentukan kebijakan negara khususnya dibidang ekonomi dan perdagangan yang masih seringkali kebijakan-kebijakan yang dibuat negara menimbulakn hambatan-hambatan baru terhadap sistem perdagangan dunia.

Berdasarkan hal tersebut, maka penulis pada kesempatan ini akan mencoba membahas dan menuangkannya dalam karya tulis ini dengan judul “TINJAUAN HUKUM TERHADAP PENGATURAN INTERNASIONAL E-COMMERCE DIHUBUNGKAN DENGAN HUKUM KONTRAK INTERNASIONAL”



BAB II
KONTRAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM NASIONAL

Di Indonesia, hukum kontrak telah memiliki kedudukan tersendiri, hal ini dapat dilihat dalam Buku III KUH Perdata, yang terdiri atas 18 bab dan 631 pasal. Dimulai dari Pasal 1233 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata.
Sekalipun KUH Perdata yang masih di anut oleh Indonesia berasal dari Belanda dengan nama awal Burgerjlik Wetboek (disingkat B.W), akan tetapi saat ini negara Belanda sendiri sudah tidak memakai B.W tersebut dan telah merubahnya (revisi) menjadi NBW yang juga tetap mengatur mengenai hukum kontrak, tempat pengaturan hukum kontrak dalam buku IV tentang van verbintenissen, dimulai dari Pasal 1269 NBW sampai dengan Pasal 1901 NBW.

Kontrak yang dalam bahasa Inggris disebut contracts atau overeenkomst dalam bahasa Belandanya sering juga diterjemahkan menjadi perjanjian.
Definisi perjanjian atau kontrak di atur dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang berbunyi “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”

Berikut ini adalah pendapat para ahli hukum” “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana ada seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.
“Suatu perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk melaksanakan prestasi”.
Sistem pengaturan hukum kontrak di Indonesia adalah sistem terbuka (open system), yang artinya bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan maupun yang belum di atur di dalam undang-undang. Hal ini dapat dilihat dan kemudian disimpulkan dari ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata membuat terciptanya kebebasan kepada para pihak untuk :
1. Membuat atau tidak membuat perjanjian,
2. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun,
3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan
4. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

Analisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata ini telah membuat di kenalnya asas penting dalam hukum perdata yakni asas kebebasan berkontrak.
Asas kebebasan berkontrak (beginsel der contractsvrijheid) disimpulkan dengan jalan menekankan pada perkataan “semua” yang ada dimuka perkataan “perjanjian”.
Dikatakan bahwa Pasal 1338 ayat (1) itu seolah-olah membuat suatu pernyataan (proklamasi) bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang.

Kebebasan berkontrak tersebut kemudian selalu di hubungkan (junto) dengan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai sahnya suatu kontrak / perjanjian. Hal ini dikarenakan melihat dari bunyi Pasal 1338 ayat (1) yang mensyaratkan agar kontrak / perjanjian apapun juga yang dibuat selalu “dibuat secara sah”
Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, ditentukan empat syarat sahnya perjanjian, yakni :
1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak,
2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum,
3. Adanya objek, dan
4. Adanya kausa yang halal.
Dalam penjabarannya empat syarat tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Kesepakatan kedua belah pihak, yang diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata yang artinya pernyatan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.
2. Kecakapan bertindak, yaitu kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum, salah satu ukurannya adalah seseorang yang telah berumur 18 tahun dan atau sudah kawin. Adapaun orang yang tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah:
- Anak dibawah umur
- Orang yang berada dibawah pengampuan
- Istri (Pasal 1330 KUHPerdata) walaupun dalam perkembangannya dapat melakukan perbuatan hukum (Pasal 31 UU Nomor 1974 jo SEMA No 3 Tahun 1963)
3. Objek perjanjian, yaitu prestasi.
Prestasi dapat terdiri atas :
- Memberikan sesuatu
- Berbuat sesuatu
- Tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUHPerdata)
4. Causa yang halal, dalam KUHPerdata tidak dijelaskan pengertian causa yang halal, namun hanya menyebutkan causa yang terlarang. Sejak tahun 1927 dalam Hoge Raad dijelaskan bahwa yang termasuk dalam causa yang terlarang adalah perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum, dapat diartikan causa yang halal menurut Hoge Raad ini merupakan sesuatu yang menjadi tujuan para pihak.



BAB III
ELECTRONIC COMMERCE DALAM PENGATURAN INTERNASIONAL

Electronic commerce (disingkat e-commerce) adalah kegiatan-kegiatan bisnis yang menyangkut konsumen (consumers), manufaktur (manufactures), services providers dan pedagang perantara (intermediateries) dengan menggunakan jaringan-jaringan komputer (computers network) yaitu internet.

Berbicara mengenai perdagangan di dunia maya (e-commerece) tidak pernah dapat dipisahkan dengan perjanjian / kontrak maya berskala internasional (e-contract), hal ini dikarenakan setiap perdagangan dan hubungan bisnis antara para pelaku bisnis di dunia maya, selalu memiliki kontrak atau dituangkan dalam suatu kontrak maya (e-contract), atau setidaknya ada terms and conditions yang telah dibuat salah satu pihak (klausula baku) dalam menjalankan usaha / bisnis di dunia maya tersebut.

Kontrak maya (e-contract) dalam dunia usaha internasional yang menggunakan fasilitas internet sebagai jembatan usahanya, di kategorikan sebagai kontrak internasional.
Hal ini dikarenakan di dalam kontrak tersebut adanya unsur asing.
Dengan begitu lahirlah hingga saat ini keberadaan kontrak (perjanjian) yang berskala internasional, yang adalah “suatu kontrak yang didalamnya ada atau terdapat unsur asing (foreign element).”

Hal ini juga di perkuat oleh pendapat yang mengatakan bahwa “are contract with two nations or more nation states. Such contracts may be between states, between state and a private party, or exclusive between private parties.”
Istilah kontrak internasional tersebut haruslah di bedakan dengan istilah perjanjian internasional, yakni bahwa “kontrak internasional dalam bidang komersil atau perniagaan … perjanjian internasional dalam bidang publik bukan bersifat komersial atau perniagaan.”
Penulis berpendapat dengan demikian jika berbicara mengenai perjanjian dalam bidang komersial dan perniagaan (perdagangan) maka lebih tepat menggunakan istilah kontrak internasional, sebab istilah perjanjian internasional dapat mencakup bidang yang lain, bidang kenegaraan (perjanjian bilateral antar negara, dan sebagainya), dan bidang publik.

Keberadaan kontrak internasional ini pun kemudian mengalami perkembangan sehubungan dengan adanya bentuk perdagangan baru yang di sebut electronic commerce (e-commerce), yang merupakan penemuan baru dalam bentuk perdagangan yang dinilai lebih dari perdagangan pada umumnya (konvensional).

Perkembangan e-commerce membawa banyak dampak perubahan secara umum pada sektor aktivitas bisnis yang selama ini biasa di jalankan di dunia nyata, dan secara khusus mengakibatkan juga perubahan di bidang kontrak internasional.
E-commerce tersebut merupakan transaksi perdagangan yang melibatkan individu-individu dan organisasi-organisasi atau badan, berdasarkan pada proses dan transmisi data digital, termasuk teks, suara atau jaringan tertutup seperti American On Line (AOL) yang mempunyai jaringan terbuka dan di kenal hingga saat ini.

Implikasi dari pengembangan perdagangan dan kontrak (internasional) tersebut tentunya ada yang di rasa positif dan menguntungkan, tetapi ada juga yang di rasa negatif, yakni :
Aspek positifnya adalah terciptanya kecepatan dan kemudahan serta kecanggihan dalam melakukan transaksi dan iteraksi global tanpa batasan waktu dan tempat, kemudian telah berhasil meningkatkan peranan dan fungsi perdagangan sekaligus memberikan kemudahan dan efisiensi yang lebih. Tetapi dari aspek negatifnya, masih di permasalahkan berkaitan dengan persoalan keamanan dalam bertransaksi dan secara yuridis terkait juga dengan jaminan kepastian hukumnya.
Keberadaan suatu kontrak internasional dalam perdagangan mayaranta (e-commerce) baru dapat di katakan sah menurut hukum Indonesia, saat di anggap telah memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian (Pasal 1329 KUHPerdata) yakni kesepakatan yang telah tercapai saat konsumen meng-klik suatu ilustrasi “setuju”, pengisian data diri sehingga diketahui kecakapannya, objek yang ditawarkan tertentu, perjanjian dapat di baca sehingga dapat di ketahui isi suatu sebab yang halal.

E-commerce sebagai lahan pebisnis dan para pelaku usaha telah menjadi trend yang sangat menarik perhatian publik. Penggunaan peralatan elektronika khususnya internet untuk melaksanakan atau membuat suatu transaksi (contract) komersial telah dirancang sedemikian rupa sehingga seringkali didalamnya terdapat suatu kontrak atau perjanjian yang dalam perspektif hukum masih terus menerus terjadi benturan atau perbedaan sistem hukum yang berlaku.

Ruang lingkup e-commerce atau segmentasinya setidaknya dapat meliputi tiga sisi, yakni:
1. Bisnis ke bisnis (bussiness to bussiness), yakni sistem komunikasi antara pelaku bisnis atau dengan kata lain transaksi secara elektronik antar perusahaan yang dilakukan secara rutin dan dalam kapasitas atau volume produk yang besar.
2. Bisnis ke konsumen (bussiness to customer), merupakan suatu transaksi bisnis secara elektronik yang dilakukan pelaku usaha dan pihak konsumen untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu dan pada saat tertentu.
3. Konsumen ke konsumen (customer to customer), merupakan suatu transaksi bisnis secara elektronik yang dilakukan antar konsumen untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu dan pada saat tertentu pula, sifatnya lebih khusus karena transaksi dilakukan oleh konsumen ke konsumen yang memerlukan transaksi.

Dapat dilihat, e-commerce yang selalu memuat didalmnya kontrak daganng (e-contract) bersifat global, sehingga penanganannya juga harus dilakukan dalam ruang lingkup internasional juga.
Beberapa usaha di bidang e-commerce hingga saat ini terus berlangsung di berbagai oganisasi internasional seperti, UNCTAD, UNCITRAL, OECD, WTO, dan sebagainya.
Secara lebih khusus, perkembangan hukum konrak internasional dalam bidang e-commerce yang terbaru adalah dengan adanya United Nations Convention On The Use Of Electronic Communication In International Contracts 2005.

1. UNITED NATION CONVERENCE ON TRADE AND DEVELOPMENT (UNCTAD)
Ini merupakan badan PBB yang bertugas membantu negara-negara berkembang, UNCTAD telah mendirikan jaringan bernama global trade point network dengan tujuan untuk membantu negara-negara berkembang dalam usaha mereka untuk mendapatkan manfaat dari perkembangan-perkembangan di bidang komunikasi elektronik. UNCTAD hingga saat ini merupakan salah satu sarana perdagangan internasional yang telah meningkatkan jasa mereka dan memfasilitasi jumlah transaksi kontrak / perjanjian perdagangan yang sangat luas. Bahkan hingga saat ini UNCTAD terus bergerak dari suatu jaringan pra-transaksional kearah suatu jaringan yang sepenuhnya tansaksional (contracts to contracts).

2. ORGANIZATION FOR ECONOMIC COOPERATION AND DEVELOPMENT (OECD)
OECD yang berdiri sejak tahun 1996 memfokuskan persoalan pada dua aspek yaitu : bussiness to bussiness dan rekomendasi strategis yang ditujukan kepada pemerinta dengan maksud untuk memfasilitasi perkembangan e-commerce dan memaksimalkan kontribusi kearah penciptaan bisnis dan pekerjaan-pekerjaan baru. OECD membuat studi yang dimaksudkan untuk meninjau peraturan-peraturan serta praktek yang ada di negara-negara anggota mengenai internet serta menghimpun pandangan-pandangan dari berbagai pelaku bisnis yang terlibat didalamnya.
Di bidang e-commerce OECD juga berusaha menciptakan suatu sistem pembayaran dan perbankan yang pararel diluar saluran-saluran perbankan konvensional. Hal ini tentunya masih terus diperjuangkan mengingat keberadaan OECD lebih kearah penciptaan bisnis dan pekerjaan-pekerjaan baru.

3. WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO)
Dalam hubungannya dengan e-commerce dan khususnya e-contract, WTO terus mencoba membantu negara-negara anggotanya membuat kebijakan baru sebagai respon terhadap perkembangan bisnis yang dipicu oleh pesatnya teknologi dewasa ini, transaksi komersial melalui internet dan e-contract telah menimbulkan dampak yang sangat besar di segala bidang termasuk di bidang hukum. E-commerce yang didalamnya juga secara tidak langsung terdapat atau adanya e-contract telah menciptakan sejumlah tantangan (keharusan) terhadap pemerintah berkaitan dengan keamanan dan privasi dari transaksi, perpajakan, perlindungan konsumen, penyelesaian sengketa dan kepastian hukum para pelaku yang terlibat dalam e-commerce. WTO dapat membantu memfasilitasi e-commerce dan mengintegrasikannya kedalam peraturan-peraturan perdagangannya.

4. UNITED NATION COMMISSION ON INTERNASIONAL TRADE LAW (UNCITRAL)
Sebagai tindak lanjut dari mandat untuk menciptakan harmonisasi dan unifikasi hukum perdagangan internasional yang dapat menghilangkan hambatan-hambatan terhadap perdagangan internasional sebagai akibat dari tidak memadai dan beragamnya aturan-aturan dibidang perdagangan, maka sejak tahun 1996 UNCIRAL Model Law On Electronic Commerce telah di terima olah UNCITRAL.
Model law ini dipersiapkan sebagai respon terhadap perubahan besar yang terjadi dalam cara komunikasi diantara pihak-pihak dengan menggunakan komputer dan teknik-teknik modern lainnya dalam menjalankan bisnis.
Sekalipun begitu, model law ini dimaksudkan hanya untuk mengarahkan prosedur dan memberikan prinsip-prinsip guna memfasilitasi teknik-teknik modern dalam merekam, dan mengkomunikasikan informasi, namun instrumen ini hanya sekedar framework law, artinya tidak menuangkan peraturan-peraturan lengkap yang mungkin dibutuhkan negara untuk mengimplementasikan teknik-teknik tersebut, sehingga juga tidak meliput keseluruhan aspek e-commerce.

5. UNITED NATIONS CONVENTION ON THE USE OF ELECTRONIC COMMUNICATION IN INTERNATIONAL CONTRACTS 2005
UNCITRAL telah mengeluarkan suatu instrumen penting dalam bidang hukum kontrak internasional yang secara khususnya menggunakan sarana elektronik (e-contract) dalam sebuah konvensi yang bernama “The Convention On The Use Of Electronic Communication In International Contracting.”
Konvensi ini di buka untuk negara-negara yang hendak ikut terlibat dan menandatanganinya serta terikat di dalamnya sejak tangal 16 Januari 2006 hingga 16 Januari 2008. Konvensi ini terdiri dari 4 bab dan 25 pasal.
Tujuan di adakannya pembentukan konvensi ini adalah pengadopsian penyeragaman peraturan yang sama untuk menghilangkan rintangan dalam kontrak internasional dan komunikasi elektronik, termasuk rintangan yang biasa ada dalam instrumen hukum perdagangan.
Pada prinsipnya, sesuai dengan ketentuan di dalam Pasal 3 Konvensi, di nyatakan bahwa para pihak mendapat kebebasan untuk tidak menggunakan aturan substansi konvensi, sehingga masih ada yang di kenal dengan kebebasan para pihak untuk membuat peraturan berbeda dengan peraturan nasionalnya.
Mengenai status hukumnya, berhubungan dengan komunikasi elektronik, dalam Pasal 8 Konvensi di nyatakan bahwa suatu komunikasi atau suatu kontrak tidak boleh di sangkal keabsahan dan kekuatan hukumnya dengan alasan semata-mata komunikasi dan kontrak tersebut di buat secara elektronik.



BAB IV
E-COMMERCE DARI SEGI HUKUM KONTRAK INTERNASIONAL

Seperti telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya, salah satu unsur terpenting bagi terciptanya suatu kontrak adalah adanya kesepakatan (salah satu syarat berdasar Pasal 1320 KUH Perdata) diantara para pihak yang mengadakan perjanjian atau kontrak.

Dengan demikian juga suatu perjanjian / kontrak dapat berwujud tertulis ataupun tidak tertulis. Sedangkan melihat dari istilah “perikatan” maka menurut penulis, yang lebih ditekankan adalah mengenai adanya hak dan kewajiban yang lahir dari adanya pembuatan suatu perjanjian / kontrak tersebut. Sedangkan istilah perjanjian / kontrak lebih mengacu pada faktanya, yakni apakah tertulis atau tidak tertulis.
Dari hal tersebut, maka dari sisi hukum yang terpenting adalah kapan terciptanya suatu perikatan tersebut? Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, maka salah satu unsur perikatan adalah adanya kesepakatan. Jika kesepakatan para pihak tersebut dituangkan secara tertulis, maka ada suatu kontrak / perjanjian yang tertulis pula. Sebaliknya jika kesepakatan para pihak dinyatakan secara lisan, maka yang ada hanyalah suatu kontrak lisan saja. Akan tetapi baik kontrak secara tertulis maupun kontrak lisan, dapat melahirkan perikatan, yang artinya jika salah satu pihak tidak melaksanakannya pihak yang lain dapat menuntut pemenuhannya.

Ciri yang membedakan kontrak dalam e-commerce dari kontrak-kontrak yang lain pada umumnya ialah bahwa kesepakatan tidak diberikan dalam bentuk tertulis maupun lisan, melainkan komunikasi dengan media / sarana elektronik (internet). Inilah yang seringkali menjadi salah satu permasalahan jika di tinjau dalam perspektif hukum.

Hingga saat ini di negara Indonesia khususnya belum ada pengaturan tentang e-commerce maupun e-contract atau lebih khusus lagi mengenai hal kesepakatan dalam kaitannya dengan kontrak melalui media elektronik (internet). Secara ideal tentunya memang diperlukan pengaturan hukum bagi hal itu. Akan tetapi hal ini tentunya tidak menutup kemungkina bahwa selama pengaturan hukum itu belum ada, kesepakatan dan pembuatan suatu kontrak bisnis di dunia maya tetap dimungkinkan dilaksanakan. Sebenarnya telah banyak contoh-contoh kegiatan dagang dunia maya, hanya saja saat ini teknologi menjadi lebih canggih sehingga seringkali ekspor impor tidak dapat terlaksana tanpa bantuan lembaga letter of credit dan bill of ladding.

Adanya Uncitral Model Law On Electronic Commerce 1996 dan yag terbaru adalah dengan adanya United Nations Convention On The Use Of Electronic Communication In International Contracts 2005, merupakan langkah-langkah yang dilakukan oleh PBB untuk mempercepat tercapainya harmonisasi dan mungkin unifikasi antar hukum di antara negara-negara anggota yang mengatur mengenai e-commerce, atau setidaknya dapat memberikan “guidance” dalam penyusunan / pembentukan aturan hukum mengenai e-commerce tersebut.

Secara lebih sederhana lagi adalah agar pihak-pihak yang merencanakan akan mengadakan kegiatan bisnis melalui media elektronik dapat mengikatkan dirinya secara kontraktual terlebih dahulu, yakni dengan terlebih dahulu mensepakati persyaratan-persyaratan tertentu melalui media elektronik (internet) yang akan mengikatkan mereka sebagai kesepakatan yang disyaratkan oleh Pasal 1320 KUH Perdata.

Selain itu juga perkembangan e-commercce telah didukung adanya banyak program keamanan seperti firewall, antivirus terhadap spamming maupun virus.
Kemudian dalam pembuktiannya (hukum acara perdata) telah adanya tanda tangan digital (digital signature) yang memungkinkan sebuah dokumen elektronik ditandatangani secara elektronik pula.

Demi terciptanya suatu kontrak yang baik, dalam arti kontrak itu dapat menjadi suatu kontrak yang efektif dan efisien, maka menurut penulis sebuah kontrak (e-contract) dalam e-commerce haruslah dibuat dengan memperhatikan beberapa hal penting, antara lain :
1. Pengecekan terhadap para pihak yang hendak melangsungkan perikatan.
2. Memastikan bahwa kontrak yang dibuat telah memiliki choise of forum dan choise of law yang jelas.
3. Kepastian sistem pembayaran dan cara pembayaran yang dianggap paling aman bagi para pihak.

Saat ketiga hal ini dilakukan, maka setidaknya akan dapat meminimalisasi sengketa atau ketidakpastian hukum dalam e-commerce, selain itu juga ketiga hal itu termasuk langkah-langkah yang juga diatur dalam Uncitral Model Law On Electronic Commerce 1996 dan yang terbaru adalah dengan adanya United Nations Convention On The Use Of Electronic Communication In International Contracts 2005, dengan demikian perlindungan terhadap para pihak terjaga dan disisi lain peningkatan perdagangan di dunia maya dapat semakin meningkat yang tentunya menciptakan juga peningkatan bagi pemerintah baik secara ekonomi makro ataupun mikro




BAB V
SIMPULAN

Berbicara mengenai perdagangan di dunai maya (e-commerce) tidak pernah dapat dipisahkan dengan perjanjian / kontrak maya berskala internasional (e-contract), hal ini dikarenakan setiap perdagangan dan hubungan bisnis antara para pelaku bisnis di dunia maya, selalu memiliki kontrak atau dituangkan dalam suatu kontrak maya (e-contract), atau setidaknya ada terms and conditions yang telah dibuat salah satu pihak (klausula baku) dalam menjalankan usaha / bisnis di dunia maya tersebut.

Praktik e-commerce telah dan akan menimbulkan konsekuensi serius terhadap banyak bidang, termasuk di bidang hukum baik nasional maupun internasional, publik maupun privat. Usaha-usaha yang dilakukan berbagai organisasi internasional untuk membuat pengaturan mengenai e-commerce adalah dalam rangka menertibkan dan mensinkronisasikan pengaturan hukum nasional dengan pengaturan internasional.

Dalam hukum internasional telah ada beberapa pengaturan mengenai hal ini, seperti contohnya adanya UNCITRAL Model Law On Electronic Commerce 1996 dan United Nations Convention On The Use Of Electronic Communication In International Contracts 2005. Kemudian melihat pada hukum nasional masih berupa rancangan undang-undang seperti RUU Telematika dan RUU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Semakin meluasnya pengenalan akan internet terhadap masyarakat di Indonesia, dengan sendirinya akan menciptakan kegiatan e-commerce semakin meningkat, didukung perundangan yang diharapkan segera di sahkan setidaknya dapat menjadi payung hukum demi terciptanya kepastian hukum dan peningkatan ekonomi makro dan mikro bangsa Indonesia yang lahir dari peningkatan perdagangan di dunia maya tersebut.




DAFTAR PUSTAKA


Abdul Hakim Barkatullah & Teguh Prasetyo, Bisnis E-Comerce (Studi Sistem Keamanan Dan Hukum Di Indonesia), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005

Hata, Beberapa Aspek Pengaturan Internasional E-Commerce Serta Dampaknya Bagi Hukum Nasional, Dalam Varia Peradilan, Volume VII, Maret, 2002

Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2007

M.Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perikatan, Bandung: PT.Alumni, 1982

R.Subekti, Aneka Perjanjian, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995

Salim H.S, Hukum Kontrak (Teori Dan Teknik Penyusunan Kontrak), Sinar Grafika, Jakarta, 2003